Rabu, 06 Maret 2013
Epistemologi Filsafat Buddha
Dalam pencariannya akan kebenaran tentang keberadaan umat manusia yang didorong
oleh keinginannya untuk bebas dari penderitaan yang tersirat di dalamnya,
Siddhattha Gotama diceritakan telah mengunjungi guru demi guru untuk mempelajari
segala hal yang dapat diperoleh daripadanya. Ia menjadi amat fasih dalam
berbagai filsafat dan praktek-praktek religius yang ada pada masa itu.
Kebudayaan bertapa (samana) agaknya sedang dalam keadaan menanjak di lembah
sungai Ganggapada waktu itu dan sejak masa mudanya Gotama agaknya telah juga
mendapat latihan rneditasi yoga.[1] Lagipula, dua gurunya yang terakhir, yang
memberinya latihan yang berhubungan dengan hal-hal spiritual sebelum ia akhirnya
mencapai penerangan, dikatakan telah melatihnya dalam seni meditasi yoga atau
kontemplasi. Pada waktu ia menerima meditasi yoga dan karenanya telah menyadari
akan adanya kekuatan ekstrasensori yang dapat dikembangkan dengan cara-cara
tadi, Gotama telah pula menyadari akan keterbatasan persepsi indria sebagai
sumber pengetahuan. Tambahan pula, sebagaimana dapat ditunjukkan dalam kitab
-kitab seperti Kalamasutta,[2] orang-orang telah pula mencurigai kesahihan
pemikiran (takka) dan logika (naya) sebagai alat untuk mencapai pengetahuan
tentang kebenaran dan realitas. Dan bagi Gotama, bahkan kontemplasi yoga dan
kekuatan ekstrasensori juga terbatas kemampuanya serta ia pun menyadari bahwa
kekuatan kekuatan ini disalahgunakan oleh para petapa yang merumuskan teori
-teori metafisika tentang keadaan sesungguhnya dari realitas, meskipun teori
-teori itu sebenarnya tidak dapat disusun berlandaskan persepsi ekstrasensori
ini.[3] Situasi ini agaknya amat rumit, karenanya Gotama, setelah
mencapai'penerangan, melakukan suatu usaha untuk memperjelas berbagai sumber
pengetahuan, menunjukkan keterbatasan dan kesahihannya, tanpa jatuh ke dalam
bentuk ekstrim dari agnotisme, seperti yang terjadi pada beberapa pendahulunya
dalam tradisi pertapaan Sanjaya Bellatthiputta.
Dalam Bab I sudah ditunjukkan bahwa pemikir-pemikir sebelum Buddha dapat di
golongkan ke dalam tiga kelas, kaum Tradisional, Rasional, dan Experiensial,
menurut penitik-beratan yang dilakukan dalam menempuh jalan untuk tahu.[4] Kaum
Tradisional, disebutkan, menurunkun pengetahuannya seluruhnya dari tradisi
tulisan dan penafsiran dilakukan berdasarkan lullsan-tulisan itu. Yang melakukan
adalah para brahmana yang menjadi penyokong otoritas kesakralan dari Veda-Veda
yang diungkapkan secara ilahi. Kritikan Buddha terhadap wahyu ilahi dan beberapa
sumber pengetahuan lainnya dapat diketemukan dalarn Canki-sutta dari Majjhima
-nikaya. [5] Di sini ia menyatakan:
Ada lima hal yang mempunyai akibat dua-muka dalam kehidupan ini. Apa yang lima
itu? (Pengetahuan berdasarkan) kepercayaan, kesenangan, wahyu, perenungan yang
dan akal, dan persetujuan akan suatu teori yang dipikirkan..., bahkan jika
saya mendengar sesuatu berdasarkan wahyu paling dalam (svanussutam), yang ada
kemungkinan kosong, dangkal dan ke1inl, padahal apa yang tidak saya dengar
berdasarkan wahyu paling dalam ada kemungkinan nyata (bhutam), benar, dan bukan
selainnya. Tidaklah tepat bagi seseorang yang cerdas, melindungi kebenaran,
untuk tiba pada kesimpulan (nittham) secara kategorik (ekamsena) dalam hal
ini bahwa hanya inilah yang benar dan selainnya keliru (idam eva saccam
mogham annam).
Sebaliknya,
Jika seseorang telah mendengar (dari wahyu, tradisi atau laporan), kemudian
dalam meilgatakan "inilah yang telah saya dengar" (dari wahyu, tradisi atau
laporan), ia melindungi kebenaran, sepanjang ia tidak tiba secara kategorik
kepada kesimpulan bahwa hanya ini yang benar dan selainnya keliru. Di sini
Sang Buddha menegaskan bahwa suatu teori yang berlandaskan tradisi atau lapor.
an atau wahyu dapat benar atau keliru. Dengan tidak adanya jarninan akan
kebenarannya atau kekeliruannya, tidaklah tepat untuk tergantung kepada teori
itu sebagai alat yang sahih untuk memperoleh pengetahuan. Karenanya,
berdasarkan pengetahuan ini seseorang tidak seharusnya tiba pada keputusan
yang pasti mengenai keadaan sebenarnya dari realitas. Oleh sebab itu, seperti
yang dikemukakan Sang Buddha, seorang seharusnya menunda keputusan dan itu
berarti penolakan terhadap tradisi atau. wahyusebagai sumber yang sahih bagi
pengetahuan.
Sikap yang sarna dipakai oleh Sang Buddha terhadap teori.teori yang dirumuskan
kaum Rasionalis yang berlandaskan pemikiran (takka) atau argumen logika (naya);
Menurot Sandaka-sutta dalam Majjhima-nikaya,' satu dari empat tipe agama yang
dikatakan tidak memuaskan (anassasika) tetapi tidak harus keliru adalah yang
berdasarkan pemikiran dan spekulatif (takka, vimamsa). Dikatakan: "Di sini guru
tertentu adalah pemikir dan penyelidik; ia mengajarkan doktrin yang terbukti
-sendiri dan merupakan hasil dari pemikiran dan spekulasi. Tetapi dalarn kasus
seseorang yang berpikir dan ber. spekulasi, pemikirannya boleh jadi baikatau
buruk, benar atau keliru". Jadi, menurut Buddhisme awal, _kebenaran
atau_kekeliruan suatu teori dalam kaitannya dengan kenyataan tidak dapat
ditentukan oleh kekonsistenan pemikirannya). Kadangkala suatu teori yang telah
dipikirkan dengan baik dapat keliru setelah dibandingkan terhadap kesatuan
kenyataan dan teori yang dipikirkan tidak baik dapat benar. Kebenaran pemikiran
karena itu seharusnya tidak dipakai sebagai satu.satunya kriterium bagi
kebenaran.
Yang terakhir dari tiga kelas filsuf-filsuf pra-Buddha adalah kaum
Experiensialis. Kita tahu, bahwa Sang Buddha menuntut dirinya sebagai seorang di
antara para pertapa dan Brahmana yang memiliki pengetahuan tingkat tinggi,[7]
yang merupakan potunjuk kuat terhadap pandangan bahwa Sang Buddha tidak menuntut
atau memandang drinya sebagai pemilik cara yang unik untuk mendapatkan
pengetahuan selain daripada yang dipunyai para guru agarna yang lain yang ada
sebelum dan pada masa hidupnya. Tetapi hal yang penting adalah bahwa, sebagai
hasil dari penactahuan ini, Sang Budha tidak tiba pada kesimpulan yang sama
seperti yang dicapai pendahulu-pendahulunya. Sebagai contoh, para pemikir
Upanisad yang mengikuti jalur pengetahuan melalui pengalaman tiba pada teori
bahwa 'diri seseorang' (otman) dan 'diri semesta' (Brahman) adalah satu dan sama
dan bahwa pembebasan adalah menyadari kenyataan ini, aiau, seperti yang ada pada
kaum Upanisad belakangan, teori yang menyatakan bahwa Brahma mencipta. kan d~nia
ini dan bahwa pencipta dan yang diciptakan (atman perorangan) dalam kenyataannya
adalah satu dan sama. Dalam Brahmajala-su ttanta, [8] Sang Buddha menunjuk
kepada para pertapa dan Brahmana yang, sebagai hasil dari perkembangan
konsentrasi yoganya (atappam anavaya padhanam anvilva anuvogam anvaya samma
manasikaram anvaya) memperoleh kekuatan.kekuatan ekstrasensori dan mempercayai
atau dunia ini (yakni 'diri semesta') dan 'diri' (yakni 'diri perorangan')
adalah abadi, atau dunia ini diciptakan oleh Brahmf(issara). Dalam kenyataannya
Sang Buddha tidak memandang isi dari pengetahuan identik dengan realitas
terakhir apa pun. Tidak juga pengetahuan demikian dipandang sebagai mengandung
pembebasan. Apa pun pengetahuan yang diperoleh seseorang melalui persepsi
ekstrasensori dipandang oleh Sang Buddha sebagai alat untuk mencapai tujuan,
tapi bukan tujuan itu sendiri. Menurut Sang Buddha, pengetahuan demikian, bila
diwarnai dengan kesukaan atau ketidaksukaan seseorang, akan membentuk berpagai
kepercayaan dogmatik yang akan menghalangi seseorang dalam melihat keadaan
sebenarnya segala sesuatu (vathilbhuta) dan dalam mencapai kebebasan sempurna
melalui ketidakmelekatan (anupaaI vimutti).[9] Sebaliknya, pengetahuan intuitif
langsung ini, bila tidak dirintangi oleh kesukaran atau ketidaksukaan, akan
memperlengkapi seseorang dengan pengertian yang mendalam tentang keadaan
sebenarnya dari segala sesuatu sehingga seseorang mampu berlaku sesuai dengan
hal itu dan men capai kebebasan sempurna (vimutti). Tentang hal ini akan kita
bicarakan lagi belakangan (lihat bab 7).
Tambahan pula, tidak semua seperti di dalam Upanisad, dalam analisis akhir,
pandangan dan pengetahuan seseorang tidak diakibatkan oleh daya-upayanya
melainkan karena belas-kasihan at au campur tangan Atman atau bahkan karena
sesuatu yang tidak dapat diterangkan dan misterius; bagi Sang Buddha hal ini
merupakan kejadian yang sewajarnya, bukan yang tidak-wajar. Perkembangan
persepsi ektrasensori (abhinna) dipandang sebagai suatu 'kejadiankausal'
(dhammata)[10]. 'Konsentrasi mental' (samadhi) selalu dikondislkan secara
kausal, dan konsentrasi mental inilah yang menjadi penyebab (upaniso) untuk
perkembangan persepsi ekstrasensori,[11] yang memungkinkan seseorang memeriksa
keadaan sebenarnya dari keberadaan, yang beberapa aspek daripadanya tidak dapat
dicapai secara sempurna oleh persepsi indria biasa.
Analisis ini memperjelas kenyataan yang penting bahwa Sang Buddha menyadari
keterbatasan semua sumber-sumber pengetahuan. Kesadaran akan keterbatasan inilah
yang mendorong Sang Buddha untuk menolak cap ke-serbatahu-an yang dituntut oleh
para pendahulunya.[12] Apa yang dituntut bagi dirinya adalah tiga jenis
pengetahuan (tisso vijja) yang terdiri dari (1) retrokognisi, (2) clairvoyance,
dan (3) pengetahuan tentang penghancuran nafsu-nafsu kotor;[13] Ketiganya adalah
yang terpenting dari enam jenis pe ngetahuan tingkat tinggi (chalabhinna).
Haruskah Buddhisme dikelaskan sebag!ii skeptisisme karena ia menekankan
keterbatasan-keterbatasan semua sumber-sumber pengetahuan-pikiran, persepsi, dan
bahkan persepsi ekstrasensori? Tentu saja tidak. Sebaliknya, penitik-beratan
terhadap keterbatasan pengetahuan dimaksudkan untuk mencegah orang jatuh ke
dalam jaring teori spekulasi (ditthijala) yacng meletakkan 'ketidak-beradaan'
sebagai 'keberadaan'. Pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya
(yathabhutanana) karena terdiri dari pengetahuan "apa yang ada sebagai 'berada'
dan apa yang tidak ad'a sebagai 'tidak berada' (santam'va atthiti nassati,
asantam va n'atthiti nassati).[14]
Sang Buddha juga mengakui kenyataan bahwa sikap subyektif seperti suka
(ruci)[15] dan karenanya juga ketidaksukaan (aruci), juga keterikatan atau
kecenderungan (chanda). kebencian (dosa). kesesatan (moha) dan ketakutan (bhaya)
[16] , mencegah seseorang mencerap sesuatu sebagaimana adanya. Pengikisan
penyimpangan.penyimpangan subyektif ini dan kebiasaan subyektif ini dan
kebiasaan berpikir tertentu dipandang menda. tangkan pengertian akan segala
sesuatu. Persoalan ini akan didiskusikan lebih lanjut pada saat kita memeriksa
teori tanpa inti Buddha (anatta).
Sang Buddha menyadari bahwa prasangka subyektif memegang peranan penting dalam
pengertian atau persepsi seseorang tentang kebenaran, karenanya ia enggan
mengkhotbahkan dhamma setelah pencapaian penerangannya.[17] Namun sekali
diputuskannya untuk berkhotbah, ia menggunakan metode pelajaran bertahap
anupubbikatha), karena diketahuinya ada perbedaan sifat kemampuan antara orang
-orang yang akan diajarnya:
Ketika dipertanyakan mengenai cara-cara memperoleh pengertian yang benar (sammti
ditthi) ia menyebut dua sumber utama, (1) kesaksian yang lain (parato ghosa),
dan (2) perenungan yang tepat (yoniso manasiakara).[18]
Telah kita lihat bahwa Sang Buddha mengkritik sumber-sumber pengetahuan seperti
wahyu ilahi dan kesaksian, tetapi kritiknya tidak semuanya destruktif.
Kenyataannya, kritikannya diarahkan terutama kepada mereka yang berpendapat
bahwa inilah satu-satunya sumber pengetahuan yang sahih. Namun di sini kita
lihat bahwa Sang Buddha memandang kesaksian sebagai langkah pertama dalam
mencapai pengertian atau pengetahuan. Kesaksian ini atau laporan dari orang lain
haruslah dikemudian diperiksa dengan membandingkan terhadap pengalaman
-pengalaman seseorang. Kesaksian itu sendiri mungkin benar atau salah.
Perenungan yang tepat (voniso manasikiara) mengandung baik penglaman maupun
perenungan atau pemikiran. Jadi Sang Buddha memandang pengalaman baik sensori
ataupun ekstrasensori, dan pemikiran atau penarikan kesimpulan yang berlandaskan
pengalaman sebagai sumber-sumber pengetahuan.
Kesahihan persepsi indria tidak ditolak dalam Buddhisme awal. Kenyataannya, data
indria (phassa atau sanna) adalah sumber-sumber utama dari pengetahuan dan
pengertian kita tentang dunia. Meskipun demikian bersamaan dengan itu, Sang
Buddha menegaskan kenyataan bahwa persepsi indria cenderung memberikan salah
-arah kepada manusia. Hal ini tidak disebabkan oleh cacat yang ada dalam
persepsi indria, melainkan terutama di. sebabkan oleh cara yang telah
mengkondisikan manusia sedemikian rupa dalam menafsirkan apa yang dia lihat,
dengar, rasakan, dan sebagainya:
Pernyataan yang terkenal dalam Majjhima-niiaya yang menjelaskan proses perscpsi
indria juga menunjukkan bagaimana persepsi indria dapat menyalah-arahkan manusia
Bergantung kepada organ penglihatan dan obyek penglihatan, O bhikkhu, muncullah
kesadaran penglihatan; pertemuan bersama dari ketiganya adalah kontak; karena
kontak muncullah perasaan. Apa yang ia rasakan ia cerap ia pikirkan; apa yang ia
pikirkan, ia menjadi tergoda olehnya. Apa yang membuatnya tergoda merupakan
konsep yang pada gilirannya menyerbunya dalam kaitannya dengan obyek-obyek
terlihat yang dapat dikenali oleh organ penglihatan termasuk dalam masa lalu,
mendatang dan sekarang. [19]
Rumusan di atas mulai dengan catatan yang amat impersonal yang berpangkal
pada rumusan umum dari kausalitas (paticcasamuppada), yang seringkali dibaca:
"Bila ini berada, itu berada" (imasmi1!l sati idaJ!l hoti, lihat bab 3).
Pernyataan yang impersonal ini cuma berlaku hingga ke'perasaan' (vedana).
Lalu ciri dari uraian, dan bahkan struktur tata bahasanya pun berubah. Rumusan
itu mengambil bentuk pendekatan personal sugestif terhadap kegiatan yang
dilakukan secara sengaja, karenanya kalimat itu menggunakan bentuk orang-ketiga:
"Apa yang ia rasakan, ia cerap", dan seterusnya. Di sini kita temukan
penyelusupan kesadaran diri yang kemudian membentuk keseluruhan proses
persepsi, dan berpuncak pada pembangkitan godaan-godaan, yang menurut komentator
ada tiga jenis, yaitu keinginan rendah (tanha), kecongkakan (mana), dan
pandangan dogmatik (ditthi). Dan tataf akhir dari proses persepsi ini barangkali
adalah yang paling menarik. "jelaslah, ia tidak lagi hanya sekedar kesatuan
proses, tidakjuga merupakan kegiatan yang diarahkan secara semena-mena,
melainkan suatu sasaran yang tidok dapat ditawar lagi bagi suatu tujuan ten tang
keteraturan segala sesuatu. Pada tahap akhir dari persepsi ini, ia yang sampai
saat ini menjadi subyek sekarang akan menjadiobyek yang menderita: ,20 Seperti
disebutkan di muka, sikap subyektif seperti suka dan tidaksuka bercampur dengan
persepsi indria dan karenanya mengotori kesan-kesan indria. Proses meditasi dali
perkembangan persepsi ekstrasensori mengarah ke penghapusan prasangka-prasangka
subyektif seperii ini. Tetapi, seperti telah 'kita lihat, bahkan setelat
pengembangan persepsi ektrasensori dan verifikasi terhadap keadaan sebenarnya
dari segala sesuatu melalui cara ini, para pemikir pra-Buddhisme menurut Sang
Buddha, memperbolehkan prasangka subyektif mereka bercampur dengan penafsiran
akan segala sesuatu yang disajikan sebagai bentuk persepsi tingkat tinggi. Jadi,
bahkan seseorang yang telah mengembangkan persepsi ekstrasensorinya seperti
retrokognisi boleh jadi percaya akan suatu kesatuan metafisik seperti 'diri'
(atman), atau penciptaan alam semesta oleh Brahma yang. maha kuasa. Namun,
berbagai bentuk persepsi ekstrasensori tlaak dapat dipakai sebagai lan.dasan
bagi kepercayaan-kepercayaan metafisik, Persepsi atau kekuatan ekstrasensori
yang diakui oleh Sang Buddha adalah sebagai berikut : 1. Psikokinesis
(iddhividha); yang bukan merupakan pengetahuan melainkan kekuatan. Ia terdiri
dari berbagai perwujudan dari 'kekuatan tekad' (adhitthana iddhi) dalam
jhana.[21] . 2. Telinga-batin (dibbasota), indria untuk menangkap bunyi
-bunyian dari jarak jauh, bahkan lebih jauh dari jangkauan indria pendengaran
biasa. Perluasan persepsi pendengaran baik dalam jarak maupun dalam kedalaman
metnbuat seseorang mampu untuk menangkap secara langsung feilomena berkorelasi
tertentu yang biasanya hanya dapat disimpulkan. 3. Telepati (cetoparlyanara),
yang membuat seseorang marnpu memahami keadaan umum ataupun bekerjanya pikiran
orang lain. 4. Retrokognisi (pubbtrltlld.MlIussatlnana), kemampuan untuk
menangkap sejarah kehidupan masa lamplu dlrinYI. I. bergantung kepada memori
(sati), dan memori dari kehidupan masa lampau ini diperoleh melalui kegiatan
konsentrasi yang intcnsif (samadhi), seperti halnya dalam pengembangan indria
-indria lainnya. 5. Mata-batin (dibbacakkhu atau cut' upapatanalJil),
pengetahuan tentang kematian dan kelanjutan hidup mahluk-mahIuk yang berkelana
dalam lingkaran kehidupan mengikuti kelakuannya (karma). Kemampuan ini, bersama
-sama dengan retrokognisi, membuat seseorang mampu memeriksa fenomena kelahiran
-kembali. 6. Pengetahuan tentang penghancuran rangsangan-rangsangan kotor
(asavakkhayaMIJil) yang bersama-sama empat kemampuan yang terakhir disebutkan di
atas, melengkapi seseorang dengan pengertian yang mendalam tentang Empat
Kebenaran Mulia. Nampak bahwa ada beberapa kaitan antara persepsi ekstra~ensori
ini dengan persepsi indria biasa. lndria ekstrasensori mempunyai juga obyek
-obyek yang berkaitan dengannya dan dapat dihubungkan dengan indria-indria biasa
seperti terlukis dalam gambar 1. Seperti digambarkan, persepsi ekstrasensori
mempunyai obyek-obyek yang berkaitan dengannya, dan obyek-obyek ini tidak
tertangkap oleh indria biasa. Perbedaan antara kedua bentuk. persepsi ini
agaknya merupakan perbedaan dalam tingkatan penembusan_' Persepsi langsung, baik
indria biasa ataupun luar-biasa, melengkapi manusia dengan pengetahuan ten tang
fenomena (dhamme MIJil), dan berlandaskan pada pengetahuan langsung ini, Sang
Buddha menarik kesimpulan secara induktif tentang kesemestaan dari (1)
kausalitas (pa{iccassamuppilda), (2) ketidak-kekalan (aniccata), (3) kederitaan
(dukkhata), dan (4) ke-tanpa-inti-an (anattata). Kesimpulan ini dikenal sebagai
pengetahuan inferensial (anvaye na1Jil).
Jadi, setelah menyajikan kritik terhadap teori-teori epistemologikal yartg ada
pada masa itu, Sang Buddha agaknya menerima suatu bentuk empirisisme
(berlandaskan secara meluas pada pengalaman indria dan persepsi ekstrasensori)
yang dinyatakan secara ringkas dan singkat tetapi merupakan suatu uraian yang
amat penting dalam Sabbasutta. 22 Di sini, seorang fusuf yang semasa-hidup
dengan Sang Buddha dan bernama Ja':lusso~, mempertanyakan beliau ten tang
'segala sesuatu' (sabba), yakni, suatu pertanyaan metafisikal ten tang apa yang
membentuk 'segala sesuatu' di alam semesta ini. Tanggapan langsung Sang Buddha
adalah 'segala sesuatu' berarti mata, bentuk, telinga, bunyl, hidung, wewangian,
lidah, rasa, badan, obyek-obyek yang dapat disentuh, pikiran, dan obyek-obyek
mental atau konsep-konsep.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Footer Widget 1
Sample Text
Text Widget
Footer Widget 3
Recent Posts
Download
Blogger Tricks
Blogger Themes
Diberdayakan oleh Blogger.
Footer Widget 2
Popular Posts
-
Tulisan ini saya maksudkan untuk menceritakan beberapa kisah inspiratif yang telah diceritakan pula oleh para Sufi Islam. Bagi rekan-r...
-
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Manusia pada awal penciptaan telah melakukan perjanjian primordial dengan Tuhan bahwa tidak ada t...
-
A. Asal-Usul Manusia Pertama Tentang asal-usul manusia pertama Kabupaten Wakatobi terdapat berbagai macam pandangan maupun sumber. D...
-
Kesultanan Buton : Asal muasal penduduk Buton adalah migrasi kelompok orang yang datang dari Johor pada abat 13, yang dikenal dengan emp...
-
Teori sosiologi modern merupakan bagian dari teori sosiologi klasik. Teori ini membahas mengenai tokoh-tokoh sosiologi yang mengembangka...
-
Menarik sekali ketika kita sebagai masyarakat umum dan khususnya sebagai pelajar diperhadapkan dengan situasi carut marutnya pelaksanaan...
-
1. LA ODE MUHAMMAD SAMAN RAMLI · Tempat berjuang : SURABAYA · Sebab...
-
1. LA WALANDA · Tempat Berjuang : BUTON · Sebab Berjuang ...
-
1. Polemik dan Interpretasi Perdebatan tokoh dan Budayawan Sulawesi Tenggara tentang siapa Lakilaponto, apakah tokoh ters...
-
Yang menjadi kajian ilmu politik sangatlah luas walaupun dalam ranah ilmu sosial sebenarnya telah ada sub-sub disiplin ilmu yang memberika...
Blog Archive
-
▼
2013
(99)
-
▼
Maret
(26)
- Teori Sosiologi Modern
- Agama Di Republik Yang Sakit
- Sekilas Tentang Perjanjian Primordial
- Terjemahan Buku Abu Dzar Al Ghiffari
- Kisah-Kisah Para Sufi
- Karl Heinrich Marx (1818-1883)
- Foto Inspiratifku ( Foto Bung Karno)
- Makalah Filsafat Hukum (Hakekat, Pengertian Hukum ...
- PENGARUH TEORI HANS KELSEN TERHADAP TATA URUTAN HU...
- Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Program P...
- Gambaran Umum Desa Bolo Kec. Lohia Kab. Muna
- Proposal Usaha Warnet
- Kuliah Kerja Profesi (KKP) Di Lapas Klas IIA Kendari
- Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum Serta H...
- Historisme Dan Mitos Takdir
- Epistemologi Filsafat Buddha
- Materialisme Dialektis
- MASYARAKAT BEBAS GENDER: SEBUAH MIMPI UNTUK ...
- REALITAS SERBA BERUBAH DARI KARL PRIBRAM
- "Agama Dan Ilmu"
- 'Postmodernisme' kekuasaan: Upaya memaklumi gaya ...
- New Age
- Video Inspirasiku
- Photo Memories
- Partisipasi Perempuan Dalam Pelaksanaan Program Na...
- Fenomena Hukum : Residivis
-
▼
Maret
(26)
0 komentar:
Posting Komentar