بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Selasa, 19 Maret 2013

Kisah-Kisah Para Sufi



Tulisan ini saya maksudkan untuk menceritakan beberapa kisah inspiratif yang telah diceritakan pula oleh para Sufi Islam. Bagi rekan-rekan pembaca yang tertarik dengan kajian tentang filsafat Islam dan pencarian hakekat hidup, ada baiknya membaca cerita ini. Adapun sumber tulisan ini saya ramu dari berbagai sumber dan beberapa literatur lainnya sehingga menjadi sebuah tulisan sederhana...
Selamat menikmati dan semoga tidak terhipnotis dengan ceritanya,,,  hehe,,, just kidding !!!   

Orang yang Berjalan di Atas Air

Seorang darwis yang berpegang kepada kaidah, yang berasal dari mazhab yang saleh, pada suatu hari berjalan menyusur tepi sungai. Ia memusatkan perhatian pada berbagai masalah moral dan ajaran, sebab itulah yang menjadi pokok perhatian pengajaran Sufi dalam mazhabnya. Ia menyamakan agama, perasaan, dengan pencarian kebenaran mutlak.
Tiba-tiba renungannya terganggu oleh teriakan keras: Seseorang terdengar mengulang-ulang suatu ungkapan darwis. Tak ada gunanya itu, katanya kepada diri sendiri. Sebab orang itu telah salah mengucapkannya. Seharusnya diucapkannya yâ hû, tapi ia mengucapkannya u yâ hû.
Kemudian ia menyadari bahwa sebagai darwis yang lebih teliti, ia mempunyai kewajiban untuk meluruskan ucapan orang itu. Mungkin orang itu tidak pernah mempunyai kesempatan mendapat bimbingan yang baik, dan karenanya telah berbuat sebaik-baiknya untuk menyesuaikan diri dengan gagasan yang ada di balik suara yang diucapkannya itu.
Demikianlah darwis yang pertama itu menyewa perahu dan pergi ke pulau di tengah-tengah arus sungai, tempat asal suara yang didengarnya tadi.
Didapatinya orang itu duduk di sebuah gubuk alang-alang, bergerak-gerak sangat sukar teratur mengikuti ungkapan yang diucapkannya itu. Sahabat, kata darwis pertama, Anda keliru mengucapkan ungkapan itu. Saya berkewajiban memberitahukan hal ini kepada Anda, sebab ada pahala bagi orang yang memberi dan menerima nasihat. Inilah ucapan yang benar. Lalu ia memberitahukannya ucapan itu. Terimakasih, kata darwis yang lain itu dengan rendah hati.
Darwis pertama turun ke perahunya lagi, sangat puas, sebab baru saja berbuat amal. Bagaimana pun kalau orang boleh mengulang-ulang ungkapan rahasia itu dengan benar, ada kemungkinan boleh berjalan di atas air. Hal itu memang belum pernah disaksikannya sendiri, tetapi berdasarkan alasan tertentu- darwis pertama itu ingin sekali boleh melakukannya. Kini ia tak mendengar lagi suara gubuk alang-alang itu, tapi ia yakin bahwa nasihatnya telah dilaksanakan sebaik-baiknya.
Kemudian didengarnya lagi ucapan u yâ hû yang keliru itu ketika darwis yang di pulau tersebut mulai mengulang-ulang ucapannya.... Ketika darwis pertama merenungkan hal itu, memikirkan betapa manusia memang suka bersikeras mempertahankan kekeliruan, tiba-tiba disaksikannya pemandangan yang menakjubkan. Dari arah pulau itu, darwis kedua tadi tampak menuju perahunya, berjalan di atas air....
Karena takjubnya, ia pun berhenti mendayung. Darwis kedua pun mendekatinya, katanya, Saudara, maaf saya mengganggu Anda. Saya datang untuk menanyakan cara yang benar untuk mengucapkan ungkapan yang Anda beritahukan kepada saya tadi; sulit benar rasanya mengingat-ingatnya.

Tuhan Melihat Hatimu

Pada suatu hari, Hasan Al-Basri pergi mengunjungi Habib Ajmi, seorang sufi besar lain. Pada waktu salatnya, Hasan mendengar Ajmi banyak melafalkan bacaan salatnya dengan keliru. Oleh karena itu, Hasan memutuskan untuk tidak salat berjamaah dengannya. Ia menganggap kurang pantaslah bagi dirinya untuk salat bersama orang yang tak boleh mengucapkan bacaan salat dengan benar.
Di malam harinya, Hasan Al-Basri bermimpi. Ia mendengar Tuhan berbicara kepadanya, “Hasan, jika saja kau berdiri di belakang Habib Ajmi dan menunaikan salatmu, kau akan memperoleh keridaan-Ku, dan salat kamu itu akan memberimu manfaat yang jauh lebih besar daripada seluruh salat dalam hidupmu. Kau mencoba mencari kesalahan dalam bacaan salatnya, tapi kau tak melihat kemurnian dan kesucian hatinya. Ketahuilah, Aku lebih menyukai hati yang tulus daripada pengucapan tajwid yang sempurna.

Tiga Nasihat

Pada suatu hari, ada seseorang menangkap burung. Burung itu berkata kepadanya, Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku. Nanti aku beri kau tiga nasihat.
Si burung berjanji akan memberikan nasihat pertama ketika berada dalam genggaman orang itu. Yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon dan yang ketiga ketika ia sudah mencapai puncak bukit.
Orang itu setuju, lalu ia meminta nasihat pertama. Kata burung itu, Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal.
Orang itu pun melepaskannya dan burung itu segera melompat ke dahan. Disampaikannya nasihat yang kedua, Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti.
Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, Wahai manusia malang! Dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya. Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga itu!
Si burung menjawab, Alangkah tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau renungkan sama sekali. Sudah kukatakan padaku agar jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku pun tidak cukup besar untuk menyimpan dua permata besar! Kau tolol! Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia.

(Catatan: Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk mengakalkan fikiran siswa sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak boleh dicapai dengan cara-cara biasa. Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan sufi, kisah ini terdapat juga dalam karya klasik Rumi, Matsnawi. Kisah ini juga ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Fariduddin Aththar, salah seorang guru Rumi. Kedua tokoh sufi itu hidup pada abad ketiga belas).

Keperluan Yang Makin Mendesak

Pada suatu malam, seorang penguasa tiran di Turkistan sedang mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan oleh seorang darwis. Tiba-tiba bertanya tentang Nabi Khidir. Khidir, kata darwis itu, datang kalau diperlukan. Tangkap dan jubahkan ia kalau ia muncul, dan segala pengetahuan menjadi milik paduka. Apakah itu boleh terjadi pada siapa pun? Siapa pun boleh, kata darwis itu.
Siapa pula lebih boleh dariku? fikir sang Raja; dan ia pun mengedarkan pengumuman: Barangsiapa boleh menghadirkan Khidir yang gaib, akan kujadikan orang kaya.
Seorang lelaki miskin dan buta bernama Bakhtiar Baba, setelah mendengar pengumuman itu menyusun akal. Ia berkata kepada istrinya, Aku punya rencana. Kita akan segera kaya, tetapi beberapa lama kemudian aku harus mati. Namun, hal itu tidak mengapa, sebab kekayaan kita itu boleh menghidupimu selamanya.
Kemudian Bakhtiar menghadap Raja dan mengatakan bahwa ia akan mencari Khidir dalam waktu empat puluh hari, kalau Raja bersedia memberinya seribu keping emas. Kalau kau boleh menemukan Khidir, kata Raja, kau akan mendapat sepuluh kali seribu keping wang emas ini. Kalau gagal, kau akan mati, dipancung di tempat ini sebagai peringatan kepada siapa pun yang akan mencoba mempermainkan rajanya.
Bakhtiar menerima syarat itu. Ia pun pulang dan memberikan wang itu kepada istrinya, sebagi jaminan hari tuanya. Sisa hidupnya yang tinggal empat puluh hari itu dipergunakannya untuk merenung, mempersiapkan diri memasuki kehidupan lain.
Pada hari keempat puluh ia menghadap Raja. Yang Mulia, katanya, kerakusanmu telah menyebabkan kau berfikir bahwa wang akan boleh mendatangkan Khidir. Tetapi Khidir, kata orang, tidak akan muncul oleh panggilan yang berdasarkan kerakusan.
Sang Raja sangat marah, Orang celaka, kau telah mengorbankan nyawamu; siapa pula kau ini berani mencampuri keinginan seorang raja?
Bakhtiar berkata, Menurut dongeng, semua orang boleh bertemu Khidir, tetapi pertemuan itu hanya akan ada manfaatnya apabila maksud orang itu benar. Mereka bilang, Khidir akan menemui orang selama ia boleh memanfaatkan saat kunjungannya itu. Itulah hal yang kita tidak menguasainya.
Cukup ocehan itu, kata sang Raja, sebab tak akan memperpanjang hidupmu. Hanya tinggal meminta para menteri yang berkumpul di sini agar memberikan nasihatnya tentang cara yang terbaik untuk menghukummu.
Ia menoleh ke Menteri Pertama dan bertanya, Bagaimana cara orang itu mati? Menteri Pertama menjawab, Panggang dia hidup-hidup sebagai peringatan.
Menteri Kedua, yang berbicara sesuai urutannya, berkata, Potong-potong tubuhnya, pisah-pisahkan anggota badannya.
Menteri Ketiga berkata, Sediakan kebutuhan hidup orang itu agar ia tidak lagi mau menipu demi kelangsungan hidup keluarganya.
Sementara pembicaraan itu berlangsung, seseorang yang bijaksana yang sudah sangat tua memasuki rwang pertemuan. Ia berkata, Setiap orang mengajukan pendapat sesuai dengan prasangka yang tersembunyi di dalam dirinya.
Apa maksudmu, tanya Raja.
Maksudku, Menteri Pertama itu aslinya Tukang Roti, jadi ia berbicara tentang panggang memanggang. Menteri Kedua, dulunya Tukang Daging, jadi ia berbicara tentang potong memotong daging. Menteri Ketiga, yang telah mempelajari ilmu kenegaraan, melihat sumber masalah yang kita bicarakan ini.
Catat dua hal ini, pertama, Khidir muncul melayani setiap orang sesuai kemampuan orang itu untuk memanfaatkan kedatangannya. Kedua, Bakhtiar, orang ini yang kuberi nama Baba (Bapak dalam bahasa Parsi, -red.) karena pengorbanannya- telah didesak oleh keputusasaannya untuk melakukan tindakan tersebut. Keperluannya semakin mendesak sehingga aku pun muncul di depanmu.
Ketika orang-orang itu memperhatikannya, orang tua yang bijaksana itu pun lenyap begitu saja. Sesuai yang diperintahkan Khidir. Raja memberikan belanja teratur kepada Bakhtiar. Menteri Pertama dan Kedua dipecat, dan seribu keping wang emas itu dikembalikan ke kas kerajaan oleh Bakhtiar dan istrinya.
(Catatan: Konon, Bakhtiar Baba adalah seorang sufi bijaksana, yang hidupnya sangat sederhana dan tak dikenal orang di Khurasan, sampai peristiwa yang ada dalam kisah itu terjadi. Kisah ini, dikatakan juga terjadi pada sejumlah besar syekh sufi lain dan menggambarkan pengertian tentang terjalinnya keinginan manusia dengan makhluk lain. Khidir merupakan penghubung antara keduanya. Judul ini diambil dari sebuah sajak terkenal karya Jalaluddin Rumi: Peralatan baru bagi pemahaman akan ada apabila keperluan menuntutnya/ Karenanya, wahai manusia, jadikan keperluanmu makin mendesak/ Sehingga engkau boleh mendesakkan pemahamanmu lebih peka lagi).
  
Nasihat Darwisy Untuk Raja Zalim

Sa'di bercerita; Alkisah, Seorang raja yang zalim berkenan memanggil seorang darwis ke istananya untuk memberi nasihat. Ketika sufi itu datang, Raja Zalim berkata, "Berikan aku nasihat. Amal apa yang paling utama untuk aku lakukan sebagai bekalku ke akhirat nanti?"
Sang darwis menjawab, "Amal terbaik untuk baginda adalah tidur." Raja itu kehairanan, "Mengapa?" "Karena ketika tidur," jawab sufi itu, "baginda berhenti menzalimi rakyat. Ketika baginda tidur, rakyat dapat beristirahat dari kezaliman.

Bayazid Al-Busthami Pergi Berhaji

Seorang tokoh sufi besar, Bayazid Al-Busthami suatu saat pergi naik haji ke Mekkah. Pada haji kali pertama, ia menangis. "Aku belum berhaji," isaknya, "karena yang aku lihat cuma batu-batuan Ka'bah saja."
Ia pun pergi haji pada kesempatan berikutnya. Sepulang dari Mekkah, Bayazid kembali menangis, "Aku masih belum berhaji," ucapnya masih di sela tangisan, "yang aku lihat hanya rumah Allah dan pemiliknya."
Pada haji yang ketiga, Bayazid merasa ia telah menyempurnakan hajinya. "Karena kali ini," ucap Bayazid, "aku tak melihat apa-apa kecuali Allah subhanahu wa ta'ala....

Kepala Ikan Untuk Sang Nelayan

Seorang nelayan salih di Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Setiap hari, ia terbiasa menyerahkan seluruh hasil tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuk ia rebus sebagai makan malamnya.
Nelayan itu lalu berguru kepada syaikh besar sufi, Ibn Arabi. Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun menjadi seorang syaikh seperti gurunya.
Suatu saat, salah seorang murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu memintanya untuk mengunjungi Syaikhul Akbar, Ibn Arabi. Nelayan itu berpesan agar dimintakan nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya.
Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibn Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat tinggal sang syaikh. Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri di puncak suatu bukit. "Itulah rumah Syaikh," ujar mereka.
Murid itu amat terkejut. Ia berfikir betapa amat duniawinya Ibn Arabi dibandingkan dengan gurunya sendiri, yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana.
Dengan penuh keraguan, ia pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan. Sepanjang perjalanan ia melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi, domba, dan kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia memperoleh jawaban bahwa pemilik dari semua ladang, lahan, dan ternak itu tak lain ialah Ibn Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya kepada diri sendiri, bagaimana mungkin seorang materialistik seperti itu boleh menjadi seorang guru sufi.
Ketika tiba ia di puri tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpinya. Dinding rumah itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh karpet-karpet mahal. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah dari apa yang dipakai oleh orang terkaya di kampung halamannya.
Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibn Arabi sedang mengunjungi khalifah dan akan segera kembali. Tak lama kemudian, ia menyaksikan sebuah arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal kehormatan yang terdiri dari tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan, mengendarai kuda-kuda arabia yang gagah. Lalu muncullah Ibn Arabi dengan pakaian sutra yang teramat indah, lengkap dengan surban yang lazim dipakai para sultan.
Si murid lalu dibawa menghadap Ibn Arabi. Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan dan gadis cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia menjadi tambah terkejut dan geram ketika Ibn Arabi mengatakan kepadanya, "Katakanlah pada gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia."
Tatkala murid itu kembali ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia sempat bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia memang telah menemuinya. "Lalu," tanya nelayan itu, "apakah ia menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?"
Pada awalnya, si murid enggan mengulangi nasihat dari Ibn Arabi. Ia merasa amat tak pantas mengingat betapa berkecukupannya ia lihat kehidupan Ibn Arabi dan betapa berkekurangannya kehidupan gurunya sendiri.
Namun karena guru itu terus memaksanya, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Ibn Arabi. Mendengar itu semua, nelayan itu berurai air mata. Muridnya tambah keheranan, bagaimana mungkin Ibn Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati gurunya bahwa ia terlalu terikat kepada dunia.
"Dia benar," jawab sang nelayan, "ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh.

Bahlul Dan Tahta Raja

Bahlul, si tolol yang bijaksana, sering menyembunyikan kecendekiaannya di balik tabir kegilaan. Dengan itu, ia dapat keluar masuk istana Harun Al-Rasyid dengan bebasnya. Sang Raja pun amat menghargai bimbingannya.
Suatu hari, Bahlul masuk ke istana dan menemukan singgasana Raja kosong. Dengan enteng, ia langsung mendudukinya. Menempati tahta Raja termasuk ke dalam kejahatan berat dan boleh dihukum mati. Para pengawal menangkap Bahlul, menyeretnya turun dari tahta, dan memukulinya. Mendengar teriakan Bahlul yang kesakitan, Raja segera menghampirinya.
Bahlul masih menangis keras ketika Raja menanyakan sebab keributan ini kepada para pengawal. Raja berkata kepada yang memukuli Bahlul, “Kasihan! Orang ini gila. Mana ada orang waras yang berani menduduki singgasana Raja?” Ia lalu berpaling ke arah Bahlul, “Sudahlah, tak usah menangis. Jangan kuatir, cepat hapus air matamu.” Bahlul menjawab, “Wahai Raja, bukan pukulan mereka yang membuatku menangis. Aku menangis karena kasihan terhadapmu!”
“Kau mengasihaniku?” Harun mengherdik, “Mengapa engkau harus menangisiku?” Bahlul menjawab, “Wahai Raja, aku cuma duduk di tahtamu sekali tapi mereka telah memukuliku dengan begitu keras. Apalagi kau, kau telah menduduki tahtamu selama dua puluh tahun. Pukulan seperti apa yang akan kau terima? Aku menangis karena memikirkan nasibmu yang malang…

Tugas Murid Junaid

Junaid Al-Baghdadi, seorang tokoh sufi, mempunyai anak didik yang amat ia senangi. Santri-santri Junaid yang lain menjadi iri hati. Mereka tak dapat mengerti mengapa Syeikh memberi perhatian khusus kepada anak itu.

Suatu saat, Junaid menyuruh semua santrinya untuk membeli ayam di pasar untuk kemudian menyembelihnya. Namun Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas itu.
Satu demi satu santri kembali ke hadapan Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak boleh melaksanakan perintah Syeikh yang begitu mudah.
Junaid lalu meminta setiap santri untuk menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana. Santri ketiga berkata bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya sendiri. Dengan itu, ia fikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.
Tibalah giliran santri muda yang tak berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia masih menemaniku. Aku tak boleh pergi ke tempat di mana tak ada yang melihatku.

Musa Dan Seorang Wali Tuhan

Musa as meminta Tuhan menunjukkan salah satu wali-Nya. Tuhan memerintahkan Musa untuk pergi ke sebuah lembah. Di tempat itu, Musa menemukan seseorang yang berpakaian compang-camping, kelaparan, dan dikerubungi lalat.

Musa bertanya, “Adakah sesuatu yang dapat aku lakukan untukmu?”

Orang itu menjawab, “Wahai utusan Tuhan, tolong bawakan aku segelas air.” Ketika Musa kembali dengan segelas air, orang itu telah meninggal dunia. Musa pergi lagi untuk mencari sehelai kain untuk membungkus mayatnya, agar ia dapat menguburkannya. Ketika ia kembali ke tempat itu, mayatnya telah habis dimakan singa. Musa merasa tertekan, ia berdoa, “Tuhan, Engkau menciptakan semua manusia dari tanah. Ada yang berbahagia tapi ada juga yang tersiksa dan hidup menderita. Aku tak dapat mengerti ini semua.” Suara Yang Agung menjawab, “Orang itu bergantung kepada-Ku untuk semua hal. Tapi kemudian ia bergantung padamu untuk satu minuman. Dia tak boleh lagi meminta bantuan kepada orang lain kalau ia telah rida dengan-Ku”

Ibrahim Dan Kematian

Suatu hari, Malaikat Maut datang menemui Nabi Ibrahim as untuk mengambil nyawanya. Ibrahim bertanya, “Apa kau pernah melihat seorang kekasih mematikan orang yang dikasihinya?”

Tuhan menjawab Ibrahim, “Apa kau pernah melihat seorang kekasih tak mau pergi menjumpai orang yang dikasihinya?”

Bukti Cinta Pada Nabi

Alkisah, di negeri Arab ada seorang janda miskin yang mempunyai anak. Karena anaknya menangis kelaparan, janda itu terpaksa harus meninggalkan rumahnya untuk berkelana mencari wang. Di depan sebuah masjid, ia bertemu seorang muslim dan meminta bantuan. Anakku yatim dan kelaparan, aku minta pertolonganmu, kata janda itu. Mana buktinya? Lelaki muslim bertanya. Janda itu tidak boleh membuktikan karena ia sendiri orang asing di tempat itu. Akhirnya lelaki muslim itu tidak menolongnya.
Setelah itu, janda miskin bertemu dengan seorang Majusi. Ia pun meminta pertolongannya. Orang Majusi itu membawanya ke rumahnya dan memuliakannya dengan memberikan wang dan pakaian.
Pada malam harinya, lelaki muslim yang menolak menolong itu bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw. Semua orang mendatangi Nabi dan Nabi menyambut orang-orang itu dengan baik. Ketika tiba giliran lelaki itu mendatang Rasulullah saw, Nabi mengusirnya dan menyuruhnya pergi. Lelaki itu berteriak, Ya Rasulullah, aku ini umatmu yang mencintaimu juga. Rasulullah saw bertanya, Mana buktinya?
Lelaki itu tersadar bahwa Rasulullah saw menyindirnya karena ia telah meminta bukti saat diminta pertolongan. Ia menangis. Rasulullah saw lalu menunjukkan sebuah taman yang indah dan gedung yang megah di surga. Lihat ini, kata Rasulullah saw, seharusnya aku berikan semua ini untukmu. Tapi karena kau tidak menolong janda dan anak yatim itu, aku berikan semua ini pada seorang Majusi.
Pagi harinya, lelaki itu terbangun. Dia lalu mencari janda miskin dan ternyata dia menemukannya sedang berada di rumah seorang Majusi. Ikutlah kau bersamaku, pinta lelaki itu kepada si janda. Tetapi orang Majusi tidak mau menyerahkannya. Aku akan beri kau ribuan dinar asal kau mau menyerahkannya, lelaki muslim berkata. Orang Majusi tetap tidak mau. Lelaki muslim itu akhirnya jengkel dan berkata, Janda ini adalah orang Islam. Seharusnya yang menolongnya adalah sesama muslim juga!
Orang Majusi itu lalu bercerita, Tadi malam aku bermimpi bertemu Rasulullah saw. Beliau berkata bahwa beliau akan memberikan kepadaku surga yang semula akan diberikan kepadamu. Ketahuilah bahwa pagi ini ketika aku terbangun, aku langsung masuk Islam dan menjadi pengikut Rasulullah saw karena aku telah menunjukkan bukti bahwa aku adalah salah seorang pecintanya.
Lelaki Majusi itu telah menunjukkan bukti kecintaannya kepada Rasulullah saw dengan memberikan pertolongan kepada orang yang memerlukan.

Kisah Raja Dan Budak Hitam

Raja Harun Al-Rasyid, seorang dari keturunan Bani Abbasiyah, memiliki seorang budak perempuan yang berparas buruk, berkulit hitam, dan tidak enak dipandang mata.
Pada suatu hari, Raja menaburkan wang untuk semua budaknya. Para budak saling berebut dan berlomba untuk mendapatkan wang tersebut kecuali seorang budak perempuan hitam yang buruk rupa itu. Ia tetap diam dan hanya memandang wajah Baginda.

Raja merasa amat kehairanan dan bertanya, Mengapa kau diam saja? Ikutlah bersama teman-temanmu memperebutkan wang.

Budak itu menjawab, Wahai Baginda khalifah, jika semua budak berlomba untuk mendapatkan wang taburan Baginda, maka yang hamba impikan berbeda dengan mereka. Yang hamba angankan bukan wang taburan itu tapi yang hamba inginkan adalah sang pemilik wang taburan itu.
Mendengar jawaban budak itu, Raja Harun tercengang dan merasa takjub. Karena rasa kagumnya, ia jadikan budak itu sebagai permaisurinya.

Berita perkawinan seorang raja dengan budaknya tersebar kepada para pejabat lainnya. Mereka semua mencemooh Raja Harun dan mencela Raja yang mempersunting seorang budak hitam. Raja mendengar semua cemoohan ini, ia lalu mengumpulkan semua pejabat itu dan menegur mereka.

Kemudian Raja memerintahkan untuk mengumpulkan semua budak di negerinya. Ketika semua budak telah berkumpul di hadapan Raja, Raja memberikan kepada masing-masing budak segelas berlian untuk dihancurkan.

Namun, semua budak menolak pemberian itu. Kecuali si budak hitam yang buruk rupa itu. Tanpa ragu, gelas itu diterima dan ia pecahkan. Menyaksikan hal ini, para pejabat itu berkata, Lihatlah budak hitam yang berperilaku sangat menjijikan ini!

Raja lalu menoleh ke arah budak hitamnya dan bertanya, Mengapa kau hancurkan gelas itu? Budak hitam menjawab, Aku lakukan hal ini karena perintahmu.

Menurut pendapat hamba, jika gelas ini aku pecahkan, berarti aku telah mengurangi perbendaharaan Khalifah.

Tapi jika hamba tidak lakukan perintah Tuan, berarti aku telah melanggar titah Khalifah. Bila gelas ini hamba hancurkan, hamba pastilah seorang yang gila. Namun bila gelas ini tidak hamba pecahkan, berarti hamba telah melanggar perintah Khalifah.

Bagiku, pilihan yang pertama lebih mulia daripada yang kedua. Mendengar jawaban yang singkat itu, semua pejabat yang hadir di tempat itu tercengang dan mengakui kecerdasan budak hitam itu. Akhirnya mereka menaruh hormat kepadanya dan memahami mengapa sang Khalifah jatuh hati kepadanya.

Taubat Sang Pembunuh

Seorang pembunuh yang amat kejam telah menghabisi nyawa sembilan puluh sembilan orang. Ia merasa sangat menyesal. Ia mendatangi seorang alim dan bercerita tentang masa lalunya yang kelabu itu. Ia mengutarakan maksudnya untuk bertaubat dan menjadi orang yang lebih baik. Aku ingin tahu; apakah Tuhan akan mengampuniku?? ia bertanya.

Sang alim rupanya belum cukup banyak belajar. Ia menjawab, Tentu saja kau tak akan diampuni-Nya. Kalau begitu, ujar si pembunuh, lebih baik kau juga kubunuh saja sekalian. Ia pun membunuh alim itu. Kemudian ia bertemu orang alim lain. Ia mengatakan telah membunuh seratus orang. Aku ingin tahu, tanyanya, apakah Tuhan akan mengampuniku jika aku bertaubat?
Alim kedua ini lebih bijak dari yang pertama. Ia menjawab, Tentu saja kau akan diampuni. Bertaubatlah sekarang juga. Aku hanya punya satu nasihat untukmu; jauhilah teman-temanmu yang jahat dan bergabunglah dengan orang-orang yang saleh, karena teman yang jahat akan mendekatkanmu kepada dosa.

Orang itu lalu bertaubat dan menyesali dosa-dosanya. Ia menangis memohon ampunan Tuhan. Kemudian ia pun menjauhi teman-temannya yang jahat dan pergi mencari perkampungan tempat orang-orang saleh tinggal. Namun ketika ia berada di perjalanan, ajalnya tiba.

Malik, Malaikat Penjaga Neraka, dan Ridwan, Malaikat Penjaga Surga, sama-sama datang untuk menjemput ruhnya. Malik berkata bahwa orang itu adalah pendosa besar dan tempatnya di neraka jahanam. Tetapi Ridwan juga mengklaim bahwa orang itu layak masuk surga. Malaikat Ridwan berkata, Orang ini bertaubat dan telah memutuskan untuk menjadi orang baik. Ia sedang menempuh perjalanan ke kampung tempat tinggal orang-orang saleh ketika ajalnya tiba.
Kedua malaikat itu pun berdebat. Jibril datang untuk menyelesaikan masalah. Setelah mendengar pernyataan dari kedua malaikat, Jibril memutuskan, Ukur jaraknya. Jika tanah tempat mayatnya berada lebih dekat kepada orang-orang saleh, maka ia masuk surga; namun jika letak mayatnya lebih dekat kepada orang-orang jahat, ia harus masuk neraka.

Karena bekas pembunuh itu baru saja meninggalkan tempat orang jahat, ia masih terletak dekat sekali dengan mereka. Tetapi karena ia bertaubat dengan amat tulus, Tuhan memindahkan tubuhnya dari tempat ia meninggal ke dekat perkampungan orang saleh. Dan hamba yang bertaubat itu pun diserahkan ke dekapan malaikat penjaga surga.
Tuhan bersabda, Jika hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku satu hasta, Aku akan mendekatkan diri kepadanya satu siku. Apabila dia kembali kepada-Ku sambil berjalan, Aku akan menyambutnya sambil berlari.

Rindu Rasul

Suatu saat, ada orang yang ingin sekali bertemu dengan Nabi saw di mimpinya, tetapi keinginannya itu tak pernah terkabul; meskipun ia telah berusaha amat kuat dan keras. Ia meminta nasihat kepada seorang sufi. Sufi itu menjawab, ?Anakku, pada Jumat malam nanti, banyak-banyaklah kau makan ikan asin, tunaikan salatmu, dan langsunglah engkau pergi tidur tanpa minum air setetes pun. Keinginanmu akan terpenuhi.
Orang itu pun melaksanakan anjuran sang sufi. Setelah itu, ia langsung tidur. Sepanjang malam ia bermimpi terus menerus minum air dari puluhan mata air. Ketika pagi menjelang, ia bergegas menemui sufi itu, ?Wahai Maulana, aku tak melihat Nabi dalam mimpiku. Aku begitu kehausan sehingga yang aku impikan hanyalah minum air dari puluhan mata air. Sekarang pun aku masih tersiksa dengan rasa dahaga.
Sang sufi berkata padanya, ?Makan ikan asin telah memberimu dahaga yang begitu menyiksa sehingga sepanjang malam engkau hanya bermimpi tentang air minum. Sekarang kau harus merasakan dahaga yang sama akan Rasul-Nya, barulah engkau boleh memeluk anugerah terindahnya !

Kasih Tuhan Tak Terbatas I

Suatu hari, Dzunnun Al-Mishri hendak mencuci pakaian di tepi sungai Nil. Tiba-tiba ia melihat seekor kalajengking yang sangat besar. Binatang itu mendekati dirinya dan segera akan menyengatnya.
Dihinggapi rasa cemas, Dzunnun memohon perlindungan kepada Allah swt agar terhindar dari cengkeraman hewan itu. Ketika itu pula, kalajengking itu membelok dan berjalan cepat menyusuri tepian sungai.

Dzunnun pun mengikuti di belakangnya. Tidak lama setelah itu, si kalajengking terus berjalan mendatangi pohon yang rindang dan berdaun banyak. Di bawahnya, berbaring seorang pemuda yang sedang dalam keadaan mabuk. Si kalajengking datang mendekati pemuda itu. Dzunnun merasa khawatir kalau-kalau kalajengking itu akan membunuh pemuda mabuk itu.

Dzunnun semakin terkejut ketika melihat di dekat pemuda itu terdapat seekor ular besar yang hendak menyerang pemuda itu pula. Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan Dzunnun. Tiba-tiba kalajengking itu berkelahi melawan ular dan menyengat kepalanya. Ular itu pun tergeletak tak berkutik.

Sesudah itu, kalajengking kembali ke sungai meninggalkan pemuda mabuk di bawah pohon. Dzunnun duduk di sisi pemuda itu dan melantunkan syair, Wahai orang yang sedang terlelap, ketahuilah, Yang Maha Agung selalu menjaga dari setiap kekejian yang menimbulkan kesesatan. Mengapa si pemilik mata boleh sampai tertidur? Padahal mata itu dapat mendatangkan berbagai kenikmatan
Pemuda mabuk itu mendengar syair Dzunnun dan bangun dengan terperanjat kaget. Segera Dzunnun menceritakan kepadanya segala yang telah terjadi.

Setelah mendengar penjelasan Dzunnun, pemuda itu sadar. Betapa kasih sayang Allah sangat besar kepada hambanya. Bahkan kepada seorang pemabuk seperti dirinya, Allah masih memberikan perlindungan dan penjagaan-Nya.

Kasih Tuhan Tak Terbatas II

Pada satu saat, Malik bin Dinar pergi berhaji ke Mekkah. Di dalam perjalanan, ia melewati padang ilalang dan hutan belantara. Pada satu tempat, ia tertegun melihat seekor gagak yang terbang membawa sebongkah roti di paruhnya.

Malik menyaksikan burung gagak itu dengan rasa curiga. Ia merasa bahwa ada sesuatu di balik terbangnya burung gagak dengan sepotong roti. Karena itu, Malik mengikuti jejak burung itu. Sampailah ia di sebuah gua. Ia mendekat dan masuk mulut gua. Ia memandang sekilas isi gua itu. Ia terkejut, ternyata di dalam gua itu terdapat sesosok tubuh dengan tangan dan kaki yang terikat. Si gagak yang ia ikuti tengah memasukkan roti itu ke mulut orang yang terikat, sedikit demi sedikit. Setelah roti itu habis, gagak terbang kembali ke angkasa.
Malik tertegun melihat semua ini dan bertanya kepada laki-laki yang terikat itu, Hai siapakah engkau? Orang itu menjawab, Semula aku akan pergi haji. Di tengah perjalanan, hartaku dirampas para penyamun. Mereka mengikatku dan melemparkanku ke tempat ini. Sudah lima hari aku tidak menemukan makanan tetapi aku masih bersabar dan berdoa. Aku yakin bahwa Dia (Allah) akan mengabulkan doa hamba-Nya yang ditimpa kemalangan. Setelah itu, datang seekor gagak diutus Tuhan. Setiap hari burung itu memberikan makanan dan minuman untukku.
Setelah mendengar cerita orang itu, Malik bin Dinar melepaskan ikatannya. Orang itu segera bersujud mensyukuri perlindungan dan penjagaan Tuhan yang tak terputus untuknya.
Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan menuju Baitullah.

Mengikuti Hawa Nafsu Menuju Setan

Alkisah, hiduplah seorang alim yang sangat tekun beribadah sepanjang waktu. Ia tinggal di pondoknya yang terpencil di tengah hutan. Kerjanya hanya mengabdi kepada Tuhan. Namanya Barshisa. Di zaman itu, negerinya diperintah oleh seorang Raja. Pada suatu hari, permaisuri Raja itu melahirkan seorang bayi perempuan yang amat cantik. Karena khawatir anak perempuannya tersentuh tangan laki-laki, Raja mengirimkan anaknya ke pondok Barshisa.

Barshisa pun memelihara anak itu. Ketika anak itu sampai di masa remaja, kecantikannya tiba pada puncaknya. Iblis datang menggoda sang alim itu. Akhirnya, terjadilah apa yang diharapkan Iblis, putri cantik itu hamil.

Ketika hamilnya mulai tampak, Iblis datang lagi dan berkata kepada orang alim itu, Hai Barshisa, kau adalah seorang zahid. Jika wanita yang kau hamili ini melahirkan, sudah pasti perbuatan hinamu ini akan tersebar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, bunuhlah wanita ini sebelum melahirkan. Lalu katakan kepada Raja bahwa putrinya meninggal karena suatu penyakit. Niscaya semua orang akan mempercayaimu dan sama-sama membenarkanmu. Kemudian kamu dapat menguburkan mayatnya tanpa sepengetahuan orang.

Terpengaruh oleh godaan Iblis dan takut bila aibnya diketahui orang, si alim pun membunuh putri Raja. Ia lalu pergi ke hadapan Raja dan melaporkan kematian putrinya. Raja pun percaya dan memberi izin untuk menguburkannya. Mendapat izin Raja, Barshisa menjadi lega dan ia segera menguburkan mayat putri itu dengan senang hati.

Sebentar kemudian, Iblis datang lagi ke hadapan Raja. Ia memberitahukan segala perbuatan Barshisa kepadanya. Ia berkata, Bongkarlah kuburan putrimu itu, lalu bedah perutnya. Jika di dalamnya kau temukan seorang bayi, maka kata-kataku ini benar. Jika tidak, kau boleh membunuhku.

Raja sangat heran mendengar omongan Iblis itu. Ia lalu menggali kubur dan membedah perut anaknya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati seorang bayi di perut putrinya.
Mengetahui perbuatan sang alim yang amat keji, Raja amat marah. Ia membawa Barshisa ke istana untuk dihukum salib.

Di saat Barshisa terlentang di tiang salib menanti saat-saat kematiannya, Iblis kembali datang ke hadapannya dan berkata, Hai Barshisa, aku dapat menolongmu dan melepaskanmu dari tiang salib ini, asalkan kau bersedia bersujud kepadaku. Karena kau berada di tiang salib, kau cukup tundukkan kepalamu ke arahku.

Demi terbebas dari kematian, sang alim itu pun menurut. Ia menundukkan kepalanya sebagai tanda sujud kepada Iblis.

Setelah itu, Iblis berkata, Aku tak boleh menolongmu. Aku takut kepada Allah seru sekalian alam. Iblis meninggalkannya dalam tiang salib. Matilah orang yang semula alim taat beribadah itu dalam keadaan kafir, menyembah Iblis.

Pilihan Yang Tepat

Raja Harun Al-Rasyid, seorang dari keturunan Bani Abbasiyah, memiliki seorang budak perempuan yang berparas buruk, berkulit hitam, dan tidak enak dipandang mata.
Pada suatu hari, Raja menaburkan wang untuk semua budaknya. Para budak saling berebut dan berlomba untuk mendapatkan wang tersebut kecuali seorang budak perempuan hitam yang buruk rupa itu. Ia tetap diam dan hanya memandang wajah Baginda. Raja merasa amat kehairanan dan bertanya, Mengapa kau diam saja? Ikutlah bersama teman-temanmu memperebutkan wang.

Budak itu menjawab, Wahai Baginda khalifah, jika semua budak berlomba untuk mendapatkan wang taburan Baginda, maka yang hamba impikan berbeda dengan mereka. Yang hamba angankan bukan wang taburan itu tapi yang hamba inginkan adalah sang pemilik wang taburan itu.
Mendengar jawaban budak itu, Raja Harun tercengang dan merasa takjub. Karena rasa kagumnya, ia jadikan budak itu sebagai permaisurinya.

Berita perkawinan seorang raja dengan budaknya tersebar kepada para pejabat lainnya. Mereka semua mencemooh Raja Harun dan mencela Raja yang mempersunting seorang budak hitam.

Raja mendengar semua cemoohan ini, ia lalu mengumpulkan semua pejabat itu dan menegur mereka.

Kemudian Raja memerintahkan untuk mengumpulkan semua budak di negerinya. Ketika semua budak telah berkumpul di hadapan Raja, Raja memberikan kepada masing-masing budak segelas berlian untuk dihancurkan.

Namun, semua budak menolak pemberian itu. Kecuali si budak hitam yang buruk rupa itu. Tanpa ragu, gelas itu diterima dan ia pecahkan. Menyaksikan hal ini, para pejabat itu berkata, Lihatlah budak hitam yang berperilaku sangat menjijikan ini!

Raja lalu menoleh ke arah budak hitamnya dan bertanya, Mengapa kau hancurkan gelas itu? Budak hitam menjawab, Aku lakukan hal ini karena perintahmu.

Menurut pendapat hamba, jika gelas ini aku pecahkan, berarti aku telah mengurangi perbendaharaan Khalifah. Tapi jika hamba tidak lakukan perintah Tuan, berarti aku telah melanggar titah Khalifah. Bila gelas ini hamba hancurkan, hamba pastilah seorang yang gila. Namun bila gelas ini tidak hamba pecahkan, berarti hamba telah melanggar perintah Khalifah. Bagiku, pilihan yang pertama lebih mulia daripada yang kedua. Mendengar jawaban yang singkat itu, semua pejabat yang hadir di tempat itu tercengang dan mengakui kecerdasan budak hitam itu. Akhirnya mereka menaruh hormat kepadanya dan memahami mengapa sang Khalifah jatuh hati kepadanya.

Kisah Darwis Dan Saudagar

Pada suatu hari, seorang darwis sedang berdoa dengan khusyu. Seorang saudagar kaya mengamatinya dan tersentuh karena kekhusyuan dan ketulusan darwis itu. Kepada darwis itu, ia menawarkan sekantung penuh wang, “Aku tahu kau akan menggunakan wang ini di jalan Tuhan. Ambillah wang ini.”

“Sebentar,” jawab sang darwis, “aku tak yakin apakah aku berhak untuk mengambil wangmu. Apakah kau orang kaya? Apakah kau punya wang lebih di rumahmu?” “Oh, iya. Setidaknya aku punya seribu keping emas di rumahku,” saudagar itu mengakui dengan bangga.

“Apa kau ingin punya seribu keping emas lagi?” darwis itu bertanya. “Tentu saja. Setiap hari aku bekerja keras untuk mendapatkan lebih banyak lagi wang.”
“Dan setelah itu, apa kau ingin punya lebih banyak lagi ribuan keping emas?”

“Pasti. Setiap hari, aku berdoa agar aku dapat menghasilkan lebih banyak wang untukku.”

Darwis itu lalu menyerahkan sekantung keping emas kembali kepada saudagar. “Maaf, aku tak dapat mengambil emasmu,” jawab darwis itu, “seorang yang kaya tak berhak untuk mengambil wang dari seorang pengemis.”

“Bagaimana kau ini? Enak saja kau sebut dirimu orang kaya dan kau panggil aku pengemis!” saudagar itumarah-marah.
Sang darwis menjawab, “Aku adalah orang kaya karena aku puas dengan apa saja yang Tuhan berikan kepadaku. Sementara kau adalah pengemis, karena tidak peduli berapa banyak yang kau miliki, kau selalu tidak puas, dan selalu meminta lebih kepada Tuhan”.

Bergantung Pada-Nya

Suatu saat, seorang sufi bernama Khafif pergi menunaikan haji dengan hanya membawa sebuah ember dan seutas tali untuk menimba air minumnya. Di tengah perjalanan, ia melihat beberapa ekor kijang sedang berdiri di tepian sumur, sedang meminum air dari sumur itu. Ketika Khafif mendekati sumur, kijang-kijang itu pun berlari menjauh dan permukaan air sumur mendadak turun.
Sekuat apa pun Khafif berusaha, ia tak juga dapat menimba air sumur itu. ia berdoa kepada Tuhan untuk menaikkan kembali permukaan air sumur itu seperti yang telah Tuhan lakukan untuk para kijang.
Lalu Suara Yang Agung menjawab, Kami tak dapat mengabulkan doamu; karena kau lebih bergantung kepada ember dan talimu daripada kepada kami. Ketika itu juga, Khafif membwang ember dan tali yang dibawanya dan permukaan air sumur pun langsung naik kembali. Segera Khafif menghapus rasa dahaganya.
Sepulang dari haji, Khafif menceritakan pengalamannya kepada Junaid Al-Baghdadi. Junaid berkata, Tuhan telah menguji kebergantunganmu kepadaNya. Jika saja kau menunggu sedikit lagi, air sumur itu akan meluap ke luar.

Korbankan Dirimu

Suatu hari, Abu Sa'id pergi berjalan-jalan. Beberapa orang murid, termasuk Sankani, ikut menemaninya. Ketika mereka tengah berjalan, Abu Sa?id melihat bahwa Sankani terlalu sibuk dengan penampilannya sendiri. Ia melarang Sankani untuk berjalan di depannya. Si murid itu pun pindah ke samping kiri Syeikh. Setelah beberapa saat, ia meminta lagi, Jangan berjalan di sebelah kiriku. Sankani berpindah lagi ke sebelah kanan tapi Abu Sa?id kembali melarangnya berjalan di sisi itu.
Sankani kebingungan dan kesal. Ia bertanya, ?Lalu di mana saya harus berjalan?? Abu Sa?id menjawabnya dengan sebuah cerita: ?Dahulu aku senang bepergian. Lalu aku menyesal karena perjalananku telah membuat aku kehilangan waktu untuk berguru kepada seorang syeikh. Ketika aku kembali belajar kepada syeikh itu, ia berkata bahwa aku tak usah menyesali sepuluh tahun kepergianku itu karena selama itu yang ia ajarkan sebenarnya hanya satu hal -dan hal itu pun amat singkat: Kurbankan ego-mu. Itu saja.
  
Kau Akan Bersama Dengan Yang Kau Cintai

Pada suatu hari, salah seorang pengikut Nabi Isa as berdakwah di sebuah kota kecil. Orang-orang memintanya untuk melakukan mukjizat; menghidupkan orang mati, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Isa.
Pergilah mereka ke pemakaman dan berhenti di sebuah kuburan. Santri Nabi Isa itu lalu berdoa kepada Tuhan agar mayat dalam kuburan tersebut dihidupkan kembali. Mayat itu bangkit dari kuburnya, melihat ke sekeliling, dan berteriak-teriak, ?Keledaiku! Mana keledaiku?? Ternyata semasa hidupnya, orang itu sangat miskin dan harta satu-satunya yang paling ia cintai adalah keledainya.
Santri Nabi Isa itu lalu berkata kepada orang-orang yang menyertainya, Engkau pun kelak seperti itu. Apa yang kau cintai akan menentukan apa yang akan terjadi denganmu saat engkau dibangkitkan. Anta ma'a man ahbabta. Di hari akhir nanti, engkau akan bersama dengan yang kaucintai.

Asal Api Di Neraka

Bahlul, sufi pandir yang bijaksana, suatu hari bertemu dengan khalifah Harun Al-Rasyid. “Habis dari mana kau, Bahlul?” tanya sang penguasa. “Dari neraka,” jawab sufi itu dengan enteng. “Apa yang kau lakukan di sana?” Bahlul menjelaskan, “Saya memerlukan api, Tuan. Jadi saya fikir lebih baik saya pergi ke neraka untuk meminta sedikit percikan api. Tapi Penjaga Neraka berkata: Kami tak punya api di sini. Tentu saja saya tanya: Lho, kok begitu? Bukankah neraka tempat yang penuh dengan api? Penjaga Neraka menjawab: Begini, sebenarnya di sini tak ada api sedikit pun. Setiap orang yang datang ke sini membawa apinya masing-masing.

Sedekah Seluruh Tubuh

Imam Ja’far Al-Shadiq as berkata, “Sedekah itu wajib dilakukan setiap anggota tubuhmu, untuk setiap helai rambutmu, dan untuk setiap saat dalam hidupmu.
“Sedekahnya mata berarti memandang dengan penuh pertimbangan dan memalingkan penglihatan dari nafsu dan hal-hal serupa itu. “Sedekahnya telinga adalah mendengarkan suara-suara yang baik, seperti ucapan-ucapan bijak, ayat-ayat Al-Quran, dan keutamaan agama yang terkandung dalam ceramah dan khutbah. Sedekahnya telinga juga berarti menghindari dusta, kepalsuan, dan perkataan-perkataan sejenis.
“Sedekahnya lidah adalah memberikan nasihat yang baik, membangunkan mereka yang lalai, memuji orang lain, dan mengingatkan mereka.

“Sedekahnya tangan berarti menginfakkan harta kepada orang lain, bermurah hati dengan karunia Tuhan kepadamu, memakai jemarimu untuk menuliskan pengetahuan yang berguna bagi orang lain dalam ketaatan kepada Tuhan, dan juga berarti menahan tanganmu dari berbuat dosa.

“Sedekahnya kaki berarti bergegas mengunjungi orang-orang saleh, menghadiri majlis-majlis ilmu, mendamaikan orang, menyambungkan silaturahmi, melaksanakan jihad, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menentramkan hatimu dan memperkuat imanmu…”

Pelayan Cantik Nishapur

Fariduddin Attar bercerita: Suatu saat, seorang saudagar dari Nishapur meminjamkan wang kepada orang yang berada jauh di kota lain. Ia ingin pergi ke tempat itu untuk menagih piutangnya. Saudagar itu mempunyai seorang pelayan yang teramat cantik dan ia tidak boleh menemukan orang yang boleh dipercaya untuk dititipi pelayan cantik itu. Akhirnya ia memutuskan untuk menitipkannya kepada seorang saleh, Hazrat Utsman Hariri.
Pada suatu hari, secara tak sengaja, Hariri melihat wajah gadis itu dan dia langsung jatuh cinta kepadanya. Tapi ia mampu mengendalikan dirinya. Lalu ia pergi ke guru spiritualna, Hazrat Abu Hafs Hadad untuk meminta pertolongan melunakkan hatinya yang bergejolak. Sang guru menyarankan ia untuk pergi ke Hazrat Yusuf bin Husain dan mengikuti nasihat yang akan ia berikan.
Ketika Hariri tiba di kota Yusuf, orang-orang mencegah ia untuk menjumpai Yusuf karena Yusuf dianggap telah sesat. Hariri pun pulang ke Nishapur. Ketika gurunya mengetahui hal ini, ia menyuruh Hariri untuk kembali pergi menemui Yusuf. Kali ini, Hariri langsung menemuinya.
Hariri amat terkejut saat menjumpai Yusuf sedang duduk bersama seorang pemuda tampan dengan sebotol anggur dan sebuah cawan terletak di hadapannya. Namun wajah Yusuf memancarkan cahaya kesalihan. Hariri tak dapat mengerti perilaku yang tak lazim ini dan ia hanya boleh duduk memperhatikan Yusuf.
Ketika Yusuf mulai berbicara, kata-katanya amat indah sehingga Hariri terpukau dibuatnya. Hariri menanyakan perilakunya yang aneh itu. Yusuf berkata, “Pemuda tampan ini anakku.dan ia sedang belajar Al-Quran bersamaku sementara botol ini hanya berisi air. Dan mengapa aku bertingkah laku seperti ini, ini semua untuk menghindarkan para saudagar menitipkan pelayan cantiknya kepadaku ketika ia pergi…”

Mencuri Wang Anak Sendiri

Seorang lelaki datang kepada Nabi saw, mengadukan ayahnya yang menghabiskan wang miliknya tanpa meminta izin terlebih dahulu kepadanya. Nabi yang mulia memanggil ayah orang itu ke hadapannya. Ketika lelaki jompo itu datang dengan tertatih-tatih bersandar pada tongkatnya, Nabi bertanya, “Betulkah kau mengambil wang anakmu tanpa seizinnya?”
“Wahai Nabi Allah,” lelaki itu menangis, “ketika aku kuat dan anakku lemah, ketika aku kaya dan dia miskin, aku tidak membelanjakan wangku kecuali untuk memberi makan kepadanya, bahkan terkadang aku membiarkan diriku kelaparan asalkan dia boleh makan. Sekarang aku telah tua dan lemah sementara anakku tumbuh kuat. Aku telah jatuh miskin sementara anakku menjadi kaya. Ia mulai menyembunyikan wangnya dariku. Dahulu aku menyediakan makan untuknya tapi sekarang ia hanya menyiapkan makan untuk dirinya. Aku tak pernah memperlakukan ia seperti ia mempelakukanku. Jika saja aku masih sekuat dulu, aku akan merelakan wangku untuknya.”
Ketika mendengar hal ini, airmata Nabi saw jatuh berlinang seperti untaian mutiara menimpa janggutnya yang suci, “Baiklah,” Nabi berkata, “habiskan seluruh wang anakmu sekehendak hatimu. Wang itu milikmu…”

Penderitaan Awal Pencerahan I

Suatu hari, seorang lelaki tengah memecah tanah dengan cangkul. Seorang lelaki lain yang bodoh datang kepadanya dan berteriak, "Hei, mengapa kau merusak tanah itu?"
"Tolol!" jawab si pencangkul, "Pergilah kau dan jangan ganggu aku! Mengertilah perbedaan antara penghancuran dan pertumbuhan. Bagaimana mungkin tanah ini berubah menjadi kebun mawar atau ladang gandum, bila sebelumnya tak kau pecah-pecah dan kau rusak? Bagaimana mungkin tanah ini menjadi petamanan yang penuh dengan dedaunan dan buah-buahan, bila sebelumnya tak kau hancurkan dan kau remukkan?
"Sebelum kau pecahkan bisulmu dengan pisau, bagaimana mungkin penyakitmu itu dapat sembuh? Sebelum tabib memulihkan kesehatanmu dengan obatnya yang pahit, bagaimana mungkin penyakitmu dapat hilang?
"Ketika seorang penjahit menggunting sepotong kain, sedikit demi sedikit, apakah ada orang yang mendatanginya dan berteriak: Mengapa kau rusak satin indah ini? Apa gunanya serpihan-serpihan kain satin? Ketika para tukang datang untuk memperbaiki bangunan tua, bukankah mereka memulai pekerjaan mereka dengan menghancurkan bangunan itu terlebih dahulu?
"Lihatlah para tukang kayu, pandai besi, atau tukang daging. Kau akan temukan bahwa penghancuran adalah awal dari pembaharuan. Penderitaan adalah awal dari pencerahan. Bila kau tak membiarkan biji-biji gandum itu untuk digiling, dari mana dapat kau peroleh roti untuk makananmu?”

Penderitaan Awal Pencerahan II

Seorang koki memasukkan buncis ke dalam kuali yang penuh minyak untuk dimasak. Buncis itu melompat-lompat kepanasan, ia meronta, meloncat ke tepi kuali dan berteriak, "Mengapa kau bakar aku? Tak cukupkah kau telah beli aku? Mengapa kau juga harus menyiksaku?"
Koki itu membenamkannya kembali ke dalam kuali dengan sendoknya dan berkata, "Tenanglah, mendidihlah engkau dengan baik! Jangan lompat terlalu jauh dari ia yang menyalakanmu. Aku tak merebusmu karena aku membencimu. Aku memasakmu agar kau menjadi lezat dan penuh cita rasa. Agar kau dapat menjadi makanan dan bersatu dengan kehidupan. Penderitaanmu tak disebabkan karena aku menghinakanmu! Ketika kau segar dan hijau, kau selalu meminum air di kebun. Kau meminum air itu untuk bersiap menghadapi api ini."
Kasih sayang Tuhan lebih besar dari penderitaan yang Dia berikan. Kasih sayang-Nya senantiasa lebih besar dari murka-Nya. Kau dididihkan dalam penderitaan dan kesengsaraan, tiada lain agar ego dan eksistensi dirimu lenyap tak berbekas! Kau berubah menjadi makanan, kekuatan, dan fikiran yang luhur. Dahulu kau lemah, kini kau seperkasa singa hutan.

Jangan Pernah Berpaling Dariku

Pada suatu saat, Tuhan berbisik kepada Musa, dalam keheningan hatinya, "Wahai hamba pilihan-Ku, Aku mencintaimu!"
Musa menjawab dengan pertanyaan, "Wahai Sang Mahapemurah, katakan padaku, sifat apa dari diriku yang membuat-Mu mencintaiku, supaya aku dapat senantiasa mempertahankan dan menghiasnya."
"Kumencintaimu karena engkau seperti anak kecil," jawab Tuhan, "Anak kecil yang berada dalam naungan ibunya. Meskipun sang ibu mengusirnya, ia tetap bergantung padanya. Untuknya, tak ada orang lain di dunia ini selain sang ibu. Semua sedih dan bahagia hanya bersumber dari ibunya.
"Meskipun sang ibu memukulnya, ia tetap memburu dan memeluk ibunya. Ia tak pernah meminta pertolongan selain kepada sang ibu. Ibunyalah sumber segala sesuatu, baik maupun buruk.
"Begitu pula hatimu. Dalam suka atau pun duka, ia tak pernah berpaling dari-Ku. Dalam pandanganmu, makhluk lain hanyalah bebatuan dan bongkahan tanah…”

Kau Tak Tahu Apa Yang Kauminta

Suatu hari, Isa as sedang berjalan di tengah gurun. Beberapa orang pencinta dunia mengikutinya. Mereka meminta Isa, "Katakanlah pada kami mantra apa yang kau pakai untuk menghidupkan orang mati."
Isa menjawab, "Jika kukatakan, kalian akan menyalahgunakan bacaan itu." Mereka bersumpah bahwa bacaan itu akan mereka gunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Mereka tetap meminta Isa untuk memberitahukan bacaan itu.
"Kau tak tahu apa yang kauminta," ujar Isa. Tetapi mereka tak mendengarkannya.
Akhirnya Isa memberitahukan bacaan rahasia itu. Tak lama sesudah itu, kelompok orang tersebut menemukan tumpukan tulang belulang di tengah padang pasir. "Mari kita coba, mantra ini berhasil atau tidak," ucap mereka. Bacaan itu pun digumamkan. Keajaiban segera terjadi. Tumpukan tulang itu diliputi kembali oleh darah dan daging, berubah menjadi binatang buas, dan mengoyak-koyakan tubuh orang-orang yang menghidupkannya.

Sultan Dan Sufi

Alkisah, seorang Sultan sedang berparade di jalan-jalan utama kota Istanbul, dengan dikelilingi para pengawal dan tentaranya. Seluruh penduduk kota datang untuk melihat sang Sultan. Semua orang memberikan hormat ketika Sultan lewat, kecuali seorang darwis yang amat sederhana.
Sang Sultan segera menghentikan paradenya dan menyuruh tentaranya untuk membawa darwis itu menghadap. Ia menuntut penjelasan mengapa darwis itu tak memberikan penghormatan kepadanya ketika ia lewat.

Darwis itu menjawab, "Biarlah semua orang ini menghormat kepadamu. Mereka semua menginginkan apa yang ada padamu; harta, kedudukan, dan kekuasaan. Alhamdulillah, segala hal ini tak berarti bagiku. Lagipula, untuk apa saya menghormat kepadamu apabila saya punya dua budak yang merupakan tuan-tuanmu?"

Semua orang di sekelilingnya ternganga. Wajah sang Sultan memerah karena marah. "Apa maksudmu?" bentaknya.

"Kedua budakku yang menjadi tuanmu adalah amarah dan ketamakan," ujar darwis itu tenang seraya menatap kembali kedua mata Sultan. Sultan itu pun tersadar akan kebenaran ucapan orang itu dan ia balik menghormat sang darwis.

Kisah Pemuda Qazwin

Sebuah suku di daerah Qazwin memiliki kebiasaan untuk menghias tubuh mereka dengan tato. Mereka menggambari kulit mereka dengan lukisan-lukisan yang gagah, seperti lukisan seorang pejwang yang memerangi kejahatan.

Seorang pemuda dari Qazwin pergi menemui tukang tato yang pekerjaannya ialah menggambar tato dengan jarum yang cukup tajam. Ia meminta tukang itu untuk mentato tubuhnya dengan gambar singa yang amat buas. "Bintangku adalah Leo, jadi singa adalah gambar yang amat pantas bagiku. Hiasilah punggungku yang kokoh ini dengan gambar singa." Tukang itu menyanggupinya.

Pada saat tukang tato itu menancapkan ujung jarum untuk mulai menggambar, pemuda itu merasa amat kesakitan. Punggungnya diderita nyeri yang luar biasa. Ia menjerit, "Oh, jarum itu menyakitiku! Apa yang kau lakukan?" Tukang itu menjawab bahwa ia sedang menggambar singa seperti yang diperintahkan.

"Bagian apa dari tubuh singa yang sedang kau kerjakan?" tanya pemuda itu seraya menahan sakit.

"Aku baru saja akan menggambar ekor singa ini," jawab tukang tato. Pemuda itu meminta agar singa itu tak usah memiliki ekor karena gambar ekor itu ternyata amat menyakiti punggungnya. Kalau ujung ekornya saja sudah sedemikian menyakitkan, apalagi jika keseluruhan ekor yang panjang itu digambar, "Biarkan singaku tak memiliki ekor. Hatiku tak tahan akan ujung jarum tatomu."

Tukang itu pun mulai menggambar bagian lain dari singa di atas punggung pemuda itu. Kembali pemuda itu berteriak keras, "Apa yang kau tato sekarang?" Tukang itu menjawab bahwa ia sekarang tengah melukis bagian telinga.

"Biarkan singaku tak memiliki telinga. Demi Tuhan, tinggalkan saja bagian telinganya," pinta pemuda itu. Tukang tato itu pun dengan patuh pindah mengerjakan bagian lain. Kembali, pemuda itu berteriak kesakitan, "Oh, tukang tato yang terhormat, kali ini apa yang sedang kau kerjakan?" Tukang itu pun menjelaskan bahwa ia tengah melukis bagian perut.

"Tinggalkan bagian perutnya. Aku tak memerlukan bagian perut dari singa itu untuk tatoku!" pemuda itu menjerit.

Akhirnya, tukang tato itu benar-benar kehilangan kesabaran. Ia berdiri kehairanan. Dengan kesal, ia membanting jarumnya dan memaki, "Kau ini gila! Tak ada di dunia ini seekor singa pun yang tak memiliki ekor, telinga, atau perut! Tuhan pun tak akan menciptakan singa semacam itu!"

Rumi menutup cerita ini dengan berkata, "Saudaraku, tahanlah rasa sakit dari ‘jarum’ itu. Pada akhirnya ia akan memberikanmu kenikmatan yang luar biasa. Matahari, Bulan, dan Angkasa akan menghormati ketahanan dirimu." Bersabarlah menanggung derita dan segala kepedihanmu karena kebahagiaan di akhir hanya akan diperoleh melalui penderitaan sebelumnya.

Darwis Yang Mengetuk Pintu

Seorang darwis mengetuk pintu sebuah rumah, meminta sepotong roti untuk ia makan. Roti kering atau roti basah, tak menjadi soal.

"Ini bukan Toko Roti." jawab pemilik rumah dengan ketus.

"Kalau begitu, apakah kau memiliki sedikit daging?" darwis itu masih memohon.

"Memangnya rumah ini kelihatan seperti Tempat Jagal?"

"Dapatkah kuminta sedikit tepung?"

"Memangnya kau dengar suara penggilingan dari rumah ini?
"
"Kalau begitu, seteguk air saja...."

"Di sini tidak ada sumur!"

Apa pun yang diminta oleh darwis itu, selalu dijawab oleh pemilik rumah dengan ucapan yang melecehkan. Ia tak mau memberi apa pun untuk darwis itu.

Akhirnya darwis itu berlari masuk ke dalam rumah, mengangkat jubahnya, dan berjongkok seolah-olah hendak membwang hajat.

"Hey, hey! Apa yang kau lakukan?" teriak sang pemilik rumah kehairanan.

"Diam kau, orang yang menyedihkan! Tempat kosong seperti ini hanya pantas untuk menjadi tempat bwang hajat. Karena tak ada seorang pun atau apa pun yang ada di sini, tempat ini harus diberi pupuk agar menjadi subur."

Darwis itu lalu berkata, "Jika kau burung, jenis apa kau? Kau bukanlah helang yang dilatih untuk menjadi peliharaan bangsawan. Bukan pula Merak yang memesona setiap yang memandangnya. Bukan pula Kakaktua yang berkisah lucu. Dan bukan pula Kutilang yang bernyanyi kasmaran.

"Kau bukan Hudhud yang membawa pesan untuk Sulaiman, atau Bangau yang membangun sarang di tepi tebing.

"Apakah kau ini? Kau spesies tak dikenal. Kau berdalih dan bercanda untuk mempertahankan harta milikmu. Kau telah melupakan Dia Yang tak peduli akan harta benda, Yang tak mengambil keuntungan dari setiap hubungan-Nya dengan manusia…”

Tanda Hukuman Tuhan

Di zaman Nabi Syuaib, seorang pria datang ke hadapan Nabi, "Tuhan telah menyaksikan semua dosa yang aku lakukan. Namun karena kemurahanNya, Ia masih juga belum menghukumku."
Tuhan lalu berkata kepada Syuaib, "Katakan pada orang itu: Engkau merasa Tuhan belum menghukummu padahal sebaliknya.

"Tuhan telah menghukum tetapi kau tak menyadarinya. Kau berkelana di tengah rimba tanpa tujuan. Tangan dan kakimu terikat. Kau tak lain hanyalah waja yang penuh dengan karat.

"Semakin hari kau dibutakan oleh hal-hal spiritual. Bila api mengenai waja yang masih bersih, jelaganya terlihat seketika. Tapi dengan waja yang permukaannya amat hitam seperti milikmu, siapa yang mampu melihat betapa tebalnya jelaga itu?

"Ketika kau berhenti mengingat-Nya, lapisan karat itu bergerak menuju jiwamu.

"Bila kau menulis di atas sehelai kertas, tulisan itu akan mudah terbaca. Namun bila kertas itu kau remas berulang kali, apa yang kau tulis akan sulit untuk kau baca.

"Tenggelamkan dirimu dalam larutan pembersih karat. Hapus jelaga itu seluruhnya."

Setelah Syuaib mengutarakan semua ini, saat itu pula mawar bermekaran di hati pria itu. Tapi ia masih bertanya, "Aku masih ingin tahu satu tanda bahwa Dia benar-benar telah menghukumku."
Sekali lagi Tuhan, melalui lidah Syuaib, berkata, "Aku takkan menyingkapkan rahasiamu, tapi Aku akan tunjukkan sehingga kau mengerti.

"Dalam hidupmu, kau telah banyak beramal salih. Kau sering berpuasa dan salat malam. Tapi kau belum menikmati semua itu. Kau memiliki banyak buah, namun tak ada yang rasanya manis. Tanpa cita rasa dan benih kenikmatan, sebiji epal takkan tumbuh menjadi pohon yang penuh dengan buah. Begitu pula dengan ibadahmu, ibadah tanpa kenikmatan tak lebih dari sekadar khayalan…”

Tertipu Berulang Kali

Di suatu hari, seorang lelaki sedang dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya. Ia berjalan dengan menuntun seekor domba di belakangnya. Seorang pencuri melihat hal ini. Ia mengendap-endap dan memutuskan tali kekangnya dan mengambil domba itu. Setelah beberapa saat, sang empunya domba menyadari bahwa miliknya telah hilang. Ia berlari ke sana kemari mencari dombanya dengan panik.

Sampailah ia pada sebuah sumur. Di tepi sumur itu ia melihat pencuri yang tadi mengambil dombanya tapi ia tak tahu bahwa orang itulah yang telah mencuri domba miliknya. Ia bertanya kepada orang itu apakah ia melihat seekor domba di sekitar tempat itu.

Pencuri itu tidak menjawab, ia malah menangis, bersimpuh di tepian sumur. "Mengapa kau menangis?" tanya pemilik domba kehairanan.

"Dompetku jatuh ke dalam sumur ketika aku menimba air. Jika kau dapat membantuku mengambilnya, aku akan berikan kau seperlima dari wang yang ada dalam dompet itu. Kau akan mendapatkan seperlima dari seratus dinar emas di tanganmu!"

Pemilik domba berfikir, "Wah, wang itu cukup untuk membeli lebih dari sepuluh domba! Bila satu pintu tertutup, sepuluh pintu lain akan terbuka."

Ia segera membuka pakaiannya dan turun ke dasar sumur. Tentu saja, di dalam sumur itu tak terdapat apa-apa. Dan si pencuri pun melarikan pakaian orang itu.

Apabila satu kerugian saja membuatmu amat gelisah, maka kerugian-kerugian lain akan datang kepadamu dengan mudah. Setan menampakkan dirinya kepadamu dalam beragam penyamaran. Selamatkan dirimu kepada Tuhan dan Ia takkan menipumu.

Kerinduanmu Padaku Adalah Utusanku Bagimu

Pada suatu saat, seorang sufi tengah tenggelam dalam doa-doanya. Setan datang menghampirinya dan berkata, "Sampai kapan kau akan terus seperti ini, memanggil-manggil Tuhan. Diamlah kau, Tuhan takkan pernah menjawabmu!
"
Sufi itu menjadi teramat sedih dan termenung diam. Ia tak meneruskan doanya.
Di malam harinya, Nabi Khidhir hadir dalam mimpinya dan bertanya, "Mengapa engkau berhenti menyeru Tuhanmu?"

"Karena jawaban dari-Nya tak juga kuterima," berkata sufi itu.

Khidhir menjawab, "Tuhan sendiri yang menyuruhku untuk datang padamu. Dia berkata: Bukankah Aku yang memerintahkanmu untuk berdoa? Bukankah Aku yang menyibukkanmu dengan nama-Ku? Rintihanmu memanggil nama-Ku; Allah, Allah! adalah jawaban-Ku untukmu.
"Kerinduanmu pada-Ku adalah utusan-Ku bagimu. Akulah sumber dari semua air mata dan rintihanmu. Akulah yang memberi sayap bagi iringan munajatmu”

Hadiah Shalat Malam

Seorang pencuri masuk ke rumah Ahmad bin Khazruya, seorang sufi besar. Ia sibuk mencari barang berharga untuk dicuri, tetapi ia tak menemukan apa-apa. Ketika pencuri itu hendak pergi dengan kecewa, Ahmad, sang sufi, memanggilnya.

"Anak muda, ambillah ember ini dan timba air dari sumur. Berwudhulah kau dengan air itu dan dirikanlah salat. Kalau ada sesuatu, nanti aku berikan padamu, supaya kau tak pulang dengan tangan hampa," ujar Ahmad.

Orang itu mengikuti perintah Ahmad. Ketika pagi tiba, seorang pria dari kota datang membawa kantong berisi seratus dinar dan memberikannya pada Ahmad. Ahmad lalu memberikannya pada si pencuri.

"Bawalah ini sebagai hadiah untuk salat malammu," ia berkata.

Tubuh pencuri itu bergetar. Ia langsung menangis terisak-isak.

"Aku telah salah mengambil jalan," ucapnya di sela tangisan, "tapi semalam saja aku bekerja untuk Tuhan, Dia telah memberiku ganjaran seperti ini...."

Pencuri itu bertaubat, kembali kepada Tuhan. Ia menolak mengambil wang emas itu, dan menjadi salah seorang murid setia Ahmad bin Khazruya.

Duduk Bertumpang Kaki

Seorang sufi ternama, Ibrahim bin Adham, dikenal orang tak pernah duduk dengan menumpangkan kakinya. Seorang muridnya kehairanan dan bertanya, “Wahai Guru, mengapa kau tak pernah duduk dengan bertumpang kaki?”

“Aku pernah melakukan itu satu kali,” jawab Ibrahim, “Tapi kemudian aku dengar sebuah suara dari langit: Hai Anak Adham, apakah seorang hamba duduk seperti itu di hadapan tuannya?” Aku segera duduk tegak dan memohon ampun.”

Satu Hati Dua Cinta

Suatu hari, Fudhail bin Iyadh, duduk memangku anaknya yang berusia empat tahun. Sesekali ia mencium pipi anak itu sebagai ungkapan rasa sayang.

“Ayah, apakah kau mencintai aku?” tanya anak itu.

“Ya,” jawab Fudhail.

“Apakah kau mencintai Tuhan?”

“Ya.”

“Berapa hati yang kau miliki, Ayah?”

“Satu.”

“Dapatkah kau mencintai dua hal dengan satu hati?” anak itu bertanya lagi.

Saat itu pula Fudhail terhenyak. Ia sadar yang berbicara bukanlah anak kecilnya melainkan Yang Mahakuasa. Merasa malu, ia mulai memukuli kepalanya dan bertaubat. Sejak saat itu, ia hanya persembahkan hatinya untuk Tuhan.

Kehebatan Lelaki Sejati

“Tuanku, engkau boleh berjalan di atas air!” murid-muridnya berkata dengan penuh kekaguman kepada Bayazid Al-Busthami.

“Itu bukan apa-apa. Sepotong kayu juga boleh,” Bayazid menjawab.

“Tapi engkau juga terbang di angkasa.”

“Demikian juga burung-burung itu,” tunjuk Bayazid ke langit.

“Engkau juga mampu bepergian ke Ka’bah dalam semalam.”

“Setiap pengelana yang kuat pun akan mampu pergi dari India ke Demavand dalam waktu satu malam,” jawab Bayazid.

“Kalau begitu, apa kehebatan seorang lelaki sejati?” murid-muridnya ingin tahu.

“Lelaki sejati,” jawab Bayazid, “adalah mereka yang mampu melekatkan hatinya tidak kepada sesuatu pun selain Tuhan,”

Mengundang Tuhan Makan Malam

Pada suatu hari, beberapa orang dari Bani Israil datang menemui Musa as dan berkata, Wahai Musa, bukankah kau boleh bicara dengan Tuhan? Tolong sampaikan pada-Nya, kami ingin mengundang-Nya makan malam.

Musa marah luar biasa. Ia berkata bahwa Tuhan tidak perlu makan atau minum.

Ketika Musa datang ke Gunung Sinai untuk berbicara dengan Tuhan, Tuhan bersabda,

Mengapa kau tidak menyampaikan kepada-Ku undangan makan malam dari hamba-Ku? Musa menjawab, Tapi Tuhanku, Engkau tidak makan. Engkau pasti tidak akan menerima undangan tolol seperti itu. Tuhan berkata, Simpan pengetahuanmu antara kau dan Aku. Katakan pada mereka, Aku akan datang memenuhi undangan itu.

Turunlah Musa dari Gunung Sinai dan mengumumkan bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama Bani Israil. Tentu saja semua orang, termasuk Musa, menyiapkan jamuan yang amat mewah. Ketika mereka sedang sibuk memasak hidangan-hidangan terlezat dan mempersiapkan segalanya, seorang kakek tua muncul tanpa diduga.

Orang itu miskin dan kelaparan. Ia meminta sesuatu untuk dimakan. Para koki yang sibuk memasak menolaknya, Tidak, tidak. Kami sedang menunggu Tuhan. Nanti ketika Tuhan datang, kita makan bersama-sama. Mengapa kamu tidak ikut membantu. Lebih baik kamu ikut mengambilkan air dari sumur!

Mereka tidak memberi apa-apa untuk kakek malang itu. Waktu berlalu tetapi Tuhan ternyata tidak datang. Musa menjadi amat malu dan tidak tahu harus berkata apa kepada para pengikutnya.

Keesokan harinya, Musa pergi ke Gunung Sinai dan berkata, Tuhan, apa yang Kau lakukan kepadaku?

Aku berusaha meyakinkan setiap orang bahwa Kau ada. Kau katakan Kau akan datang ke jamuan kami, tapi Kau ternyata tak muncul. Sekarang tidak ada yang akan mempercayaiku lagi!

Tuhan menjawab, Aku datang. Jika saja kau memberi makan kepada hamba-Ku yang miskin, kau telah memberi makan kepada-Ku. Tuhan bersabda, Aku, Yang tidak akan boleh dimasukkan ke seluruh semesta, boleh dimasukkan ke dalam hati hamba-Ku yang beriman.

Ketika kita berkhidmat kepada hamba Tuhan, kita telah berkhidmat kepada-Nya. Ketika kita mengabdi kepada makhluk, sesungguhnya kita juga mengabdi kepada Sang Khalik.

Sibuk Mengurus Hati

Suatu ketika, seorang Arab datang ingin berguru kepada Abu Said Abul Khair, seorang tokoh sufi yang terkenal karena karamahnya dan gemar mengajar tasawuf di pengajian-pengajian. Rumah guru sufi itu terletak di tengah-tengah padang pasir. Ketika orang itu tiba, Abul Khair sedang memimpin majlis simaan (acara mendengarkan orang membaca doa, -red.) di tengah para pengikutnya. Waktu itu Abul Khair membaca Al-Fatihah. Ia tiba pada ayat: ghairil maghdubi alaihim, wa laz zalim. Orang Arab itu berfikir, '?Bagaimana mungkin aku boleh berguru kepadanya. Baca Al-Quran saja, ia tidak boleh. Orang itu mengurungkan niatnya untuk belajar kepada Abul Khair.

Begitu orang itu keluar, ia dihadang oleh seekor singa padang pasir yang buas. Ia mundur tetapi di belakangnya ada seekor singa lain yang menghalanginya. Lelaki Arab itu menjerit keras karena ketakutan. Mendengar teriakannya, Abul Khair turun keluar meninggalkan majlisnya. Ia menatap kedua ekor singa itu dan menegur mereka, Bukankah sudah kubilang jangan ganggu para tamuku!? Kedua singa itu lalu bersimpuh di hadapan Abul Khair.

Sang sufi lalu mengelus telinga keduanya dan menyuruhnya pergi. Lelaki Arab itu kehairanan, Bagaimana Anda dapat menaklukkan singa-singa yang begitu liar? Abul Khair menjawab, Aku sibuk memperhatikan urusan hatiku. Untuk kesibukanku memperhatikan hati ini, Tuhan menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku. Sedangkan kamu sibuk memperhatikan hal-hal lahiriah, karena itu kamu takut kepada seluruh alam semesta.


Membakar Diri Demi Dia

Salah satu tokoh sufi terbesar, Fariduddin Attar, bercerita; Pada suatu malam, sekelompok laron berkumpul bersama. Mereka bercerita tentang kerinduan yang menyiksa; keinginan untuk bergabung dengan cahaya sebuah lilin. Semua berkata, “Kita harus temukan seekor laron  yang dapat menceritakan lilin yang amat kita dambakan itu.”
            Salah seekor laron lalu pergi ke sebuah puri dan melihat seberkas cahaya lilin di dalamnya. Ia kembali dan bercerita tentang apa yang ia telah lihat. Tapi seekor laron yang bijak, pemimpin kelompok itu, hanya berkata, “Ia tak punya berita yang sesungguhnya tentang lilin itu.” Seekor laron yang lain pergi menuju puri itu dan terbang mendekati cahaya lilin, bergerak ke arahnya, dan menyentuh sedikit nyala api dengan sayapnya. Setelah itu, ia kembali ke kelompoknya dan menjelaskan tentang penyatuan dirinya dengan lilin itu. Tapi si laron bijak lalu berkata lagi, “Penjelasanmu tak lebih berarti dari penjelasan laron sebelum kamu.”
            Laron ketiga bangkit, dan melemparkan dirinya ke arah nyala lilin. Ia mendorong dirinya ke depan lilin dan mengarahkan sungutnya kepada api. Begitu seluruh tubuhnya dilalap api, tubuhnya menjadi merah menyala seperti api itu sendiri. Si laron bijak memandang dari kejauhan dan melihat bahwa lilin itu telah menerima seekor laron tadi sebagai bagian dari dirinya dan memberikan kepada laron itu cahayanya. Si laron bijak berkata, “Seekor laron itu telah mengetahui apa yang ia capai. Sesuatu yang takkan diketahui laron-laron lainnya.”
            Attar menutup kisah ini dengan berkata: Sebenarnya, hanya orang yang telah meninggalkan pengetahuan akan keberadaan dirinya, yang dapat memiliki pengetahuan akan eksistensi Sang Tercinta. Selama kau masih memperdulikan jiwa dan ragamu, bagaimana kau mampu mengenal Dia yang kau cinta ?

Jibril Menyembah Tuhan

Syahdan, Tuhan bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, seandainya Aku menciptakan engkau sebagai seorang manusia, bagaimana caranya engkau akan beribadah kepada-Ku?”
            “Tuhanku,” jawab Jibril, “Engkau mengetahui segalanya –segala sesuatu yang pernah terjadi, akan terjadi, atau mungkin terjadi.  Tak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang tersembunyi dari-Mu. Engkau pun tahu bagaimana aku akan menyembah-Mu.”
            Allah bersabda, “Benar. Aku tentu mengetahui hal itu. Tetapi hamba-hamba-Ku tidak mengetahuinya. Jadi, katakanlah sehingga hamba-hamba-Ku dapat mendengar dan mengambil pelajaran darinya.”
            Lalu Jibril pun berkata, “Tuhanku, seandainya aku diciptakan sebagai manusia, aku akan menyembah-Mu dalam tiga cara. Pertama, aku akan beri minum mereka yang kehausan. Kedua, aku akan menutupi kesalahan-kesalahan orang lain ketimbang membicarakannya. Ketiga, aku akan menolong mereka yang miskin.” Allah kemudian berfirman, “Karena Aku tahu bahwa engkau akan melakukan hal-hal tersebut, maka Aku telah memilihmu sebagai pembawa wahyu dan menyampaikannya kepada para nabi-Ku. “
            Tutupilah aib orang lain, sehingga aibmu pun disembunyikan. Maafkanlah dosa orang lain, agar dosamu juga diampuni. Jangan singkapkan kesalahan orang lain, agar hal yang sama tidak terjadi padamu.

Nabi Isa Dan Dunia

Suatu saat, Nabi Isa as berjumpa dengan seorang wanita tua yang berwajah amat buruk. “Akulah dunia,” kata nenek tua buruk rupa itu. Isa as bertanya kepadanya, berapa orang suami yang pernah ia punyai. “Tak terhitung jumlahnya,” ia menjawab.
            “Apakah suami-suamimu meninggal atau menceraikanmu?” Isa as bertanya lagi. “Tidak,” jawab nenek itu, “aku membunuh mereka semua.”
            Lalu Isa as berkata, “Aku tak bisa mengerti. Mengapa masih saja ada orang yang tahu apa yang telah kau perbuat kepada manusia, tetapi mereka masih tetap menginginkanmu…”

Menuai Tanaman Dunia

Seorang yang dikenal amat kikir, suatu hari sedang duduk di pintu kedainya sambil menikmati secangkir kopi. Seorang gila menghampirinya dan meminta sedikit uang untuk membeli yoghurt.  Pedagang kikir itu berusaha mengacuhkannya tetapi si gila tetap tak mau pergi dan malah membuat keramaian.
            Orang-orang yang lewat dan melihat hal itu lalu menawarinya uang. Tapi si gila bersikeras bahwa ia hanya menginginkan uang dari si kikir. Akhirnya, si kikir memberinya sedikit uang receh untuk membeli yoghurt. Si gila kemudian meminta tambahan uang untuk membeli roti yang akan dimakannya bersama yoghurt itu. Pedagang kikir itu tentu saja sudah tak bisa membiarkan hal ini, dan ia tegas-tegas menolaknya.
            Malamnya, orang kikir itu bermimpi. Dalam mimpinya, ia telah berjalan di dalam surga. Tempatnya sangatlah indah, penuh dengan sungai, pepohonan, dan bunga-bungaan. Setelah beberapa saat berjalan di sana, ia merasa lapar. Ia keheranan, di tengah semua keindahan surga, ia tak melihat sedikit pun makanan.
            Ketika itu, muncullah seorang pemuda bewajah tampan bercahaya. Si kikir bertanya kepadanya, “Apakah ini benar-benar surga?” Pemuda itu mengiyakan. “Lalu, di mana gerangan segala makanan dan hidangan surga yang telah sering aku dengar itu?” tanya orang kikir itu lagi.
            Pemuda tampan itu permisi sebentar. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa semangkuk yoghurt. Pedagang kikir lalu meminta roti untuk dimakan bersama yoghurt tapi pemuda itu menjawab, “Yang engkau kirimkan kemari hanyalah yoghurt ini saja. Seandainya engkau mengirimkan roti, tentu sekarang aku dapat menyuguhkanmu roti juga. Yang engkau tuai di sini adalah apa yang engkau tanam sewaktu di dunia.”
            Si kikir terbangun dari mimpinya. Peluh membasahi seluruh tubuhnya. Sejak saat itu ia menjadi salah seorang yang paling pemurah di kotanya. Diberikannya makanan kepada setiap pengemis dan orang miskin yang dijumpainya.

Ketika Nabi Ibrahim Menangis

Suatu hari, seorang tokoh sufi besar, Ibrahim bin Adham, mencoba untuk memasuki sebuah tempat pemandian umum. Penjaganya meminta uang untuk membayar karcis masuk. Ibrahim menggeleng dan mengaku bahwa ia tak punya uang untuk membeli karcis masuk.
            Penjaga pemandian lalu berkata, “Jika engkau tidak punya uang, engkau tak boleh masuk.”
            Ibrahim seketika menjerit dan tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar ratapan-ratapan kesedihan. Para pejalan yang lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan menawarinya uang agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.
            Ibrahim menjawab, “Aku menangis bukan karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini. Ketika si penjaga meminta ongkos untuk membayar karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu yang membuatku menangis. Jika aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini kecuali jika aku membayar tiket masuknya, harapan apa yang bisa kumiliki agar diizinkan memasuki surga? Apa yang akan terjadi padaku jika mereka menuntut: Amal salih apa yang telah kau bawa? Apa yang telah kau kerjakan yang cukup berharga untuk bisa dimasukkan ke surga?  Sama ketika aku diusir dari pemandian karena tak mampu membayar, aku tentu tak akan diperbolehkan memasuki surga jika aku tak mempunyai amal salih apa pun. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”
            Dan orang-orang di sekitarnya yang mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama Ibrahim.

Kucing Dan Daging Kambing

Rumi bercerita; Alkisah, hiduplah seorang istri yang amat licik. Ia selalu menghabiskan setiap makanan yang dibawa oleh suaminya pulang, dan berbohong tentang hal itu.
            Suatu saat, suaminya pulang dengan membawa daging kambing untuk dihidangkan kepada tamunya yang akan tiba. Suami itu telah bekerja selama dua ratus hari untuk bisa membeli daging mahal tersebut.
            Ketika suaminya tidak di tempat, istri yang rakus itu segera memotong daging dan memasaknya menjadi kebab (sebuah hidangan khas Timur Tengah, -red.) Dan ia makan semua masakan itu, diselingi dengan minum anggur.
            Suaminya datang ke rumah bersama tamu yang dijemputnya. “Daging itu dimakan kucing,” istrinya berbohong, “kalau kau masih punya uang, belilah lagi.”
            Sang suami lalu meminta pelayan untuk membawakan timbangan dan kucing yang dituduh itu. Berat kucing itu adalah tiga kilogram. “Daging kambing itu beratnya tiga kilogram dan satu ons,” ujar suami itu sambil menggendong kucing, “kalau benda ini adalah kucing, lalu di mana daging kambingnya? Kalau benda ini adalah daging kambing, lalu di mana kucingnya? Carilah mana kucing itu, atau mana daging kambing itu!”
            Rumi menutup cerita itu dengan menulis: Jika kau memiliki raga, lalu di mana ruhnya? Jka kau memiliki ruh, lalu di mana raganya ?
 

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts