بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Rabu, 26 Juni 2013

Political Insight (Kisah Dua Anak di Kereta Shinkasen)



Dasar sebuah proses rekayasa harus berbasis pada kenyataan yang sama. Singkatnya, bagaimana kita mampu membuat persepsi yang berbeda, sekalipun faktanya tetap sama. Jadi, bukan penutupan fakta. Sekali lagi, itu namanya berbohong. Resikonya terlalu besar.
Ini sebuah kisah kecil yang menggambarkan bagaimana sebuah rekayasa citra terjadi di kereta cepat Jepang, Shinkasen. Kisahnya tentang dua orang anak kecil, bersama dengan bapaknya yang naik Shinkasen bersamaan dengan pekerja-pekerja Jepang di sore hari. Sebuah situasi hening dalam kereta karena pekerja-pekerja tersebut telah lelah seharian bekerja.
Tentu saja, tidak bagi kedua anak kecil tersebut karena canda riang adalah keseharian mereka. Maka, mereka pun ribut terus di kereta hingga penumpang-penumpang lain merasa terganggu. Sementara, bapak kedua anak itu lebih banyak diam mengamati, dan sesekali tersenyum.
Di menit-menit awal, tidak ada yang terganggu dengan celoteh berisik kedua anak tersebut. Tapi di menit-menit berikutnya, ketika anak-anak tersebut semakin berisik, sebagian besar pekerja mulai melihat ke bapak anak tersebut. Sang bapak masih diam karena memang belum ada yang menegur. Hingga akhirnya, seorang pekerja berkata, “Mohon maaf, Pak, bisakah Bapak meminta anak bapak untuk lebih tenang. Kami lelah karena habis bekerja seharian.”
Bapak itu memahami betul permintaan tersebut maka dia pun merendahkan badannya, dan berbisik pada dua anaknya untuk tidak berisik. Kedua anak tersebut mengangguk-angguk dan diam sejenak.
Tapi, ternyata, jiwa bermain kedua anak tersebut masih kuat sehingga hanya dalam hitungan menit mereka sudah kembali membuat suara. Kali ini, bahkan ditambah dengan teriakan-teriakan dan lari-larian di antara penumpang pekerja tadi. Sesekali pecah suara terbahak di antara mereka. Bapaknya sadar pekerja-pekerja tersebut semakin kuat menatap kedua anak laki-lakinya.
Hingga akhirnya seorang pekerja muda dari ujung gerbong berteriak, “Pak, bisa nggak anaknya disuruh diam ?!” Seluruh pekerja memalingkan mukanya pada sang bapak, seolah mendukung kemarahan pekerja muda tadi. Kedua anaknya sempat diam, kaget dihardik pekerja muda tadi.
Sang bapak, lantas memeluk kedua anaknya yang kaget. Dalam tatapan mata bersalah, sambil tetap memeluk anak-anak lakinya, bapak tersebut meminta maaf dan berkata keras dengan suara pecah, “Maafkan kami. Maafkan saya sebagai bapaknya, tidak bisa membuat anak ini diam. Sekarang saya akan minta mereka diam dengan keras. Sekalipun, saya tidak tega melihta mereka diam karena sebetulnya pagi tadi mereka baru saja kehilangan ibunya. Ibu mereka baru saja meninggal.
Seluruh pekerja yang semula marah langsung berubah. Rasa jengkel mereka jadi simpati. Anak-anak kecil pembuat gaduh tersebut ternyata baru saja kehilangan ibunya. Sebagian langsung merasa bersalah dengan memberikan permen yang mereka punya, tidak sedikit yang kemudian mengelus rambut anak-anak laki tersebut.
Nah, itulah rekayasa pencitraan. Sebuah situasi yang sama, tetapi kemudian memunculkan persepsi yang berbeda. Anak-anak tersebut tetap gaduh, tapi pekerja-pekerja langsung menjadi simpati karena sebuah informasi. Itulah namanya rekayasa. Sekali lagi, informasi harus berdasarkan fakta, bukan bohong.     
     
Sumber :
Wasesa, Siih Agung. 2011. Political Branding & Public Relations. PT. Gramedia. Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts