بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Senin, 23 September 2013

Menimbang Sejarah Tuhan

By Fotarisman Zaluchu

Apa yang akan anda lakukan kalau suatu ketika anda berhadapan dengan kenyataan bahwa agama yang anda percayai selama bertahun-tahun, ternyata hanyalah sebuah produk seni dari jamannya? Atau, bagaimana reaksi anda kalau sekiranya yang anda sebut sebagai Tuhan itu, hanyalah "Tuhan" yang merupakan figur kabur yang berasal dari imajinasi kreatif manusia biasa? Dan bagaimana pula kalau akhirnya dalam keteguhan iman percaya anda selama ini, anda pada akhirnya menemukan bahwa aturan-aturan keagamaan yang anda lakukan, justru membawa anda dalam kekeringan rohani, kekaburan makna dan tujuan hidup, serta ketakutan-ketakutan pada Tuhan?

Setidaknya bagi Karen Armstrong, Tuhan hanyalah sebatas persepsi-yang kebetulan telah bertahan 4000 tahun lamanya, dan agama hanyalah sebuah realitas yang justru lebih banyak gagalnya dalam mendeskripsikan keberadaan Tuhan itu sendiri. Bagaimana tidak, Armostrong belajar dari pengalamannya sendiri. Sejak kecil, ia sudah "beragama", tetapi imannya justru tidak memadai untuk menjawab keragu-raguannya. Tuhan terasa jauh, katanya. Maka pada usia 17 tahun, ia "mencoba mencari" Tuhan dengan memasuki lingkungan biara. Nyatanya, waktu 7 tahun menjadi sia-sia. Apa yang disebut sebagai tata ibadah keagamaan yang ketat, justru semakin membawanya kepada kekosongan makna akan Tuhan. Rutinitas doa, puasa, pengekangan diri, hanyalah membawanya pada sosok Tuhan yang kering, kabur dan arogan. Maka, dari pengalaman yang penuh dengan sensasi batiniah itulah, Armstrong menulis buku Sejarah Tuhan (Mizan, 2001). Buku itu, tulisnya, adalah bahasan yang komparatif mengenai sejarah persepsi umat manusia tentang Tuhan sejak era Ibrahim, hingga hari ini.

Apakah Armstrong salah, bahkan kalau ia menyebut diri sebagai penganut freelance monotheist? Tergantung dari sudut mana kita memandang. Tetapi yang pasti, tesisnya Armstrong bagai suara nabiah yang berbicara dengan keras pada umat manusia; secara khusus di Indonesia yang terkenal taat beragama dan kini hidup dalam konflik agama yang berkepanjangan dan berdarah-darah!

Konflik atas nama Tuhan adalah suatu kenestapaan ketika akhirnya "Tuhan" yang dibela mati-matian itu tidak lebih dari produk ide. Maka apa jadinya manusia di Maluku, di Sulawesi, di mana-mana di tanah air ini, ketika mereka saling beradu nyawa atas nama dan demi agamanya, padahal "agama" yang dibela itu suatu saat akan berlalu, digantikan oleh ide lain? Apa jadinya istilah "jihad" atau "dalam nama Tuhan", ketika pada akhirnya "Tuhan" itu sendiri hanyalah sebuah citra yang dibentuk oleh generasi demi generasi, sesuai dengan kebutuhannya?

Armstrong juga tidak salah ketika ia secara retorik menanyakan, adakah masa depan bagi Tuhan? Bagi Armstrong, sekarang ini, terdapat suatu "ruang kosong" di hati manusia untuk mencari Tuhan yang pernah ada. Dan di tengah-tengah konflik peradaban yang terwujud dalam dua sisi-sisi pertama: kemiskinan, kelaparan, kematian, duka lara, dan aneka kematian nurani, dan sisi kedua: materialisme, kapitalisme, egoisme dan aneka dehumanisasi-manusia mengisinya dengan persepsi mereka tentang Tuhan.

Maka wajar saja, sekarang ini kita melihat kenyataan pahit bahwa manusia mencari Tuhan seolah tergantung pada musimnya. Ketika ada hari besar keagamaan, biasanya "Tuhan" begitu populer. Ia, dicari, diburu, diucapkan, dibeli, bahkan dikirimkan dalam kartu dan parcel. Rumah-rumah ibadah penuh dengan mereka-mereka yang "haus" akan suara Tuhan. Dan para penyiar serta penyair begitu laris manis. Semua seperti berbicara mengenai suatu simfoni mengenai Tuhan. Tuhan itu Besar. Tuhan itu Baik. Tuhan itu Kasih. Tuhan itu Segalanya.

Lalu, ketika musim "kerohanian" berlalu, manusia tenggelam dalam "Tuhan" yang lain, yang memang tidak mungkin tidak kita sebut sebagai "Tuhan". Toh Tuhan adalah fokus hidup, tulis Armstrong.

Persoalan mengenai "Tuhan" ini pun dapat meluas. Ia, dapat menyangkut problema moralitas kita sebagai bangsa. Sebagai bangsa yang secara legal formal meyakini akan adanya Tuhan yang Esa, kita berada dalam kebimbangan mengenai pengaruhnya dalam kehidupan bernegara.

Kalau benar kita memang ber-Tuhan (dalam pengertian Allah-nya agama Yahudi, Kristen dan Islam) dan itu diyakini dengan baik, kenapa masih ada para koruptor yang menjarah uang negara, para politisi picik yang haus kekuasaan, serta para birokrat yang bermental tuan? Bukankah itu pertanda bahwa beragama jelas bukan jaminan? Kalau begitu, seperti Armstrong, adakah masa depan bagi Tuhan?

Kapita Selekta Politik

Yang menjadi kajian ilmu politik sangatlah luas walaupun dalam ranah ilmu sosial sebenarnya telah ada sub-sub disiplin ilmu yang memberikan pusat analisis pada masalah-masalah yang sifatnya lebih spesifik, tetapi sebenarnya dalam ilmu sosial tidak dapat dihindari kajian yang lintas disiplin ataupun dalam bahasa yang umum disebut sebagai kajian lintas disiplin, hal itu tidak dapat dihindari karena ternyata dalam kenyataannya disiplin ilmu yang ada dalam atap ilmu sosial politik saling interdependensi dan interkoneksitas. Hubungan seperti ini sangat jelas dapat kita lihat dari kecenderungan para ilmuwan sosial yang menggunakan beberapa disiplin ilmu unrtuk mengkaji suatu fenomena sosial yang mana dalam tema - tema sentral tersebut, masing-masing disiplin memberikan analisis yang sangat berguna terutama dalam meretas masalah yang dihadapi oleh suatu negara.
Begitu juga dalam ilmu politik tidak dapat dihindari menggunakan kajian yang sifatnya lintas disiplin sebagai cara untuk memperkuat analisis sosial politik yang sedang terjadi. Sebab lain yang mempengaruhi hal itu karena suatu tema yang akan dikaji dalam ilmu politik ternyata juga menjadi kajian dari ilmu yang lain walau berbeda titik tekan yang menjadi pusat analisis.

A.    Kekuasan dan Supremasi Hukum

Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa pada diri manusia inheren dalam diri mereka kehendak untuk berkuasa dan itu kemudian menjadi pendorong didalam mencapai tujuan - tujuannya. Kekuasaan yang dimaksud disini mencakup banyak aspek yang meliputi kekuasan eksekutif, kekuasaan yudikatif, kekuasaan legislatif maupun dalam tipologi yang lain yang membaginya dalam kekuasaan lembaga -lembaga yang ada dimasyarakat. Yang menjadi masalah utama dalam tema ini adalah bagaimana hubungan antara kekuasaan dengan supremasi hukum dalam suatu negara, atau dengan kata lain apakah kekuasaan yang efektif dalam suatu negara akan menjadi sesuatu yang positif buat penegakan supremas hukum ?
Pertanyaan ini memaksa kita untuk melihat bagaimana realitas politik yang terjadi dalam era pemerintahan modern sekarang ini. Maka dalam hal ini yang menjadi analisa pertama adalah bagaimana konsep trias politika yang menjadi dasar dalam penentuan kekuasaan yang membaginya dalam beberapa perangkat lembaga serta dengan tugasnya masing-masing, dimana dalam konsep trias politika kita mengetahui bahwa yang bertugas didalam melaksanakan tugas peradilan adalah lembaga yudikatif. Tetapi sebenarnya yang terbaik adalah bagaimana koherensi dari masing-masing lembaga untuk mengawal hukum yang menjadi aturan main dalam kehidupan. Apapun yang menjadi dasar hukum yang diterapkan tanpa adanya kerjasama yang konstruktif diantara bagian ini maka supremasi hukum hanya akan menjadi suatu slogan. Sementara disisi lain yang perlu juga dibenahi adalah bagaimana budaya hukum yang ada didalam masyarakat sebagai penopang didalam upaya penegakan supremasi hukum bahkan menjadikan negara  ini sebagai negara hukum. Politik semestinya menjadi elemen yang menopang upaya supremasi hukum melalui kekuasaan yang memihak pada kebenaran.

B.    Demokrasi  dan HAM

Salah satu isu yang menguak dalam wacana kontemporer adalah demokrasi yang seakan - akan menjadi sebuah sistem yang berlaku universal untuk menjawab permasalahan negar-negara didunia. Seiring dengan demokrasi, isu HAM yang menjadi salah unsur dari demokrasi pun mencuat kepermukaan. Banyak kasus - kasus yang semula tidak diperhatikan kemudian kembali diusut karena persoalan HAM, seakan akan bahwa negara - negara tidak diakui sebagai negara demokratis apabila masih terdapat pelanggaran HAM. Bagi penulis terdapat pertanyaan yang mesti diajukan menyangkut tema ini yaitu dalam kenyataanya HAM malah dijadikan sebagai senjata politik bagi negara - negara tertentu untuk melakukan intervensi terhadap negara lain, sehingga secara tidak langsung ada tersirat upaya politisasi terhadap isu HAM ini. Untuk itulah mesti harus ada standar yang memungkinkan bagi setiap bangsa untuk memiliki kesamaan penafsiran terhadap HAM itu sendiri sehingga penyimpangan tersebut dapat dieliminir.
Dalam negara - negara yang mengalami proses pembelajaran demokrasi seringkali terjadi hal yang paradoksal, dimana atas nama demokrasi orang akan melakukan tindakan yang merugikan HAM itu sendiri atau dengan kata lain sering terjadi pembunuhan karakter demokrasi sendiri yang dilakukan oleh masyarakat dan anehnya itu dilakukan atas nama demokrasi itu sendiri. Fenomena seperti ini bagi penulis mesti diantisipasi sebab bisa jadi itu akan menjadi suatu masalah yang cukup berbahaya bagi prospek demokrasi  di Indonesia. Konsep demokrasi sebenarnya lahir dari penggalian sistem sosial kemasyarakatan yang dilaksanakan di barat yang kemudian diperkenalkan oleh para ahli keseluruh dunia untuk menjawab persoalan sistem penyelenggaraan negara dan tata kehidupan dalam mewujudkan cita-cita suatu negara. Berkat upaya yang sangat serius dari elemen yang ada serta momentum yang mengikuti menyebabkan demokrasi diterima sebagai isu yang sifatnya universal dan rasional untuk diterapkan pada negara-negara didunia, diantara hal yang menyebabkan demokrasi menjadi alternatif bagi negara-negara didunia adalah keruntuhan dari Uni Soviet yang merupakan representasi dari sosialisme sehingga kemudian mau tidak mau terjadi pembusukan terhadap sistem sosialisme

C.    Nasionalisme dan Ancaman disintegrasi bangsaa

Ada dua pertanyaan menarik yang bisa diajukan dalam masalah ini yaitu pertama, apakah nasionalisme Indonesia hari ini masih relevan?, yang kedua bagaimana konsep nasionalisme baru yang lebih baik untuk mencegah disintegrasi bangsa ?.
Pertanyaan pertama berusaha untuk menggambarkan bagaimana konsep nasionalisme sekarang yang semakin memudar bahkan tidak punya lagi kekuatan yang besar untuk melakukan pengikatan dalam kehidupan berbangasa dan bernegara. Perpecahan yang terjadi didalam negara ini memberikan sebuah indikasi yang amat serius yang mempertanyakan Nasionalisme indonesia, pergolakan Aceh untuk merdeka yang kemudian diikuti oleh beberapa daerah yang tidak puas memberikan sebuah indikasi yang mesti kita waspadai agar bangsa ini tetap utuh sebagai negara kesatuan yang kokoh. Dari beberapa anggapan yang mengemukan dikatakan bahwa salah satu yang menjadi masalah bagi nasionalisme adalah isu globalisasi yang demikian keras melanda negara bangsa, hal itu wajar karena ternyata disisi yang lain globalisasi mengandung unsur universalisme yang mencoba mengikis lokalitas atau pun identitas kebangsaan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa didunia. Adapun yang menjadi titik pokus perubahan itu adalah budaya, ekonomi dan bidang politik perrtahanan keamanan, yang jika dicerna secara mendalam maka ada kemungkinan akan terjadi suatu efek dunia sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi dalam satu kesatuan yang tidak lagi fanatik terhadap identitas primordial kebangsaan.
Masalah lain yang patut diajukan adalah apakah ancaman disintegrasi yang mengancam bangsa ini hanyalah akibat dari pengaruh globaisasi ataukah sebenarnya faktor dari dalam negeri sendiri yang cukup berpengaruh. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pelaksanan pemerintahan yang dilakukan selama ini ternyata menyimpang potensi ancaman disitegrasi bangsa karena adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh resim yang berkuasa sehinggga kemudian terjadi peggugatan terhadap eksistensi negara, misalnya ketidakadilan terhadap distribusi kekayaan alam dan anggaran pembangunan terhadap daerah yang kemudian menyebabkan daerah -daerah berkeinginan untuk melapaskan diri dalam ikatan negara kesatuan Rublik Indonesia.
Lalu bagaimanakah model alternatif nasionalisme indonesia untuk masa mendatang agar mampu menjadi ikatan yang mampu merekatkan bangsa indonesia, dengan melihat indikasi apa yang menyebabkan terjadinya ancaman integrasi bangsa. Sebenarnya sudah ada beberapa contoh konsep redefenisi ulang terhadap nasionalisme misalnya dengan memunculkan musuh bersama untuk menstimulus emosional rakyat untuk bersatu padu, akan tetapi cara ini malah mempunyai implikasi negatif dimana akan terjadi biaya sosial yang cukup besar termasuk akan terjadi proses melenakan untuk sementara sehingga sifatnya terjadi secara temporer dan singkat. Ada juga yang berusaha untuk menerapkan dengan mengelaborasi globalisai dengan unsur lokalitas yang dimiliki oleh suatu bangsa sehinga tercipta nasioalisme kosmopolit, yang jelas untuk konteks Indonesia yang  menjadi syarat penting adalah berusaha untuk menciptakan keadilan dan penegakan supremasi hukum sekaligus melakukan upaya rekonstruksi terhadap budaya lokalitas yang ada sehingga hal itu bisa menjadi modal sosial yang efektif.

D.    Otonomi  Daerah dan Implementasinya

Asas desentraliasi yang diterapkan di Indonesia yang diwujudkan dengan konsep otonomi daerah merupakan suatu upaya didalam merespon kondisi kebangsaan yang mulai rapuh yang diterpa oleh ancaman dari luar maupun ancaman integrasi bangsa yang menerpa bangsa ini. Asumsi yang terbangun dalam analisis kontemporer kebangsaan melahirkan suatu kesepakatan bahwa mesti harus ada upaya untuk melakukan pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah - daerah agar mereka mampu untuk mengelolah dan menyelenggarakan pemerintahannya secara mandiri sekaligus pemberian otonomisasi untuk menentukan arah daerah masing - masing sesuai dengan lingkungan sosial kultural yang ada. Hanya sayang kemudian pelaksaaanan otonomi daerah ternyata tidak sebaik yang diharapkan, pada kenyataannya respon terhadap konsep ini dimaknai secara berbeda oleh masyarakat indonesia termasuk pemerintah daerah yang diantara dapat dilihat dengan adanya desakan untuk melakukan upaya pemekaran daerah yang sebenarnya belum pantas, selain itu ditingkat pemerintah, otonomi daerah lebih dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan daerah yang dapat menopang pembangunan sehingga substansi utama otonomi daerah untuk melakukan upaya pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat sekaligus upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak diperhatikan.
Dampak lain yang terjadi diera otonomi daerah adalah adanya indikasi pergeseran kebobrokan dari pusat kedaerah misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme semakain kental didaerah sekaligus menciptakan penghisap didaerah yang sebelumnya terjadi ditingkat pusat.
Penyebab dari penyimpangan konsep otonomi daerah dalam implementasinya disebabkan karena pemaknaan terhadap konsep ini ternyata menimbulkan berbagai celah yang memungkinkan adanya penyelewengan selain itu masalah lain adalah karena undang - undang otonomi daerah itu sendiri mengalami kekurangan yang mesti harus terus diperbaiki minimal upaya kontekstualisai terhadap kondisi kultural dari daerah - daerah yang ada. Begitu juga konsep otonomi daerah mesti dtopang oleh sumber daya manusia yang handal sebagai pelaku utama dalam pelaksaanan pembangunan pada bangsa ini. Sumber daya manusia yang dimaksudkan disini bukan hanya kecerdasan dalam hal keahlian dan ilmu pengetahuan tetapi harus memuat tentang moralitas dan komitmen kebangsaan yang tinggi.

E.    Sistem pemilu di Indonesia

Dalam konsep negara modern pemilu merupakan mekanisme untuk penyelenggaran kenegaraan yang paling rasional untuk melakukan proses regenerasi kepemimpinan sekaligus mekanisme perwakilan untuk penyelenggaraan kenegaraan. Sampai saat ini belum ada sistem yang paling efektif selain pemilu untuk melaksanakan mekanisme perwakilan yang dibisa diterapkan pada suatu bangsa. Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana model dan mekanisme pemilu yang sesuai dengan konteks Indonesia sebagai evalusi terhadap penerapan sistem pemilu yang dilaksanakan selama ini .
Dalam realitas perpolitikan Indonesia, sistem pemilu yang dilaksanakan di Indonesia adalah sistem proporsional yang mana kemudian  saat ini berusaha digunakan sistem proporsional terbuka yang ditambah dengan peraturan dan mekanisme yang khas diterapkan di Indonesia, mengapa bisa terjadi seperti itu karena ada beberapa negara yang menerapkan sistem proporsional tetapi ternyata dalam kenyataan berbeda dengan apa yang diterapkan di Indonesia.
Walaupun masih dalam proses penggodokan yang serius di KPU, penyelenggaraan pemilu 2004 akan membuka agenda - agenda baru yang diharapkan mampu membawa angin segar terhadap perpolitikan Indonesia. Contoh perubahan yang besar terjadi dalam pemilu mendatang yaitu pelaksana pemilihan presiden secara langsung yang diselenggarakan sama dengan pemilihan anggota parlemen yang akan duduk di DPR. Walau mendapat beberapa rintangan kedepan, tetapi paling tidak agenda yang ada dalam pemilu 2004 memberikan sutu sikap optimistik untuk perbaikan dalam sistem politik Indonesia.
Dalam beberapa pembicaraan yang ada kemungkinan besar yang akan diterapkan adalah melakukan pemilihan anggota DPR dan DPD terlebih dahulu untuk duduk di legislatif yang kemudian disusul tahap kedua yang agendanya adalah pemilihan langsung presiden dengan persyaratan dilakukan secara bertahap jikalau tidak mencapai standar yang ditentukan yaitu 50% ditambah satu suara dari seluruh suara pemilih.
Selain masalah mekanisme pemilu yang patut diperhatikan adalah bagaimana mekanisme pengawasan terhadap pelaksaanan pemilu dan bagaimana menghindari penyelewengan terhadap pemilu yang dilakukan oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Agenda lain yang harus dilakukan adalah pendidikan politik yang kritis yang harus diberikan kepada masyarakat agar secara kualitas pemilu ini benar - benar mampu menghasilkan hasil yang baik karena tingkat kesadaran pemilih sudah tinggi dan itu sebenarnya menjadi tanggung jawab partai poltik, media massa, lembaga atau oraganisasi kemasyarakatan, mahasiswa, tapi pendidikan politik yang dilakukan betul- betul; yang kritis agar hal itu tidak hanya sekedar hanya sebagai trik politik untuk kekuasaan.

F.    Konflik Parpol, Penceraharan demokrasi atau mengejar kekuasaan

fenomena perpecahan partai politik atapun konflik interan yang terjadi dalam sutu partai politik jika dilihat dalam kaca mata politik adalah sesuatu yang sangat wajar karena dalam proses politik memang sarat dengan potensi konflik kepentingan yang terjadi, dengan catatan hal itu hanyalah sebagai fenomena untuk melakukan perbaikan dalam partai potlitik yang bersangkutan.
Pertanyaan kemudian yang bisa diajukan adalah apakah betul konflik partai politik secara intern merupakan upaya pencerahan demokrasi ? atau dengan kata lain apakah konflik yang terjadi tersebut baik intern maupun antar partai politik menjelang pemilu 2004 adalah sesuatu yang memberikan konstribusi positif dalam upaya demokratisasi bangsa khususnya dalam upaya pendidikan politik masuyarajkat ?
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam politik yang menjadi orientasi adalah mengejar kekuasaan yang kemudian dengan kekuasaan tersebut dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi yang menjadi permasalahan kemudian adalah dimana letak moralitas politika ataukah dimana sifat nurani politik yang semestinya menjadi pedoman dalam politik ditempatkan. Jikalau yang menjadi esensi dalam politik dalah merebut dan mempertahankan kekuasaan apalagi dengan menggunakan segala cara termasuk hal-hal yang keluar dari moralitas dan nilai-nilai etika yang ada maka yang patut dipertanyakan adalah bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berlangsung secara baik.
Jikalau diamati secara lebih mendalam, konflik yang terjadi dalam partai politik tidak lepas dari pertentangan kepentingan yang ada dalam partai politik itu sendiri maupun adanya strategi politik yang mengharuskan orang-orang dalam partai politik tersebut untuk melakukan penggugatan yang pada akhirnya menimbulkan konflik yang berkepanjangan, termasuk upaya pembentukan partai politik baru yang sebenarnya adalah semangat perepecahan dalam partai politik itu sendiri. Atau fenomena konflik ini bisa juga terjadi karena lemahnya kontrol partai terhadap  kader-kadernya sehingga dengansemaunya kader-kader tersebut melakukan upaya yang cukup membahayakan eksistensi partai politik tersebut dimata publik yang tentunya akan merugikan sendiri partai politik tersebut. Begitu juaga kepentinyan yang sifatnya ideologis terkadang menjadi pemicu yang efektif terjadinya konflik pada partai politik yang ada dimana ada hal yang berbau ideologis yang ingin dipaksakan untuk diterima secara mayoritas yang tentunya menyebabkan terjadi konflik secara personal yang ujung-ujungnya berakibat pada perpecahan  visi dan misi yang kemungkinan besar akan diikuti perpecahan partai politik .
Berkaitan dengan akan dilakukannya pemilu 2004 juaga sangat berpengaruh terhadap konflik intern partai maupun antar partai p[olitik, karena pada hakikatnya pertarungan akan terjadi didalam pemilu tersebut yang tujuannya adalah bagaimana menepati kekuasaan yang ada di DPR maupun di Eksekutif. Petualang politik dalam realitas politik kekinian mungkin akan menjadi sesuatu yang dilakukan oleh para politikus demi untuk mendapatkan kue kekuasaan dan bisa jadi hal itu juga sangat berpengaruh terhadap perpecahan partai politik yang terjadi sekarang ini.

G.    Kepemimpinan nasional

Dalam konsep triaspolitika dikenal pembagian kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif. Konsep pembagian kekuasaan ini dalam kenyataannya mengalami berbagai macam penafsiran yang kemudian menjadi anutan bagi negara – negara di dunia. Pemaknaan terhadap konsep ini pada umumnya yang diterapkan oleh negara- negara di dunia adalah bentuk pemisahan secara kelembagaan, tetapi secara fungsional ketiga lembaga tersebut melakukan kerja sama untuk mengeluarkan kebijakan – kebijakan yang penting bagi negara.
Dalam pembicaraan tentang kepemimpinan nasional, yang menjadi fokus adalah bagaimana badan eksekutif yang tentunya berbicara mengenai presiden dan perangkat pelengkapnya, tetapi pada umumnya akan membicarakan mengenai siapa yang menjadi presiden dan bagaimana proses regenerasi kepemimpinan nasional yang diterapkan dalam suatu negara. Khusus untuk konteks indonesia yang menerapkan sistem presidensial maka presiden pada dasarnya adalah mandataris dari MPR yang merupakan manivestasi kedaulatan rakyat dan itu berlaku sejak bangsa ini merdeka sampai sekarang, hanya pada tahun 2004 mendatang presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi kini rakyat yang langsung memilih presiden sehingga secara legitimasi presiden mendatang akan lebih baik karena pemilih yang langsung memilihnya. Implikasi kemudian yang terjadi dengan adanya pemilihan langsung preisden adalah kekuatan DPR dan DPD untuk menggulingkan presiden akan lemah karena secara konstitusi dan aturan main yang berhak untuk melakukan aksi delegetimasi adalah rakyat. Akibat kebih lanjut yang mungkin akan terjadi adalah adanya fenomena power rakyat yang harus terkonsulkidasikan sebagai pengontrol paling ampuh didalam mengawasi penyelenggaraan negara yang dilakukan presiden terpilih.
Salah satu hal yang terkesan lolos dalam pengawasan adadah bagaimana pertanggungjawaban secara publik DPR dan DPD kepada rakyat dan mekanisme pengaturan kontrol tersebut sangat tidak jelas sehingga terkesan adanya titik lemah dalam sistem politik khususnya sistem perwakilan politik yang diterapjkan pada bagsa ini.
Kajian yang menarik untuk negara dan masyarakat yang mengalmi fase transisi adalah bahewa kepemimpinan nasional sangat memegang peranan yang penting dalam penentuan nasib bangsa dan negara, hal itu terjadi karena karakter kepemimpinan nasional akan sangat mewarna bagaimana bangsa itu kedepan, termasuk bagaimana proses penciptaan negara yang maju dan sejahterah. Tetapi lebih jauh yang mesti dilakukan adalah adanya pemberdayaan ditingkat masyarakat sipil agar terjadi proses penguatan yang bisa memberikan kontribusi positif membangun demokratisasi yang sementara berlangsung di Indonesia. Dalam wacana ini maka konsep Civil society adalah sebuah tawaran yang menarik dimana dalam konsepsi ini dikemukakan bahwa dalam suatu masyarakat yang akan maju harus diupayakan bagaimana pola hubungan antara negara dengan masyarakat agar disatu sisi masyarakat akan menganggap diri sebagai mitra bagai negara didalam mewujudkan tujuan negara, disisi lain negara akan menempatkan diri sebagai mitra bagoivmasyarakat dengan jalan memberikan stimulus bagi masyarakat untuk meningkatkan kemandiriannya sekaligus meningkatkan kekuatan kontrol masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan pemerintahan. Dengan demikian penguatan pemerintahan yang ditandai dengan kepemimpinan nasional yang solid dan berwibawa semestinya diikuti dengan penguatan masyarakat untuk melaksanakan fungsi kontrol terhadap negara.

H.    Keseimbangan Kekuasaan

Sebagaiman yang telah dirintis oleh pemikir-pemikir politik terdahulu seperti misalnya Jhon Locke, Thomas hobbes maupun Monntesque, mereka membagi kekuasan dalam tiga bagian lembaga yang mempunyai fungsi masing-masing yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasan yudikatif. Dalam perkembangannya kemudian, konsep trias politika mengalami perubahan-perubahan pemaknaan dimana pertama kali konsep ini dimaknai sebagai bentuk pemisahan kekuasaan yang masing-masing lembaga secara mandiri melaksanakan kekuasaan tetapi kemudian bergeser menjadi konsep pembagian kekuasaan yang dimaknai sebagai pemisahan secara struktural dan kelembagaan tetapi secara fungsional ketiga lembaga ini melakukan kerja sama dalam pelaksanaan tugasnya sehingga dalam mekanisme kerja ketiga lembaga saling memperkuat posisi yang kemudian seringkali mengalami benturan kekuasaan yang implikasinya mengakibatkan instabilitas sistem politik.
Konsep keseimbangan kekuasaan sebenarnya adalah sebuah penafsiran yang multiperspektif dalam pengertian bahwa keseimbangan kekuasaan bisa diartikan dalam arti yang luas yaitu keseimbangan antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Tetapi bisa jadi keseimbangan kekuasaan  meliputi antara kekuasaan negara dan masyarakat, sehingga pemaknaan terhadap keseimbangan kekuasaan akan lebih konfrehensif dan menyeluruh.
Keseimbangan kekuasaan dengan model pengertian seperti diatas akan mengakibatkan pemahaman secara lebih mendalam terhadap konsep ini, karena ternyata dalam realitasnya kekuasaan itu tidak hanya menggumpal pada titik negara yang meliputi lembaga eksekutif dan legislatif serta yudikatif melainkan ternyata kekuasaan juga ada pada masyarakat termasuk kelompok-kelompok kultural didalam masyarakat.  Perlunya keseimbangan antara kekuasaan negara dan masyarakat dalam hal ini disebut sebagai masyarakat sipil adalah agar disatu sisi dalam aras negara terjadi keseimbangan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara disisi lain terjadi penguatan kekuasaan ditingkat masyarakat yang akan menjadi alat kontrol bagi negara atau struktur lembaga negara didalam melaksanakan penyelenggaraan negara.
Apabila kita mencari format ideal keseimbangan kekuasaan maka untuk sekarang ini konsep civil society adalah sebuah alternatif pemecahan yanag dapat dipertimbangkan, karena dalam konsep civil society menghendaki adanya hubungan yang harmoinis ditingkat struktur negara maupun keseimbangan antara negara dan masyarakat, dimana  negara dalam konsep ini akan mengposisikan diri sebagai kekuatan yang akan memberikan stimulus untuk menciptakan kemandirian masyarakat, sekaligus menciptakan kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat yang berfungsi unbtuk menciptakan penguatan pada aras masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap sehingga  kemudian  negara tidak lagi mempunyai kekuatan yang sewenang-wenang dalam menetapkan kebijakan dan penyelenggaraan negara.  Disisi yang lain, masyarakat tentunya akan memposisikan diri sebagai mitra kerja bagi negara didalam mencapai tujuan negara yang telah ditetapkan secara bersama, dan sekaligus masyarakat akan menempatkan posisi sebagai kontrol bagi negara dalam pelaksanan penyelenggaraan negara.

I.      Dampak Kebebasan dan Keterbukaan.

Setelah reformasi bergulir sebagai keberhasilan gerakan mahasiswa yang ditopang dengan gerakan rakyat mengakibatkan ruang kebebasan dan keterbukaan dinikmati oleh masyarakat yang selama masa sebelumnya dalam pemerintahan rezim Orde Baru dikekang.  Sebagai akibat dari dibukanya ruang kebebasan yang luas bagi masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat menikmati kebebasan itu dengan euforia yang berlebihan.  Dampak dari euforia berlebihan tersebut masyarakat malah cenderung melakukan aksi-aksi yang anarkis dimana pola tingkah laku seperti itu kontraproduktif dengan demokrasi yang akan dibangun pada bangsa ini, sebab demokrasi yang akan dibangun tidak mungkuin akan mencapai hasil yang maksimal jikalau kebebasan dan keeterbukaan yang ada itu dikotori dengan aksi-aksi anarkis, malah kemungkinan besar yang akan terjadi adalah terciptanya kembali pemerintahan yang otoriter sebagai akibat dari politik ketertiban yang akan dilakukan oleh negara dalam meredam aktivitas politik masyarakat yang konvensional.
Sebagaimana yang dikatakan oleh O’Donnel atau Samuel P.H Tintong, bahwa negara yang mengalami fase  transisi akan berada pada fase ketidak pastian dan ketidak menentuan yang tinggi, menurut tesis mereka transisi yang sedang berlangsung pada sebuah negara kemungkinan akan mengarah kepada demokrasi yang dicita-citakan atau mungkin akan menuju pada bentuk lain seperti otoriterianisme jenis baru atau pemerintahan baru hasil revolusi jikalau prasyarat demokrasi tidak terpenuhi.
Mengingat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam masyarakat dan negara transisi maka dalam hal ini sangat penting upaya melakukan konsolidasi demokrasi ditingkatan masyarakat dan elit - elit politik.  Dengan demikian kebebasan yang dinikmati oleh masyarakat sekarang harus terus dipertahankan tetapi dengan melakukan upaya kelembagaan  agar yang tercipta kemudian bukanlah anarkisme politik yang ujung - ujungnya  adalah chaos politik.
Kritikan dari Samuel P.Huntington terhadap para ahli politik yang ada yaitu bahwa mereka lebih memusatkan perhatiannya terhadap perubahan sosial yang cepat sehingga kemudian memberikan implikasi terjadinya instabilitas sosial politik yang seringkali terjadi yang ternyata dampaknya terhadap demokratisasi adalah sebuah proses yang berjalan bergelombang bahkan mengarah pada gerak yang sifatnya involusi. Dalam konteks ini Ia mengemukakan bahwa yang terpenting sebenarnya yang harus dilakukan adalah bagaimana melakukan proses pelembagaan politik yang syarat mutlaknya adalah pembangunan kelembangaan politik yang kuat yang mempunyai kapasitas intitusional yang dapat responsif terhadap perubahan politik yang terjadi, termasuk kebebasan dan keterbukaan politik yang sedang melanda bangsa ini.
Kebebasan dan keterbukaan yang melanda bangsa Indonesia sebenarnya merupakan suatu indikasi yang positif bagi prospek demokratisasi, tetapi hal yang harus dilakukan adalah bagaimana mengindentifikasikan kebebasan yang bagaimana yang menopang demokratisasi dan model keterbukaan bagaimana yang efektif terhadap demokratisasi, hal ini sangat penting dilakukan sebab bisa jadi keterbukaan yang diterpakan dalah sebentuk upaya pelemahan kelembagaan maupun secara kultural, begitu juga kebebasan yang ada adalah sutu bentuk ekspresi kehidupan bersama yang menempatkan tanggungjawab dan kesadaran terhadap aturan main yang disepakati bersama.

J.     Terorisme

Isu terorisme semakin menjadi wacana dominan setelah Amerika serikat melakukan propaganda melalui media untuk melakukan perlawanan terhadap terorisme, hal itu dilakukan oleh Amerika Serikat setelah kejadian yang luar biasa menggemparkan negara adikuasa tersebut dengan peristiwa peledakan gedung kembar WTC dan Pentagon sebagai markas Angkatan Darat yang merupakan kebanggan bagi negara tersebut. Walaupun tanpa ada bukti, Amerika serikat melemparkan issu bahwa peristiwa peledakan tersebut dilakukan oleh gerakan yang terorganisir yang mencoba untuk menghancurkan Amerika serikat dan berusaha untuk menarik perhatian dunia Internasional. Sebagai tindak lanjut untuk memerangi terorisme Amerika Serikat melakukan politik tinggi dengan cara melakukan pembusukan karakter terhadap terorisme melalui propaganda dimedia, selain itu berupaya mencari dukungan dari negara-negara lain dengan dalih untuk memerangi terorisme dalam rangka menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Selanjutnya melakukan agresi militer ke negara Afganistan untuk melumpuhkan kekuatan terorisme Al- Qaeda yang dipimpin oleh Osama Bin Laden yang disinyalir sebagai biang peledakan gedung WTC dan Pentagon. Disinilah letak dari kerancuan pemaknaan terorisme dimana agresi militer yang dilakukan oleh AS dilakukan dengan atas nama penghancuran terhadap teroorisme akan tetapi disisi lain secara langsung telah melakukan teror terhadap warga negara Afganistan, yakni munculnya kondisi yang tidak nyaman, tidak aman serta tidak tentram bagi warga Afganistan sendiri, karena agresi yang dilakukan oleh AS tersebut dilakukan secara sporadis dengan dalih melakukan pencarian terhadap pimpinan Al-Qaeda dan para pengikutnya tanpa memikirkan aspek ketentraman dari warga, dimana-mana hampir tiap harinya warga hanya mendengar suara peluru dan dentuman peluru kendali yang diarahkan ketempat-tempat yang disinyalir sebagai tempat persembunyian dari Al-Qaeda, suasana tersebut menjadikan warga Afganistan kalang kabut untuk mencari tempat yang aman dari agresi tersebut.
Dalam waktu yang sangat singkat kemudian respon negara-negara terhadap isu terorisme bermunculan dan itu dilakukan baik secara intern maupun secara ekstern dengan melakukan kerja sama dengan negara-negaran lain untuk melakukan pemberantasan terhadap terorisme. Begitu juga banyak bermunculan kasus-kasus lain yang disinyalir berkaitan dengan terorisme internasional yang ingin melakukan kekacauan internasional, untuk konteks Indonesia banyak teror bom yang melanda yang tak luput dari beberapa pandangan yang menyangkutkan dengan terorisme internasional, misalnya tragedi pemboman di Bali yang secara internasional menggemparkan warga dunia karena selama ini yang dikenal dan sering dikunjungi oleh wisatawan dari luar negeri adalah Bali , selain itu korban yang ada di Bali banyak warga dari luar negeri terutama Australia. Dengan adanya kasus bom yang merupakan peristiwa terorisme terbesar di Indonesia menyebabkan implikasi yang luar biasa terhadap indonesia baik dari segi ekonomi maupun dari segi yang lain termasuk bidang politik keamanan. Dengan adanya peristiwa Bali maka kemudian Indonesia melakukan langkah proaktif didalam memerangi terorisme termasuk dengan membuat UU tentang terorisme sekaligus menggalang kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam memerangi terorisme.

K.    Politik Luar Negeri Indonesia

Politik luar negeri dari suatu negara dengan negara lain itu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, hal itu disebabkan karena masing-masing negara mempunyai sumber daya yang berbeda-beda sekaligus kepentingan nasional yang menjadi prioritas dari setiap negara berbeda. Walau demikain sebenarnya politik luar luar negeri suatu negara mempunyai substansi yang sama jika ditinjau dari segi tujuan nya yaitu masing masing negara akan mencapai tujuan nasional bangsa dan negaranya dalam hubungan internasinal tersebut.
Indonesia dalam hal ini menganut sistem politik luar negeri bebas aktif yang mana Indonesia dalam praktek politik luar negerinya bebas menentukan akan berhubungan dengan negara yang mana sekaligus bebas untuk menentukan sikap terhadap situsi politik internasional yang sedang berkembang, bebas juga dapat dimaknai bahwa dalam menentukan sikap politiknya Indonesia tidak dipengaruhi oleh negara lain. Sedangkan aktif adalah perwujudan dari sikap politik luar negeri Indonesia yang mana akan aktif didalam memberikan sikap politik terhadap situasi politik dunia, sehingga dalam hal ini aktifnya indonesia dalam menyikapi persoalan politik internasional merupakan wujud dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
Lalu bagaimana dengan politik bebasa aktif Indonesia yang ada sekarang ini dalam era terorisme internasional sebagai gejala internasional. Meski sebenarnya Indonesia hati-hati dalam menetapkan sikap politiknya sebelum kejadian tragedi bali, tetapi setelah kejadian bom Bali maka Indonesia dengan tegas memberikan sikap politik yang menentang terorisme yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian. Sikap politik luar negeri indonesia kemudian menjadikan terorisme sebagai agenda dalam melakukan kerja sama antar negara sehingga dalam kenyataannya Indonesia bersikap yang tegas memerangi terorisme. Sikap perang yang dilakukan oleh Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat yang cenderung menggunakan isu terorisme sebagai kendaran politik untuk melakukan tekanan terhadap negara-negara tertentu yang tentunya untuk mencapai tujuanya yang merupakan taktik politik yang tinggi.
Dalam realitas politik luar negeri Indonesia sebenarnya seringkali terjadi penyimpangan arah dimana menurut sebagian pengamat bahwa politik luar negeri bebas aktif hanya menjadi sebuah simbolisasi belaka padahal yang dilakukan adalah ketidakjelasan sikap politik terhadap situasi politik internasioanal yang sedang berkembang. Sehingga dengan adanya kenyataan tersebut ada beberapa pengamat politik Luar negeri Indonesia mengusulkan agar politik luar negeri Indonesia harusnya bukan hganya bebas aktif tetapi harus proaktif dan kreatif serta kejelasan visi dan misi.

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts