بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Jumat, 22 November 2013

Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia Menaikkan Harga Bakar Bakar Minyak (BBM) Yang Bertentangan Dengan Amanah UUD Tahun 1945



Prolog
Kebijakan merupakan alat pemerintah dalam penyelenggaraan kekuasaannya guna menentukan, menciptakan, serta mewujudkan apa yang menjadi tujuan kebijakan itu sendiri yang tentunya berorientasi untuk kesejahteraan rakyatnya. Akan tetapi dalam perjalanannya, tidak semua kebijakan itu merupakan instrumen untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, tetapi justru menjadi sebaliknya yakni menghisap darah rakyatnya sendiri ibarat lintah darat atau virus yang mematikan manusia secara perlahan-lahan.   
Tentunya kita masih ingat dan bahkan akan selalu melekat diingatan kita mengenai salah satu kebijakan pemerintah mengenai kenaikan harga BBM. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa semua minyak mentah Indonesia dijadikan satu jenis BBM saja, yaitu bensin Premium. Inilah pernyataan yang seolah-olah dipaksakan kepada rakyat Indonesia. Kepada masyarakat diberikan gambaran bahwa setiap kali harga minyak mentah di pasar internasional meningkat, dengan sendirinya pemerintah harus mengeluarkan uang ekstra, dengan istilah “untuk membayar subsidi BBM yang membengkak”.
Harga minyak mentah di pasar internasional selalu meningkat. Penyebabnya karena minyak mentah adalah fosil yang tidak terbarui (not renewable). Setiap kali minyak mentah diangkat ke permukaan bumi, persediaan minyak di dalam perut bumi berkurang. Pemakaian (konsumsi) minyak bumi sebagai bahan baku BBM meningkat terus, sehingga permintaan yang meningkat terus berlangsung bersamaan dengan berkurangnya cadangan minyak di dalam perut bumi. Hal ini membuat bahwa permintaan senantiasa meningkat sedangkan berbarengan dengan itu, penawarannya senantiasa menyusut.
Sejak lama para pemimpin dan cendekiawan Indonesia berhasil di “brainwash” dengan sebuah doktrin yang mengatakan : “Semua minyak mentah yang dibutuhkan oleh penduduk Indonesia harus dinilai dengan harga internasional, walaupun kita mempunyai minyak mentah sendiri.” Dengan kata lain, bangsa Indonesia yang mempunyai minyak harus membayar minyak ini dengan harga internasional.
Harga BBM yang dikenakan pada rakyat Indonesia tidak selalu sama dengan ekuivalen harga minyak mentahnya. Bilamana harga BBM lebih rendah dibandingkan dengan ekuivalen harga minyak mentahnya di pasar internasional, dikatakan bahwa pemerintah merugi, memberi subsidi untuk perbedaan harga ini. Lantas dikatakan bahwa “subsidi” sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, sedangkan pemerintah tidak memilikinya. Maka APBN akan jebol, dan untuk menghindarinya, harga BBM harus dinaikkan. Pikiran tersebut tentunya merupakan pikiran yang keliru.
Dalam hal minyak dan bensin, dengan kenaikan harga di pasar internasional bukankah kita harus berkata “Untunglah kita punya minyak sendiri, sehingga harus mengimpor sedikit saja.” Ironisnya, kita punya minyak di bawah perut bumi kita. Kenapa kok menjadi sedih kalau harganya meningkat ? Orang punya barang yang harganya naik kan seharusnya lebih senang ? Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
Dialog
Pikiran hasil brain washing yang telah disebutkan sebelumnya, berakar dalam UU nomor 22 tahun 2001. Pasal 28 ayat 2 berbunyi : “Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Ini berarti bahwa rakyat harus membayar minyak yang miliknya sendiri dengan harga yang ditentukan oleh NYMEX di New York sebagai penentu harga minyak dunia. Kalau harganya lebih rendah dikatakan merugi, harus mengeluarkan tunai yang tidak dimiliki dan membuat APBN jebol.
Sementara, menurut UUD kita bahwa harga BBM tidak boleh ditentukan oleh siapapun juga kecuali oleh hikmah kebijaksanaan yang sesuai dengan kepatutan, daya beli masyarakat dan nilai strategisnya bagi sektor-sektor kehidupan ekonomi lainnya. Hal ini karena BBM termasuk dalam “Barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak” sebagaimana yang termaktub dalam pasal 33 ayat 3 pembukaan UUD 1945.
Maka, itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 28 ayat (2) dari UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas bertentangan dengan UUD RI. Putusannya bernomor 002/PUU-I/2003 yang berbunyi : “Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang dasar Republik Indonesia.”
Akan tetapi, karena Brain washing begitu berhasilnya, sehingga Putusan MK ini disikapi dengan Peraturan Pemerintah nomor 36 Tahun 2004. Pasal 72 ayat (1) berbunyi : “Harga bahan bakar minyak dan gas bumi, kecuali gas bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, diserahkan pada persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan.”
Sungguh merupakan sebuah pengkhianatan terhadap UUD 1945. Sungguh keterlaluan ketika  UUD, MK dilecehkan dengan PP. Jelas Pemerintah telah berpikir, berucap dan bertindak yang bertentangan dengan UUD kita dalam kebijakannya tentang BBM. Toh tidak ada konsekuensinya apa-apa. Toh Pemerintah akan memberlakukannya dengan merujuk pada Undang-Undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi.
Harian Kompas tanggal 17 Mei 2008 memuat pernyataan Menko Boediono (yang sekarang menjabat Wakil Presiden) yang berbunyi : “Pemerintah akan menyamakan harga bahan bakar minyak atau BBM untuk umum di dalam negeri dengan harga minyak di pasar internasional secara bertahap mulai tahun 2008……..dan Pemerintah ingin mengarahkan kebijakan harga BBM pada mekanisme penyesuaian otomatis dengan harga dunia.”
Harian Indopos tanggal 3 Juli 2008 mengutip Presiden SBY yang mengatakan : ”Jika harga minyak USD 150 per barrel, subsidi BBM dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp. 320 trilyun.” “Kalau (harga minyak) USD 160, gila lagi. Kita akan keluarkan (subsidi) Rp. 254 trilyun hanya untuk BBM.” Jelas bahwa Presiden SBY sudah teryakinkan bahwa yang dikatakan dengan subsidi memang sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan. Hal yang sama sekali tidak benar, seperti yang diuraikan di atas tadi.
Epilog
Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa terkadang sebuah kebijakan itu digunakan oleh oknum tertentu, entah pemerintah atau pihak lain yang berdiri dan bersembunyi di belakang tameng pemerintah, menggunakan atau memanfaatkan kebijakan tersebut seabagai alat untuk memperkaya diri dengan mengorbankan rakyat banyak. Terbukti bahwa sesungguhnya kenaikan harga BBM yang terjadi adalah hanya karena persoalan pemerintah tidak ingin rugi dengan alasan jebolnya APBN sebagai akibat untuk untuk menutupi subsidi.  

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts