بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Minggu, 30 Juni 2013

Lantunan Syair Fatimah Az-Zahra

Rabu, 26 Juni 2013

Political Insight (Kisah Dua Anak di Kereta Shinkasen)



Dasar sebuah proses rekayasa harus berbasis pada kenyataan yang sama. Singkatnya, bagaimana kita mampu membuat persepsi yang berbeda, sekalipun faktanya tetap sama. Jadi, bukan penutupan fakta. Sekali lagi, itu namanya berbohong. Resikonya terlalu besar.
Ini sebuah kisah kecil yang menggambarkan bagaimana sebuah rekayasa citra terjadi di kereta cepat Jepang, Shinkasen. Kisahnya tentang dua orang anak kecil, bersama dengan bapaknya yang naik Shinkasen bersamaan dengan pekerja-pekerja Jepang di sore hari. Sebuah situasi hening dalam kereta karena pekerja-pekerja tersebut telah lelah seharian bekerja.
Tentu saja, tidak bagi kedua anak kecil tersebut karena canda riang adalah keseharian mereka. Maka, mereka pun ribut terus di kereta hingga penumpang-penumpang lain merasa terganggu. Sementara, bapak kedua anak itu lebih banyak diam mengamati, dan sesekali tersenyum.
Di menit-menit awal, tidak ada yang terganggu dengan celoteh berisik kedua anak tersebut. Tapi di menit-menit berikutnya, ketika anak-anak tersebut semakin berisik, sebagian besar pekerja mulai melihat ke bapak anak tersebut. Sang bapak masih diam karena memang belum ada yang menegur. Hingga akhirnya, seorang pekerja berkata, “Mohon maaf, Pak, bisakah Bapak meminta anak bapak untuk lebih tenang. Kami lelah karena habis bekerja seharian.”
Bapak itu memahami betul permintaan tersebut maka dia pun merendahkan badannya, dan berbisik pada dua anaknya untuk tidak berisik. Kedua anak tersebut mengangguk-angguk dan diam sejenak.
Tapi, ternyata, jiwa bermain kedua anak tersebut masih kuat sehingga hanya dalam hitungan menit mereka sudah kembali membuat suara. Kali ini, bahkan ditambah dengan teriakan-teriakan dan lari-larian di antara penumpang pekerja tadi. Sesekali pecah suara terbahak di antara mereka. Bapaknya sadar pekerja-pekerja tersebut semakin kuat menatap kedua anak laki-lakinya.
Hingga akhirnya seorang pekerja muda dari ujung gerbong berteriak, “Pak, bisa nggak anaknya disuruh diam ?!” Seluruh pekerja memalingkan mukanya pada sang bapak, seolah mendukung kemarahan pekerja muda tadi. Kedua anaknya sempat diam, kaget dihardik pekerja muda tadi.
Sang bapak, lantas memeluk kedua anaknya yang kaget. Dalam tatapan mata bersalah, sambil tetap memeluk anak-anak lakinya, bapak tersebut meminta maaf dan berkata keras dengan suara pecah, “Maafkan kami. Maafkan saya sebagai bapaknya, tidak bisa membuat anak ini diam. Sekarang saya akan minta mereka diam dengan keras. Sekalipun, saya tidak tega melihta mereka diam karena sebetulnya pagi tadi mereka baru saja kehilangan ibunya. Ibu mereka baru saja meninggal.
Seluruh pekerja yang semula marah langsung berubah. Rasa jengkel mereka jadi simpati. Anak-anak kecil pembuat gaduh tersebut ternyata baru saja kehilangan ibunya. Sebagian langsung merasa bersalah dengan memberikan permen yang mereka punya, tidak sedikit yang kemudian mengelus rambut anak-anak laki tersebut.
Nah, itulah rekayasa pencitraan. Sebuah situasi yang sama, tetapi kemudian memunculkan persepsi yang berbeda. Anak-anak tersebut tetap gaduh, tapi pekerja-pekerja langsung menjadi simpati karena sebuah informasi. Itulah namanya rekayasa. Sekali lagi, informasi harus berdasarkan fakta, bukan bohong.     
     
Sumber :
Wasesa, Siih Agung. 2011. Political Branding & Public Relations. PT. Gramedia. Jakarta.

Sabtu, 08 Juni 2013

Dinamika Sosial Ekonomi Warga Komunitas Transmigran Di Kabupaten Konsel, Provinsi Sulawesi Tenggara



Sebuah Ringkasan Hasil Penelitian Pada Tahun 2012
Oleh : La Patuju
Pada dasarnya penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dan mendeskripsikan dinamika atau perubahan sosial budaya pada warga komunitas transmigran yang berdomisili atau bertempat tinggal di beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Konawe Selatan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu kiranya digunakan beberapa aspek pendekatan untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai problematika kehidupan warga transmigran.
Prinsipnya, program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah sejak pemerintahan orde baru sampai pada zaman reformasi sekarang ini, mempunyai tujuan memperbaiki kehidupan sosial ekonomi di tengah-tengah kapadatan penduduk masyarakat Indonesia yang peningkatannya sudah tidak bisa dikendalikan. Olehnya itu, perlu adanya program transmigrasi dalam hal ini dari masyarakat yang padat penduduknya ke daerah yang kurang atau sedikit penduduknya di seluruh wilayah NKRI. 
Adapun yang menjadi indikator atau sasaran dalam penelitian ini :
1.      Faktor pendorong mengikuti program transmigrasi
2.      Dinamika sosial ekonomi warga transmigran
3.      Hubungan sosial anatar warga komunitas serta terhadap masyarakat lokal.
Ke tiga aspek di atas akan dikaji secara terperinci sesuai dengan informasi serta  data yang diperoleh di lapangan sesuai dengan hasil wawancara dengan pihak informan/responden.

A.    FAKTOR PENDORONG MENGIKUTI PROGRAM TRANSMIGRASI
Pada bagian ini, berusaha dijelaskan mengenai alasan utama warga trans mengikuti program transmigrasi. Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari sekian banyak informasi dari pengakuan informan mengenai alasan utama atau pendorong mengikuti program tansmigrasi kurang lebih sama, namun cukup bervariasi, seperti alasan karena ingin mengubah kehidupan sosial ekonomi atau mengubah nasib. Alasan ini hampir semua warga transmigran mengaku demikian, namun ada pula pengakuan bahwa ada juga yang hanya ikut-ikutan mengikuti program hanya karena ingin mendapatkan tanah dan jaminan hidup dari pemerintah. Informasi tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa tidak sedikit dari warga transmigran yang memilih pulang ke daerah asal dengan menjual tanah yang dioperoleh pada saat mengikuti program.  Selain itu, ada pula yang mengaku karena mengikuti keluarga yang menjadi peserta transmigran serta adanya informasi yang didapat bahwa kerabat mereka sudah mengalami peningkatan ekonomi semenjak mengikuti program sehingga mereka pun ikut mengikuti program trnsmigrasi selanjutnya. Berbeda dengan di kecamatan Ranomeeto, dimana di tempat tersebut terdapat orang-orang korban dari kolonisasi pada jaman kolonial  Belanda, dan ini bukan merupakan program transmigrasi.
Kenyataan di atas, mempunyai korelasi dengan kesan pertama bagi warga transmigran pada saat menempati UPT (Unit Pemukiman Tranmigran) mereka, yakni ada tantangan alam yang harus mereka hadapi, dimana lokasi mereka tersebut masih berupa hutan belukar. Dengan demikian, bagi warga trans mereka memilih untuk bertahan hidup dengan kreatifitas yang mereka miliki seperti di UPT Marga Cinta, UPT Pudaria Jaya,  UPT di Kecamatan Lalembu, Jati Bali, Sindang Kasih, UPT di Kecamatan Mowila, Kecamatan Angata, dan masih banyak lagi kawasan UPT yang warganya memlih bertahan hidup di kawasan mereka masing-masing tersebut. Selain itu, dengan kesan yamg mereka dapatkan tersebut ada pula yang memilih mencari penghidupan di daerah lain dengan berjualan roti di kendari, menjadi pemulung, penjual sayur, serta menjadi buruh tani di daerah trans lain seperti di kecamatan konda. Warga Trans ini berasal dari UPT Sarang Dua Kecamatan Kolono, serta ada pula yang memilh meninggalkan tempat dan pulang ke daerah asal dengan menjual tanah jatah dari pemerintah, dan hal ini hampir di semua UPT dan SP seKabupaten Konsel namun hanya sebagian kecil dengan alasan yang sama yakni tidak bisa beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan alam di daerah Trans tersebut.
Adapun yang menjadi bukti bahwa banyak yang meninggalkan tempat UPT yang telah disebutkan di atas, diantaranya  adalah sebagai berikut :
-          Di Marga Cinta, dari 250 KK yang berasal  dari Jakarta, yang ada sekarang tersisa 25 KK
-          Di Desa Sarang dua, dari 150 KK, yang menetap sampai hari ini tersisa 97 KK.
-          Di Kec. Lalembu, khususnya yang berasal dari DKI Jakarta yang tersisa 7 KK dari 50 KK pada awal pemberangkatan.
-          Di Molo Indah, dari 345 KK yang didatangkan yang tersisa  50 KK. Menurut pengakuan kepala Desa di lokasi tersebut, warganya meninggalkan UPT tersebut karena kecewa akan bagian tanah yang tidak didapatkan seluruhnya termasuk jatah bagi pecahan KK yang informasinya adalah 1 Ha, namun kenyataannya tidak mereka dapatkan. Hal ini disinyalir bahwa ada oknum pemerintah setempat yang serakah yakni ingin menjual tanah tersebut. 
Namun, ada pula pengakuan dari warga trans atas nama Ketut Kirem (UPT Pudaria Jaya) bahwa sebagian teman-teman mereka memilih pulang ke daerah asal karena kecewa dengan janji pemerintah mengenai lahan yang dijanjikan kepada mereka yakni seluas 2 Ha, namun kenyataannya di lapangan hanya 1 Ha, adapun yang mempunyai lebih, itu adalah hasil usaha mereka sendiri dengan membeli, diperparah lagi denagan  janji pemerintah kepada mereka bahwa lokasinya siap olah ternyata masih dalam bentuk hutan belukar, akhirnya banyak yang pulang ke daerah asal karena kecewa.
Di lain sisi, ada hal yang menarik untuk mengetahui bagaimana kiprah bagi warga trans yang bertahan sampai bisa dikatakan berhasil di UPT nya tersebut. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari informan semua bahwa mereka bisa bertahan karena dari daerah asal memang berniat untuk berhijrah, jadi apapun resikonya mereka tetap ingin bertahan. Selain itu, ada pula yang mempunyai prinsip hidup yang dibawa dari daerah asal, seperti keterangan dari Ketut Kirem ( UPT Pudari Jaya ), bahwa ada banyak yang berprinsip mereka berhijrah karena mencari tanah bukan mencari pendidikan sehingga pendidikan anak mereka kurang, dan ada pula yang berprinsip mencari tanah sekaligus dari hasil tanah itu mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya, bahkan Ketut Kirem ini mampu mensarjanakan semua ke empat (4) anak-anaknya.
Hal serupa diungakpkan oleh salah seorang warga trans di Kecamatan Lalembu, H. Abdul Hamid, H.K, bahwa sejak awal dari daerah asal memang berniat dan memegang 3 program hidup yang harus dipenuhi selama di daerah trans kelak, yakni pendidikan, ekonomi dan topi putih,,Alhasil semua itu sudah dicapainya. Ada pula yang bisa bertahan hidup di lokasinya karena mempunyai keahlian khusus yang mampu menunjang berlangsungnya hidup mereka, seperti yang ada di Desa Sarang Dua.
 Fenomena ditiggalkannya UPT masing-masing oleh warga trans di atas, diperkuat dengan keterangan camat kolono mengenai penyebab warga trans meninggalkan UPT tersebut,  sebagaimana berikut :
-          Kondisi alam yang tidak bersahabat, artinya keadaan geografis UPT yang mereka tempati tidak sesuai dengan keinginan warga.
-          Poin di atas menyebabkan warganya tidak mampu menyesuaikan dengan alam sehingga memilih untuk pulang ke daerah asal.
-          Khuhus di Kecamatan Kolono, pihak Disnaketrans kurang koordinasi dengan birokrasi lokal mengenai kebijakan transmigrasi sehingga tidak tepat sasaran, contoh kecilnya adalah pengadaan PDAM yang tanpa sepengetahuan camat Kolono. 
Selain itu, camat Angata (Jaya Purnama Aris), memaparkan bahwa alasan utama warga trans meninggalkan daerah UPT nya karena tempat mereka merupakan kawasan rawa-rawa dimana ketika terjadi hujan maka tempat tersebut pasti kebanjiran yang menyebabkan warganya memilih untuk pulang ke daerah asal. Hal ini disinyalir karena kurang atau tidak adanya peninjauan lapangan sebelum ditempatkannya warga trans tersebut.
   
B.     DINAMIKA SOSIAL EKONOMI WARGA TRANSMIGRAN
Berbicara mengenai perubahan sosial ekonomi warga transmigran antara di daerah asal dengan UPT yang ditempati sekarang  ini terdapat perubahan yang cukup signifikan, artinya ada perubahan sosial ekonomi yang meningkat di UPT nya sekarang ini dibandingkan dengan di daerah asalnya. Hal demikian tentunya tidak lepas dari upaya pemerintah dalam mensejahterakan warga transmigran sekaligus usaha warga trans sendiri untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonominya dan boleh dikatakan bahwa semua UPT yang ada di Kabupaten Konsel sudah bisa hidup mandiri dan dapat mengembangkan kehidupan sosial ekonominya. 
Pada dasarnya, setiap KK (Kepala Keluarga) untuk peserta program trans mendapatkan jatah tanah dari pemrintah seluas 2 Ha, termasuk di dalamnya adalah lahan untuk perumahan, pekarangan, serta perkebunan. Selain itu, ada pula jaminan hidup selama 1 tahun, adapun dalam waktu 1 tahun tersebut apabila ada warga trans yang belum bisa untuk hidup mandiri maka bisa diperpanjang sampai 6 bulan ke depannya. Bahkan, ada bantuan lain dari luar negri yakni dari pihak PBB. Bantuan tersebut berupa sembako, obat-obatan dan kebutuhan lainnya.
Akan tetapi, ada pula sebagian daerah UPT yang tidak sempat mendapatkan bantuan dari pihak PBB tersebut, namun hal itu tidak mengurangi usaha mereka untuk bisa hidup mandiri. Berdasarkan pengakuan salah seorang warga trans di Kecamatan Lalembu (H. Abdul Hamid, H.K), bahwa setelah selesai jaminan hidup dari pemerintah, mereka mendapatkan jaminan hidup berikutnya dari pihak PBB selama 5 tahun, dan hal ini membuat mereka sejahtera dalam hal pemenuhan kebutuhan sehari-hari namun ada pula sisi negatifnya yaitu terlena dengan bantuan tersebut sehingga mereka berpikir untuk mandiri setelah waktu 5 tahun itu selesai. Informan ini mengakui bahwa dirinya berpikir untuk bisa hidup mandiri setelah bantuan dari PBB tersebut selesai.
Alhasil, ternyata usaha untuk hidup mandiri dengan berpegangan pada 3 program hidup yang ia miliki (pendidikan, ekonomi, topi putih) dapat ia capai semua, yakni ekonomi keluarganya menengah ke atas, mensarjanakan ke 4 anak-anaknya, serta sudah menunaikan ibadah haji bersama istrinya. Tanggapan terhadap warga trans lainnya dibandingkan dengan kondisi keluarganya, informan ini menilai bahwa maju tidaknya kehidupan sosial ekonomi seseorang ditentukan oleh kreatifitas dan etos kerja masing-masing individunya.   
Dari sekian banyak UPT dan SP di Kabupaten Konsel, yang tergolong UPT berkembang adalah UPT Marga Cinta, UPT Tali Jaya, serta beberapa UPT di Kecamatan Mowila. Statement ini bukan berarti mengunggul-unggulkan UPT yang tersebut di atas, akan tetapi berdasarkan pengamatan yang dilihat dari segi ekonomi mayarakatnya serta fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh warganya di masing-masing UPT tersebut sedikit lebih maju dengan yang lainnya.
Seperti di marga Cinta, setelah berselang beberapa tahun dari tahun perrtama menempati UPT tersebut, terbukti kisaran tahun 1981 di UPT tersebut mulai ada koperasi, mesin penggilingan padi sebanyak 8 unit, adanya akses transportasi yang memadai, serta peternakan sapi yang dimiliki warganya sebagai pendapatan utamanya selain persawahan. Inilah yamg nmenjadi indikator keberhasilan warga Marga Cinta dalam  hal perekonomiannya karena diantara mereka sudah ada yang naik haji, mensarjanakan anaknya, terdapat 7 buah mikrolet, mobil rental 2 buah, 1200 ekor sapi yang dimiliki oleh seluruh warga Marga Cinta. Selain itru, ada pula persawahan yang dimiliki yang luasnya cukup beragam.
Selain itu, di Kecamatan Mowila tidak kalah sejahteranya dengan di Marga Cinta. Menurut pengakuan camat Mowila (Bapak Syaifullah, S.E., M.Si), bahwa dari sekian banyak UPT yang ada di Kabupaten Konsel, Di Kecamatan Mowila lah yang paling maju masyarakatnya. Di kecamatan tersebut terdapat 20 Desa, 2908 KK serta 11.188 jiwa. Komposisi masyarakatnya adalah suku bugis, suku Tolaki, serta dari Bali. Kecamatan ini merupakan pemekaran dari Kecamatan Landono pada tahun  2007.
Dikatakan sejahtera karena indikator sebagai berikut :
1.      PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang tertinggi di Kabupaten Konsel adalah di Kecamatan Mowila.
2.      Perkebunan coklat dan merica mencapai 1.700 Ha, sehingga hasilnya dapat menunjang kelangsungan hidupnya.
3.      Sektor perekonomian yang utama adalah persawahan yakni seluas 2.200 Ha.
4.      Terdapat cabang BRI (Bank Rakyat Indonesia) yakni sebagai indicator perputaran uang di Kecamatan tersebut cukup tinggi, dan berdasaarkan pengakuan camat Mowila bahwa perputaran uang di Kecamatannya mencapai Rp 700.000.000 (Tujuh Ratus juta Rupiah) per harinya.
5.      Pernah mandapat juara lumbung pangan.
6.      Terdaapat pabrik Laksa.
7.      90% jalan usaha tani terhubung dengan baik sehingga pemasaran hasil perkebunan tidak ada kendala.
8.      Terdapat Dam Trek kurang lebih sebanyak 30 unit.
Berdasarkan keterangan di atas, Camat mowila menambahkan bahwa kesuksesan kecamatan Mowila tersebut tercapai karena keberadaan warga trans. Hal itu tersebut tercapai karena paradigma pembangunan yang ia gunakan yaitu pemerintah melayani masyarakat, bukan masyarakat melayani pemerintah. Selain itu, harus dipahamai mengenaai 4 potensi Desa yakni Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), Kelembagaan, serta Sarana dan prasarana.
Untuk bidang pertanian, hampir semua UPT mempunyai tanaman jangka panjang Dan tanaman jangka pendek. Misalnya untuk tanaman jangka panjang berupa jambu mente, coklat, kelapa, rambutan,jeruk, serta tanaman jangka pendek berupa palawija, jahe, merica, kacang panjang serta tanaman lainnya yang dapat menunjang kehidupan sehari-harinya. Adapun hasil perkebunan tersebut terkadang langsung dipasarkan ke kota kendari dan ada pula yang pasarkan kepada tengkulak/pengumpul.   
Akan tetapi, hal tersebut di atas berbeda dengan keadaan di Desa Mekar Jaya kecamatan Moramo utara, yang pada dasarnya bahwa tanah yang diberikan oleh pemerintah adalah sebagai lahan perkebunan namun tidak difungsikan secara maksimal. Hal ini terjadi karena kondisi tanah di desa tersebut kurang subur untuk tanaman-tanaman pertanian. Akhirnya sekitar tahun 1980 an, masyarakat mekar jaya beralih profesi menjadi penambang batu yang secara kebetulan batu tersebut disediakan oleh alam dan mempunyai kualitas yang tinggi. Tambang inilah yang menjadi sumber penghidupan yang utama di desa mekar jaya dan kecamatan moramo utara pada umumnya.
Dari hasil penambangan ini, masyarakat Mekar jaya mampu menyekolahkan anak-anaknya, mendirikan rumah, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan aspek kehidupan lainnya. Akan tetapi, terdapat keluhan masyarakat mekar jaya mengenai pemasaran hasil penambangan batu mereka. Sebagaimana ungkapan kepala Desa Mekar jaya (Ilyas), bahwa masyarakatnya mengeluh karena harga kebutuhan pokok setiap saatnya dapat meningkat sementara harga batu tetap.
Senada dengan hal di atas, dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi juga dirasakan oleh warga di Desa sarang Dua, dimana tanahnya juga kurang subur, adapun berhasil menanam selalu terganggu oleh hama babi. Akhirnya tidak sedikit dari mereka yang meninggalkan lokasi. Menurut pengaakuan kepala desa sarang dua, bahwa pihaknya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengantisipasi hama babi tersebut yakni berupa pemasangan jarring, namun hasilnya kurang maksimal. Akhirnya pihaknya berencana mengambil kebijakan lain dengan mendatangkaan bibit nilam dari pemerintah karena mesin penyulingan sudah ada. Jadi dengan usaha ini pemerintah setempat berharrap dapat mensejahterakan mayarakatnya. 
Selain itu, ada pula fenomena di kecamatan Angata, terutama di UPT Pusanggula bahwa masyarakat di lokasi tersebut banyak yang meninggalkan daerahnya karena kondisi alam yang tidak mendukung yakni daerahnya berupa rawa-rawa, dimana sering terjadi banjir sehingga tidak bisa untuk bersawah. Hal ini disinyalir tidak adanya peninjauan lokasi sebelum ditempatkannya warga trans di daerah tersebut. Oleh karena itu, usaha untuk mensejahterakan hidup cukup sulit.
Kesimpulan sementara bahwa semua UPT dan SP yang ada di semua Kecamatan kabupaten Konsel sudah mampu mengembangkan kehidupan ekonominya dan dapat hidup mandiri di tengah-tengah tantangan kehidupan yang cukup menantang baik itu datangnya dari alam maupun dari pemerintah.

C.    HUBUNGAN SOSIAL ANTARWARGA TRANSMIGRAN SERTA TERHADAP PENDUDUK LOKAL
Berbicara mengenai hubungan sosial sangat erat kaitannya dengan interaksi sosial yakni hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Hal tersebut terdapat pula pada masyarakat transmigran di semua UPT dan SP di Kabupaten Konsel.
Salah satu hubungan sosial yang terjadi di dalamnya adalah berupa cooperation (kerja sama), yakni kerja sama dalam hal bertani atau berkebun, dimana antara warga trans dengan penduduk lokal saling bertukar informasi atau strategi dalam hal pertanian ataupun perkebunan. Kondisi demikian dapat dikatakan terjadi di semua UPT dan SP di kabupaten Konsel, seperti di Marga Cinta, di Pudari jaya, di Sarang dua, UPT di kecamatan Benua, serta UPT-UPT lainnya yang terdapat di Kabupaten konsel.
Keadaan di atas, berlangsung dengan aman dan damai, sejak pertama kali mereka ditempatkan di UPT sampai sekarang ini, bahkan sudah ada perpaduan strategi pertanian antara penduduk lokal dengan warga trans, dan ini berlaku pada semua daerah trans di kabupaten konsel. Selain itu, banyak pihak warga trans yang mengaku sangat senang dengan tingkat penerimaan masyarakat lokal terhadap keberadaan mereka yang sangat baik, sehingga ada yang terbentuk kelompok Arisan bagi ibu-ibu, Siskamling, PKK, seperti yang terdapat di UPT kecamatan Benua.
Menyoal tentang konflik, banyak informan dari warga trans maupun dari pemerintah setempat mengaku tidak pernah ada konflik yang terjadi antara warga trans dengan penduduk lokal karena masing-masing pihak sudah mengetahui keberadaan dirinya, maksudnya adalah bagi masyarakat lokal harus menghargai yang namanya pendatang, dan bagi warga trans harus menghargai penduduk lokal sebagaimana yang diungakapkan Camat Mowila (Syaifullah), bahwa warga trans memegang prinsip sambung rasa. Adapun konflik yang terjadi adalah hanya dikalangan remaja itupun sifatnya sementara dan tidak sampai melibatkan orang dewasa ataupun orang tua.  
Dalam hal pernikahan antara penduduk lokal dengan warga trans, urusan adat perkawinan tidak menjadi soal, karena masing-masing pihak sudah mengerti dan disesuaikan dengan keadaan, artinya disesuaikan dengan adat masing-masing tapi tidak sampai menyulitkan keadaan, seperti pemahaman orang Bali, bahwa ketika anak perempuannya menikah dengan pemuda Islam maka anaknya tersebut harus masuk Islam, begitu pula sebaliknya ketika ada pemuda Bali menikah dengan gadis dari kalangan Islam, maka si gadis harus mengikuti akidah suaminya dalam hal ini adalah Hindu. Selain itu, dalam hal resepsi pernikahan atau acara-acara lainnya ada semacam pertukaran pemasak makanan, hal ini bertujuan untuk saling menjaga atau biasa disebut dengan menghilangkan kecurigaan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh camat Angata (Jaya Purnama Aris), bahwa ketika ada resepsi yang digelar oleh agama Hindu atau Kristen, maka yang datang memasak adalah dari kalangan orang Islam, begitupun sebaliknya.
Adapun hubungan sosial yang terjadi antara warga trans dengan pihak pemerintah, dapat diketahui melalui bantuan-bantuan pemerintah setempat ataupun kebijakan pemerintah terhadap kaberadaan warga trans. Seperti yang terjadi di Marga Cinta, bahwa masyarakatnya merasa cukup puas dengan bantuan-bantuan pemerintah selama ini, misalnya bantuan dana Blockgreen, bantuan PNPM, bantuan pendirian koperasi Gapoktan, serta bantuan dana sebesar dua juta rupiah per orang dan pengembaliannya setelah masyarakatnya panen padi, dan hal ini sangat memudahkan bagi masyaraakat.
Berbeda dengan di Pudaria Jaya, masyarakat di desa ini merasa kekurangan sarana air bersih, sehingga pada saat musim kemarau mereka sangat susah untuk mendapatkan air bersih tersebut. Olehnya itu, sesuai dengan ungkapan seorang Kepala Sekolah Sekolah dasar di Pudaria Jaya (Bapak Esriyanto), bahwa masyarakat di Pudaria sangat mengharapkan bantuan pemerintah untuk pengadaan sarana air bersih yang berupa sumur bor.
Khusus di kecamaatan Lalembu, bahwa mereka merasa kecewa dengan pemerintah karena ada kontrak politik antara warga trans dengan pihak pemerintah hari ini yang tidak ditepati, dalam hal ini adalah pengaspalan jalan raya yang akan mempermudah akses transportasi utamanya pemasaran hasil pertanian. Uniknya, justru di kecamatan Mowila, berdasarkan jejak pendapat dalam sebuaah musyawarah yang digelar di desa Ranoaopa bersama camat beserta para kepala desa, bahwa masyarakat trans di kecamataan Mowila sangat mengapresiasi dan mengangkat jempol kepada camat mereka hari ini, karena menurut mereka camat tersebut sangat egaliter dan terbuka terhadap masyarakatnya.
Kaitannya dengan keberhasilan warga trans yan lebih maju dibandingkan warga lokal, tidak sampai menimbulkan kecemburuan sosial dari masyarakat lokal karena warga lokal pun tahu diri dengan mentalitas mereka dalam hal etos kerja, sementara etos kerja warga trans sangat tinggi. Hal ini diakui oleh camat mowila bahwa yang membuat maju kecamatannya adalah orang Bali (warga Trans), olehnya itu, dengan niatan untuk tetap netral dalam artian tidak memihak pada kelompok apapun walaupun camat tersebut adalah dari kelompok masayarakat lokal, maka camat tersebut mencoba memberikan pemahaman kepada warga lokal untuk sama dengan warga trans dalam kehidupan sosial ekonominya.
NAMA-NAMA UPT/SP LOKASI PENELITIAN DI KAB. KONSEL
Nama UPT/SP
Tahun kedatangan
Daerah asal
Marga Cinta

Pudaria Jaya
Sarang Dua


Talijaya

Molo indah
Cialam jaya
Jati Bali
Sindang Kasih
Mowila
Burae, Lamoeri, Sandarsijaya, dan Pungguni
1981

1976
2005


1981

1985
1975
1968
1968
1972
1980
Jakarta, Jawa barat, dan Sunda
Bali dan Jawa
Jakarta, ciamis, cianjur, jabar serta Roda dan Lamapo
Demak, Boyolali, jabar dan Ciamis
Lombok
Lamongan
Bali
Sunda
Bali
Jawa, Bali, Tator, dan Bugis





Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts