'Postmodernisme' kekuasaan: Upaya memaklumi gaya
kepemimpinan Gus Dur
Oleh Husin M Al-Banjari
“Siapa saya sebenarnya tidak ada yang tahu karena pada waktu itu saya berada di luar jangkauan siapa pun.” (Gus Dur)
BETAPA sulit memahami Gus Dur. Bahkan oleh orang dekat dan kerabatnya sendiri! Namun justru itulah kebanggaannya. Hal di atas diucapkannya jauh sebelum dirinya menjabat Presiden di republik ini. Demikianlah kompleksitas kepribadian seorang figur Kiai yang oleh Douglas E Ramage disebut sebagai seorang tokoh “nasionalis -sekular” tulen itu. Kalau ditanya siapa presiden paling heboh di dunia?, maka jawabannya hanya satu, dan jelas: Gus Dur.
Tampaknya harus ada cara lain, atau tepatnya logika lain, yang mampu menerangkan “fenomena” Gus Dur unik ini. Satu landasan berpikir yang setidak-tidaknya memberi jalan untuk memaklumi tingkah lakunya itu. Termasuk menelusuri akar jurus catenaccio, lalu over hit and run, menghadapi Pansus Buloggate dan Bruneigate DPR yang makin memanas akhir-akhir ini. Jawabannya masih pertanyaan, apakah ini gerangan yang disebut dengan gaya “postmodernisme” politik atau kekuasaan seperti disinyalir Haedar
Nashir dalam artikelnya Pembodohan Nalar Publik. (Republika, 4/1)? Ataukah Gus Dur akan tetap misteri dan berada “di luar jangkauan” teori seperti diucapkannya itu? Gus Dur, seperti akunya sendiri, memang misterius. “Ia menjadi seorang power actor yang
setiap kata-katanya tidak mungkin dipahami begitu saja secara tekstual,” demikian Deddy Djamaluddin Malik. Artinya, Presiden Wahid bukanlah figur rasionalis-realiter, kalau boleh
dipanggil begitu, melainkan humanis-imajener. Karenanya beralasan budayawan Kuntowijoyo memandang Gus Dur lebih sebagai figur mitos, bukan sosok sejarah. Memang tampaknya ia adalah “legenda” hidup, bukan “realitas” kehidupan. Ingatan masyarakat masih segar akan “mimpi-mimpi” Gus Dur lama. Di antaranya mengangkat Henry Kissinger dan Lee Kuan Yew sebagai penasehat Presiden, DPR dibilang taman kanak-kanak, serta usul pencabutan TAP MPRS No. XXV/1996 hanya sebagai kajian akademis. Yang agak terkini, misalnya apresiasi masyarakat Irian Jaya untuk Papua Merdeka dianggap wacana, lebih hangat menganggap Pansus DPR sebagai ilegal, juga menolak - seraya melempar permasalahan itu kepada Wapres Megawati - untuk menetapkan salah satu dari dua orang calon Ketua MA yang diajukan DPR. Ini perlu kita sebutkan kembali sebab semua “mimpi-mimpi” itu mengesankan adanya upaya “mengurai” yang pusat ke pinggir, yang sakral (secara konvensi demokrasi) kepada yang profan, yang filsafat ke puisi, yang formal ke informal, yang serius menjadi sekadar guyonan. Gus Dur yang sejak semula adalah “rekanan” Orba itu baru-baru ini mendeklarasikan anti Orba.
Politik geli: tampak nyata ada suatu “usaha membalik secara terus menerus hirarki oposisi biner tersebut dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip.” Inilah hakikat atau fundamen postmodernisme seperti dinyatakan Ahmad Sahal dalam Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat (Zaman Wacana Mulia, 1999).
Contoh-contoh di atas, kini sudah terasa agak “klasik.” Dalam satu acara talk show TV swasta yang dipandu Dr. Todung Mulya Lubis pada akhir Desember 2000, Gus Dur dengan amat terang seraya vulgar menuding Ketua DPR Akbar Tanjung sebagai telah berbohong, mengatakan, “Yang dituntut dari semua pihak pada saat ini hanya satu saja. Yaitu kejujuran.” Ya benar sekali: kejujuran.
Mendengar ungkapan Gus Dur itu orang dibikin terkaget-kaget, karena justru identitas kejujuran inilah yang sejauh ini dipersepsi sudah terkelupas dari dirinya, ia malah minta itu dari orang lain. Hebat! Pertanyannya, inikah wujud nyata alam pikiran postmodernisme yang sudah membaud hati Gus Dur?
Satu hal lagi sikap “monumental” khas langgam postmodernisme. Dalam contoh ini ditampak-terang-benderangkan bagaimana pede-nya Presiden kita itu seutuhnya tegak di atas landasan paradigma postmodernisme. Di tengah hiruk pikuk situasi ekonomi dan politik yang dirasa belum ada peningkatan signifikan ini (salah satu misal: ditunjukkan oleh Harlah ke-28 PPP bahwa - secara ekonomi - “Pemerintah telah gagal pulihkan ekonomi” dan - secara politik - “Presiden adalah sumber ketegangan”), Presiden Abdurrahman Wahid justru menampakkan ketentramannya yang luar biasa ketika berbicara di hadapan sejumlah kiai khos NU di Ponpes Langitan, Tuban, Jatim, Ahad (7/1). “Saya masih tenang saja kok. Karena itu saya berani saja terus maju. Saya ndak pernah takut,” mantapnya. Maju tak gentar: demikian tidak terganggunya Presiden kita itu oleh gonjang-ganjing “dunia di sekitarnya” hingga senang mengatakan, “Serahkan krisis politik ini kepada saya. Dan alhamdulillah krisis politik sekarang sudah selesai.”
Wahai nurani! Presiden kita berkata bahwa krisis politik sudah berakhir. Sadarkah kita: apakah ini gerangan buah ide-ide postmodernisme kekuasaan Gus Dur?
Sebelum sampai ke detail, dalam beberapa sisi tulisan ini apresiatif terhadap artikel Haedar Nashir di harian Republika itu. Mungkin, jika ideologi postmodernisme Jurgen Habermas bertemu Banser, jadilah konstruksi kekuasaan seperti hari ini.
Keberanian Habermas hanya sebatas teori, ia tidak memiliki preman baik abangan ataupun santri, sebagaimana ia juga tidak memiliki “preman media” yang hidup-mati mencita-citakan ambiguitas politik yang diciptakan sang penguasa, meski nalar manusia meyakini, para “preman media” itu sama sekali tidak mendukung “fisik” atau malah “kapabilitas”-nya, karena yang didukung hanyalah dugaan proyeksi “ekses” positif (bagi mereka) dari hasil kerja atau ulah sang penguasa itu di kemudian hari. Hanya saja, konsep Habermas seperti diungkap dengan baik oleh Haedar, bahwa “bahasa berfungsi sebagai alat untuk membangun dominasi dan kekuasaan,” tampak-tampaknya dipraktekkan seutuhnya oleh kekuasaan hari ini.
Naga-naganya saat ini ada upaya nyata tentang apa yang disebut para postmodernis sebagai “dekonstruksi” kekuasaan. Hal ini tercermin dalam setahun lebih pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Ada suatu upaya sistemastis, mungkin juga tidak, penerapan argumentasi dan gaya postmodernisme dalam politik dan kekuasaan. Aplikasi ajaran postmodernisme dalam politik tergolong yang terbaru, menyusul aplikasi serupa pada agama. Ini artinya merambah lebih jauh lagi dari kebiasaan postmodernisme yang oleh Gellner disebutkan semula hanya suka mengidap dalam antropologi, sastra, dan filsafat.
Postmodernisme politik
Untuk sekadar dapat “memaklumi” - meski tetap sulit untuk “memahami” apalagi “menerima”- dasar serta arah tindak-laku kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid, akan memaksa kita menoleh kepada alam pikiran postmodernisme itu. Tidak bisa dengan cara lain. Bagi para penganutnya, paradigma postmodernisme ini mujarab untuk “memahami” yang “tidak bisa dipamahi,” ini sehubungan adanya izin bagi aplikasi konsep dekonstruksi terhadap makna atau bahasa (baca: nalar).
Gagasan-gagasan postmodernisme menurut Ernest Gellner (Menolak Posmodernisme, Mizan, 1994) adalah, “semua yang ada adalah ‘teks’; bahwa bahan pokok semua adalah teks; masyarakat dan hampir apa pun adalah makna-makna yang perlu diurai atau ‘didekonstruksi’; bahwa pandangan mengenai realitas yang objektif harus dicurigai.” Ini bukannya bebas muslihat. “Tipu muslihatnya,” tegas Gellner, “cenderung menyingkirkan pengarang dari teks yang dibuatnya, dan langsung mengurai, mendekonstruksi, atau men-‘de-sesuatu’ makna yang berbicara lewat pengarang, yang sebenarnya sudah diketahui.”
Eksplorasi Gellner sebenarnya sudah amat menukik ke akar pemikiran postmodernisme. Menurutnya, “Ada satu tema di dalam satuan gagasan ini yang sangat berkaitan dengan pembicaraan kita, yaitu relativisme. Yang mungkin agak jelas adalah bahwa postmodernisme lebih menyuaki relativisme; dan tidak menyukai gagasan tentang keunikan, eksklusifitas, objektifitas, eksternalitas atau kebenaran transendental.”
Ahmad Sahal, seseorang yang berafiliasi kepada “padepokan” Ciputat yang mungkin menyukai ide-ide postmodernisme, mendeskripsikan,
“Dekonstruksi juga bukan metode tafsir yang dilengkapi dengan piranti-piranti konseptual yang serba argumentatif dan koheren. Bahkan justru dekonstruksi anti-metode, anti argumentasi, dan anti koherensi, kalau yang dimaksud dengan metode, argumentasi, dan koherensi adalah sesuatu yang berbau ilmiah dan positivistik.”
Teramat terang Sahal menyimpulkan: “Sungguh main-main yang serius”. Sebagai ilustrasi Gus Dur melihat pemerintahannya tak ubahnya memainkan bola. Dalam artikelnya Catenaccio Hanya Alat Belaka, (Kompas, 18/12), Gus Dur dengan mudahnya bisa memainkan taktiknya sesukanya. “Jadi, dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa strategi total football harus diterapkan secara kreatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Dalam satu hal, kita menggunakan strategi catenaccio, sedang dalam hal lain
strategi hit and run. Bahkan, kadang kita menggunakan strategi total football dan siapa tahu kita juga memeragakan bola Samba kesebelasan Brasil, ungkapnya. Meski catenaccio diperuntukkan khusus menghadapi Pansus Buloggate DPR, namun anda pengen tahu aplikasi lain taktik catenaccio Gus Dur ‘memfatwakan’ bahwa ‘Ajinomoto itu halal. Persoalannya selesai, tidak ada masalah.’ Demikian dikutip Jubir Wimar Witoelar di Jakarta, Selasa (9/1). Ini terjadi di tengah usaha penarikan barang - yang menurut MUI - mengandung unsur haram (babi) itu. Dalam paradigma postmodernisme yang halal bisa haram, yang haram justru halal.
Setelah catenaccio menyusul aplikasi hit and run dengan “menyerang” keabsahan Pansus tidak legal dan memang tidak bisa dijawab Pansus, maka ia pun pergi tanpa pamit meninggalkan Pansus. Apakah ini gerangan yang disebut “main-main yang serius” itu?
***
KITA perlu menggali akar postmodernisme lebih dalam, sebab dengan menggali akar ajaran postmodernisme ini, diharapkan kita setidak-tidaknya dapat “memaklumi” tindak-laku Presiden Gus Dur yang sering inkonsisten bahkan tampak girang memancing kontroversi.Gus Dur berbuat demikian seolah-olah tak bosan-bosannya, ada kesungguhan dan kontinuitas yang mengesankan pada dirinya, suatu “main-main yang serius.” Ini barangkali saja, karena memang bangunan Islam Gus Dur sendiri disebut-sebut bertolak pangkal pada mazhab pemikiran Islam liberalis yang ide-ide dasarnya hampir sebangun dalam mendorong ke alam pemikiran postmodernisme. Karenanya mungkin ada benarnya saran budayawan Emha Ainun Nadjib, yang kini terang-terangan undur diri dari PKB, “Jika kita menginginkan Gus Dur ke utara, maka suruh dia berangkat ke selatan.”
Sebelum ini, aplikasi paradigma postmodernisme ini digunakan untuk “memahami” (tepatnya “melunakkan” atau malah “menjinakkan”) term-term agama sarat konflik, khususnya konflik pemikiran antara aliran pemikiran liberalis dengan apa yang mereka istilahkan fundamentalis, mungkin seperti yang dianjurkan oleh Dr. M Dawam Rahardjo dalam pengantar buku Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat itu.
Tetapi berhubung pemikiran keislaman Presiden Gus Dur sendiri tampaknya berakar kuat pada mazhab Islam liberalis, yang di atas segalanya di bangun ide-ide postmodernisme, maka dekonstruksi kekuasaan menjadi sesuatu yang niscaya pada saat mana kekuasaan itu berkelindan di sisinya. Bukan hanya itu, ada style postmodernsme “gaya lain”. Jika Soekarno dulu dibentengi oleh “milisi” onderbouw PKI, sementara Soeharto di-backing oleh tentara beneran, hari ini kekuasaan dilindungi oleh kekuatan semacam itu juga.Akbar S Ahmed, seorang yang disebut-sebut pakar postmodernisme, yang pendapatnya dirujuk Dr. Komaruddin Hidayat dalam Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat, memberikan delapan karakter sosiologis postmodernisme yang salah satunya berbunyi: “Bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut ‘era postmodernisme’ banyak mengandung paradoks”.
Ini pula yang secara jujur diakui oleh Gellner bahwa, “gerakan postmodernisme dan gagasan-gagasannya yang dibawanya terlalu halus dan labil untuk dapat ditangkap dan didudukkan secara tepat. Mungkin pandangan dasar gerakan ini adalah bahwa semua makna harus didekonstruksi, yang dapat di dalamnya juga mengandung lawan-lawan makna itu serta memunculkan kontradiksi manka-makna itu, atau semacam itu sehingga menutup kemungkinan adanya rumusan posisi yang tegas dan jelas”.Terkesan agak bersemangat Gellner memberi kesimpulan awal atas ketidakjelasan gerakan kontemporer ini. “Gerakan ini kuat dan modis. Namun demikian, tidak jelas setan apa gerangan ini. Kejelasan bukanlah ciri yang menonjol dari gerakan ini,” tegasnya. Masih merujuk Gellner, gerakan ini hanya dapat dilihat dalam antropologi, sastra, dan filsafat. Namun hari ini kita sama-sama saksikan pula dalam politik (kekuasaan).
Secara fasih Haedar Nashir dalam artikelnya itu menuturkan bahwa kini telah hadir nuansa postmodernisme dalam kekuasaan Gus Dur. “Boleh jadi, untuk ketidaklaziman dalam mengurus pemerintahan pun akan selalu tersedia penjelasan, bahwa Presiden memang hadir untuk misi membongkar alam pikiran yang serba terstandard layaknya kehadiran paradigma postmodernisme untuk meruntuhkan nalar modernisme yang dianggap telah ketinggalan zaman.”
0 komentar:
Posting Komentar