بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Minggu, 01 September 2013

Sistem Ekonomi Syari'ah Dalam Perspektif Maqasid Al Syari'ah



SISTEM EKONOMI SYARI’AH DALAM PERSPEKTIF
MAQASID AL SYARI’AH

Secara terminologis Maqashid Al-Syari’ah mempunyai arti,
المعانى التى شرعت لها الاحكام
“suatu kandungan nilai yang menjadi tujuan pemberlakuan suatu hukum” .
Dengan demikian, Maqashidul Al-Syari’ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari penetapan suatu hukum yang diturunkan Allah SWT kepada makhluk mukallaf. Dalam konteks tujuan yang dimaksud di atas adalah kemaslahatan umat manusia. Hal ini merujuk kepada ungkapan Imam Syathibi:
الاحكام مشروعة لمصالح العباد
“hukum-hukum disyari’atkan demi kemaslahatan para hamba” .
Setiap penetapan hukum Allah SWT pasti mengandung suatu misi bagi kemaslahatan manusia. Penetapan ini dibagi menjadi dua katagori; Pertama, Perintah Allah SWT yang bersifat jelas (qath’i). Kedua, perintah Allah SWT di dalam Al-Qur’an yang masih samar (zhanni)dan bersifat umum (mujmal), maka ranah ini merupakan wilayah Ulama guna menafsirkannya dengan kompetensi dan kualifikasi yang memadai.
Penyelenggaraan kegiatan usaha berbasis syariah di Indonesia dilandasi oleh fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI mengenai kebolehan melakukan aktivitas usaha berbasis syariah, misalnya perbankan syariah, asuransi, reksadana syariah, obligasi, dan pembiayaan syariah. DSN-MUI adalah lembaga yang dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berwenang untuk menetapkan fatwa produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank berdasar prinsip syariah. Hingga saat ini, DSN-MUI telah mengeluarkan 53 fatwa mengenai kegiatan ekonomi syariah. Fatwa tersebut antara lain:
a.       Fatwa Dewan Syariah Nasional No.01/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Giro,
b.      Fatwa Dewan Syariah Nasional No.02/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Tabungan,
c.       Fatwa Dewan Syariah Nasional No.03/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Deposito,
d.      Fatwa Dewan Syariah Nasional No.04/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Murabahah,
e.       Fatwa Dewan Syariah Nasional No.05/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Saham,
f.       Fatwa Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Istishna’, dan
g.      Fatwa Dewan Syariah Nasional No.07/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Pembiayaan Mudharabah (qiradh).
Menilik secara historis, kegiatan ekonomi syariah diakui secara yuridis sejak lahirnya UU No.7 Tahun 1992 yang kemudian diubah menjadi UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang tersebut merupakan perundangan yang memberikan jalan bagi lembaga perbankan-bank umum dan bank perkreditan rakyat-untuk memberikan layanan pembiayaan berdasar prinsip syariah, yaitu prinsip bagi hasil. Dalam pasal 6 huruf m ditegaskan bahwa bank umum konvensional dapat menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank-bank umum konvensional diizinkan untuk melakukan pembiayaan berdasar prinsip syariah, yaitu bagi hasil. Ketentuan tersebut dilandasi oleh kecenderungan di masyarakat yang menunjukkan peningkatan kebutuhan masyarakat akan pembiayaan perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah. Pasal 13 huruf c UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Perkreditan Rakyat merupakan salah satu bentuk usaha bank yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kredit dan pembiayaan tertentu kepada masyarakat. Pasal tersebut memberikan kesempatan bagi BPR untuk melakukan pembiayaan berdasar prinsip syariah sebagai upaya menjawab keinginan masyarakat, khususnya nasabah untuk mengimplementasikan sistem pembiayaan berbasis syariah.
UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara eksplisit melegitimasi kegiatan usaha berbasis syariah. Bahkan, dalam penjelasan pasal I angka 37 huruf i menegaskan bahwa kegiatan usaha yang termasuk dalam ekonomi syariah meliputi:
a. Perbankan syariah,
b. Lembaga keuangan mikro syariah,
c. Asuransi syariah,
d. Reasuransi syariah,
e. Reksadana syariah,
f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
g. Sekuritas syariah,
h. Pembiayaan syariah,
i. Pegadaian syariah,
j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan
k. Bisnis syariah.
Meski undang-undang ini tidak secara khusus mengatur tentang ekonomi syariah, namun klausul pasal 49 dapat dijadikan sebagai dasar penyelenggaraan usaha berbasis syariah. Pada tanggal 16 Juli 2008, RUU Perbankan Syariah disahkan menjadi UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Lahirnya undang-undang tersebut merupakan jawaban dari desakan berbagai pihak yang selama ini menginginkan satu regulasi utuh mengenai perbankan syariah. Selama ini, regulasi perbankan syariah masih diatur dalam UU Perbankan yang tidak secara akumulatif merepresentasikan sistem perbankan syariah nasional. Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah menjadi UU Perbankan Syariah, berarti kini perbankan syariah memiliki payung hukum yang selama ini didambakan.
Hubungannaya dengan sistem ekonomi syari’ah yang berlaku di Indonesia, tentunya sudah terdapat indikator-indikator yang mencakup tentang nilai-nilai Maqashidul Al-Syari’ah dalam praktek kegiatan yang dijalankan. Olehnya itu, sebelum kita mengetahui seluk beluk mengenai ekonomi syari’ah lebih jauh, maka terlebih dahulu diketahui mengenai pengertian ekonomi syari’ah.
Hukum ekonomi syari’ah adalah hukum yang digunakan untuk menegakkan ekonomi syari’ah makro dan ekonomi syari’ah mikro. Mengkaji ekonomi syariah makro adalah mengkaji ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau perusahaan (institusi). Sedangkan membicarakan ekonomi syari’ah mikro, adalah membahas hanya dari sisi hubungan kontrak antara debitur dan kreditur.[1]
Sistem Ekonomi Islam yang dilandasi dan bersumber pada ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah berisi tentang nilai persaudaraan, cinta, penghargaan kepada waktu, dan kebersamaan. Adapun sistem ekonomi Islam meliputi antara lain :
1.      Mengakui hak milik individu sepanjang tidak merugikan masyarakat.
2.      Individu mempunyai perbedaan yang dapat dikembangkan berdasarkan potensi masing-masing.
3.      Adanya jaminan sosial dari negara untuk masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuihan pokok manusia .
4.      Mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan lebih.
5.      Melarang praktek penimbunan barang sehingga mengganggu distribusi dan stabilitas harga.
6.      Melarang praktek asosial (mal-bisnis).[2]
Selanjutnya yang dimaksud dengan istilah ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pergadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.[3]
Selain itu, dengan harapan untuk kemaslahatan umat maka dalam praktek kegitannya,  sistem ekonomi syaria’ah memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut :
1.      Prinsip Al-Mudharabah
Mudharabah diartikan sebagai suatu bentuk kemitraan, di satu pihak akan menyediakan dana seluruhnya yang selanjutnya disebut sebagai shahib al’mal, sdangkan di pihak lain akan melakukan pengelolaan usaha (Mudharib). Dalam kemitraan ini jika untung, maka keuntungan akan dibagi sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan jika rugi, maka shahib al’mal akan kehilangan sebagian dari modalnya dan Mudharib akan kehilangan imbalan atas kerja keras dan menejerial skill yang disumbangkan.
2.      Prinsip Wadiah
Wadiah dapat diartikan sebagai amanat dari pihak yang memiliki sesuatu barang kepada pihak lain. Selanjutnya pihak yang menerima amanat diwajibkan untuk menjaga dengan baik barang tersebut karena dapat diambil oleh pemiliknya pada setiap waktu yang dikehendaki.
Wadiah dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
a.       Wadiah Yad Al-Amanah (merupakan titipan murni)
Merupakan sebuah bentuk hubungan hukum sepihak, pihak yang memberi amanah (muwaddi) mempunyai hak untuk menerima pengembangan amanah yang telah diserahkan, sedangkan pihak yang menerima amanah (mustawada’), berkewajiban untuk mengembalikannya. Dalam hal ini pihak yang menerima amanah tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan barang yang diamanatkan kepadanya.
b.      Wadiah Yad Adh Dhamanah (akad titipan)
Wadiah Yad Adh Dhamanah dapat diartikan suatu bentuk hubungan hukum sepihak, pihak yang satu memberi amanah (muwaddi) mempunyai hak untuk menerima pengembalian amanah yang telah diserahkan. Sedangkan pihak yang menerima amanah (mustawada’), berkewajiban untuk mengembalikannya. Dalam hal ini pihak yang menerima amanah, boleh menggunakan atau memanfaatkan barang yang diamanatkan kepadanya dengan kontraprestasi tertentu.
3.      Prinsip Al-Musyarakah
Musyarakah diartikan sebagai suatu bentuk kemitraan antara 2 (dua) pihak atau lebih, dalam suatu usaha atau proyek. Masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan sesuai dengan porsi penyertaan masing-masing. Selain itu pula berhak untuk ikut serta, mewakilkan, membatalkan dalam pelaksanaan atau manajemen usaha tersebut serta bertanggung jawab terhadap segala kerugian yang terjadi sesuai dengan porsi penyertaan masing-masing.
4.      Prinsip Al-Murabahah dan Al-Bai Bitssaman’ajil
Prinsip Al-Murabahah (prinsip pengembalian keuntungan dengan pembayaran tangguh), diartikan sebagai suatu jenis pembiayaan penuh, yang merupakan tabungan dana untuk pengadaan barang ditambah keuntungan yang disepakati dengan sistem pembayaran tangguh. Sedangkan prinsip Al-Bai Bitssaman’ajil (prinsip pengambilan keuntungan dengan pembayaran tangguh), diartikan sebagai suatu jenis pembiayaan penuh, yang merupakan tabungan dana untuk pengadaan barang ditambah keuntungan yang disepakati dengan system pembayaran diangsur.
5.      Prinsip Al-Ijarah dan Al-Bai’ Takjiri
Prinsip Al-Ijarah dapat diartikan sebagai prinsip pengadaan barang atau jasa yang pengadaanya ditalangi, tanpa diakhiri dengan pemilikan barang tersebut. Lembaga ini pada dasarnya merupakan suatu jenis pembiayaan penuh untuk pengadaan barang ditambah keuntungan yang disepakati dengan sistem pembayaran secara sewa tanpa diakhiri pemilikan.
Sedangkan prinsip Al-Bai’ Takjiri dapat diartikan sebagai prinsip pengambilan sewa atas penggunaan barang yang pengadaanya ditalangi yang diakhiri dengan pemilikan barang tersebut. Lembaga ini pada dasarnya merupakan suatu jenis pembiayaan penuh untuk pengadaan barang ditambah keuntungan yang disepakati dengan system pembayaran secara sewa yang diakhiri pemilikan.
Prinsip Al-Qardhul Hasan dapat diartikan sebagai prinsip pinjaman kebajikan tanpa tambahan biaya lainnya. Lembaga ini pada dasarnya merupakan suatu jenis pembiayaan penuh atau sebagian, yang merupakan talangan dana baik tunai maupun untuk pengadaan barang disertai dengan kewajiban mengembalikan sebesar biaya yang diterima tanpa tambahan apapun dengan sistem pembayaran tangguh atau diangsur sesuai dengan kesepakatan.
6.      Prinsip Kafalah
Prinsip Kafalah dapat diartikan sebagai prinsip penggabungan kafil menjadi tanggungan ashiil dalam tuntutan atau permintaan dengan materi sama atau utang atau barang atau pekerjaan.
7.      Prinsip Rahin
Prinsip Rahin dapat diartikan sebagai prinsip dalam suatu lembaga jaminan kebendaan di dalam syari’ah yang muncul berdasarkan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembiayaan yang diberikan.[4]
Hubungannya dengan aktivitas-aktivitas ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam sangatlah luas dan banyak sebanyak aktivitas kehidupan manusia didalam memperoleh kesejahteraan kehidupan di dunia ini. Namun dalam hal ini akan dibatasi pada aktivitas-aktivitas ekonomi syari’ah yang sudah populer dan melembaga di Indonesia, sebagaimana yang tercantum didalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Untuk itu berikut ini akan diuraiakan beberapa aktivitas ekonomi syari’ah yang berkembang di Indonesia , diantaranya :
1.      Bank Syari’ah
Bank Islam atau bank syari’ah secara teknis mempunyai persamaan pengertian. Para pakar pebankan Islam memberikan beberapa definisi. Menurut Karnaen A. Perwaatmadja (2005 : 18), bank syari’ah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktik-praktik yang mengandung unsur riba. Sedangkan Warkum Sumitro mengatakan bahwa bank Islam berarti bank yang tata cara operasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islami, yakni mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan hadits. Dalam operasionalisasinya, bank Islam harus mengikuti atau berpedoman kepada praktik-praktik usaha yang dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, bentuk-bentuk yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama atau cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan hadits.
Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan bank Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang berfungsi sebagai penghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat. Di mana sistem, tata cara, dan mekanisme kegiatan usahanya berdasarkan pada syariat Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits. Dalam Al-Qur’an, istilah bank tidak pernah disebutkan secara eksplisit, tetapi menurut Arifin, jika yang dimaksud merujuk pada sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban, maka semua itu disebutkan dengan jelas seperti zakat, shodaqoh, ghanimah, bai’, dan sebagainya., atau segala sesuatu yang memiliki fungsi atau peran tertentu yang dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi.
Kegiatan usaha bank syari’ah pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan bank konvensional. Kegiatan usha tersebut secara garis besar digolongkan dalam 3 (tiga) aspek, yaitu : [5]
a.       Aspek penghimpun dana (funding)
Kegiatan penhimpunan dana dapat ditempuh oleh perbankan melalui mekanisme tabungan, giro, serta deposito. Khusus untuk perbankan syari’ah, tabungan dan giro dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu tabungan dan giro yang berdasarkan pada akad wadhiah dan tabungan dan giro yang didasarkan pada akad mudharabah. Sedangkan khusus deposito hanya memakai akad mudharabah, karena deposito memang ditujukan untuk kepentingan investasi.[6]
b.      Aspek penyaluran dana lending
Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat (lending) dapat ditempuh oleh bank dalam bentuk mudharabah, musyarakhah ataupun qardh. Bank sebagai penyedia dna akan mendapatkan imbalan dalam bentuk margin keuntungan untuk mudharabah, bagi hasil untuk mudharabah dan musyarakhah, serta biaya administrasi untuk qardh.
c.       Aspek pelayanan jasa perbankan lainnya
Kegiatan usaha bank di bidang jasa, dapat berupa penyediaan bank garansi (kafalah, letter of credit (L/C), hiwalah, dan jual beli valuta asing). Sebagai suatu bank yang berlandaskan syari’ah Islam, bank syari’ah dalam menjalankan kegiatan usaha tersebut tidak menggunakan prinsip-prinsip finansial dengan sistem riba (interest free) seperti pada  bank konvensional, melainkan dengan sistem bagi hasil atau yang sering disebut dengan profit and loss sharing principle, dengan teknik-teknik finansial yang semata-mata didasarkan pada prinsip syari’ah.[7]
2.      Reksadana Syari’ah
a.       Memahami Reksadana Syari’ah
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001, Reksadana Syari’ah adalah :
 “ Reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syari’ah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahibul maal/rabb al maal) dengan manajer investasi sebagai wakil shahibul maal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahibul maal dengan pengguna investasi.”
Menurut Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995, Pasal 1 ayat 27, Reksadana adalah suatu wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi yang telah mendapat izin dari Bapepam. Reksadana dapat terdiri dari berbagai macam instrumen surat berharga seperti saham, obligasi, instrumen pasar uang, atau campuran dari instrumen-instrumen di atas.
Reksadana Syari’ah (Islamic Investment Funds) dalam hal ini memiliki pengertian yang sama dengan reksadana konvensional, hanya saja cara pengelolaan dan kebijakan investasinya harus berdasarkan pada syariat Islam, baik dari segi akad, pelaksanaan investasi, maupun dari segi pembagian keuntungan.
Islamic Investment Fund merupakan lembaga intermediaries yang membantu surplus unit melakukan penempatan dan untuk diinvestasikan. Salah satu tujuan dari Reksadana Syari’ah adalah memenuhi kebutuhan kelompok investor yang ingin memperoleh pendapatan investasi dari sumber dan cara yang bersih dan dapat dipertanggungjawabkan secara religius, serta sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Dari sisi tujuan Reksadana Syari’ah dapat disejajarkan dengan Sosial Responsible Investment (SRI) atau Etical Investment, Sosially Aware Investment, dan Value-based investment. Tujuan utama Reksadana Syari’ah bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi juga memiliki tanggungjawab sosial terhadap lingkungan, komitmen terhadap nilai-nilai yang diyakini tanpa harus mengabaikan keinginan investornya. Oleh karena itu, Reksadana Syari’ah tidak boleh menginvestasikan dananya pada bidang-bidang yang bertentangan dengan Syariat Islam, misalnya saham-saham atau obligasi-obligasi dari perusahaan yang pengelolaan dan produknya bertentangan dengan syariat islam; pabrik makanan atau minuman yang mengandung alkohol, daging babi, rokok, tembakau, jasa keuangan konvensional, pornografi, pelacuran, serta bisnis hiburan yang berbau maksiat.
b.      Ciri-Ciri Operasional Reksadana Syari’ah :
1.      Mempunyai Dewan Syariah yang bertugas memberikan arahan kegiatan Manajer Investasi (MI) agar senantiasa sesuai dengan syariah Islam.
2.      Hubungan antara investor dari perusahaan didasarkan pada sistem mudharabah, di mana satu pihak menyediakan 100% modal (investor), sedangkan satu pihak lagi sebagai pengelola (manajer investasi).
3.      Kegiatan usaha atau investasinya diarahkan pada hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariah Islam.
3. Gadai Syari’ah
a.       Rukun dan Syarat Transaksi Gadai
Setiap akad harus memenuhi syarat syah dan rukun yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqih. Walaupun terdapat perbedaan mengenai hal ini, namun secara syarat syah dan rukun dalam menjalankan pegadaian sebagai berikut:
Adapun rukun gadai :
1.      Shigat adalah ucapan berupa ijab dan qabul
2.      Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima gadai (murtahin).
3.      Harta / barang yang dijadikan jaminan (marhun).
4.      Hutang (Marhun bih)
Adapun syarat Sah Gadai adalah sebagai berikut:
1.      Shigat
Syarat shigat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan masa yang akan datang. Misalnya; rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhunbih habis dan marhunbih belum terbayar, maka rahin dapat diperpanjang satu bulan. Kecuali jika syarat tersebut mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan seperti pihak murtahin minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang.
2.      Orang yang berakad.
Baik rahin maupun martahin harus cakap dalam melakukan tindakan hukum, baligh dan berakal sehat, serta mampu melakukan akad. Bahkan menurut ulama Hanafiyah, anak kecil yang mumayyis dapat melakukan akad, karena ia dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
3.      Marhun bih
a.       Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin.
b.      Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak syah.
c.       Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
4.      Marhun
a.       Harus berupa harta yang bisa dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih
b.      Marhun harus mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan.
c.       Harus jelas dan spesifik.
d.      Marhun itu secara sah dimiliki oleh rahin.
e.       Merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.
b.      Hak dan Kewajiban pihak Penerima Gadai (Murtahin)
1.      Hak Murtahin ( Penerima Gadai ) :
a.       Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada sat jatuh tempo. Hasil penjualan barang gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
b.      Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.
c.       Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
2.      Adapun kewajiban penerima gadai (murtahin) adalah :
a.       Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
b.      Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sendiri.
c.       Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.
c.  Hak dan Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai)
1. Hak pemberi gadai adalah :
a.       Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali barang gadai, setelah ia melunasi pinjaman.
b.      Memberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan kelalaian penerima gadai.
c.       Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan barang gadai setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
d.      Pemberi gadai berhak meminta kembali barang gadai apabila penerima gadai diketahui menyalahgunakan barang gadai.
2. Kewajiban pemberi gadai:
a.       Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
b.      Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi pinjamannya.
4. Asuransi Syari’ah
a.       Pengertian Asuransi Syari’ah
Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain takaful (bahsa Arab), ta’min (bahasa arab) dan Islamic insurance (bahasa Inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain yang mengandung makna pertanggungan atau menanggung. Namun dalam prakteknya istilah yang paling populer digunakan sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa Negara termasuk Indonesia adalah istilah tafakul. Istilah tafakul ini pertama kali  digunakan oleh Dar Al Mal Islami , sebuah perusahaan asuransi Islam di Genewa yang berdiri pada tahun 1983.[8]
Istilah tafakul dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafalayakfulu-takafala-yatakafalu-takaful yang berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Kata takaful tidak dijumpai dalam Al-Qur’an namun demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan kata takaful. Apabila kita memasukkan asuransi tafakul ke dalam lapangan kehidupan muamalah, maka tafakul dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung resiko di antara sesame manusia sehingga di antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi tafakul berkaitan dengan unsur saling menanggung resiko di antara para peserta asuransi, di mana peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya. Tanggung menanggung resiko tersebut dilakukan atas dasar saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut.
b.      Prinsip-prinsip Asuransi Syari’ah
Prinsip utama dalam asuransi syari’ah adalah ta’awanu ‘ala al birr wa al-taqwa (tolong –menolong kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al-ta’min (rasa aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan yang lainnya saling menjamin dan menanggung resiko.
Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi tafakul adalah akad takafuli (saling menanggung), bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan.
Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syari’ah atau asuransi tafakul ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu:
1.      Saling bertanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi takaful memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat akhlas adalah ibadah.
2.      Saling bekerjasama atau saling membantu, yang berarti di antara peserta asuransi tafakul yang satu dengan yang lainnya saling bekerja sama dan saling tolong menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang diderita.
3.      Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para peserta asuransi takaful akan berperan sebagai pelindung bagi musibah yang di deritanya.
Karnaen A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asuransi takaful yang sama, namun beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang telah ada yakni prinsip menghindari unsur-unsur gharar, maisir dan riba. Sehingga terdapat 4 prinsip asuransi syariah yaitu :
1.      Saling bertanggung jawab;
2.      Saling bekerja sama atau saling membantu;
3.      Saling melindungi penderitaan satu sama lain, dan
4.      Menghindari unsur gharar, maisir dan riba.
   

[1] Edy Sismarwoto. 2009. Prinsip-Prinsip Ekonomi Syari’ah, Pustaka Magister. Semarang.
[2] Gita Danupranata. 2006. Ekonomi Islam, UP FE-UMY. Yogyakarta.
[3] Edy Sismarwoto. 2009. Prinsip-Prinsip Ekonomi Syari’ah, Pustaka Magister. Semarang.
[4] Edy Sismarwoto. 2009. Prinsip-Prinsip Ekonomi Syari’ah, Pustaka Magister. Semarang.
[5] Kasmir. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Raja Grafindo Persada. Jakarta.
[6] Abdul Ghofur Anshori. 2007. Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan & Kewenangan), UII Press. Yogyakarta.
[7] Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Indonesia, Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.
[8] Dewi Gemala. 2007. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, Kencana. Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts