بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Rabu, 06 Maret 2013

Epistemologi Filsafat Buddha


Dalam pencariannya akan kebenaran tentang keberadaan umat manusia yang  didorong
oleh  keinginannya  untuk  bebas dari  penderitaan  yang  tersirat di  dalamnya,
Siddhattha Gotama diceritakan telah mengunjungi guru demi guru untuk mempelajari
segala  hal  yang  dapat  diperoleh daripadanya.  Ia  menjadi  amat  fasih dalam
berbagai  filsafat  dan  praktek-praktek  religius  yang  ada  pada  masa   itu.
Kebudayaan  bertapa (samana)  agaknya sedang  dalam keadaan  menanjak di  lembah
sungai Ganggapada  waktu itu  dan sejak  masa mudanya  Gotama agaknya telah juga
mendapat latihan rneditasi  yoga.[1] Lagipula, dua  gurunya yang terakhir,  yang
memberinya latihan yang berhubungan dengan hal-hal spiritual sebelum ia akhirnya
mencapai penerangan, dikatakan  telah melatihnya dalam  seni meditasi yoga  atau
kontemplasi. Pada waktu ia menerima meditasi yoga dan karenanya telah  menyadari
akan  adanya kekuatan  ekstrasensori yang  dapat dikembangkan  dengan  cara-cara
tadi,  Gotama telah  pula menyadari  akan keterbatasan  persepsi indria  sebagai
sumber pengetahuan.  Tambahan pula,  sebagaimana dapat  ditunjukkan dalam  kitab
-kitab  seperti  Kalamasutta,[2]  orang-orang  telah  pula  mencurigai kesahihan
pemikiran  (takka) dan  logika (naya)  sebagai alat  untuk mencapai  pengetahuan
tentang kebenaran  dan realitas.  Dan bagi  Gotama, bahkan  kontemplasi yoga dan
kekuatan ekstrasensori juga  terbatas kemampuanya serta  ia pun menyadari  bahwa
kekuatan  kekuatan ini  disalahgunakan oleh  para petapa  yang merumuskan  teori
-teori metafisika  tentang keadaan  sesungguhnya dari  realitas, meskipun  teori
-teori itu  sebenarnya tidak  dapat disusun  berlandaskan persepsi ekstrasensori
ini.[3]   Situasi   ini   agaknya   amat   rumit,   karenanya   Gotama,  setelah
mencapai'penerangan,  melakukan suatu  usaha untuk  memperjelas berbagai  sumber
pengetahuan, menunjukkan  keterbatasan dan  kesahihannya, tanpa  jatuh ke  dalam
bentuk ekstrim dari agnotisme,  seperti yang terjadi pada  beberapa pendahulunya
dalam tradisi pertapaan Sanjaya Bellatthiputta.

Dalam Bab  I sudah  ditunjukkan bahwa  pemikir-pemikir sebelum  Buddha dapat  di
golongkan ke  dalam tiga  kelas, kaum  Tradisional, Rasional,  dan Experiensial,
menurut penitik-beratan yang dilakukan dalam menempuh jalan untuk tahu.[4]  Kaum
Tradisional,  disebutkan,  menurunkun  pengetahuannya  seluruhnya  dari  tradisi
tulisan dan penafsiran dilakukan berdasarkan lullsan-tulisan itu. Yang melakukan
adalah para brahmana yang  menjadi penyokong otoritas kesakralan  dari Veda-Veda
yang diungkapkan secara ilahi. Kritikan Buddha terhadap wahyu ilahi dan beberapa
sumber pengetahuan  lainnya dapat  diketemukan dalarn  Canki-sutta dari Majjhima
-nikaya. [5] Di sini ia menyatakan:


Ada lima hal yang mempunyai akibat  dua-muka dalam kehidupan ini. Apa  yang lima
itu? (Pengetahuan  berdasarkan) kepercayaan, kesenangan, wahyu, perenungan  yang
dan akal,  dan  persetujuan  akan suatu   teori yang  dipikirkan..., bahkan jika
saya mendengar sesuatu berdasarkan  wahyu paling dalam (svanussutam),  yang  ada
kemungkinan kosong,   dangkal dan  ke1inl,  padahal  apa yang  tidak saya dengar
berdasarkan wahyu paling dalam ada kemungkinan  nyata (bhutam), benar, dan bukan
selainnya. Tidaklah  tepat bagi  seseorang yang  cerdas, melindungi   kebenaran,
untuk  tiba pada  kesimpulan  (nittham)  secara kategorik (ekamsena)  dalam  hal
ini  bahwa  hanya  inilah  yang  benar  dan  selainnya  keliru (idam  eva saccam
mogham annam).

Sebaliknya,

Jika  seseorang telah  mendengar (dari  wahyu, tradisi  atau laporan),  kemudian
dalam meilgatakan  "inilah yang  telah saya  dengar" (dari  wahyu, tradisi  atau
laporan), ia  melindungi  kebenaran,  sepanjang ia  tidak tiba  secara kategorik
kepada kesimpulan bahwa hanya ini yang benar  dan selainnya keliru.    Di  sini
Sang Buddha  menegaskan bahwa suatu  teori yang berlandaskan tradisi atau lapor.
an   atau wahyu  dapat benar  atau  keliru.  Dengan tidak  adanya jarninan  akan
kebenarannya atau kekeliruannya, tidaklah tepat untuk tergantung  kepada   teori
itu  sebagai   alat   yang   sahih  untuk    memperoleh pengetahuan.  Karenanya,
berdasarkan  pengetahuan  ini seseorang   tidak seharusnya  tiba pada  keputusan
yang pasti  mengenai keadaan sebenarnya dari realitas.  Oleh sebab  itu, seperti
yang dikemukakan  Sang  Buddha,  seorang seharusnya   menunda keputusan dan  itu
berarti  penolakan terhadap tradisi  atau.  wahyusebagai sumber yang  sahih bagi
pengetahuan.

Sikap yang sarna dipakai oleh  Sang Buddha terhadap teori.teori yang  dirumuskan
kaum Rasionalis yang berlandaskan pemikiran (takka) atau argumen logika  (naya);
Menurot Sandaka-sutta dalam  Majjhima-nikaya,' satu dari  empat tipe agama  yang
dikatakan tidak  memuaskan (anassasika)  tetapi tidak  harus keliru  adalah yang
berdasarkan pemikiran dan spekulatif (takka, vimamsa). Dikatakan: "Di sini  guru
tertentu adalah  pemikir dan  penyelidik; ia  mengajarkan doktrin  yang terbukti
-sendiri dan merupakan hasil dari  pemikiran dan spekulasi. Tetapi dalarn  kasus
seseorang yang  berpikir dan  ber. spekulasi,  pemikirannya boleh  jadi baikatau
buruk,   benar  atau   keliru".  Jadi,   menurut  Buddhisme   awal,   _kebenaran
atau_kekeliruan  suatu  teori  dalam  kaitannya  dengan  kenyataan  tidak  dapat
ditentukan oleh kekonsistenan pemikirannya).  Kadangkala suatu teori yang  telah
dipikirkan  dengan  baik  dapat keliru  setelah  dibandingkan  terhadap kesatuan
kenyataan dan teori yang dipikirkan tidak baik dapat benar. Kebenaran  pemikiran
karena  itu  seharusnya  tidak  dipakai  sebagai  satu.satunya  kriterium   bagi
kebenaran.

Yang   terakhir   dari   tiga  kelas   filsuf-filsuf   pra-Buddha   adalah  kaum
Experiensialis. Kita tahu, bahwa Sang Buddha menuntut dirinya sebagai seorang di
antara para pertapa  dan Brahmana yang  memiliki pengetahuan tingkat  tinggi,[7]
yang merupakan potunjuk kuat terhadap pandangan bahwa Sang Buddha tidak menuntut
atau  memandang  drinya  sebagai  pemilik  cara  yang  unik  untuk   mendapatkan
pengetahuan selain daripada  yang dipunyai para  guru agarna yang  lain yang ada
sebelum dan pada  masa hidupnya. Tetapi  hal yang penting  adalah bahwa, sebagai
hasil dari  penactahuan ini,  Sang Budha  tidak tiba  pada kesimpulan  yang sama
seperti  yang  dicapai  pendahulu-pendahulunya.  Sebagai  contoh,  para  pemikir
Upanisad yang  mengikuti jalur  pengetahuan melalui  pengalaman tiba  pada teori
bahwa 'diri seseorang' (otman) dan 'diri semesta' (Brahman) adalah satu dan sama
dan bahwa pembebasan adalah menyadari kenyataan ini, aiau, seperti yang ada pada
kaum Upanisad belakangan, teori yang menyatakan bahwa Brahma mencipta. kan d~nia
ini dan bahwa pencipta dan yang diciptakan (atman perorangan) dalam kenyataannya
adalah  satu dan  sama. Dalam  Brahmajala-su ttanta,  [8] Sang  Buddha  menunjuk
kepada  para  pertapa  dan  Brahmana  yang,  sebagai  hasil  dari   perkembangan
konsentrasi  yoganya (atappam  anavaya padhanam  anvilva anuvogam  anvaya  samma
manasikaram anvaya) memperoleh  kekuatan.kekuatan ekstrasensori dan  mempercayai
atau  dunia ini  (yakni 'diri  semesta') dan  'diri' (yakni  'diri  perorangan')
adalah abadi, atau dunia ini diciptakan oleh Brahmf(issara). Dalam  kenyataannya
Sang  Buddha  tidak  memandang  isi  dari  pengetahuan  identik  dengan realitas
terakhir apa pun. Tidak  juga pengetahuan demikian dipandang  sebagai mengandung
pembebasan.  Apa  pun  pengetahuan  yang  diperoleh  seseorang  melalui persepsi
ekstrasensori dipandang  oleh Sang  Buddha sebagai  alat untuk  mencapai tujuan,
tapi bukan tujuan itu sendiri.  Menurut Sang Buddha, pengetahuan demikian,  bila
diwarnai dengan kesukaan atau  ketidaksukaan seseorang, akan membentuk  berpagai
kepercayaan  dogmatik  yang  akan menghalangi  seseorang  dalam  melihat keadaan
sebenarnya segala  sesuatu (vathilbhuta)  dan dalam  mencapai kebebasan sempurna
melalui ketidakmelekatan (anupaaI vimutti).[9] Sebaliknya, pengetahuan  intuitif
langsung  ini, bila  tidak dirintangi  oleh kesukaran  atau ketidaksukaan,  akan
memperlengkapi  seseorang  dengan  pengertian  yang  mendalam  tentang   keadaan
sebenarnya dari segala  sesuatu sehingga seseorang  mampu berlaku sesuai  dengan
hal itu dan men  capai kebebasan sempurna (vimutti).  Tentang hal ini akan  kita
bicarakan lagi belakangan (lihat bab 7).

Tambahan pula,  tidak semua  seperti di  dalam Upanisad,  dalam analisis  akhir,
pandangan  dan  pengetahuan  seseorang  tidak  diakibatkan  oleh   daya-upayanya
melainkan karena  belas-kasihan at  au campur  tangan Atman  atau bahkan  karena
sesuatu yang  tidak dapat  diterangkan dan  misterius; bagi  Sang Buddha hal ini
merupakan  kejadian  yang  sewajarnya,  bukan  yang  tidak-wajar.   Perkembangan
persepsi  ektrasensori  (abhinna)   dipandang  sebagai  suatu   'kejadiankausal'
(dhammata)[10].  'Konsentrasi  mental'  (samadhi)  selalu  dikondislkan   secara
kausal,  dan konsentrasi  mental inilah  yang menjadi  penyebab (upaniso)  untuk
perkembangan persepsi ekstrasensori,[11]  yang memungkinkan seseorang  memeriksa
keadaan sebenarnya dari keberadaan, yang beberapa aspek daripadanya tidak  dapat
dicapai secara sempurna oleh persepsi indria biasa.

Analisis  ini memperjelas  kenyataan yang  penting bahwa  Sang Buddha  menyadari
keterbatasan semua sumber-sumber pengetahuan. Kesadaran akan keterbatasan inilah
yang mendorong Sang Buddha untuk menolak cap ke-serbatahu-an yang dituntut  oleh
para  pendahulunya.[12]  Apa  yang  dituntut  bagi  dirinya  adalah  tiga  jenis
pengetahuan (tisso vijja) yang terdiri dari (1) retrokognisi, (2)  clairvoyance,
dan (3) pengetahuan tentang penghancuran nafsu-nafsu kotor;[13] Ketiganya adalah
yang terpenting dari enam jenis pe ngetahuan tingkat tinggi (chalabhinna).

Haruskah  Buddhisme  dikelaskan   sebag!ii  skeptisisme  karena   ia  menekankan
keterbatasan-keterbatasan semua sumber-sumber pengetahuan-pikiran, persepsi, dan
bahkan  persepsi ekstrasensori?  Tentu saja  tidak. Sebaliknya,  penitik-beratan
terhadap  keterbatasan pengetahuan  dimaksudkan untuk  mencegah orang  jatuh  ke
dalam jaring  teori spekulasi  (ditthijala) yacng  meletakkan 'ketidak-beradaan'
sebagai   'keberadaan'.   Pengetahuan   tentang   sesuatu   sebagaimana   adanya
(yathabhutanana) karena terdiri dari pengetahuan "apa yang ada sebagai  'berada'
dan  apa yang  tidak ad'a  sebagai 'tidak  berada' (santam'va  atthiti  nassati,
asantam va n'atthiti nassati).[14]

Sang  Buddha  juga  mengakui  kenyataan  bahwa  sikap  subyektif  seperti   suka
(ruci)[15]  dan  karenanya  juga ketidaksukaan  (aruci),  juga  keterikatan atau
kecenderungan (chanda). kebencian (dosa). kesesatan (moha) dan ketakutan (bhaya)
[16]  ,  mencegah  seseorang  mencerap  sesuatu  sebagaimana  adanya. Pengikisan
penyimpangan.penyimpangan  subyektif  ini   dan  kebiasaan  subyektif   ini  dan
kebiasaan  berpikir tertentu  dipandang menda.  tangkan pengertian  akan  segala
sesuatu. Persoalan ini akan didiskusikan  lebih lanjut pada saat kita  memeriksa
teori tanpa inti Buddha (anatta).

Sang Buddha menyadari bahwa  prasangka subyektif memegang peranan  penting dalam
pengertian  atau  persepsi  seseorang  tentang  kebenaran,  karenanya  ia enggan
mengkhotbahkan  dhamma  setelah   pencapaian  penerangannya.[17]  Namun   sekali
diputuskannya  untuk  berkhotbah,  ia  menggunakan  metode  pelajaran   bertahap
anupubbikatha), karena diketahuinya ada  perbedaan sifat kemampuan antara  orang
-orang yang akan diajarnya:

Ketika dipertanyakan mengenai cara-cara memperoleh pengertian yang benar (sammti
ditthi) ia menyebut  dua sumber utama,  (1) kesaksian yang  lain (parato ghosa),
dan (2) perenungan yang tepat (yoniso manasiakara).[18]

Telah kita lihat bahwa Sang Buddha mengkritik sumber-sumber pengetahuan  seperti
wahyu  ilahi  dan  kesaksian,   tetapi  kritiknya  tidak  semuanya   destruktif.
Kenyataannya,  kritikannya  diarahkan terutama  kepada  mereka yang  berpendapat
bahwa inilah  satu-satunya sumber  pengetahuan yang  sahih. Namun  di sini  kita
lihat  bahwa  Sang  Buddha memandang  kesaksian  sebagai  langkah pertama  dalam
mencapai pengertian atau pengetahuan. Kesaksian ini atau laporan dari orang lain
haruslah   dikemudian   diperiksa  dengan   membandingkan   terhadap  pengalaman
-pengalaman  seseorang.  Kesaksian  itu   sendiri  mungkin  benar  atau   salah.
Perenungan  yang tepat  (voniso manasikiara)  mengandung baik  penglaman  maupun
perenungan atau pemikiran.  Jadi Sang Buddha  memandang pengalaman baik  sensori
ataupun ekstrasensori, dan pemikiran atau penarikan kesimpulan yang berlandaskan
pengalaman sebagai sumber-sumber pengetahuan.

Kesahihan persepsi indria tidak ditolak dalam Buddhisme awal. Kenyataannya, data
indria  (phassa  atau sanna)  adalah  sumber-sumber utama  dari  pengetahuan dan
pengertian  kita tentang  dunia. Meskipun  demikian bersamaan  dengan itu,  Sang
Buddha menegaskan  kenyataan bahwa  persepsi indria  cenderung memberikan  salah
-arah  kepada  manusia. Hal  ini  tidak disebabkan  oleh  cacat yang  ada  dalam
persepsi  indria,  melainkan  terutama   di.  sebabkan  oleh  cara   yang  telah
mengkondisikan manusia  sedemikian rupa  dalam menafsirkan  apa yang  dia lihat,
dengar, rasakan, dan sebagainya:

Pernyataan yang terkenal dalam Majjhima-niiaya yang menjelaskan proses  perscpsi
indria juga menunjukkan bagaimana persepsi indria dapat menyalah-arahkan manusia


Bergantung kepada organ penglihatan dan obyek penglihatan, O bhikkhu,  muncullah
kesadaran penglihatan;  pertemuan bersama  dari ketiganya  adalah kontak; karena
kontak muncullah perasaan. Apa yang ia rasakan ia cerap ia pikirkan; apa yang ia
pikirkan,  ia menjadi  tergoda olehnya.  Apa yang  membuatnya tergoda  merupakan
konsep  yang  pada  gilirannya menyerbunya  dalam  kaitannya  dengan obyek-obyek
terlihat yang dapat  dikenali oleh organ  penglihatan termasuk dalam  masa lalu,
mendatang dan  sekarang. [19] 

Rumusan di   atas mulai   dengan catatan   yang amat  impersonal yang berpangkal
pada rumusan umum dari  kausalitas (paticcasamuppada), yang seringkali   dibaca:
"Bila  ini berada,  itu berada"   (imasmi1!l sati idaJ!l hoti,  lihat   bab  3).
Pernyataan  yang  impersonal  ini  cuma  berlaku  hingga ke'perasaan'  (vedana).
Lalu ciri dari uraian, dan  bahkan struktur tata bahasanya pun  berubah. Rumusan
itu  mengambil  bentuk  pendekatan  personal  sugestif   terhadap  kegiatan yang
dilakukan secara sengaja, karenanya kalimat itu menggunakan bentuk orang-ketiga:
"Apa   yang ia   rasakan, ia   cerap", dan   seterusnya. Di   sini kita  temukan
penyelusupan  kesadaran  diri   yang  kemudian  membentuk  keseluruhan    proses
persepsi, dan berpuncak pada pembangkitan godaan-godaan, yang menurut komentator
ada  tiga  jenis,  yaitu  keinginan  rendah  (tanha),  kecongkakan  (mana),  dan
pandangan dogmatik (ditthi). Dan tataf akhir dari proses persepsi ini barangkali
adalah yang  paling menarik.  "jelaslah, ia  tidak lagi  hanya sekedar  kesatuan
proses,  tidakjuga  merupakan   kegiatan  yang  diarahkan   secara  semena-mena,
melainkan suatu sasaran yang tidok dapat ditawar lagi bagi suatu tujuan ten tang
keteraturan segala sesuatu. Pada tahap  akhir dari persepsi ini, ia  yang sampai
saat ini menjadi subyek sekarang  akan menjadiobyek yang menderita: ,20  Seperti
disebutkan di muka, sikap subyektif seperti suka dan tidaksuka bercampur  dengan
persepsi indria dan karenanya mengotori kesan-kesan indria. Proses meditasi dali
perkembangan persepsi ekstrasensori mengarah ke penghapusan  prasangka-prasangka
subyektif  seperii  ini.  Tetapi,  seperti  telah  'kita  lihat,  bahkan setelat
pengembangan persepsi  ektrasensori dan  verifikasi terhadap  keadaan sebenarnya
dari segala sesuatu  melalui cara ini,  para pemikir pra-Buddhisme  menurut Sang
Buddha, memperbolehkan  prasangka subyektif  mereka bercampur  dengan penafsiran
akan segala sesuatu yang disajikan sebagai bentuk persepsi tingkat tinggi. Jadi,
bahkan  seseorang  yang telah  mengembangkan  persepsi ekstrasensorinya  seperti
retrokognisi boleh  jadi percaya  akan suatu  kesatuan metafisik  seperti 'diri'
(atman),  atau penciptaan  alam semesta  oleh Brahma  yang. maha  kuasa.  Namun,
berbagai bentuk  persepsi ekstrasensori  tlaak dapat  dipakai sebagai  lan.dasan
bagi  kepercayaan-kepercayaan  metafisik, Persepsi  atau  kekuatan ekstrasensori
yang  diakui  oleh  Sang  Buddha  adalah  sebagai  berikut  :  1.   Psikokinesis
(iddhividha); yang  bukan merupakan  pengetahuan melainkan  kekuatan. Ia terdiri
dari  berbagai  perwujudan  dari  'kekuatan  tekad'  (adhitthana  iddhi)   dalam
jhana.[21]    .  2. Telinga-batin  (dibbasota), indria  untuk menangkap  bunyi
-bunyian dari jarak  jauh, bahkan lebih  jauh dari jangkauan  indria pendengaran
biasa. Perluasan persepsi  pendengaran baik dalam  jarak maupun dalam  kedalaman
metnbuat seseorang mampu untuk  menangkap secara langsung feilomena  berkorelasi
tertentu yang  biasanya hanya  dapat disimpulkan.  3. Telepati (cetoparlyanara),
yang membuat seseorang marnpu  memahami keadaan umum ataupun  bekerjanya pikiran
orang  lain.  4.   Retrokognisi  (pubbtrltlld.MlIussatlnana),  kemampuan   untuk
menangkap sejarah  kehidupan masa  lamplu dlrinYI.  I. bergantung  kepada memori
(sati), dan  memori dari  kehidupan masa  lampau ini  diperoleh melalui kegiatan
konsentrasi yang  intcnsif (samadhi),  seperti halnya  dalam pengembangan indria
-indria   lainnya.  5.   Mata-batin  (dibbacakkhu   atau  cut'   upapatanalJil),
pengetahuan tentang kematian dan  kelanjutan hidup mahluk-mahIuk yang  berkelana
dalam lingkaran kehidupan mengikuti kelakuannya (karma). Kemampuan ini,  bersama
-sama dengan retrokognisi, membuat seseorang mampu memeriksa fenomena  kelahiran
-kembali.  6.  Pengetahuan  tentang  penghancuran  rangsangan-rangsangan   kotor
(asavakkhayaMIJil) yang bersama-sama empat kemampuan yang terakhir disebutkan di
atas,  melengkapi  seseorang  dengan  pengertian  yang  mendalam  tentang  Empat
Kebenaran Mulia. Nampak bahwa ada beberapa kaitan antara persepsi  ekstra~ensori
ini  dengan persepsi  indria biasa.  lndria ekstrasensori  mempunyai juga  obyek
-obyek yang berkaitan dengannya dan dapat dihubungkan dengan indria-indria biasa
seperti terlukis  dalam gambar  1. Seperti  digambarkan, persepsi  ekstrasensori
mempunyai  obyek-obyek  yang  berkaitan  dengannya,  dan  obyek-obyek  ini tidak
tertangkap  oleh  indria  biasa. Perbedaan  antara  kedua  bentuk. persepsi  ini
agaknya merupakan perbedaan dalam tingkatan penembusan_' Persepsi langsung, baik
indria biasa ataupun luar-biasa, melengkapi manusia dengan pengetahuan ten  tang
fenomena (dhamme MIJil),  dan berlandaskan pada  pengetahuan langsung ini,  Sang
Buddha  menarik  kesimpulan  secara   induktif  tentang  kesemestaan  dari   (1)
kausalitas (pa{iccassamuppilda), (2) ketidak-kekalan (aniccata), (3)  kederitaan
(dukkhata), dan (4) ke-tanpa-inti-an (anattata). Kesimpulan ini dikenal  sebagai
pengetahuan inferensial (anvaye na1Jil).

Jadi, setelah menyajikan kritik  terhadap teori-teori epistemologikal yartg  ada
pada  masa  itu,   Sang  Buddha  agaknya   menerima  suatu  bentuk   empirisisme
(berlandaskan secara meluas pada  pengalaman indria dan persepsi  ekstrasensori)
yang dinyatakan secara  ringkas dan singkat  tetapi merupakan suatu  uraian yang
amat  penting dalam  Sabbasutta. 22  Di sini,  seorang fusuf  yang  semasa-hidup
dengan  Sang  Buddha  dan bernama  Ja':lusso~,  mempertanyakan  beliau ten  tang
'segala sesuatu' (sabba), yakni, suatu pertanyaan metafisikal ten tang apa  yang
membentuk 'segala sesuatu' di alam  semesta ini. Tanggapan langsung Sang  Buddha
adalah 'segala sesuatu' berarti mata, bentuk, telinga, bunyl, hidung, wewangian,
lidah, rasa, badan,  obyek-obyek yang dapat  disentuh, pikiran, dan  obyek-obyek
mental atau konsep-konsep.

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts