Selasa, 05 Maret 2013
MASYARAKAT BEBAS GENDER: SEBUAH MIMPI UNTUK DIWUJUDKAN (Gender-free society: A dream worth living)
Bicara perempuan atau gender, biasanya kita bicara 'korban'. Aktivis
perempuan atau kaum feminis tak jarang jatuh pada topik caci-maki terhadap
peng-objek-kan perempuan, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan, dan
betapa selama bertahun-tahun perempuan telah dengan sengaja 'dikalahkan'
secara ekonomi, politik, bahkan dilegitimasi secara struktural.
Ini tidak salah. Memang angka-angka statistik maupun berbagai studi kasus
menunjukkan, betapa tidak terwakilinya (suara) perempuan di politik, di
media massa, di posisi-posisi kunci perusahaan, bahkan di rumah tangga.
Namun untuk hanya berkeluh-kesah dan melawan 'api dengan api', rasanya
tidak menyelesaikan persoalan.
Masalah gender yang tak pernah usang ini kembali jadi bahan diskusi dalam
konferensi Young Women Leaders Network di Bangkok - Thailand, 3-4 November
2000. Diselenggarakan oleh Friedrich Ebert Stiftung (FES) Southeast Asia
Gender Project, konferensi dua hari ini mempertemukan para perempuan muda
- aktivis partai politik, LSM, anggota parlemen, dan media massa dari 11
negara Asia Tenggara dan Timur serta Jerman.
Seperti ditekankan Dr.Gabriele Burns, kepala proyek gender FES Asia
Tenggara, salah tujuan konferensi singkat ini adalah menjawab pertanyaan,
"Is there any such thing as Young Women=New Politics'?" - apa memang ada
fenomena 'perempuan muda sama dengan politik (cara) baru? Waktu yang
sangat terbatas menjadikan pertemuan perdana ini 'hanya' sebuah langkah
awal dari kerjasama dan jaringan organisasi, LSM, politisi dan para
jurnalis Asia dan Jerman.
Tren atau utopia?
Dalam sesi pertama yang membahas fenomena pemimpin perempuan muda (youg
women leaders), Nurul Izzah Anwar (20) menekankan, "Tanpa hak asasi
manusia, bagaimana kita bisa bicara hak-hak perempuan (without human
rights, how can we talk of women's rights?)." Partisipasi perempuan muda
dalam politik baginya, sangat tergantung sikap kita terhadap isu-isu
mendesak pada masanya.
Sementara panelis dari Thailand Dr.Pechdau Tohmeena (35), kandidat lower
house dari New Aspiration Party, menyatakan partisipasi politik perempuan
di negaranya tergolong baik karena sejarah Thailand yang memang berperan
aktif bahkan dalam peperangan.
Lain dengan Jerman. Walau anggota parlemen perempuan di lower house
(Bundestag) saat ini mencapai 25%, keterlibatan perempuan dalam aktivitas
partai politik masih jauh di bawah pria. Beberapa partai telah
memberlakukan sistem kuota, namun dalam makalahnya, anggota parlemen
Jerman dari partai Sosial Demokrat (SPD) Dr. Carola Reiman mengatakan,
"Kuota hanya akan menjadi satu dari sekian banyak aturan jika tidak
digunakan sesuai tujuannya."
Sangat menarik 'presentasi' panelis dari Jepang Dr.Hiroko Mizushima (32),
anggota parlemen dari Partai Demokrat. Boleh dibilang, kehadiran Mizushima
bersama suami dan putrinya merupakan bukti dan harapan bagi partisipasi
perempuan (dalam politik maupun bidang lain). Sesuai presentasinya
mengenai cita-cita masyarakat bebas gender (gender-free society),
Mizushima menunjukkan bahkan pria Jepang yang terkenal
male-chauvinist-nya, bisa menjaga dan mengurus anak sementara sang ibu
bekerja.
Menurut Mizushima dan Hanae Nakano - peserta dari serikat pekerja Zenzen,
Jepang - banyak pria Jepang merasakan tekanan berat dengan budaya
patriarki yang sangat kuat serta tuntutan menjadi tulang punggung
(ekonomi) keluarga. Sebenarnya mengasuh anak dan menghabiskan waktu
bersama keluarga juga merupakan idaman para pria Jepang. Maka keduanya
menenkankan pentingnya sebuah masyarakat yang bebas-gender, di mana
keluarga dan pengasuhan anak merupakan tanggung jawab seluruh keluarga,
tak hanya ibu.
Keluarga
Bagaimana pun, jalan menuju kesetaraan gender masih panjang. Bahkan di
Jerman yang menduduki tempat ketiga tertinggi dalam presentasi perempuan
di parlemen, jalur karir bagi perempuan lebih panjang dan sulit ketimbang
pria. Marianne Wellershoff (37), wartawati Der Spiegel yang menjadi salah
seorang panelis di sesi ketiga menunjukkan, walau 60% dari profesional
muda yang mengawali karirnya di media adalah perempuan, namun
posisi-posisi tertinggi di media masih didominasi pria. "Di Der Spiegel
sendiri, belum wartawati yang berhasil mencapai jabatan editor," tuturnya.
Diskusi menjadi menarik ketika masalah pengurusan keluarga dan anak
diangkat ke depan. Para peserta, walau datang dari berbagai bidang
mengakui kesamaan masalah yang dihadapi perempuan di Asia maupun Jerman.
Keluarga dan anak-anak tetap dianggap tanggung jawab perempuan. Sangat
sulit bagi seorang profesional media yang jam kerjanya tidak teratur dan
notabene jauh melebihi 40 jam seminggu untuk mempertahankan karirnya. Di
Jerman, hanya 38% jurnalis perempuan memiliki anak, sementara 50 %
jurnalis pria berkeluarga dengan anak. Demikian pula hanya 62% jurnalis
perempuan yang hidup bersama pasangan sementara 73% dari jurnalis pria
Jerman mempunyai istri atau teman kencan tetap. Akibatnya kebanyakan
profesional muda perempuan di Jerman memilih untuk tetap melajang atau
menikah namun tidak mempunyai anak.
Pilihan yang sama terpaksa dipilih profesional muda Jepang. Statistik
kependudukan Jepang menunjukkan model 'penduduk tua' di mana jumlah
penduduk usia lanjut melebihi usia produktif dan kanak-kanak. Mizushima
menenkankan, hal ini antara lain karena stereotip pembagian peran dalam
keluarga selama ini yang membebankan urusan anak dan rumah tangga melulu
kepada perempuan. Akibatnya pasangan muda di Jepang, seperti juga di
Jerman lebih memilih tidak mempunyai anak.
Peserta dari Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, Filipina dan Indonesia
mengakui, profesional muda perempuan saat ini mengasuh anak dengan bantuan
keluarga besarnya. Tidak demikian dengan para perempuan di Jepang, Korea
dan Jerman. Selain tidak ada keluarga besar yang bersedia dititipi, upah
tenaga kerja untuk mengasuh anak pun tidak terjangkau bagi keluarga muda
kelas menengah.
Sementara, pilihan yang ada tampaknya hanya menitipkan anak di nursery
atau day care center, fasilitas yang keberadaannya pun masih sangat
sedikit baik di negara-negara Asia maupun Jerman. Yang agak beruntung
dengan sistem penitipan anak ini adalah Cina, seperti diungkap Yan Xiaolu
dari Assosiation for International Understanding, Cina, "Kami punya
tempat-tempat penitipan anak bagi para pekerja perempuan, bahkan cukup
banyak di desa-desa. Berbeda dengan tradisi Cina kuno, masyarakat Cina
sekarangt telah cukup di depan dalam hal kesetaraan gender," jelasnya.
Sementara mayoritas peserta bicara tentang kesetaraan kesempatan berkarir
dan berpolitik serta pembagian peran mengasuh anak, Debbie Stothard,
aktivis Alternative ASEAN on Burma (ALTSEAN) mengingatkan: di bawah
cengkeraman junta militer dengan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia,
tak hanya kaum perempuan yang dilanggar hak-haknya. "Isu utama kaum
perempuan (dan laki-laki!) Burma adalah mempertahankan kehidupan itu
sendiri. For now, survival of our children is the issue!" tegasnya.
"A dream worth living"
Beberapa kesimpulan yang ditarik dalam kelompok-kelompok kerja di akhir
hari kedua menjabarkan masalah-masalah yang dihadapi perempuan generasi
sekarang, hal-hal yang perlu dilakukan dan bagaimana melaksanakannya.
Berusaha untuk lebih dari sekadar membangun wacana, kerja kelompok membuat
daftar pekerjaan rumah untuk sungguh-sungguh membuat perubahan - make a
difference - di tingkat organisasi, negara, hingga kerjasama
internasional.
Secara umum, seluruh peserta setuju bahwa masalah perempuan adalah bagian
dari masalah kemanusiaan. Namun demikian, harus ada yang memperjuangkan
kesetaraan gender, maka tugas siapa lagi kalau bukan para perempuan
sendiri. Maka yang perlu dilakukan adalah pertama membangkitkan kesadaran
- baik kaum perempuan sendiri maupun kaum pria - akan adanya diskriminasi;
kesadaran kaum perempuan akan perlunya memperjuangkan isu-isu khusus (yang
selama ini terlewat atau taken for granted karena budaya patriarki atau
maskulinitas yang dominan); dan pentingnya kekuasaan (power) - hal yang
justru cenderung dihindari kaum perempuan.
Agenda kedua: encourage, atau mendorong kaum perempuan untuk lebih berani
memperjuangkan dirinya maupun gendernya; mendorong kaum muda, lelaki
maupun perempuan untuk berbagi tanggung jawab keluarga (dengan setara!);
dan mendorong kaum perempuan untuk lebih berani memasuki 'dunia laki-laki'
atau pekerjaan-pekerjaan yang stereotip laki-laki.
Ketiga, diakui kelemahan kaum perempuan selama ini adalah kurangnya
kekompakkan ala 'the old boys club' atau solidaritas sesama perempuan. Tak
seperti kaum laki-laki yang kompak bagaikan punya 'kode etik sesama
lelaki', kaum perempuan di tempat kerja maupun di organisasi terpencar dan
tak jarang malah saling menjatuhkan. Untuk itu hal yang penting dilakukan
adalah membangun jaringan kerja yang aktual dengan organisasi-organisasi
di dalam dan luar negeri masing-masing.
Adanya role model(s) atau panutan juga dirasa perlu untuk membangkitkan
semangat. Keberadaan Mizushima beserta suami dan putrinya yang baru
berusia dua tahun dirasakan memberi 'energi tambahan' untuk perjuangan
kesetaraan gender dan lebih jauh lagi: mewujudkan masyarakat bebas-gender
(gender-free society) di mana laki-laki maupun perempuan dapat bebas
menentukan perannya tanpa terbebani stereotip dari masyarakat.
Apa yang diungkap Marianne Wellershoff patut disimak: setiap isu adalah
isu perempuan, yang ada (perbedaan) adalah pendekatan perempuan (every
issue is a women's issue - there may only be a specific women's approach).
Dr. Gabriele Burns menutup tidak dengan kesimpulan keseluruhan - hal mana
tidak mereduksi seluruh wacana menjadi suatu pidato - namun dengan apa
yang persepsi dan pendapatnya dari diskusi dua hari tersebut. Walau
perempuan muda dari kelas menengah di berbagai negara telah menikmati
kesempatan pendidikan yang (lebih kurang) setara, (gender perempuan
sebagai kelas) masih jauh dari 'sana' (kesetaraan). Masih ada
pengkotak-kotakan atau stereotip, masih banyak perempuan merasa tidak
mampu (hanya karena ia perempuan), bahkan masih banyak perempuan yang
tidak peka-gender (gender-sensitive).
"Menjawab pertanyaan tentang penting tidaknya angka, saya menjawab: masih
penting. Sebab walau pun populasi perempuan adalah setengah penduduk
dunia, (gender) perempuan (sebagai kelas) masih diperlakukan sebagai
minoritas. Untuk mengubah aturan-aturan main yang diskriminatif, kita
(perempuan) perlu 'ada di sana'. Memiliki cukup power akan memberi kaum
perempuan kesempatan untuk membuat perubahan," tutur Burns.
Kaum perempuan punya pilihan: berkeluh-kesah dan menampilkan diri sebagai
'korban', atau berjuang dengan ikut bertanding. Untuk itu perempuan harus
tahu aturan main, belum tentu untuk melawan api dengan api (fight fire
with fire) namun untuk menjadikan permainan yang adil.
'Kesalahan' (yang biasa dibuat) kaum perempuan adalah hanya berani
mengurusi masalah-masalah 'lembut' (soft issues), maka politik dan
kekuasaan dipandang sebagai 'tidak feminin' bahkan melawan kodrat. Suatu
fakta harus diingat: kekuasaan tidak punya gender (power has no gender).
Menyangkut apakah perempuan muda dengan politik baru, adalah tugas kaum
perempuan (dalam politik) untuk mentransformasi ''politik untuk
perempuan' menjadi 'politik oleh perempuan'.
Last Updated:25/11/00 - Copyright © 2000 Uni Sosial Demokrat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Footer Widget 1
Sample Text
Text Widget
Footer Widget 3
Recent Posts
Download
Blogger Tricks
Blogger Themes
Diberdayakan oleh Blogger.
Footer Widget 2
Popular Posts
-
Tulisan ini saya maksudkan untuk menceritakan beberapa kisah inspiratif yang telah diceritakan pula oleh para Sufi Islam. Bagi rekan-r...
-
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Manusia pada awal penciptaan telah melakukan perjanjian primordial dengan Tuhan bahwa tidak ada t...
-
A. Asal-Usul Manusia Pertama Tentang asal-usul manusia pertama Kabupaten Wakatobi terdapat berbagai macam pandangan maupun sumber. D...
-
Kesultanan Buton : Asal muasal penduduk Buton adalah migrasi kelompok orang yang datang dari Johor pada abat 13, yang dikenal dengan emp...
-
Teori sosiologi modern merupakan bagian dari teori sosiologi klasik. Teori ini membahas mengenai tokoh-tokoh sosiologi yang mengembangka...
-
Menarik sekali ketika kita sebagai masyarakat umum dan khususnya sebagai pelajar diperhadapkan dengan situasi carut marutnya pelaksanaan...
-
1. LA ODE MUHAMMAD SAMAN RAMLI · Tempat berjuang : SURABAYA · Sebab...
-
1. LA WALANDA · Tempat Berjuang : BUTON · Sebab Berjuang ...
-
1. Polemik dan Interpretasi Perdebatan tokoh dan Budayawan Sulawesi Tenggara tentang siapa Lakilaponto, apakah tokoh ters...
-
Yang menjadi kajian ilmu politik sangatlah luas walaupun dalam ranah ilmu sosial sebenarnya telah ada sub-sub disiplin ilmu yang memberika...
Blog Archive
-
▼
2013
(99)
-
▼
Maret
(26)
- Teori Sosiologi Modern
- Agama Di Republik Yang Sakit
- Sekilas Tentang Perjanjian Primordial
- Terjemahan Buku Abu Dzar Al Ghiffari
- Kisah-Kisah Para Sufi
- Karl Heinrich Marx (1818-1883)
- Foto Inspiratifku ( Foto Bung Karno)
- Makalah Filsafat Hukum (Hakekat, Pengertian Hukum ...
- PENGARUH TEORI HANS KELSEN TERHADAP TATA URUTAN HU...
- Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Program P...
- Gambaran Umum Desa Bolo Kec. Lohia Kab. Muna
- Proposal Usaha Warnet
- Kuliah Kerja Profesi (KKP) Di Lapas Klas IIA Kendari
- Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum Serta H...
- Historisme Dan Mitos Takdir
- Epistemologi Filsafat Buddha
- Materialisme Dialektis
- MASYARAKAT BEBAS GENDER: SEBUAH MIMPI UNTUK ...
- REALITAS SERBA BERUBAH DARI KARL PRIBRAM
- "Agama Dan Ilmu"
- 'Postmodernisme' kekuasaan: Upaya memaklumi gaya ...
- New Age
- Video Inspirasiku
- Photo Memories
- Partisipasi Perempuan Dalam Pelaksanaan Program Na...
- Fenomena Hukum : Residivis
-
▼
Maret
(26)
0 komentar:
Posting Komentar