بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Kamis, 14 Maret 2013

PENGARUH TEORI HANS KELSEN TERHADAP TATA URUTAN HUKUM NASIONAL DI INDONESIA



MAKALAH TEORI HUKUM


PENGARUH TEORI HANS KELSEN TERHADAP TATA URUTAN HUKUM NASIONAL DI INDONESIA






OLEH



LA PATUJU
MH.12.21.1344



PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2012


KATA PENGANTAR

 
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini sebagai tugas mata kuliah Teori Hukum. Tentunya, penulis telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Namun tentunya sebagai manusia biasa tidak akan luput dari kesalahan dan kekurangan. Harapan penulis, semoga bisa menjadi koreksi di masa mendatang agar lebih baik dari sebelumnya.
Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampuh mata kuliah atas bimbingan, dorongan, dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini sebagai tugas mata kuliah teori hukum tepat pada waktunya dan insya Allah sesuai dengan yang diharapkan.
Pada dasarnya makalah ini disajikan khusus untuk membahas tentang pengaruh teori Hans Kelsen terhadap tata urutan hukum nasional di Indonesia. Untuk lebih jelasnya, pembaca dapat menyimak pembahasan dalam makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini bisa memberikan pengetahuan yang mendalam tentang pengaruh teori Hans Kelsen terhadap hukum nasional yang berlaku di Indonesia.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman serta khalayak pembaca guna perbaikan penulisan makalah selanjutnya. Sebelum dan sesudahnya penulis ucapkan terimakasih.

Semarang,     Maret  2012


                                                                                                Penulis
 



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Jika kita melirik sejarah perkembangan bangsa Indonesia mulai dari awal terbentuknya, maka para pendiri bangsa (founding fathers) telah sepakat menentukan dasar dan falsafah Negara sampai pada awal kemerdekaan disusunlah suatu kerangka dasar yakni Pancasila dan UUD 1945, di mana sila pertama Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan salah satu Pasal dari UUD 1945 itu yakni Pasal 3 bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum (hasil amandemen). Dalam penentuan kerangka dasar hukum tersebut tidak terlepas dari munculnya gerakan kebangkitan nasional dikalangan Bangsa Indonesia serta muncul pula benih-benih perdebatan pemikiran mengenai dasar Negara yang akan dipakai sebagai dasar penyelenggaraan kegiatan Negara yang akan dimerdekakan.
Masalah Dasar Negara merupakan masalah yang sangat krusial sehingga perdebatan-perdebatan baik didalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada saat itu maupun di dalam majelis konstituante menguras energi yang palig banyak dibandingkan dengan perdebatan mengenai masalah lain. Konstitisi atau hukum dasar dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau  merupakan hukum dasar yang harus ditaati oleh seluruh elemen bangsa.
Dalam faktor daya ikat konstitusi itu digambarkan bahwa penduduk sebuah Negara atau Bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan atau orang-orang lain (bangsa lain) yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban penuh sebagai warga negara dalam suatu negara tertentu. Sedangkan pengertian tentang Negara itu sendiari sangat beraneka ragam.
Selanjutnya, dalam usaha penerapan hukum yang ideal dan adaptif terhadap kondisi bangsa Indonesia pada saat itu, maka banyak banyak pula penyesuaian-penyesuaian pelaksanaan tata hukum Indonesia termasuk Pasca reformasi 1998 dan diiringi dengan amandemen konstitusi (UUD 1945) struktur ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami perubahan mendasar. Pasalnya kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi. MPR sebagai badan perwakilan (legislatif) kedudukannya sejajar dengan lembaga negara (tinggi) lainnya. MPR sejajar dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Presiden dan Wakil Presiden, MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), bahkan kedudukan MPR sejajar dengan KY (Komisi Yudisial) sebagai Lembaga Negara.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai simbolitas, maka yang menjadi inspirasi hierarki tata urut perundang-undangan di Indonesia yang telah disebutkan di atas adalah seorang pemikir yang bernama Hans Kelsen. Hans Kelsen dilahirkan dari pasangan kelas menengah Yahudi berbahasa Jerman di Prague pada tanggal 11 Oktober 1881. Saat berusia tiga tahun, Kelsen dan keluarganya pindah ke Wina dan menyelesaikan masa pendidikannya. Kelsen adalah seorang agnostis, namun pada tahun 1905 Kelsen pindah agama menjadi Katolik demi menghindari masalah integrasi dan kelancaran karir akademiknya. Namun identitas Kelsen sebagai keturunan Yahudi tetap saja mendatangkan banyak masalah dalam hidupnya. Kelsen pada awalnya adalah pengacara publik yang berpandangan sekuler terhadap hukum sebagai instrument mewujudkan kedamaian. Pandangan ini diinspirasikan oleh kebijakan toleransi yang dikembangkan oleh rezim Dual Monarchy di Habsburg.
Dari teori hukum yang dikembangkan oleh Hans Kelsen banyak mengilhami beberapa tokoh dalam merumuskan sistem hukum yang patut diterapkan dalam sebuah negara. Ambil saja Friedmann, yang menyatakan bahwa teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Ia mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen yakni sebagai berikut :
1.      Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2.      Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
3.      Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4.      Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
5.      Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hierarki tata urutan perundang-undangan yang dimaksud sebelumnya adalah kumpulan norma-norma. Norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif atau negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu.
Apabila ditinjau dari segi etimologinya, kata norma itu sendiri berasal dari bahasa Latin, sedangkan kaidah atau kaedah berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Karya Plato yang berjudul Nomoi biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah The Law. Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab, qo’idah berarti ukuran atau nilai pengukur.
Selain itu, Kelsen mengemukakan “Pure Theory of Law”  yang terjemahannya teori murni tentang hukum (yang murni bukan hukumnya tetapi teorinya), ajarannya yaitu: dalam membuat teori hukum haruslah bersih/murni dari pengaruh unsur-unsur lain. Murni di sini dimaksudkan tidak dipengaruhi oleh ilmu – ilmu lain, unsur/ajaran–ajaran lain misalnya agama filsafat, sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi dan sebagainya. Sehingga untuk mendukung teori murni tentang hukumnya, Kelsen mengemukakan teori Stufenbau yaitu mengenai keberlakuan kaidah hukum. Keberadaan kaidah yang lebih rendah ditentukan oleh kaidah lebih tinggi dengan demikian kaidah konkrit berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah abstrak berlaku berdasarkan kaidah dasar atau grundnorm.
Berdasarkan ilustrasi latar belakang di atas, maka penulis mengangkat judul makalah ini tentang Pengaruh Teori Hans Kelsen Terhadap Tata Urutan Hukum Nasional Di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana penjabaran teori hukum Murni oleh Hans Kelsen sebagai embrio lahirnya teori Stufenbau ?
2.      Bagaimana konsep teori Stufenbau Hans Kelsen serta pengaruhnya dalam tata urutan hukum nasional Indonesia ?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori Hukum Murni Menurut Hans Kelsen Sebagai Embrio Teori Stufenbau
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan hukum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas.
Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang. Teori ini boleh dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme yang baru saja dibicarakan. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan; “Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum.
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya irasional. Teori hukum yang murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.
Teori Hukum Murni dari Kelsen muncul setelah munculnya teori hukum kodrat, pemikiran tentang moral yang disebut "the Golden Rule", mazhab sejarah hukum, mazhab utilitarianisme hukum, mazhab sosiologi hukum, Analytical Jurisprudence dari Austin dan mazhab realisme hukum Amerika Serikat dan Skandinavia. 
Teori Hukum Murni adalah suatu teori positivistik di bidang hukum dan merupakan kritik terhadap teori hukum kodrat, teori tradisional di bidang hukum, sosiologi hukum dan Analytical Jurisprudence. Teori Hukum Murni juga tidak sependapat dengan pemikiran realisme hukum Amerika Serikat. Sebagai kritik terhadap teori hukum kodrat, Teori Hukum Murni melepaskan hukum dari relik-relik animisme yang menganggap alam sebagai legislator dan melepaskan hukum dari karakter ideologis menyangkut konsep keadilan dan atau value judgment. 
Dalam kritiknya terhadap sosiologi hukum dan teori tradisional di bidang hukum, Teori Hukum Murni melepaskan hukum dari bidang empiris, pertama-tama bidang poiltik, dan juga dari karakter ideologis menyangkut value judgment dan konsep keadilan yang dianut bidang politik. Sebagai kritik terhadap Analytical Jurisprudence, Teori Hukum Murni memandang hukum sebagai norma pada tataran the Ought /das Sollen, yang terpisah dari bidang empiris, karena Austin mengajarkan bahwa hukum adalah Perintah yang berada pada tataran the Is / das Seitz di bidang empiris.
Dengan demikian, Teori Hukum Murni membebaskan hukum dari anasir-anasir non-hukum, seperti misalnya psikologi, sosiologi, etika (filsafat moral) dan politik. Pemurnian hukum dari anasir-anasir non-hukurn tersebut dilakukan dengan menggunakan filsafat neo-kantian mazhab Marburg sebagai daftar pemikirannya. Neo-kantianisme Mazhab Marburg memisahkan secara tajam antara the Ought / das Sollen dengan the Is I das Sin, dan, antara bentuk (Form) dengan materi (matter).
Sejalan dengan itu, Kelsen memisahkan secara tajam antara norma hukum pada tataran the Ought I das Sollen dengan bidang empiris pada tataran the Is / das Seitz, dan memisahkan secara tajam antara hukum formal dengan hukum materiil. Teori Hukum Murni hanya mengakui hukum formal sebagai obyek kajian kognitif ilmu hukum, sedangkan hukum materiil tidak dicakupkan dalam bidang obyek kajian ilmu hukum, karena hukum materiil berisikan janji keadilan yang berada di bidang ideologis, yang pada tataran praktis dilaksanakan di bidang politik. Teori Hukum Muni memusatkan kajiannya hanya pada hukum formal berdasarkan keabsahannya, yang membentuk suatu sistem hierarki norma hukum dengan puncak "Grundnorm".
Oleh karena kajiannya hanya menyangkut hukum formal berdasarkan keabsahan, maka Teori Hukum Mumi hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal semata, artinya teori tersebut mengabaikan hukum materiil yang di dalamnya terdapat cita hukum dalam konsep keadilan dan pertimbangan moral. Karena hanya menekankan pada aspek yuridis formal, Teori Hukum Murni sangat potensial menimbulkan permasalahan kekuasaan berlebihan bagi organ pembuat dan/atau pelaksana hukum, dan salah satu alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah diperlukannya pedoman dan/atau pembatasan lebih rinci dalam penerapan norma hukum umum atau pembuatan norma hukum kasuistis. Karena hukum dipisahkan dari moral, maka hukum sangat potensial mengesampingkan atau melanggar kemanusiaan, dan agar hukum tidak melanggar kemanusiaan, hukum harus mengambil pertimbangan dari aspek moral.
B.     Konsep Teori Stufenbau Hans Kelsen Serta Pengaruhnya Dalam Tata Urutan Hukum Nasional Indonesia
Berdasarkan penjabaran sebelumnya, maka teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah
1.      Norma fundamental Negara
2.      Aturan dasar negara
3.      Undang-undang formal
4.      Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, kita dapat memban­dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Attamimi tentang struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1.      Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2.      Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3.      Formell gesetz: Undang-Undang.
4.      Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota.
Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan pengemudi. Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide yang tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam Pancasila.
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.
Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamen­talnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa. Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama.
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm yang dikemukakan oleh nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau me-rupakan bagian dari konstitusi? 
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.

 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dalam makalah ini bahwa pada dasarnya sistem tata hukum nasional di Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh teori Hans Kelsen dengan teori hukum murninya yang berkembang menjadi hukum positif dan dilengkapi dengan lahirnya teori pendukung terciptanya teori hukum murni yang dikembangkan oleh murid Hans Kelsen yakni Hans Nawiasky dengan teori Stufenbau. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem struktur tata hukum Indonesia sebagai berikut (1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945), (2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan, (3) Formell gesetz: Undang-Undang, (4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota.
B.     Saran
Yang menjadi saran penulis dalam makalah ini adalah meskipun sistem tata hukum yang berlaku di Indonesia pada umumnya dipengaruhi oleh dan seolah-olah berkiblat dari teori Hans Kelsen, maka tentunya tidak ada salahnya ketika kita menerapkan hal itu karena memang dalam teori hukum tersebut terkandung nilai-nilai ideal yang berorientasi pada nilai-nilai keadilan. Disamping itu, bangsa Indonesia pun bukan berarti tidak boleh menggunakan filter dalam menangkal kemungkinan-kemingkinan yang tidak diharapkan dari pengadopsian sistem yang datangnya dari dunia barat.




DAFTAR PUSTAKA
Agustin E. Ferraro, “Book Review-Kelsen’s Highest Moral Ideal,” German Law Journal No. 10 (1 October 2002). Dalam Jimly Asshiddiqie, Mochamad Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum,  Mahkamah Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan.
 Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press. Jakarta.
A. Attamimi, A. Hamid. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta
Dahlan Thaib, Prof.DR.H. 1999. ”Teori dan hukum Konstitusi”,PT.Raja grafindo persada, Jakarta,.
Kelsen, Hans, dalam Astim Riyanto, 2000. Teori Konstitusi, Yapemdo. Bandung.
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Loc.Cit.
Mahfud, Moh. MD ,Prof.DR. 2001. ”Dasar dan Struktur Ketatanegaraan  Indonesia”. PT.rineka cipta,Jakarta,
Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, (Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun). Jakarta.
Plato, The Laws, 2005. Dalam Jimly, Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press. Jakarta.
Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum,  1990. Citra Aditya Bakti . Bandung.
Soemantri Martosoewignjo, Sri. 2008. Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan menurut UUD 1945, dalam Siti Sundari Rangkuti “Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti, Airlangga Press. Surabaya.
W. Friedmann, Teori & Filasafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Judul Asli: Legal Theory, Penerjemah: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 170.
http://teori hans kelsen.com



0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts