بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Minggu, 23 Maret 2014

Konflik Yuridis Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pada umumnya pelaksanaan demokrasi dapat dilakuakan dengan dua cara yaitu demokrasi langsung dan perwakilan dan secara hirarkhi negara terdapat demokrasi tingkat nasional dan lokal. Disamping itu, demokrasi juga sebagai aspek penting berkaitan dengan pemerintahan dengan hirarkhi kekuasaan yang terdapat dalam suatu sistem politik negara. Artinya, akan terdapat sistem politik nasional yang di dalamnya terdapat sub sistem politik daerah dalam bingkai sistem negara yang dianutnya. Pemilahan demokrasi lokal ini bukan berarti terdapat determinasi wilayah pemberlakuan demokrasi atau bahkan terdapat perbedaan demokrasi dari induknya. Hal ini tentunya merupakan implementasi dari adanya sistem desentralisasi atau otonomi daerah di Indonesia sebagai pengejewantahan kewenagan dari pusat ke daerah.
Desentralisasi merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bertujuan untuk sharing power dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dekat dengan rakyatnya. Sementara itu, Cornelis Lay,[1] menyatakan bahwa dengan desentralisasi pengaturan politik dan pemerintahan yang stabil dapat dilakukan. Dengan desentralisasi dapat diakomodasi sharing of power, sharing of revenue, dan penguatan lokalitas, selain pengakuan dan penghormatan terhadap identitas daerah. Berkaitan dengan sharing of power maka pemberian desentralisasi secara devolusi menjadi penting. Apalagi dalam era reformasi ini yang akan memunculkan pemilu lokal bagi elit ekesekutif secara langsung tentunya akan terjadi penguatan dalam sistem pemerintahan daerah.
Demokrasi lokal merupakan bagian dari subsistem politik suatu negara yang derajat pengaruhnya berada dalam koridor pemerintahan daerah. Di Indonesia Demokrasi lokal merupakan subsistem dari demokrasi yang memberikan peluang bagi pemerintahan daerah dalam mengembangkan kehidupan hubungan pemerintahan daerah dengan rakyat di lingkungannya. Alasan diterapkannya demokrasi lokal ini karena salah satunya adalah banyak pejabat politik yang tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik, sehingga legitimasi mereka lemah. Di sisi lain memunculkan ketidak percayaan rakyat pada penguasa mendorong rekrutmen pejabat politik ke arah demokrasi langsung. Sehingga tidak mengherankan bila rekrutmen hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam format demokrasi yang bergerak pada hubungan state and society secara langsung.
Inilah cikal bakal munculnya pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia, dimana apabila kita  Mencoba memutar ingatan pada tahun 2004, dimana pada tahun 2004 rakyat Indonesia menyambut pesta demokrasi terbesar, transparan (terbuka) dan langsung dalam memilih kepala daerah masing-masing. Sungguh Pemilukada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat. Sebagaimana arti demokrasi bahwa rakyat berkuasa kini terwujud dalam kesempatan rakyat memilih pemimpinnya lewat Pemilukada langsung.[2]
Akan tetapi pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah ini, tidak lepas dari berbagai macam permasalahan. Disamping banyaknya fenmena yang terjadi di lapangan seperti money politic, pemborosan APBD, persaingan yang tidak sehat dan masih banyak lagi permaslahan yang lainnya, ternyata juga terdapat konflik yuridis terkait dengan pelaksanaan Pemilukada tersebut yakni status seorang wakil kepala daerah.
Kita memandang dari perspektif desentralisasi, bahwa Pemilukada langsung merupakan perwujudan demokrasi di tingkat lokal seperti yang tercantum pada UUD 1945 pasal 18 ayat  (4) “Gubernur, Bupati dan Wali Kota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.” Hal ini tentunya hanya menyebutkan yang dipilih adalah Kepala Daerah, tidak ada kalimat yang menyebutkan Wakil Kepala Daerah juga dipilih. Di sisi lain bahwa dalam perspektif hukum tata negara,  posisi Wakil Kepala Daerah hanyalah sebagai “ban serep”. Tugas dan fungsi Wakil Kepala Daerah hanya “residu” dari tugas dan fungsi Kepala Daerah sendiri. Karena hal-hal yang bersifat teknis administratif sudah dilaksanakan oleh Sekda. Posisi Wakil Kepala Daerah tidak lebih dari sekadar pembantu kepala daerah.[3]  
Selain hal tersebut di atas, keberadaan Wakil Kepala Daerah juga kerap kali menjadi konflik dalam pemerintahan itu sendiri sebagaimana yang diungkapkan oleh Mendagri bahwa 85 persen kepala daerah di negeri ini pecah kongsi.[4] Hal ini menggambarkan betapa peliknya keberadaan seorang Wakil Kepala Daerah yang menjadi sesuatu yang dosoroti dan diperbincangkan bahkan sesungguhnya dalam logika politik menyebutkan bahwa wakil itu adalah "not the first man" (bukan orang pertama) juga bukan "not the first second man" (orang kedua yang pertama), tetapi wakil adalah "second man" (orang kedua). Jika filosopi ini dimakna positif oleh setiap wakil maka potensi konflik itu dapat diredam.
Sementara itu, keberadaan Wakil Kepala Daerah hanya diatur di dalam Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa bahwa “Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Hal ini tentu bertentangan dengan bunyi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang tidak menyebutkan “Wakil Kepala Daerah”, sementara dalam hirarki sumber hukum di Indonesia menempatkan Undang-Undang di bawah Undang-Undang Dasar 1945, atau dengan kata lain Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum yang di atasnya dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar 1945.
Berangkat dari ilustrasi fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan menulis makalah yang berjudul Konflik Yuridis Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.
B.  Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana konflik yuridis Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 ?



BAB II
PEMBAHASAN
Konflik Yuridis Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 Dengan Pasal 24 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Dalam sebuah organisasi, keberadaan wakil pimpinan selalu kontroversial apabila mekanisme kerjanya tidak diatur secara tegas. Wakil pimpinan adalah “alter-ego” atau orang yang paling dipercaya bagi sang pemimpin, sehingga diperlukan “chemistry”, yang cocok. “Chemistry” ini dapat cocok, apabila pimpinan memiliki kebebasan untuk memilih wakilnya sendiri. Sebaliknya, apabila wakilnya ditetapkan secara sepihak dari manajemen, maka peluang konflik antara pimpinan dan wakil pimpinan akan sangat besar. Karena “mimpi” orang nomor dua adalah menjadi orang nomor satu dan hal ini sangat manusiawi.
Ketika kita menyoal mengenai Kepala Daerah beserta wakilnya, siapa yang tidak mengakui pada saat-saat kampanye pemilihan umum Kepala Daerah (Pilkada) betapa kompaknya calon pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tersebut. Begitu mereka menang dalam Pilkada dan dilantik, mereka masih tetap bersama, kemana selalu beriring tak obahnya bagai “sepasang kekasih”. Sayangnya, jalinan hubungan yang begitu mesra biasanya hanya bisa bertahan  satu tahun. Hubungan di antara mereka mulai renggang dan sudah jarang nampak bersama.
Fenomena ketidak harmonisan dan perceraian antara Kepala Daerah (KDH) dan Wakil Kepala Daerah (WKDH), baik di  provinsi, kabupaten/kota memang sudah jamak terjadi pra dan pasca pilkada. Bahkan menurut Catatan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dari 244 pilkada yang digelar pada 2010, hanya 6,15 persen KDH dan WKDH yang kembali maju bersama. Selebihnya, masing-masing maju sendiri dan bertarung sengit dalam pilkada. Fakta ini menurut Gamawan menunjukkan keberadaan WKDH  lebih banyak menimbulkan disharmoni pemerintahan. Karena itu, sangat jarang ada incumbent yang kembali berpasangan dalam pilkada 2010. Bahasa Mendagri untuk menyebut ketidak harmonisan antara KDH dan WKDH adalah “pecah kongsi”.[5]
Akan tetapi, fenomena di atas ternyata hanya segelintir masalah kecil yang mewarnai perjalanan sebuah pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia. Ada sebuah masalah yang paling mendasar terkait dengan status jabatan Wakil Kepala Daerah, karena dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak menyebutkan “Wakil Kepala Daerah”, tetapi justru berbunyi “Gubernur, Bupati dan Wali Kota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”. Sementara status seorang Wakil Kepala Daerah hanya disebutkan dan diatur di dalam Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa bahwa “Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”.
Disinilah titik permasalahan yang paling mendasar terkait dengan status jabatan seorang Wakil Kepala Daerah karena dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, saling bertetangan, sementara kita ketahui bahwa dalam hirarki sumber hukum di Indonesia, Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum yang di atasnya dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah terkait dengan diskursus posisi Wakil Kepala Daerah. Selain terkait dengan mengenai mekanisme pemilihan Kepala Daerah, ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 ini membawakan  sebuah diskursus mengenai posisi Wakil Kepala Daerah, apakah merupakan posisi political appointee yang merupakan satu paket dengan Kepala Daerah atau jabatan administrative appointee sebagai jabatan karir. Secara eksplisit bunyi pengaturan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa yang dipilih secara demokratis adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam kaitan ini muncul diskusi menarik, apakah jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota itu adalah satu jabatan tunggal atau satu paket meliputi dengan wakilnya. Apabila kita gunakan pendekatan formalistik pada apa yang tertulis dalam Pasal 18 (ayat) 4 UUD 1945, jelas ayat dimaksud memberi pesan bahwa konstitusi hanya mengamanatkan pemilihan Kepala Daerah saja tanpa menyebut jabatan Wakil Kepala Daerah. Ini artinya Gubernur, Bupati dan Walikota adalah nama jabatan tunggal untuk Kepala Daerah baik untuk tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. UUD 1945 pada dasarnya bersifat litterlijk sehingga apa yang tertulis itulah yang merupakan norma. Penafsiran ini sesuai dengan kenyataan bahwa UUD 1945 selalu menyatakan secara eksplisit posisi jabatan-jabatan yang ada dalam pemerintahan. Sebagai contoh jabatan Wakil Presiden itu dinyatakan secara tegas, kemudian Menteri , Duta Besar , dan lainnya. Dengan demikian, pembentuk Undang-Undang memiliki keleluasaan untuk mengatur jabatan Wakil Kepala Daerah. Artinya, bisa saja Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih dan memegang jabatan tanpa didampingi wakil, atau pengaturan mengenai pemilihan Wakil Kepala Daerah dalam Undang-Undang dapat saja dilakukan berbeda dengan mekanisme pemilihan Kepala Daerah.[6]
Tidak tepat apabila diskursus mengenai posisi wakil kepala daerah ini hanya berkutat pada penafsiran pengaturan tertulis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Tentunya selain karena alasan yang lebih mengarah pada pendekatan semantik, juga terdapat alasan lain yang lebih filosofis untuk melakukan reposisi terhadap wakil kepala daerah. Sebelumnya telah diulas bahwa dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, posisi provinsi merupakan sebuah unit antara pemerintahan sebagai wilayah kerja Gubernur selaku wakil Pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gubernur merupakan alter ego Presiden yang ada di daerah tanpa ada lagi pembagian kewenangan kepada subyek lain. Ini selaras dengan pengalaman di beberapa negara yang memiliki unit antara dalam susunan dan bentuk pemerintahan daerah, tidak dikenal lagi posisi wakil wakilnya Pemerintah. Gubernur, sebagai wakil Pemerintah, dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat guna melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Dengan demikian pendekatan ini dapat menjadi bahan pemikiran mengenai posisi Wakil Gubernur sebagai administrative appointee karena merupakan salah satu unit dari perangkat gubernur dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
Berkaitan dengan posisi wakil bupati dan wakil walikota perlu dilihat dari pendekatan kontruksi organisasi pemerintahan yang saat ini sedang berjalan. Apabila dilihat dari kontruksi yang ada saat ini dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan daerah di Indonesia pada tingkatan kabupaten/kota melaksanakan pola strong mayor system. Hal ini dapat dilihat dari struktur organisasi pemerintahan di kabupaten/kota yang terbagi dalam dua elemen yakni elemen bupati/walikota sebagai elemen eksekutif yang merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten/kota dan elemen DPRD sebagai lembaga yang melakukan pengawasan (checks and balances) pelaksanaan pemerintahan yang dijalankan oleh bupati/walikota. Menurut pengalaman negara lain yang melaksanakan strong mayor system, seperti misalnya Kota Virginia di Amerika Serikat, jabatan politik (political appointee) yang ada di daerah setingkat kabupaten/kota hanyalah jabatan mayor atau walikota tanpa didampingi oleh wakil walikota. Dalam pelaksanaan tugasnya mayor dibantu oleh perangkat administratif dibawah pimpinan petugas (officer) yang dikenal dengan istilah chief of administrative officer. Dengan demikian timbul pemikiran bahwa untuk posisi wakil bupati/wakil walikota diarahkan untuk menempati posisi chief of administrative officer sehingga kontruksi pemerintahan daerah yang sudah ada menjadi selaras dengan sistem yang dianutnya.[7]
Di samping itu, bahwa dalam perspektif hukum tata negara,  posisi Wakil Kepala Daerah hanyalah sebagai “ban serep”. Tugas dan fungsi Wakil Kepala Daerah hanya “residu” dari tugas dan fungsi Kepala Daerah sendiri. Karena hal-hal yang bersifat teknis administratif sudah dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah (Sekda). Posisi Wakil Kepala Daerah tidak lebih dari sekadar pembantu Kepala Daerah.
Olehnya itu, berangkat dari hal tersebut, wacana penghapusan Wakil Kepala Daerah sudah sering dilantorkan banyak pihak termasuk DPR, Kementerian Dalam Negeri dan pakar politik. Karena sesungguhnya penghapusan posisi Wakil Kepala Daerah jelas tidak menabrak UUD 1945, mengingat ketentuan Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 hanya menyebutkan yang dipilih adalah Wakil Kepala tidak ada kalimat yang menyebutkan Wakil Kepala Daerah juga dipilih. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka penempatan posisi Wakil Kepala Daerah bila tidak dipilih lagi lewat pilkada mekanismenya bisa “ditunjuk”,  sebagaimana usulan  Kementerian Dalam Negeri atas revisi UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Wakil Kepala Daerah akan ditunjuk langsung oleh Kepala Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota) dari kalangan pejabat struktural pemerintahan. Alternatif lain  bisa juga posisi Wakil Kepala Daerah diusulkan oleh Kepala Daerah dan setelah melewati proses rekomendasi mulai dari Gubernur hingga pusat, baru dilakukan pemilihan lewat DPRD.[8]
Pemikiran lain yang muncul terkait dengan posisi Wakil Kepala Daerah bila tidak dihapus adalah Wakil Kepala Daerah tidak mesti hanya satu bisa dua atau tiga, tergantung luas wilayah dan banyaknya penduduk. Untuk daerah yang wilayahnya kecil dan jumlah penduduknya sedikit, sangat memungkinkan menghapus jabatan Wakil Kepala Daerah tersebut.  Sedangkan  untuk daerah yang rawan konflik dimana kemejemukan masyarakatnya sangat kuat jabatan Wakil Kepala Daerah dapat tetap dipertahankan  sebagai representasi politik rakyat, baik berdasarkan agama, etnis atau daerah.
Bila memang posisi Wakil Kepala Daerah tidak akan dihapus, maka yang harus dipertegas adalah pembagian tugas yang jelas antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sehingga satu sama lain dapat mengetahui apa yang menjadi kewenangannya. Artinya Kepala Daerah tidak mengambil alih apa yang menjadi tugas Wakil Kepala Daerah dan sebaliknya Wakil Kepala Daerah tidak masuk dalam wilayah yang menjadi domain Kepala Daerah. Disamping itu hendaknya koalisi parpol pendukung dalam pilkada tidak hanya dibangun berdasarkan kepentingan parpol semata. Tapi bagaimana dua calon Kepala Daerah yang berbeda latar belakang parpolnya bisa punya misi dan visi yang sama.  Karena sering yang menjadi pangkal disharmonisasi antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah muaranya kepentingan pribadi dan parpol pendukung dan bukan masalah dalam pemerintahan.[9]
Tapi karena memang UUD 1945 tidak menyebutkan Wakil Kepala Daerah dipilih bersama dengan Kepala Daerah, memang sebaiknya posisi Wakil Kepala Daerah lebih baik tidak ada lagi. Alasannya hanya menimbulkan permasalahan dalam pemerintahan daerah dan membebani anggaran, karena fasilitas yang diperolehnya hampir sama dengan Kepala Daerah. Alasan lain bahwa  fungsi pemerintahan masih bisa dijalankan oleh seluruh perangkat daerah di bawah kendali Sekda kalaupun tidak ada lagi posisi Wakil Kepala Daerah. Sekda dalam hal ini kecil kemungkinannya untuk melakukan “manuver politik” bila ingin mengincar posisi Kepala Daerah dibandingkan dengan Wakil Kepala Daerah.  Bisa-bisa ia dimutasi oleh Kepala Daerah. Sebaliknya, bila Kepala Daerah sudah tidak harmonis lagi dengan  Wakil Kepala Daerah, jelas Wakil Kepala Daerah tak bisa diberhentikan di tengah jalan, sekalipun Wakil Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Kepala Daerah.
Posisi Wakil Kepala Daerah juga sesungguhnya hanya memperpanjang rantai birokrasi pemerintahan daerah. Bukankah  Kepala Daerah juga telah memiliki staff ahli dan asisten. Semua mempunyai tugas untuk membantu keberhasilan tugas-tugas Kepala Daerah. Disinyalir bahwa keberadaan posisi seorang Wakil Kepala Daerah hanyalah titipan parpol yang mempunyai kepentingan dalam memangku jabatan dan mempunyai orientasi menduduki jabatan selanjutnya, dengan demikian seolah tidak lebih jika sekiranya saya sebagai penulis mengatakan bahwa sebagian isi Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terutama yang mengatur keberadaan jabatan Wakil Kepala Daerah adalah titipan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan politik. Hal ini semakin memperkuat alasan untuk penghapusan posisi Wakil Kepala Daerah karena hanya menambah ketidak efesianan birokrasi pemerintahan di daerah.




  
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dalam penulisan makalah ini adalah bahwa pada dasarnya, konflik yuridis antara Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, mengenai posisi jabatan Wakil Kepala Daerah memang patut untuk mendapatkan perhatian serius. Bagaimana tidak, karena disamping Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tersebut bertentangan dengan sumber hukum yang di atasnya dalam hal ini adalah Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, juga dalam perjalannya kerap kali terjadi konflik atau “pecah kongsi” antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini tentunya semakin memperkuat opsi untuk dihilangkannya posisi jabatan Wakil Kepala Daerah karena disamping tidak sesuai dengan UUD 1945 juga disinyalir ada peran oknum tertentu untuk memaksakan agar posisi Wakil Kepala Daerah ini tetap dipertahankan karena kepentingan politik tertentu melalui parpol, sehingga wajar ketika dalam perjalanannya sering terjadi pecah kongsi antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah karena memang sejak awal posisi Wakil Kepala Daerah ini adalah untuk kepentingan politk.         
B.  Saran
Adapun yan menjadi saran dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Patutnya para pembuat maupun penegak hukum betul-betul menjiwai dalam bentuk tindakan mengenai tanggung jawab dalam menjalankan amanat konstitusi Negara kita, agar tidak terdapat kesalahan yang pada gilirannya akan merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya karena kepentingan politik, seperti keberadaan posisi Wakil Kepala Daerah.
2.    Perlu merekonstruksi fondasi bangunan hukum di Negara kita Indonesia, agar tercapai orientasi rahmatan lil’alamin dalam segala sisi, termasuk landasan hukum mengenai pemerintahan daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gaffar Karim (ed.), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Miriam Budiardjo. 1982. Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Gramedia. Jakarta
.
Antaranerws.com

Waspada 10 Maret 2011

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilihan Kepala Daerah


http://effanzulfiqar.wordpress.com/2011/07/20/menyoal-posisi-wakil-kepala-daerah/





[1] Lay, Cornelis,2003, “Otnomi Daerah dan Ke-Indonesiaan” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.), Kompleksitas Persoalan Otonomi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta..
[2] Miriam Budiardjo. 1982. Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia. hal. 105.
[3] http://effanzulfiqar.wordpress.com/2011/07/20/menyoal-posisi-wakil-kepala-daerah/
[4] Antaranerws.com
[5] Waspada 10 Maret 2011
[6] Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilihan Kepala Daerah
[7] Ibid.
[8] http://effanzulfiqar.wordpress.com/2011/07/20/menyoal-posisi-wakil-kepala-daerah/
[9] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts