بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Minggu, 23 Maret 2014

Kebebasan Pers era Orde Baru dan era Reformasi



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Secara sederhana, demokrasi bisa didefinisikan sebagai kekuasaan di tangan rakyat, atau kekuasaan oleh rakyat. Selain itu, demokrasi mempunyai dua aspek, yaitu aspek prosedural dan aspek substantif. Demokrasi dalam aspek prosedural mencoba menjawab masalah tentang bagaimana rakyat bisa ikut memerintah dan mengawasi pemerintah, seperti memilih pemimpin nasional dan wakil-wakil rakyat dalam pemilihan umum, proses pengambilan keputusan dalam kebijakan publik, mekanisme pengawasan efektif terhadap pemerintah, parlemen, yudikatif dan sebagainya. Demokrasi dalam aspek substantif menyentuh masalah apa saja yang bisa diatur oleh pemerintah. Bolehkah pemerintah melakukan intervensi dalam urusan agama, sejauh mana kebebasan berserikat dan kebebasan menyatakan pendapat bisa dijalankan penduduk, sejauh mana pemerintah ikut campur dalam urusan pernikahan antar warganya dan lain sebagainya. Para penganut teori substantif demokrasi, umumnya, bersepakat bahwa pemerintah harus menjamin hak-hak dasar warganegara, perlu mendapat jaminan dari pemerintah. Dalam konteks demokrasi di negara-negara Barat, yang sangat ditekankan adalah perlindungan terhadap civil liberties dan civil rights. Termasuk dalam kategori civil liberties, misalnya, kebebasan beragama dan kebebasan menyatakan pendapat secara terbuka, termasuk juga kebebasan pers.
Dalam hal ini kebebasan pers mendapatkan perhatian untuk dijamin kebebasannya termasuk di Indonesia dari masa ke masa. Sejak merdeka tahun 1945, Indonesia sudah beberapa kali mengalami pergantian sistem pemerintahan. Tahun 1945 sampai 1965 dikenal dengan nama sistem pemerintahan Orde Lama, yang mana merupakan era presiden Soekarno. Setelah presiden Soekarno tumbang, tampung kekuasaan diserahkan kepada jenderal Soeharto yang akhirnya melahirkan sistem pemerintahan Orde Baru. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 sampai tahun 1998. Dikarenakan sudah terlalu lama menjabat dan merajalelanya KKN, presiden Soeharto digulingkan oleh rakyat Indonesia yang akhirnya melahirkan zaman baru bagi Indonesia, reformasi. Reformasi berlangsung dari tahun 1998 sampai sekarang. Disinilah cikal bakal munculnya kebebasan dalam hal berpendapat termasuk semakin diusungnya kebebasan akan pers.
Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik dinegara ini. Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari sistem politik yang ada. Di negara dimana sistem persnya mengikuti sistem politik yang ada maka pers cenderung bersikap dan bertindak sebagai “balancer” (penyeimbang) antara kekuatan yang ada.
Sebagaimana yang diketahui bahwa pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga demokrasi dapat terlaksana. Sebagai lembaga sosial, pers adalah sebuah wadah bagi proses input dalam sistem politik. Diantara tugasnya pers berkewajiban membentuk kesamaan kepentingan antara masyarakat dan negara sehingga wajar sekali apabila pers berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan pers untuk secara baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap sasaran yang manapun sejauh hal itu benar-benar berkaitan dengan proses input.[1]
Seiring dengan perkembangan peradaban, situasi kebebasan pers di Indonesia saat ini, bedanya seperti langit dan bumi jika dibandingkan dengan situasi pada era Orde Baru.[2]. Dulu, ketika Tommy Soeharto mengalami kecelakaan di sirkuit Sentul (waktu latihan), pers tidak boleh mempublikasikannya karena berita seperti itu dikhawatirkan dapat menjelekkan martabat keluarga Kepala Negara. Pembajakan pesawat Garuda Wyola (1981) saja dilarang disiarkan oleh pers. Belakangan pers diziinkan menyiarkan, tapi harus bersumber dari pemerintah. Sebuah pos polisi di Cicendo, Jawa Barat, suatu hari diserang dan diobrak-abrik oleh sekelompok “orang bersenjata”. Sementara pers mencium berita ini, tapi segera diancam oleh aparat keamanan untuk tidak mempublikasikannya. Berita semacam ini, pada masa Orde Baru, amatlah sensitif, karena menyangkut persoalan “stabilitas nasional”. Jangankan bisnis anak-anak Pak Harto, bisnis petinggi pemerintah pun ketika itu untouchable oleh pers. Selain itu, pers yang bandel dan tidak mengindahkan “imbauan” pemerintah untuk tidak menyiarkan satu berita terancam breidel.[3]
Berbeda dengan era reformasi, kebebasan pers semakin diakui dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers  Pasal 2 yang menandaskan bahwa ”Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. Dengan klausul ini, jelas sekali bahwa pers memposisikan dirinya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, atau “kepanjangan tangan rakyat”. Karena negara ini milik rakyat, maka pers perlu diberikan kebebasan seluasnya untuk melaksanakan amanat rakyat tadi.
Pada era reformasi ini, tidak ada obyek, apakah itu perorangan, instansi pemerintah, pejabat Negara atau Presiden sekali pun, yang tidak bisa disentuh dan dikecam oleh pers. Bahkan kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid pun diyakini, sebagian adalah berkat kerja pers. Betapa banyak kasus KKN yang dibongkar oleh pers, baik yang dilakukan pejabat eksekutif, apalagi anggota legislatif. Betapa banyak perilaku buruk wakil rakyat yang ditelanjangi pers. Ketika konflik etnis di Sampit pecah, pers mengeksposnya habis-habisan. Sebuah penerbitan pers daerah pernah mempublikasikan foto kepala seorang korban yang sudah lepas dari badannya tatkala banyak santri NU yang dibunuh oleh “ninja-ninja” misterius. Kasus dugaan korupsi Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh, sudah marak diungkap pers jauh sebelum aparat hukum melakukan penyidikan. Pada era reformasi tiga “tembok pers” berhasil dirobohkan, kini tidak ada lagi lembaga izin terbit, sensor dan breidel. Bahkan instansi pemerintah yang mengurus ketiga “tembok pers” ini, yaitu Departemen Penerangan R.I sudah lenyap dibubarkan oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid. Kini siapa pun, termasuk Presiden R.I tidak bisa menutup sebuah penerbitan pers. Pelaksanaan kebebasan pers Indonesia dewasa ini mirip dengan kebebasan pers era tahun 1950-1959 yang dikenal dengan sebutan era demokrasi liberal yang bercorak libertarian.[4]
Dari fenomena-fenomena tentang perjalanan kebebasan pers dari masa ke masa di Indonesia yang telah dijelaskan di atas, memberikan kesan kepada khalayak publik tentang perbedaan pemberian kebebasan pers di era Orde Baru dan era reformasi, yang pada gilirannya kita mempunyai pandangan tentang efektifitas maupun batasan-batasan kebebasan pers itu sendiri sehingga menimbulkan opini publik tentang baik buruknya pers dalam mengawal perjalanan demokrasi di Indoensia. Olehnya itu berangkat dari ilustrasi latar belakang di atas, kami tertarik untuk menulis makalah yang berjudul Kebebasan Pers era Orde Baru dan era Reformasi.
B.  Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana kebebasan Pers di era Orde Baru ?
2.      Bagaimana kebebasan Pers di era Reformasi ?



  
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Kebebasan Pers di era Orde Baru
Tidak bisa dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha[5] mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap kebijakan.
Diawal kekuasaannya, rezim pemerintahan Orde Baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian dijadikan formula Orde Baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidakpastian dan pembangunan nasional akan semakin tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan nasional tersebut. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.[6]
Oleh karena pemerintah menitikberatkan pembaruan pada pembangunan nasional, maka sektor demokrasi akhirnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan oleh karena sepeninggalan Orde Lama tidak satupun kekuatan non negara yang bisa dijadikan acuan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa mengidap kerentanan fungsi termasuk yang melanda pers nasional. Deskripsi-deskripsi yang sering kali ditulis oleh para pemerhati pers menyatakan bahwa kehidupan pers di awal-awal Orde Baru adalah sarat dengan muatan berbagai kepentingan, ketiadaan pers yang bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala penjuru untuk dikuasai negara, wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel sewaktu-waktu.
Sehingga dapat digambarkan bahwa pada masa Orde Baru atau juga dikatakan pada era pembangunan, mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan rezim Orde Baru di tanah air pada masa itu.
Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang sempat dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah.
Bagaimana tidak bahwa pada dasarnya bagi suatu pemerintahan diktator, kebenaran merupakan bahaya baginya, sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita yang berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki daya yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokratis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi ketidakadilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi.
Banyak pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang yang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Disamping itu, bentuk lain dari kekuasaan negara atas pers di tanah air pada era Orde Baru adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial. Sementara pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar[7] bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya terhadap lembaga pers.
Akan tetapi, sesungguhnya pada masa Orde Baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat Undang-Undang, dewan pers meiliki 7 fungsi yaitu :
a.       Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat
b.      Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
c.       Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik
d.      Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
e.       Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
f.       Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan
g.      Mendata persuahaan pers
Namun sangat disayangkan bahwa dewan pers masa Orde Baru tidak melaksanakan fungsinya dengan efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis. Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas formalitas.[8]
B.  Kebebasan Pers di era Reformasi
Pada runtuhnya rezim orde baru menghasilkan berbagi kelokan sejarah (ephipahy) politik yang cukup dramatis. Hampir seluruh tatanan poltik mengalami perubahan yang cukup mendasar. Undang-Undang politik, kehidupan berdemokrasi, dan produk-produk hukum mengalami perubahan yang sulit diramalkan keajegannya.[9]
Produk hukum pada era reformasi tentang pers ini dapat dikatakan sebagai sapu jagatnya kemerdekaan pers Indonesia, setelah sekian lama didera pembelengguan oleh rezim Orde Baru. Dikatakan sebagai sapu jagat karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menghapus semua ketentuan represif yang pernah berlaku pada era Orde Baru, seperti:
a.       Pasal 9 ayat (2) Uundang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 meniadakan keharusan mengajukan SIUPP untuk menerbitkan pers.
b.      Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 menghilangkan ketentuan sensor dan pembredelan pers.
c.       Pasal 4 ayat (2) juncto Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, melindungi praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda Rp. 500 juta bagi yang menghambat kemerdekaan pers.[10]
Selain menghapus berbagai kendala kemerdekaan pers tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 juga memuat isi pokok sebagai berikut. Pertama, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, kemerdekaan pers adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum dan kedua, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara yang hakiki dan dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, serta memajukan dan mencerdaskan bangsa.
Pada masa reformasi, pemerintah juga memberi kemudahan untuk memperoleh SIUPP. Akibat kemudahan memperoleh SIUPP tersebut, jumlah pemohon SIUPP membengkak lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan dengan masa Orde Baru.[11] Kebijakan lain Pemerintah Kabinet Reformasi dalam membuka peluang kebebasan pers adalah dengan mencabut SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri era wadah tunggal organisasi kewartawanan, sehingga tidak sampai dalam satu tahun telah tumbuh 34 organisasi wartawan cetak dan elektronik. Walaupun kehadirannya dapat dipandang sebagai cerminan euphoria kebebasan, akan tetapi di pihak lain dapat menjadi ajang kompetisi wartawan Indonesia meningkatkan profesionalitas mereka.[12]  
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, departemen penerangan yang dianggap mengekang pers dibubarkan. Pemerintah tidak mempunyai ruang untuk mengekang pers. Pers yang tadinya diawasi dengan ketat oleh pemerintah pada masa reformasi ditiadakan. Yang ada hanya Dewan Pers yang bertugas untuk mengawasi dan menetapkan pelaksanaan kode etik, juga sebagai mediator antara masyarakat, pers dan pemerintah apabila ada yang dirugikan.
Pelaksanaan kebebasan pers pada era reformasi dalam kenyataannya masih banyak menghadapi kendala. Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan surat kabar atau media, serta didirikannya partai-partai politik. Fenomena euphoria kebebasan politik berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan pers. Dalam realitasnya keberhasilan gerakan Reformasi membawa pengaruh pada kekuasaan pemerintah jauh berkurang, untuk tidak mengatakan tiada sama sekali terhadap pers. Pergulatan pers dengan sebuah rezim seolah telah usai. Pada masa reformasi pers sepenuhnya bergulat dengan pasar yang semakin membuat jaya kelompok-kelompok media yang sudah mapan secara ekonomis di masa Orde Baru. Untuk sementara pers Indonesia boleh bernafas lega dari tekanan politis sambil mencari keuntungan uang sebanyak mungkin. Fenomena ini kemudian melahirkan gejala kelompok-kelompok usaha media, seperti Gramedia Grup, Sinar Kasih Grup, Pos Kota Grup, Presindo Grup, dan Grafiti / Jawa Pos Grup.



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa kebebasan pers pada masa orde baru sangat berbeda dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pada masa orde baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai boneka pemerintah untuk melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi, kebebasan pers sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers dapat melakukan fungsi top – down dan bottom – up, walaupun terkadang masih dimanfaatkan sebagai alat penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers masa reformasi juga bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang timbul akibat dari kebebasan pers itu sendiri.
B.  Saran
Adapun yang menjadi saran-saran dalam penulisan makalah ini adalah :
1.    Bagi pihak pemerintah tentunya harus mengetahui posisi strategis keberadaan pers saat ini, sehingga dengan demikian dapat menjadi indikator pembuatan kebijakan selanjutnya mengenai pers.
2.    Bagi pihak pers harus mampu memposisikan diri sebagai salah satu pengawal jalannya demokrasi di Indonesia karena perannya yang strategis.  


[1] Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 1, Juni 2005 : 1-14
[2] Lesmana, Tjipta. Kebebasan dan Tanggungjawab Pers Harus Berimbang”. Sinar Harapan, 8-10-2003, hal 10
[3] Ibid
[4] Ibid, hal. 8-10
[5] Imawan, Riswandha. 1998. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[6] http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/makalah-sistem-pers-era-orde-baru/

[7] Abar, Ahmad Zaini. 1994. “Kekecewaan Masyarakat dan Kebebasan Pers”. Prisma. Jakarta: LP3ES.

[8] http://andhikafrancisco.wordpress.com/2013/06/21/makalah-perbandingan-kebebasan-pers-pada-masa-orde-baru-dan-masa-reformasi-di-indonesia/
[9] B. Bambang Wismabrata, “Rekonstruksi Makna Kebenaran Pers”, jurnal penelitian IPTEK-KOM, Edisi 12, hlm. 31.
[10] Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers, hlm. 95.
[11] Majalah Tempo, edisi 25 Mei 2003, hlm 94.
[12] Alex Sobur, Etika Pers, hlm. 388

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts