بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Senin, 22 April 2013

Aliran Murjiah (Aliran Dalam Islam Pada Masa Klasik)



Bibit-bibit perpecahan dalam islam sebenarnya mulai muncul sejak peristiwa politik yang dikenal dengan istilah peristiwa Saqifah Bani Sa'idah. Yakni, peristiwa dikalangan muslimin tentang siapakah yang berhak menggantikan Nabi sebagai kepala pemerintahan. Perbedaan politik yang terjadi pada waktu itu dapat diatasi atas kebijakan Umar Ibn Khottob dengan membai'at Abu Bakar As- Shiddiq sebagai kholifah pertama.
Konflik dalam umat islam muncul lagi ketika kursi kekholifahan dijabat oleh Utsman Ibn 'Affan. Hal ini timbul sebagai reaksi dari sebagian masyarakat yang tidak puas terhadap Utsman, karena beliau dituduh telah melakukan praktik "nepotisme". Manuver politik yang dijalankan oleh Utsman ini membawa dampak negative terhadap beliau sendiri. Para sahabat yang semula mendukung beliau mulai meninggalkannya, dan yang paling parah adalah munculnya pemberontak dari mesir yeng berkumpul di Madinah yang berujung pada terbunuhnya Kholifah Utsman oleh pemuka-pemuka pemberontak tersebut.
Kematian khalifah Utsman ibn Affan secara tragis melalui tangan para perusuh tahun 35 H telah menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satu di antaranya adalah perang Shiffin, 2 tahun setelah Ali ibn Abi Thalib dibai’at jadi khalifah menggantikan Utsman.
Perang besar antara kubu Ali dengan kubu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang secara ekstrim selalu bertentangan yaitu Khawarij dan Syi’ah. Misalnya Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah Ali setelah peristiwa, sementara Syi’ah belakangan mengkultuskan Ali demikian rupa sehingga seolah-olah Ali adalah manusia tanpa cacat. Lain pula dengan kelompok Murjiah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar. Sekalipun demikian aliran-aliran tersebut bersifat politik tapi kemudian untuk mendukung pandangan dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama.
Persoalan teologi dimulai pada masa pemerintahan Usman dan Ali, yaitu  disaat terjadinya pergolakan-pergolakan politik dikalangan umat Islam. Perjuangan politik untuk merebut kekuasaan selalu dibingkai dengan ajaran agama, sebagai payung pelindung. Baik bagi kelompok yang menang demi untuk mempertahankan kekuasaannya, maupun kelompok yang kalah untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Dari sini dapat dikatakan mazhab-mazhab fikih dan aliran-lairan teologi dalam Islam lahir dari konflik politik yang terjadi di kalangan umat Islam sendiri, untuk kepentingan dan mendukung politik masingmasing kelompok, ulama dari kedua kelompokpun memproduksi hadits-hadits palsu dan menyampaikan fatwa-fatwa keberpihakan.
Adanya keterpihakan kelompok pada pertentangan tentang Ali bin Abi Thalib, memunculkan kelompok lainnya yang menentang dan beroposisi terhadapnya. Begitu pula terdapat orang-orang yang netral, baik karena mereka mengganggap perang saudara ini sebagai seuatu fitnah (bencana) lalu mereka berdiam diri, atau mereka bimbang untuk menetapkan haq dan kebenaran pada kelompok yang ini atau itu.
Aliran Murji'ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khowarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khowarij.  Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculaan syi’ah dan khawarij. Pada mulanya kaum Murji’ah merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu dan menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan. Lebih lanjut kelompok ini menganggap bahwasanya pembunuhan dan pertumpahan darah yang terjadi di kalangan kaum muslimin sebagai suatu kejahatan yang besar. Namun mereka menolak menimpakan kesalahan kepada salah satu di antara kedua kelompok yang saling berperang.
Pada mulanya kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khalifah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelahUsman bin Affan mati terbunuh. Munculnya permasalahan ini perlahan-lahanmenjadi permasalahan tentang ketuhanan. Oleh karena itu, akan membahastentang Murji’ah dan perkembangan pemikirannya dalam mewarnai pemahamanketuhanan dalam Agama Islam.
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar dari Ali yakni Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuata dosa besar yang lain.
Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah. Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan. Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan menghindari sekatrianisme.
Seperti halnya lahirnya firqoh khowarij demikian halanya  lahirnya firqah murji’ah adalah dengan latar belakang faktor politik. Sewaktu pemerintahan islam pindah kedamaskus maka mulai  tampak kurang taatnya beragam kalangan penguasa bani umaiyah berbeda dengan khulafaurrasidin. Tinggah laku penguasa tampak semakin kejam sementara umat islam bersikap diam saja. Timbul persoalan “bolehkah umat islam diam saja dan wajibkah taat kepada khalifah yang dianggapnya dzalim ? orang-orang murjiah berpendapat bahwa seorang muslim boleh saja shalat dibelakang seorang yang shaleh ataupun dibelakang orang yang fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk itu terserah kepada Allah Swt. Soal ini mereka tangguhkan dan sampai kiamat dan karena itu pulalah mereka dinamakan  golongan murji’ah, yang berarti melemahkan atau menangguhkan tenteng balasan Allah Swt sampai akhirat nanti. 
Dipandang dari sisi politik, pendapat golongan murji’ah memang menguntungkan penguasa bani umaiyah. Sebab dengan demikian berarti membendung  pemberontakan  terhadap bani umaiyah. Sekalilpun khalifah dan pembantu-pembantunya itu kejam , toh mereka tetap muslim juga. Pendapat ini berbeda dengan pendirian golongan khowarij yang mengatakan  berbuat zalim, berdosa besar itu adalah kafir.
Lebih jelasnya aliran murji’ah muncul  sebagai reaksi terhadap teori-teori yang bertentangan dengan  syi’ah dan khawarij, dimana kedua aliran ini sama-sama menentang rezim bani umaiyah. Tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Penentangan khawarij karena mereka dianggap menyeleweng dari ajaran islam, sedangkan menentang syi’ah karena mereka telah merampas kekuasaan dari pihak Ali dan keturunanya.
Aliran murji’ah juga muncul sebagai reaksi dari sikapnya yang tidak mau terlibat  masalah kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaiman yang dilakukan oleh golongan khawarij. Oleh karena itu aliran ini menagguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim dihadapan Tuhan. Karena hanya Tuhanlah yang hanya mengetahui keadaan kadar iman seseorang, demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka. Pandangan-pandangan politis dan teologis aliran murji’ah dianggap netral, sesuai dengan sebutan Murji’ah sendiri memberikan indikasi ‘kenetralan’ sikap dan pahamnya.
Kata murji’ah diambil dari kata irja’ yang memiliki dua pengertian, arti pertama bermakna pengunduran, dan ke-2 adalah memberi harapan. Perkataan “ al-irja” pun mengandung arti penundaan pengadilan terhadap seseorang yang melakukan dosa sampai hari kiamat. Aliran ini lebih mengedepankan masalah Teologi daripada pengaplikasian ajaran syari’at. Versi lain mengatakan bahwa Murjiah berasal dari arja’a yang bermakna menangguhkan.
Penamaan tersebut diterima baik oleh penganut mazhab ini. Karena prinsip dasar mereka adalah menangguhkan persoalan-persoalan yang menyebabkan terjadinya perselisihan yang mengakibatkan pertumpahan darah di antara umat Islam. Pendapat lain mengatakan bahwa Murjiah berasal dari arja’a yang berarti memberi harapan kepada umat Islam yang telah berbuat dosa akan magfirah dan ampunan Allah swt. Dengan demikian, Murjiah adalah golongan yang moderat tidak ekstrim atas pengkafiran sesama umat Islam, bahkan dapat bersikap bijak tidak “merampas“ hak Tuhan dalam mengkafirkan umat Islam yang berbuat dosa.
Dengan demikian, di dunia ini tidak ada perhitungan untuk ahli surga  maupun ahli neraka. Berdasarkan pengertian diatas yang mengambarkan pula prinsip pahamnya, maka paham murji’ah bertolak belakang dengan khawarij, hal ini bisa kita lihat dalam persoalan  dosa besar, misalnya kalau khawarij, menghukum kafir  atau musyrik, maka murji’ah tetap menghukum  mukmin karena yang dipentingkan oleh murji’ah adalah bukan perbuatan, tetapi keimanan. Penghukuman atas suatu perbuatan, di tangguhkan pada hari kebangkitan nanti.
Ada beberapa teori yang mengemukakan asal-usul adanya aliran Murjiah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan Irja’a atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadinya pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Diperkirakan Murjiah ini muncul bersamaan dengan munculnya Khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin Murjiah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan Ali dan Muawiyah, dilakukan Tahkim atas usulan Amr bin Ash, pengikut Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar dari Ali, yaitu kelompok Khawarij, yang memandang bahwa keputusan takhim bertentangan dengan al-Quran. Oleh karena itu, pelakunya melakukan dosa besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditolak oleh sebagian sahabat yang kemudian disebut Murjiah.
Pandangan yang dikemukakan oleh murji’ah itu jelas-jelas berangkat dari latar belakang kemunculan yang ingin bersikap netral, mereka tidak ingin melibatkan diri secara praktis dalam pertentangan antara khawarij dan syi’ah. Pimpinan murji’ah ini dipelopori oleh Hasan bin bilal al-muzni, Abu Salat As Samman, Tsauban dliror bin umar .
Kaum Murjiah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murjiah terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”. Golongan Murjiah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan. Sedangkan Murjiah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibn Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
Ada beberapa kelompok Murjiah lainnya yang ekstrim yaitu:
1.     Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Salat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan.
2.  Yunusiah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan meksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dkerjakan tidaklah merugikan orang yan bersangkutan.
Kalau Khawarij lahir di tengah-tengah kancah pergolakan politik umat Islam, maka demikian pula dengan Murji’ah. Murji’ah lahir sebagai reaksi atas konflik kepentingan politik antara Khawarij dan Syi’ah. Khawarij melakukan pemberontakan kepada kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, karena menganggap bahwa mereka melanggar hukum Allah, sama persis dengan kelompok Syi’ah yang juga memerangi Muawiyah karena dianggap bahwa Muawiyah telah merampas kekuasaan dengan tidak sah.
Suhu politik diperparah dengan tidak terselesainya secara hukum atas kasus kematian Usman. Segolongan umat Islam menuntut ditegakkan supermasi hukum dengan jalan mengusut dan menghukum pembunuh. Sebahagian lagi menuntut penyelesaian masalah pemerintahan. Akibatnya dalam trubuh Ummat Islam sendiri terjadi fitnah antara mereka sebagai akibat dari pembunuhan Khalifah Usman.
Murjiah sendiri adalah golongan yang tidak ingin melibatkan diri dalam pergolakan politik dan tidak mau apriori menyalahkan atau mendukunnya. Salah satu dari dua kubu yang saling bertentangan. Ketidaktaatan ikut larut dalam kancah berpolitik dan bahkan peperangan antara sesama mereka adalah fitnah.
Sementara bagi mereka Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Wathaniyah adalah salah satu sendi guna menegakkan Islam sehingga kemunculan Murji’ah adalah sebagai aksi untuk mempersatukan kembali umat Islam.
Jadi dapat kita sampaikan bahwa aliran Khawarij adalah salah satu dari tiga aliran awal dalam pemikiran Islam yang muncul pada saat terjadinya pertentangan politik (imamah) antara pengikut Mu’awiyah dan pengikut Ali, yang kemudian berujung dengan digelarnya upaya perdamaian (Majlis Tahkim). Yang dipertentangkan itu adalah tentang siapakah yang berhak menggantikan khalifah setelah khalifah Utsman bin Affan meninggal. Dua aliran lainnya adalah aliran Murjiah dan Syi’ah. Aliran Syi’ah adalah gerakan politik dan pemikiran yang setia terhadap Ali bin Abi Thalib, yang memiliki pandangan teologis bahwa ”yang berhak menggantikan kursi kekhalifahan setelah Rasul wafat adalah Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya”. Sedangkan, aliran Murj’iah adalah gerakan pemikiran dan politik yang memiliki sikap dan pandangan yang moderat. Yang dimaksud kemoderatan di sini adalah bahwa mereka tidak memihak kepada kelompok Ali maupun Muawiyah, sehingga tidak memutuskan siapa yang ”benar” dan ”salah”, semuanya diserahkan kepada keputusan Allah. Adapun aliran Khawarij adalah gerakan pemikiran dan politik yang menentang adanya majlis tahkim termasuk semua hasil yang diputuskannya. Mereka menganggap, bahwa orang-orang yang mengikuti bahkan menyepakati hasil majlis tahkim itu telah menyimpamg dari ajaran Islam (dosa besar), dan bahkan dihukumkan kafir. Sebenarnya, para pengikut Khawarij adalah pengikut setia Ali bin Abi thalib. ”Mereka keluar” (Khawarij) dari barisan Ali, karena persoalan majlis tahkim itu. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kemunculan aliran Khawarij dengan segala gerakan, sikap, dan pandangannya menjadi tanda atau indikasi kemunculan radikalisme pemikiran dalam Islam yang diakibatkan oleh faktor politik, fanatisme, dan pemahaman yang literal terhadap ajaran Islam.
Jika dihubungkan dengan pemikiran Islam dewasa ini, maka ciri-ciri radikalisme, ternyata telah muncul dan berkembang disebagian umat Islam, dengan indikasi:
Pertama; dalam memahami ajaran Islam (Alquran dan As-Sunnah) berdasarkan kepentingan kelompok atau golongannya. Sehingga, simbol-simbol agama dijadikan sebagai ’alat politik’ untuk mendapatkan dukungan dan simpati masyarakat. Tidak menutup kemungkinan pula, akibat dari pemahaman yang liberal, mementingkan kelompoknya sendiri, dan sikap-sikap yang radikal itu, menyebabkan mereka menjadi kelompok Muslim yang marjinal (eksklusif), dan bahkan bisa memunculkan aliran-aliran sesat.

Kedua; faktor ”Barat”. Kemunculan radikalisme dalam pemikiran Islam pada masa modern dan kontemporer sekarang ini tidak lepas dari faktor ”Barat” pada umumnya. Faktor inilah yang ikut mendorong bagi upaya-upaya pembaharuan di kalangan kaum muslimin, yang pada gilirannya muncul dalam bentuk ”modernisme” dan ”reformisme”. Bagi kaum reformis dan modernis, bahwa untuk mengangkat kaum muslimin dari kemunduran dan keterbelakangan, dalam segi-segi tertentu, perlu dilakukan adopsi pemikiran dan kelembagaan Barat. Namun sebaliknya, bagi kaum radikal dan ekstrim, justru Barat menjadi faktor kemunduran umat Islam. Bagi mereka, Barat tidak hanya menjajah wilayah muslim (dar-al-Islam), tetapi juga telah merusak dan menghancurkan sistem nilai, budaya, sosial, ekonomi, dan intelektualitas Islam. Mana mungkin mengikuti kaum Barat yang secara keimanan dan moral telah mengalami kebobrokan.
 

Selasa, 16 April 2013

Polisi Di Mata Masyarakat



Kata polisi berasal dari Politeia, adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh Plato, seorang filsuf Yunani  Kuno. Buku itu berisi tentang teori dasar polis atau Negara kota. Pada zaman itu kelompok-kelompok manusia berbentuk himpunan yang merupakan satu kota. Dari kata politeia itu kemudian timbul kata politik yang di maksudkan sebagai tata cara mengatur sistim pemerintahan, kata polisi yang mengatur penegakan peraturan, kata policy atau kebijaksanaan dan sebagainya. Pengembangan dari semua itulah yang melahirkan Negara dengan segala atribut dan pengaturannya hingga saat ini.
Kemudian kata politeia berkembang menjadi maknanya menjadi fungsi polisi seperti yang ada sekarang. Sampai saat ini polisi di Italia di sebut politeia, yang di Perancis disebut La Police, di Inggris menyebutnya Police, Belanda Politie dan German Polizei. Indonesia mengikuti tradisi Belanda menyebutnya dengan kata Polisi atau Politie di eja dengan ejaan Indonesia. Di Malaysia mengikuti tradisi Inggris dengan ejaan melayu, Police.
Menurut  Kunarto, (1997) Sejarah kepolisian, tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia. Setiap peradaban manusia yang memulai dan merasakan perlunya keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam mempertahankan kehidupannya, pada saat itulah sebenarnya fungsi polisi itu ada, tumbuh dan berkembang.
Fungsi polisi itu tumbuh dan berkembang semakin jelas manakala ancaman terhadap suatu kelompok semakin nyata. Ancaman itu tidak hanya berupa bahaya yang datang dari luar kelompok itu, tetapi juga berupa ancaman yang ada didalam kelompok itu sendiri maupun ancaman dari luar kelompoknya. Kehidupan akan senantiasa melahirkan pergulatan hebat, dimana manusia yang kuat pada kelompoknya selalu bertindak sebagai pimpinan untuk melawan musuh dan melindungi kelompok lainnya. Tindakan manusia kuat itulah wujud dari fungsi polisi yang paling sederhana.
Olehnya itu, berbicara mengenai aparat keamanan dalam negeri dalam hal ini adalah pihak kepolisian, tentunya mendapatkan posisi yang penting dalam upaya peningkatan keamanan dalam negeri tersebut, dalam hal ini adalah NKRI pada umumnya. Olehnya itu, sudah barang tentu tugas dari penjaga stabilitas keamanan di suatu negara dimandatkan kepada polisi di samping tentara. Membuat aman dan rasa nyaman kepada masyarakat adalah salah satunya. Segala tindak kejahatan dan semua tindakan yang dapat merugikan khalayak ramai adalah “makanan” mereka sehari.
Jika kita bertanya kepada anak-anak kita, saudara kecil ataupun kerabat dan anggota keluarga mengenai cita-cita, profesi sebagai polisi masih menjadi favorit pilihan mereka di samping menjadi dokter yang sangat lumrah. Ini sebenarnya nilai tambah bagi sosok seorang polisi. Ia begitu diidamkan karena kemuliaan dan keikhlasannya membantu dan menjaga masyarakat dari tindak kejahatan dan kesulitan serta ketakutan akan kondisi keamanan. Sosok polisi yang bersahaja menjadi panutan bagi semua masyarakat seperti sosok polisi yang diidamkan.
Akan tetapi dalam perkembangannya, Polri (Polisi Republik Indonesia), yang memegang kuasa penuh atas hal tersebut bukan saja menjadi sosok bak pelindung namun juga kerap sebagai momok yang menakutkan bagi orang-orang yang tak bersalah atau melanggar hukum. Seiring berkembangnya dan beranekaragamnya akan dinamika kehidupan, baik di sisi sosial, ekonomi dan politik, Polri menjadi momok yang menakutkan. Bukan dikarenakan mereka memiliki senjata yang kapan saja siap disodorkan ke semua pihak jika melanggar hukum, tapi juga karena moral dan etika dasar polisi sudah luntur di institusi besar ini.
Tak perlu jauh-jauh kita melihat bagaimana etika dan moral seorang polisi itu menjadi momok menakutkan bagi masyarakat termasuk kita sendiri. Di jalan-jalan, tentunya kita sering menemukan polisi lalu lintas yang mangkal dan patroli di setiap sudut kota dan daerah. Tugas mereka di sana adalah menertibkan pengguna jalan dan memantau kondisi jalan, tapi bukan itu yang terjadi, mereka  (oknum) justru merisaukan masyarakat dengan dalih penegakkan hukum. Pemerasan, intimidasi dan tindak tak terpuji yang sudah sepatutnya di pegang polisi, telah terlalu sering dilakukan. Hal ini berlanjut sampai sekarang dan tak ada tindakan dari atasan mereka di institusi. Lain halnya lagi, ada juga (oknum) polisi yang menjadi centeng dari pembuat atau pelaku tindakan yang melanggar hukum. Club-club malam, tempat prostitusi, bahkan tempat berjudi justru mendapatkan perlindungan dari (oknum) polisi, padahal semestinya mereka memberantas hal tersebut. Dalam hal ini masyarakatlah yang menjadi pihak pertama yang dirugikan.
Dan pada umumnya, dalam ranah penegakkan hukum, sudah terbukti dan terlihat jelas, begitu banyak (oknum) dari Polri yang menjadi mafia-mafia dan pelanggar hukum negara. Korupsi dan nepotisme tumbuh subur di tubuh Polri. Melihat “kegilaan” (oknum) Polri seperti itu tentu masyarakat semakin antipati terhadap Polri. Tetapi, untungnya, institusi yang dahulu menjadi panutan kita semua, juga memiliki prestasi yang sedikit banyak dapat menutupi boroknya. Adanya Badan Narkotika Nasional (BNN) yang serius membunuh jarungan narkoba di dalam negari dan Detasemen Khusus (DENSUS) yang fokus memberantas aksi terorisme, juga berbicara banyak. Keberhasilan BNN dalam memberantas peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang direspon dan dinilai masyarakat dengan tingkat kepuasan yang lumayan yakni 59% dalam laporan yang dilakukan Litbang KOMPAS. Di samping itu, Densus yang belakangan ini mengalami peningkatan citra dan popularitas, dinilai dan direspon masyarakat dengan tingkat kepuasan yang sangat baik, yaitu sekitar 77%.
Dan tentunya, berbicara mengenai harapan dan tantangan tentang kepolisian ini, maka sebagai warga negara Indonesia, kita semua berharap Polri ke depannya dapat menjadi lebih baik dan setia dalam melayani masyarakat seperti moto mereka. Namun tidak menuntut Polri untuk berubah. Harapan masyarakat itu akan menjadi tantangan berat bagi Polri untuk menjadi lebih baik. Salah satunya dengan mereformasi dalam skala besar tubuhnya (Polri). Memberantas segala tindak pelanggaran hukum dan menjaga masyarakat agar tetap selalu ada dalam rasa aman dan nyaman harus menjadi tugas utama bagi mereka, hanya tinggal menunggu eksekusinya saja nanti seperti apa. Jika harapan masyarakat dan tantangan bagi Polri itu tidak dengan serius dilaksanakan, jangan harap, Polri dapat kembali bercitra baik. Bahkan di masa depan nanti, anak-anak dan sanak saudara kita akan enggan menyebut profesi sebagai polisi menjadi cita-cita mereka.
Di lain sisi, seorang  polisi  dalam melaksanakan tugasnya akan memiliki banyak pilihan  untuk menempatkan dirinya pada bentangan yang luas antara spektrum posisi dibenci atau dimuliakan, atau memilih posisi biasa-biasa saja. Namun apapun posisi yang dipilih, sesungguhnya polisi senantiasa dibutuhkan masyarakat. Di era transisional sesungguhnya tidak mudah menjadi seorang polisi. Menghadapi  masyarakat, mereka harus bersikap ramah dan bertindak bijak. Kepada penjahat, mereka harus selalu waspada. Tak jarang  polisi yang bertugas  sebagai penegak hukum, berada  di ambang bahaya. Nyawa atau setidaknya luka di tubuh menjadi taruhannya. Namun, kenyataannya sebagian besar masyarakat  menganggap fungsi polisi sebagai penegak hukum dan pelayan masyarakat, masih terkontaminasi dengan kesan polisi yang masih memiliki perilaku distortif dan destruktif baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pelayan masyarakat.
Dalam menyikapi sesuatu, kita akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara kita memandang persoalan itu sendiri, demikian juga  dalam memandang polisi, yang kini sedang mengalami proses metamorfosis melalui reformasi struktural, instrumental dan reformasi kulturalnya. Setiap orang bisa dan berhak memandangnya dari sudut pandang masing-masing, tetapi yang pasti kita tidak boleh mengembangkan apalagi memaksakan pandangan pesimis yang mengalahkan rasa optimis. Seperti pepatah Skotlandia bahwa “Lebih baik kita menyalakan sebuah lilin kecil daripada (hanya) menyumpahi kegelapan”, karena terus-menerus menyalahkan kegelapan tidak akan membawa kita keluar dari kegelapan itu sendiri. Kupu kupu yang indah dan memberi keindahan, merupakan hasil proses metamorfosis dari sebuah kepongpong.
Dalam perjalanannya, kepolisian menjadi amat dibutuhkan, terutama saat instabilitas, kriminalitas, dan kekerasan komunal kian merebak. Masalahnya yang tidak pernah kunjung berhenti adalah, mengapa polisi yang dirindu juga sekaligus dibenci ?
Pandangan masyarakat terhadap kinerja Polri terdapat berbagai penilaian Positif dan negatif dari masyarakat. Baik buruknya citra Polri juga tergantung dari sikap masyarakat, bersikap apatis, reaktif, kritis atau telah puas atas kinerja Polri selama ini. Polisi yang berkarakter terpuji yang dapat menempatkan diri sebagai seorang moralis, bapak, teman, pengabdi, dan tokoh yang dikagumi dan dihormati. Artinya kemulyaan martabat dan kehormatan anggota Polri dapat di lihat dari besarnya penghargaan dan pengakuan masyarakat terhadap profesinya. Penghargaan yang sesungguhnya tercermin dalam realitas perilaku pengabdian dan pelaksanaan tugasnya yang membawa manfaat bagi masyarakat, bahkan ditempatkan secara terhormat di tengah kehidupan masyarakat.
Persepsi buruk masyarakat terhadap citra kepolisian adalah akibat dari ketidak-mampuan polisi menjadi pengayom masyarakat. Masih banyak orang yang mencibir bahwa hanya ada dua polisi yang baik, yaitu “polisi patung” dan “polisi tidur”. Bahkan mereka sering berucap bahwa “polisi tidur saja bisa bikin susah, apalagi sedang berjaga”. Masih banyak lagi ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja polisi, begini katanya: “melaporkan kehilangan kambing ke polisi akan kehilangan sapi”. Jika dikaitkan dengan kemampuan dan daya dukung kepolisian terhadap upaya pemulyaan martabat dan kehormatan Polri, terutama dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, citra kepolisian malah semakin terpuruk.
Di tengah derasnya arus pesimisme masyarakat terhadap Polri, maka hal ini penting untuk dicatat, oleh karena kalangan internal Polri sendiri dianggap kurang tanggap membenahi diri. Citra buram selama ini belum banyak berubah, sehingga beragam kritik pedas masih menerpa korps kepolisian hingga kini. Hubungan polisi dengan masyarakatnya pun, belum kunjung mesra. ”Kerinduan” masyarakat terhadap polisi, seolah berganti menjadi ”kebencian”.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa praktik-praktik perpolisian di Indonesia hingga saat, masih cenderung mengisolasikan aparat kepolisian dari masyarakat yang dilayaninya yang tentunya berdampak pada kinerja kepolisian untuk melakukan pengendalian kejahatan yang lebih efisien. Oleh karena itu, penerapan community policing sangat dibutuhkan untuk memberikan ruang bagi para aparat penegak hukum tersebut untuk memperbaiki kembali hubungannya dengan warga masyarakat yang merupakan mitra utamanya. Kemitraan adalah salah satu wujud nyata komunikasi sehingga kedua belah pihak, terlebih pihak kepolisian sebagai pihak yang paling berperan dalam mewujudkan kemitraan yang memberi nilai tambah perlu menerapkan strategi komunikasi yang tepat.
Hal ini sejalan dengan hasil Pusat Penelitian Hak Asasi Manusia UII Yogyakarta (2001) yang meneliti kemitraan polisi dan masyarakat pasca reformasi, yang menampung semua pendapat masyarakat mengenai polisi dan apa komentar polisi tentang masyarakat. Hasilnya sangat memprihatinkan, dua belah pihak saling menebar rasa kekecewaan dan malas untuk memercayai satu sama lain. Masyarakat lebih memilih bertindak pragmatis dalam berhubungan dengan polisi dan polisi juga menilai masyarakat terlalu banyak menuntut kepadanya.
Di tengah-tengah hubungan polisi masyarakat yang fluktuatif, terkadang membara, ada baiknya kita mengenang almarhum Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, yang memaknai jati dirinya sebagai polisi dan perannya di tengah masyarakat. Hoegeng memaknai seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal polisi. Tentu saja yang terakhir memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar. “Hakikat seorang polisi demikianlah, yang membuat saya mencintai tugas kepolisian dan bangga sebagai polisi, tanpa membedakan kedudukan dan pangkat!. Hoegeng membuktikannya dengan tidak pernah merasa malu turun tangan mengambil alih tugas teknis seorang agen polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat. Misalnya jika di suatu perempatan jalan terjadi kemacetan lalu lintas, kadang kala dengan baju dinas Kapolri, beliau menjalankan tugas seorang polisi lalu lintas di jalan raya. “Saya melakukan dengan ikhlas. Sekaligus memberikan contoh teladan tentang motivasi dan kecintaan polisi akan tugasnya, sekaligus memberikan teguran dan peringatan secara halus kepada bawahan yang lalai atau malas!” Dalam persepsinya tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab polisi, maka keinginannya yang pertama adalah memulai menegakkan citra ideal seorang polisi dari diri sendiri. Berbarengan dengan itu menaikkan pula citra seorang komandan polisi yang baik.
Seiring bertambahnya usia, dan terjadinya proses dialektika antara polisi dan masyarakat. Masyarakat berharap Polri, senantiasa mengubah jati dirinya menjadi polisi yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.  Polri bermetamorfosis menjadi sosok polisi yang dipercaya, dicintai  dan professional dalam melaksanakan tugasnya. Dan masyarakat harus meresponya dengan sikap positif, namun tetap kritis, suportif dan proposional dalam menyikapi  reformasi yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian kita. Wajah polisi adalah wajah kita semua, karena polisi lahir dari masyarakat dan berkarya di tengah masyarakat.
Olehnya itu, perlu kiranya aparat kepolisian membangun citra yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Polisi yang dipercaya adalah tangga awal untuk merebut hati masyarakat. Hubungan antara polisi dan masyarakat sering diibaratkan sebagai ikan dan air. Ikan jelas tidak bisa hidup tanpa air, demikian pula polisi tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik tanpa dukungan masyarakat. Dengan demikian, memperoleh dukungan yang ikhlas dari masyarakat menjadi sangat penting untuk kelancaran tugas, sesuai dengan yang diamanatkan doktrin polisi mutakhir shaking hands with the entire community (Satjipto Rahardjo, 1999) bergandengan tangan dengan seluruh komponen strategis masyarakat.
Hati masyarakat hanya bisa direngkuh jika Polisi memahami karakter masyarakat, menaruh simpati dan empati yang tinggi terhadap penderitaan masyarakat, serta betul-betul menempatkan diri sebagai pengayom dan pelayan masyarakat. Polisi ada untuk menjaga keamanan masyarakat secara umum. Dengan demikian, rekomendasi alternatif bagi para pemimpin kepolisian dan jajarannya adalah:
1.      Mampu menjadikan masyarakat sebagai mitra kerja,
2.      Mensosialisasikan hukum, agar masyarakat menjadikan hukum sebagai solusi penyelesaian masalah, dan bukan sekedar instrumen yang harus dipatuhi dalam bertindak.
3.      Memiliki sifat realistis dan kritis mampu menjalin kerjasama dengan masyarakat,
4.      Mengetahui dengan benar kondisi dan aspirasi masyarakat.
Jika rekomendasi tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan kewenangan dan peraturan yang berlaku, maka diharapkan Polri dapat mengeliminir segala tantangan, dan mampu mengayomi, melindungai, memelihara kamtibmas dan penegakan hukum secara efektif.

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts