بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Senin, 04 Maret 2013

New Age

Selama  dasawarsa  80-an,  dan  terus berlanjut  ke  tahun  90-an,  marak sekali
diskursus  seputar  New  Age  Movement.  Kemarakan  diskursus  ini,   sebenarnya
merupakan puncak kontinuitas sejarah.  Dulu, akhir dasawarsa 60-an  dan memasuki
awal tahun  70-an, sudah  lahir benih  baru New  Age yang  populer diekspresikan
dalam bentuk self-conscious movement.  Sebagai puncak diskursus, wacana  New Age
kemudian  menjadi  trend,  dan  bahkan  menjadi  the  standard  vocabulary dalam
diskursus masyarakat Barat  yang sekuler. New  Age pun, lantas  menjadi populer,
fenomenal, dan tak  jarang menjadi komoditas  dan produk aktivitas  jurnalistik.
Betapa  gerakan ini  menjadi atraksi  dari perhatian  media massa,  dan  sebagai
akibat logis  dari proliferasi  informasi. Sehingga,  image populer  New Age  di
kalangan  outsiders,  justru didasarkan  pada  publikasi media  massa  ini, yang
terkadang sarat sensasi dan kontroversi. Di Amerika Utara, misalnya, sensasi New
Age  dikenal  publik  setelah disiarkan  via  televisi  secara miniseri  Shirley
MacLaine's  Out  on  a  Limb,  Januari  1987.  Pada  Desember  1987,  Time  juga
mempublikasikan  New Age  Harmonies, yang  memfokuskan bahasan  flashier,  aspek
substantif dari gerakan New Age. Bahkan, tahun 1968, sudah beredar keras majalah
East West Journal yang dikenal  luas sebagai majalahnya New Agers.  Istilah ini,
memang relatif  lebih lazim  dipakai dalam  konteks gerakan  New Age,  dibanding
misalnya istilah New Age Adherents maupun New Age Believers.

"New Age" dalam lintas sejarah

Dalam lintas sejarah, gerakan New Age dapat ditelusuri ke Inggris, sekitar tahun
60-an. Awalnya, terdapat grup kecil  yang akrab dipanggil light groups,  seperti
theosophical  dan  chanelling groups.  Biasa,  light groups  ini  kumpul bersama
sambil berdiskusi secara  antusias. Topik diskusi  pun relatif unik  dan langka,
karena  sifatnya  misterius dan  sarat  prediksi ke  depan.  Layaknya futurolog,
pernah dalam suatu diskusi, mereka memprediksikan kedatangan World Savior.  Juru
Selamat  dunia?  Sebagai  diskursus  intelektual,  prediksi  World  Savior  yang
digulirkan light groups, sungguh menggiurkan, khususnya buat simpatisan New Age.
Cerdiknya,  mereka  tak  sekadar  mengandalkan  prediksi,  tetapi  juga jaringan
institusi.  Sambil merambah  masuk ke  Amerika dengan  menawarkan the  spiritual
light, mereka pun membangun institusi baru yang mereka namakan: Universal  Link.
Suatu institusi yang membuat mereka  tampak artikulatif dan visioner, "began  to
articulate the vision of a transformed people and world."

Eksistensi dan  ekspansi spiritual  mereka makin  solid tatkala  seorang teosof,
intelektual dan spiritualis David Spangler berkunjung ke Inggris, hanya  sekadar
mengunjungi  light groups  ini. Tahun  1973, David  harus meninggalkan  Inggris,
karena hendak buru-buru membangun basis teoretis yang tentu saja diharapkan kuat
secara epistemologis  dalam konteks  gerakan New  Age. Dan  jangan kaget,  David
Spangler  pun sukses  mewujudkan impian  besarnya. Yakni,  meng-cover ide  besar
"kelahiran  New  Age."  Terbukti, kira-kira  tiga  tahun  kemudian, karya  besar
Revelation,  The  Birth of  a  New Age,  (San  Francisco-Rainbow Bridge,  1976),
meluncur  di hadapan  publik. Selang  delapan tahun,  tepatnya 1984,  David  pun
kembali  mengulang suksesnya  dengan terbitnya,  Emergence, The  Rebirth of  the
Sacred, (Detroit: Gale Research Company, 1988). Lewat karya mutakhirnya ini,  ia
begitu artikulatif mengidentifikasi empat level gerakan New Age.

Pertama, kategori komersial, yang biasa memakai label New Age sebagai  marketing
ploy,  seperti  New Age  Shoes,  atau Food,  atau  awareness techniques  (teknik
kesadaran).

Kedua, level New  Age yang dikategorikan  David Spangler sebagai  glamour, biasa
terpublikasikan  lewat media  dan menjelma  dalam bentuk  "kebudayaan  populer."
Level ini dilukiskan David Spangler  sebagai: populated with strange and  exotic
beings, masters, adepts, extraterrestrials. It is a place of psychic powers  and
occult  mysteries,  of  conspiracies  and  hidden  teachings.  Namun,  tantangan
terbesar level ini adalah "rasa keakuan diri" dan cenderung memisahkan diri dari
komunitas sosial.

Ketiga,  level New  Age yang  concern pada  perubahan, seperti  model  paradigma
perubahan  yang  dirumuskan  Marilyn  Ferguson  dalam  The  Aquarian Conspiracy:
Personal and Social Transformation in the 1980s (Los Angeles: JP Tarcher, 1980),
sebagai: "emerging new forms  of government and politics,  bussiness, education,
gender roles, science, religion, and psychology.

Keempat,  level New  Age yang  secara paradigmatik,  ingin mendefinisikan  ulang
makna "kesucian" dan "mensakralkan  kembali bumi, manusia, dan  kehidupan sehari
-hari." Inilah  kategori New  Age yang  oleh David  Spangler dinobatkan  sebagai
titik awal: fundamentally a spiritual event, the birth of a new consciousness, a
new  awareness,  and  experience  of  life.  Karenanya,  fokus  utamanya  adalah
transformasi pemikiran dan kehidupan secara global. Ini pula model New Age level
ketiga (concerned with  change) dan keempat  sekaligus, di mana  ada konvergensi
kultural, spiritual, nilai, dan agenda  politik antara pemikiran New Age  dengan
spiritualitas perempuan.

Visi transformatif "New Age"

Dari lintasan sejarah New Age di  atas, tampak obsesi besar yang didambakan  New
Agers. Meskipun tampil sebagai bagian dari pelopor fenomena gerakan keagamaan-di
samping  fenomena  Cult, Sect,  New  Religious Movement,  dan  New Thought  yang
kesemuanya begitu fenomenal  dalam skala global-,  New Agers tidaklah  bermaksud
mendirikan "agama  baru." Justru  yang menjadi  visi sentral  New Age adalah apa
yang dirumuskan J Gordon Melton dalam Encyclopedic Handbook of Cults in  America
(New York: Garland Publishing, 1986, hlm. 113), sebagai "one of radical mystical
transformation on an  individual level." Dan  dalam literatur New  Age mutakhir,
New Religions and the Theological Imagination in America, (Bloomington:  Indiana
University  Press,  1989),  Mary  Farrell  Bednarowski  juga  sepakat   terhadap
identifikasi New Age  groups yang ditawarkan  oleh guru New  Age, David Spangler
melalui rumusan populernya:  "intentional spiritual communities  [which] espouse
explicitly  the  idea   of  an  emerging   planetary  culture  based   on  human
transformation."

Pembacaan terhadap alur pikiran J Gordon Melton, Bednarowski, dan David Spangler
secara kritis dan  umum, dapat ditarik  ke satu titik  simpul: visi transformasi
New Age  berpijak dari  personal transformation  ke arah  social transformation.
Pada level individu,  visinya berlangsung secara  personal dan sarat  pengalaman
mistik. Ini  termasuk kebangkitan  realitas baru  pada diri  kita, di  mana kita
menemukan  suatu   "psychic  abilities,   the  experience   of  a   physical  or
psychological  healing,  the  emergence of  new  potentials  within oneself,  an
intimate experience within community, or the acceptance of a new picture of  the
universe."  Nah,  paska  personal  transformation,  visi  transformatif  New Age
berujung pada:  "social transformation,  social vision  of world  transformed, a
heaven on earth, a society in which  the problems of today are overcome and  new
existence emerges."

Visi transformatif New Age dari  personal ke sosial itu, sungguh  paralel dengan
arus  utama  kebangkitan  spiritual   dewasa  ini,  yang  secara   epistemologis
dimatangkan James Redfield melalui empat karya besarnya sekaligus: The Celestine
Prophecy: An Adventure  (1993), The Tenth  Insight: Holding the  Vision, (1996),
The Celestine Vision- Living the New Spiritual Awareness (1998), dan The  Secret
of Shambala (1999). "To  change the world, we  first had to change  our selves,"
inilah pesan psikologis-spiritual James Redfield yang searah dengan gerakan  New
Age.

New Agers merasa yakin bahwa  dunia ini dapat dirubah dari:  "the crisis-ridden,
polluted, warlike, and resource-limited world in which we live into a New Age of
love, joy, peace,  abundance, and harmony."  Visi transformatif New  Age, memang
peka terhadap  krisis, sambil  mentransformasikan diri  menuju idealisasi  hidup
secara harmonis.

New  Agers  menilai  krisis  sebagai  akibat  dari  kesalahan  paradigmatik dari
pengembangan  kebudayaan  Barat yang  sekuler,  justru mengakibatkan  malapetaka
kemanusiaan. Ilmuwan Wouter J Hanegraaff menyebutnya "a point of extreme  danger
to humanity and the planet as  a whole." Bahkan, posisi kita sekarang  ini sudah
berada  pada  suatu  kompleksitas krisis.  "State  of  profound, and  world-wide
crisis," kata Fritjof Capra yang genius itu, melalui karya besarnya The  Turning
Point: Science, Society, and the Rising Culture, (New York- Bantam Books, 1987).

Krisis multidimensional ini, kata  Capra, sudah mengelilingi setiap  aspek dalam
kehidupan kita: kesehatan, lingkungan,  hubungan sosial, ekonomi, teknologi  dan
politik.  Manusia  sebagai  subjek  krisis,  mengalami  alienasi  dan   reduksi,
dekadensi dan degradasi, sehingga terbiasa dengan tragedi kemanusiaan; kekejaman
dan  pembunuhan.  "It  is  a  crisis  of  intellectual,  moral,  and   spiritual
dimensions," tulis Capra yang sangat mengesankan. Bayangkan, jika Fritjof  Capra
saja, penulis  buku The  Tao of  Physics yang  amat populer  di dunia itu, sudah
berkesimpulan demikian, apa sikap  kita sebagai agamawan? Terpukul?  Boleh jadi.
Karena, urusan  krisis moral  dan spiritual  itu, sejatinya  menjadi tugas utama
agamawan?  Untuk  itu,  kita  perlu segera  berbenah  diri:  dari  krisis menuju
harmoni.

Kalangan New  Age memakai  pisau filsafat  perennial sebagai  jalan keluar  dari
krisis moral dan spiritual. Karena, sophia perennis sebagai filsafatnya kalangan
New  Age, selalu  menghidupkan pesan  sejati fitrah  manusia. Manusia  mengalami
krisis,  karena  telah  melanggar fitrah  asalnya  sebagai  manusia. Untuk  itu,
manusia  perlu  segera  menghidupkan  kembali  fitrah  asasinya  dalam kehidupan
sehari-hari. Fitrah asasi manusia,  seperti berkiblat pada keadilan,  kebenaran,
kebersamaan,  toleransi,  sikap  inklusif di  tengah  pluralitas,  harus menjadi
komitmen empiris  dalam keseharian  hidup manusia.  Sayangnya, nilai-nilai asasi
fitrah manusia  itu, sudah  kering dari  lingkungan tradisi  agama-agama formal.
"Such religions  are false,"  kata Hanegraaff  melukiskan sikap  New Agers  yang
alergi  terhadap  agama-agama  formal,  karena  dinilainya  cenderung  dogmatis,
eksklusif, dan eksoteris.

Lantas, apa yang dicari New Agers? Persis seperti yang diproklamirkan  futurolog
John  Naisbitt  bersama  istrinya,  Patricia  Aburdene  dalam  Megatrend   2000.
"Spirituality, Yes, Organized Religion, No!", kata Naisbitt melukiskan arah baru
kecenderungan New Age. Jadi, New Agers kurang simpatik terhadap orientasi  agama
formal,  tetapi  justru enjoy  terhadap  spiritualitas baru  yang  lintas agama.
Karena, hakikat sejati dari agama-agama, bagi kalangan New Age tidaklah bernilai
sektarian, tetapi universal; tidak pula eksklusif, tetapi inklusif; serta  tidak
juga dogmatis, tetapi bersifat eksperiental. Dan itu hanya diperoleh dalam suatu
"pengembaraan   spiritual,"   "Spiritual   Adventure"   begitu   James  Redfield
menyebutnya dalam novel spiritual The Celestine Prophecy: An Adventure (1993).

Spiritual Adventure  ini begitu  disukai oleh  kalangan New  Age, terutama untuk
mencerahkan wawasan spiritual yang  mendamaikan ketenteraman batin. "Turning  to
the East," kata teolog  Harvard, Harvey Cox melukiskan  kegairahan spiritualitas
Timur yang diburu New Agers,  dalam karya populernya, Turning East:  The Promise
and Peril of the New Orientalism, (1977).

Kenapa spirituality? Karena,  New Agers amat  meyakini suatu rumusan  metafisik:
"Spirituality: The Heart of Religions" (Spiritualitas itu, justru hatinya  agama
-agama). Spiritualitas itu,  kata Brahma Kumeri  Sudesh -direktur lebih  dari 60
pusat spiritualitas di  Inggris, Irlandia dan  Jerman, adalah kebenaran,  damai,
cinta kasih, kesucian, kebahagian dan kekuatan di dalam kehidupan. Inilah  nilai
-nilai  spiritualitas  baru  yang  diburu  kalangan  New  Age.  "Towards genuine
spiritual insight," kata penganut setia gerakan New Age.

Wawasan spiritual yang  tulen dan otentik  ini, memang digandrungi  kalangan New
Age, yang ekspresinya diperagakan  dalam beragam bentuk: mulai  dari meditation,
prayer, dzikr, spiritual  healing, the sufi  healing, sports, and  sacred sites.
Ini fenomena  global, hampir  di seluruh  belahan dunia:  Amerika, Jerman, Eropa
Barat,  Inggris,  Selandia  Baru,  India  dan  seterusnya,  yang  menjadi  pusat
kegairahan spiritualitas kalangan New Age. Dan jangan kaget, kadang hidup mereka
justru menjadi spiritualis, hanya karena membaca buku-buku spiritualitas baru.

Dan uniknya, buku-buku sains modern pun, yang dulu cara pandangnya rasional  dan
sekuler, sekarang mulai  mempertimbangkan wawasan mistik-spiritual.  Inilah yang
fenomenal di kalangan New Age: titik temu sains modern dengan  mistik-spiritual.
Namun, ada satu lagi yang jauh lebih fenomenal. Yakni, bangkitnya kesadaran baru
dalam fisika,  yang ditandai  dengan maraknya  diskursus New  Physics. Ini sudah
diartikulasikan secara cerdas oleh fisikawan besar, Fritjof Capra, lewat The Tao
of  Physics, (1975).  Karya ini,  mampu menjadikannya  sebagai sumber  inspirasi
dalam  pengembangan   paradigma  holistik   dalam  fisika   yang  mengeksplorasi
kesejajaran antara fisika modern dengan mistik-spiritual Timur.

Semua itu  tidak sekadar  sinyal, tetapi  juga bukti  bahwa manusia era milenium
baru sangat mendambakan suatu genuine spiritual insight. Suatu wawasan spiritual
yang tulen dan otentik, mencerahkan, sekaligus juga mendamaikan batin. Diri kita
seakan-akan menemukan  kembali-apa yang  ramai disebut-sebut  oleh kalangan  New
Age-sebagai The Universal Harmony. Benarkah? Wallahu A'lam Bishawab.

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts