BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada umumnya pelaksanaan demokrasi dapat dilakuakan dengan
dua cara yaitu demokrasi langsung dan perwakilan dan secara hirarkhi negara
terdapat demokrasi tingkat nasional dan lokal. Disamping
itu, demokrasi
juga sebagai aspek penting berkaitan dengan pemerintahan dengan hirarkhi
kekuasaan yang terdapat dalam suatu sistem politik negara. Artinya, akan
terdapat sistem politik nasional yang di
dalamnya terdapat
sub sistem politik daerah dalam bingkai sistem negara yang dianutnya. Pemilahan
demokrasi lokal ini bukan berarti terdapat determinasi wilayah pemberlakuan
demokrasi atau bahkan terdapat perbedaan demokrasi dari induknya.
Hal ini tentunya merupakan implementasi dari adanya sistem desentralisasi atau
otonomi daerah di Indonesia sebagai pengejewantahan kewenagan dari pusat ke
daerah.
Desentralisasi
merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang
bertujuan untuk sharing power dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang dekat dengan rakyatnya. Sementara itu, Cornelis Lay,[1] menyatakan bahwa dengan desentralisasi
pengaturan politik dan pemerintahan yang stabil dapat dilakukan. Dengan
desentralisasi dapat diakomodasi sharing of power, sharing of revenue, dan
penguatan lokalitas, selain pengakuan dan penghormatan
terhadap identitas daerah. Berkaitan dengan sharing of power maka pemberian desentralisasi
secara devolusi menjadi penting. Apalagi dalam era reformasi ini yang akan
memunculkan pemilu lokal bagi elit ekesekutif secara langsung tentunya akan
terjadi penguatan dalam sistem pemerintahan daerah.
Demokrasi lokal
merupakan bagian dari subsistem politik suatu negara yang derajat pengaruhnya
berada dalam koridor pemerintahan daerah. Di Indonesia Demokrasi lokal
merupakan subsistem dari demokrasi yang memberikan peluang bagi pemerintahan
daerah dalam mengembangkan kehidupan hubungan pemerintahan daerah dengan rakyat
di lingkungannya. Alasan diterapkannya demokrasi
lokal ini karena salah
satunya adalah banyak pejabat politik yang tidak melakukan
tanggung jawabnya dengan baik, sehingga legitimasi mereka lemah. Di sisi lain
memunculkan ketidak percayaan rakyat pada penguasa mendorong rekrutmen pejabat
politik ke arah demokrasi langsung. Sehingga tidak mengherankan
bila rekrutmen hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam format demokrasi
yang bergerak pada hubungan state and society secara langsung.
Inilah cikal bakal munculnya pemilihan kepala daerah
secara langsung di Indonesia, dimana apabila kita Mencoba memutar ingatan pada tahun 2004, dimana
pada tahun 2004 rakyat Indonesia menyambut pesta demokrasi terbesar, transparan
(terbuka) dan langsung dalam memilih kepala daerah masing-masing. Sungguh
Pemilukada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat.
Sebagaimana arti demokrasi bahwa rakyat berkuasa kini terwujud dalam kesempatan
rakyat memilih pemimpinnya lewat Pemilukada langsung.[2]
Akan
tetapi pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah ini, tidak lepas dari berbagai
macam permasalahan. Disamping banyaknya fenmena yang terjadi di lapangan
seperti money politic, pemborosan APBD, persaingan yang tidak sehat dan masih
banyak lagi permaslahan yang lainnya, ternyata juga terdapat konflik yuridis
terkait dengan pelaksanaan Pemilukada tersebut yakni status seorang wakil
kepala daerah.
Kita
memandang dari perspektif desentralisasi, bahwa Pemilukada langsung merupakan
perwujudan demokrasi di tingkat lokal seperti yang tercantum pada UUD 1945 pasal 18 ayat (4) “Gubernur, Bupati dan Wali Kota masing-masing
sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis.” Hal ini tentunya hanya menyebutkan yang dipilih adalah Kepala
Daerah, tidak ada kalimat yang menyebutkan Wakil Kepala Daerah juga dipilih. Di sisi lain bahwa dalam perspektif hukum tata
negara, posisi Wakil Kepala Daerah hanyalah sebagai “ban serep”. Tugas
dan fungsi Wakil Kepala Daerah hanya “residu” dari tugas dan fungsi Kepala
Daerah sendiri. Karena hal-hal yang bersifat teknis administratif sudah dilaksanakan
oleh Sekda. Posisi Wakil Kepala Daerah tidak lebih dari sekadar pembantu kepala
daerah.[3]
Selain
hal tersebut di atas, keberadaan Wakil Kepala Daerah juga kerap kali menjadi
konflik dalam pemerintahan itu sendiri sebagaimana yang diungkapkan oleh
Mendagri bahwa 85
persen kepala daerah di negeri ini pecah kongsi.[4]
Hal ini menggambarkan betapa peliknya keberadaan seorang Wakil Kepala Daerah
yang menjadi sesuatu yang dosoroti dan diperbincangkan bahkan sesungguhnya
dalam logika politik menyebutkan bahwa wakil itu adalah "not the first man" (bukan orang pertama) juga bukan "not the first second man"
(orang kedua yang pertama), tetapi wakil adalah "second man" (orang kedua). Jika filosopi ini dimakna
positif oleh setiap wakil maka potensi konflik itu dapat diredam.
Sementara
itu, keberadaan Wakil Kepala Daerah hanya diatur di dalam Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa bahwa
“Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang
bersangkutan”. Hal ini tentu bertentangan dengan bunyi Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 yang tidak menyebutkan “Wakil Kepala Daerah”, sementara dalam hirarki
sumber hukum di Indonesia menempatkan Undang-Undang di bawah Undang-Undang
Dasar 1945, atau dengan kata lain Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan
sumber hukum yang di atasnya dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar 1945.
Berangkat
dari ilustrasi fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan
menulis makalah yang berjudul Konflik Yuridis Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan
Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun yang menjadi rumusan permasalahan dalam
penulisan makalah ini adalah bagaimana konflik yuridis Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
dengan Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 ?
BAB II
PEMBAHASAN
Konflik Yuridis Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 Dengan Pasal 24 Ayat (5)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Dalam sebuah organisasi, keberadaan wakil pimpinan
selalu kontroversial apabila mekanisme kerjanya tidak diatur secara tegas. Wakil
pimpinan adalah “alter-ego” atau
orang yang paling dipercaya bagi sang pemimpin, sehingga diperlukan “chemistry”, yang cocok. “Chemistry” ini
dapat cocok, apabila pimpinan memiliki kebebasan untuk memilih wakilnya
sendiri. Sebaliknya, apabila wakilnya ditetapkan secara sepihak dari manajemen,
maka peluang konflik antara pimpinan dan wakil pimpinan akan sangat besar.
Karena “mimpi” orang nomor dua adalah menjadi orang nomor satu dan hal ini
sangat manusiawi.
Ketika kita menyoal mengenai Kepala Daerah beserta
wakilnya, siapa
yang tidak mengakui pada saat-saat kampanye pemilihan umum Kepala Daerah (Pilkada)
betapa kompaknya calon pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tersebut.
Begitu mereka menang dalam Pilkada dan dilantik, mereka masih tetap bersama,
kemana selalu beriring tak obahnya bagai “sepasang kekasih”. Sayangnya, jalinan
hubungan yang begitu mesra biasanya hanya bisa bertahan satu tahun.
Hubungan di antara mereka mulai renggang dan sudah jarang nampak bersama.
Fenomena
ketidak harmonisan dan perceraian antara Kepala Daerah (KDH) dan Wakil Kepala
Daerah (WKDH), baik di provinsi, kabupaten/kota memang sudah jamak
terjadi pra dan pasca pilkada. Bahkan menurut Catatan Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi, dari 244 pilkada yang digelar pada 2010, hanya 6,15 persen KDH
dan WKDH yang kembali maju bersama. Selebihnya, masing-masing maju sendiri dan
bertarung sengit dalam pilkada. Fakta ini menurut Gamawan menunjukkan keberadaan
WKDH lebih banyak menimbulkan disharmoni pemerintahan. Karena itu, sangat
jarang ada incumbent yang kembali berpasangan dalam pilkada 2010. Bahasa
Mendagri untuk menyebut ketidak harmonisan antara KDH dan WKDH adalah “pecah
kongsi”.[5]
Akan
tetapi, fenomena di atas ternyata hanya segelintir masalah kecil yang mewarnai
perjalanan sebuah pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia.
Ada sebuah masalah yang paling mendasar terkait dengan status jabatan Wakil
Kepala Daerah, karena dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 tidak menyebutkan “Wakil Kepala Daerah”, tetapi justru berbunyi “Gubernur,
Bupati dan Wali Kota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi,
Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”. Sementara status seorang Wakil
Kepala Daerah hanya disebutkan dan diatur di dalam
Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yang menyebutkan bahwa bahwa “Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”.
Disinilah
titik permasalahan yang paling mendasar terkait dengan status jabatan seorang
Wakil Kepala Daerah karena dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 24
ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, saling
bertetangan, sementara kita ketahui bahwa dalam hirarki sumber hukum di
Indonesia, Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum yang di
atasnya dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah
terkait dengan diskursus posisi Wakil Kepala Daerah. Selain terkait dengan
mengenai mekanisme pemilihan Kepala Daerah, ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 ini membawakan sebuah diskursus
mengenai posisi Wakil Kepala Daerah, apakah merupakan posisi political
appointee yang merupakan satu paket dengan Kepala Daerah atau jabatan administrative appointee
sebagai jabatan karir. Secara eksplisit
bunyi pengaturan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
menyatakan bahwa yang dipilih secara demokratis adalah
Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam kaitan ini muncul diskusi menarik, apakah
jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota itu adalah satu jabatan tunggal atau
satu paket meliputi dengan wakilnya. Apabila kita gunakan pendekatan formalistik
pada apa yang tertulis dalam Pasal 18 (ayat) 4 UUD 1945, jelas ayat dimaksud
memberi pesan bahwa konstitusi hanya mengamanatkan pemilihan Kepala
Daerah saja tanpa menyebut jabatan Wakil Kepala Daerah. Ini artinya Gubernur,
Bupati dan Walikota adalah nama jabatan tunggal untuk Kepala Daerah
baik untuk tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. UUD 1945 pada dasarnya
bersifat litterlijk sehingga apa yang tertulis itulah yang merupakan norma.
Penafsiran ini sesuai dengan kenyataan bahwa UUD 1945 selalu menyatakan
secara eksplisit posisi jabatan-jabatan yang ada dalam pemerintahan.
Sebagai contoh jabatan Wakil Presiden itu dinyatakan secara tegas,
kemudian Menteri , Duta Besar , dan lainnya. Dengan demikian, pembentuk
Undang-Undang memiliki keleluasaan untuk mengatur jabatan Wakil Kepala
Daerah. Artinya, bisa saja Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih dan memegang
jabatan tanpa didampingi wakil, atau pengaturan mengenai pemilihan
Wakil Kepala Daerah dalam Undang-Undang dapat saja dilakukan berbeda
dengan mekanisme pemilihan Kepala Daerah.[6]
Tidak tepat apabila diskursus mengenai posisi wakil
kepala daerah ini hanya berkutat pada penafsiran pengaturan tertulis dalam
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Tentunya selain karena alasan yang lebih mengarah
pada pendekatan semantik, juga terdapat alasan lain yang lebih filosofis untuk
melakukan reposisi terhadap wakil kepala daerah. Sebelumnya telah diulas bahwa
dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, posisi provinsi merupakan
sebuah unit antara pemerintahan sebagai wilayah kerja Gubernur selaku wakil
Pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gubernur merupakan alter
ego Presiden yang ada di daerah tanpa ada lagi pembagian kewenangan kepada
subyek lain. Ini selaras dengan pengalaman di beberapa negara yang memiliki
unit antara dalam susunan dan bentuk pemerintahan daerah, tidak dikenal lagi
posisi wakil wakilnya Pemerintah. Gubernur, sebagai wakil Pemerintah, dalam
pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat guna melaksanakan kewenangan yang
dimilikinya. Dengan demikian pendekatan ini dapat menjadi bahan pemikiran
mengenai posisi Wakil Gubernur sebagai administrative appointee karena
merupakan salah satu unit dari perangkat gubernur dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya.
Berkaitan dengan posisi wakil bupati dan wakil
walikota perlu dilihat dari pendekatan kontruksi organisasi pemerintahan yang
saat ini sedang berjalan. Apabila dilihat dari kontruksi yang ada saat ini
dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan daerah di Indonesia pada tingkatan
kabupaten/kota melaksanakan pola strong mayor system. Hal ini dapat
dilihat dari struktur organisasi pemerintahan di kabupaten/kota yang terbagi
dalam dua elemen yakni elemen bupati/walikota sebagai elemen eksekutif yang
merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten/kota dan elemen
DPRD sebagai lembaga yang melakukan pengawasan (checks and balances)
pelaksanaan pemerintahan yang dijalankan oleh bupati/walikota. Menurut
pengalaman negara lain yang melaksanakan strong mayor system, seperti
misalnya Kota Virginia di Amerika Serikat, jabatan politik (political
appointee) yang ada di daerah setingkat kabupaten/kota hanyalah jabatan mayor
atau walikota tanpa didampingi oleh wakil walikota. Dalam pelaksanaan
tugasnya mayor dibantu oleh perangkat administratif dibawah pimpinan
petugas (officer) yang dikenal dengan istilah chief of administrative
officer. Dengan demikian timbul pemikiran bahwa untuk posisi wakil
bupati/wakil walikota diarahkan untuk menempati posisi chief of
administrative officer sehingga kontruksi pemerintahan daerah yang sudah
ada menjadi selaras dengan sistem yang dianutnya.[7]
Di samping itu, bahwa dalam perspektif hukum tata
negara, posisi Wakil Kepala Daerah hanyalah sebagai “ban serep”. Tugas dan fungsi Wakil Kepala Daerah hanya “residu” dari tugas dan fungsi Kepala Daerah
sendiri. Karena hal-hal yang bersifat teknis administratif sudah dilaksanakan
oleh Sekretaris Daerah (Sekda). Posisi Wakil Kepala Daerah tidak lebih dari
sekadar pembantu Kepala Daerah.
Olehnya
itu, berangkat dari hal tersebut, wacana penghapusan Wakil Kepala Daerah sudah
sering dilantorkan banyak pihak termasuk DPR, Kementerian Dalam Negeri dan
pakar politik. Karena sesungguhnya penghapusan posisi Wakil Kepala Daerah
jelas tidak menabrak UUD 1945, mengingat ketentuan Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945
hanya menyebutkan yang dipilih adalah Wakil Kepala tidak ada kalimat yang
menyebutkan Wakil Kepala Daerah juga dipilih. Dengan adanya ketentuan tersebut,
maka penempatan posisi Wakil Kepala Daerah bila tidak dipilih lagi lewat
pilkada mekanismenya bisa “ditunjuk”, sebagaimana usulan
Kementerian Dalam Negeri atas revisi UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Wakil Kepala Daerah akan ditunjuk langsung oleh Kepala Daerah (Gubernur
atau Bupati/Walikota) dari kalangan pejabat struktural pemerintahan. Alternatif
lain bisa juga posisi Wakil Kepala Daerah diusulkan oleh Kepala Daerah
dan setelah melewati proses rekomendasi mulai dari Gubernur hingga pusat, baru
dilakukan pemilihan lewat DPRD.[8]
Pemikiran
lain yang muncul terkait dengan posisi Wakil Kepala Daerah bila tidak dihapus
adalah Wakil Kepala Daerah tidak mesti hanya satu bisa dua atau tiga,
tergantung luas wilayah dan banyaknya penduduk. Untuk daerah yang wilayahnya
kecil dan jumlah penduduknya sedikit, sangat memungkinkan menghapus jabatan Wakil
Kepala Daerah tersebut. Sedangkan untuk daerah yang rawan konflik
dimana kemejemukan masyarakatnya sangat kuat jabatan Wakil Kepala Daerah dapat tetap
dipertahankan sebagai representasi politik rakyat, baik berdasarkan
agama, etnis atau daerah.
Bila
memang posisi Wakil Kepala Daerah tidak akan dihapus, maka yang harus
dipertegas adalah pembagian tugas yang jelas antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah. Sehingga satu sama lain dapat mengetahui apa yang menjadi
kewenangannya. Artinya Kepala Daerah tidak mengambil alih apa yang menjadi
tugas Wakil Kepala Daerah dan sebaliknya Wakil Kepala Daerah tidak masuk dalam
wilayah yang menjadi domain Kepala Daerah. Disamping itu hendaknya koalisi
parpol pendukung dalam pilkada tidak hanya dibangun berdasarkan kepentingan
parpol semata. Tapi bagaimana dua calon Kepala Daerah yang berbeda latar
belakang parpolnya bisa punya misi dan visi yang sama. Karena sering yang
menjadi pangkal disharmonisasi antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
muaranya kepentingan pribadi dan parpol pendukung dan bukan masalah dalam
pemerintahan.[9]
Tapi
karena memang UUD 1945 tidak menyebutkan Wakil Kepala Daerah dipilih bersama
dengan Kepala Daerah, memang sebaiknya posisi Wakil Kepala Daerah lebih baik
tidak ada lagi. Alasannya hanya menimbulkan permasalahan dalam pemerintahan
daerah dan membebani anggaran, karena fasilitas yang diperolehnya hampir sama
dengan Kepala Daerah. Alasan lain bahwa fungsi pemerintahan masih bisa
dijalankan oleh seluruh perangkat daerah di bawah kendali Sekda kalaupun tidak
ada lagi posisi Wakil Kepala Daerah. Sekda dalam hal ini kecil kemungkinannya
untuk melakukan “manuver politik”
bila ingin mengincar posisi Kepala Daerah dibandingkan dengan Wakil Kepala Daerah.
Bisa-bisa ia dimutasi oleh Kepala Daerah. Sebaliknya, bila Kepala Daerah
sudah tidak harmonis lagi dengan Wakil Kepala Daerah, jelas Wakil Kepala Daerah
tak bisa diberhentikan di tengah jalan, sekalipun Wakil Kepala Daerah
bertanggungjawab kepada Kepala Daerah.
Posisi Wakil
Kepala Daerah juga sesungguhnya hanya memperpanjang rantai birokrasi
pemerintahan daerah. Bukankah Kepala Daerah juga telah memiliki staff
ahli dan asisten. Semua mempunyai tugas untuk membantu keberhasilan tugas-tugas
Kepala Daerah. Disinyalir bahwa keberadaan posisi seorang Wakil Kepala Daerah
hanyalah titipan parpol yang mempunyai kepentingan dalam memangku jabatan dan
mempunyai orientasi menduduki jabatan selanjutnya, dengan demikian seolah tidak
lebih jika sekiranya saya sebagai penulis mengatakan bahwa sebagian isi
Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terutama yang mengatur
keberadaan jabatan Wakil Kepala Daerah adalah titipan dari pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan politik. Hal ini semakin memperkuat alasan untuk
penghapusan posisi Wakil Kepala Daerah karena hanya menambah ketidak efesianan
birokrasi pemerintahan di daerah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun
yang menjadi kesimpulan dalam penulisan makalah ini adalah bahwa pada dasarnya,
konflik yuridis antara Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
dengan Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, mengenai posisi
jabatan Wakil Kepala Daerah memang patut untuk mendapatkan perhatian serius.
Bagaimana tidak, karena disamping Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tersebut bertentangan dengan sumber hukum yang di atasnya dalam hal
ini adalah Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,
juga dalam perjalannya kerap kali terjadi konflik atau “pecah kongsi” antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal
ini tentunya semakin memperkuat opsi untuk dihilangkannya posisi jabatan Wakil
Kepala Daerah karena disamping tidak sesuai dengan UUD 1945 juga disinyalir ada
peran oknum tertentu untuk memaksakan agar posisi Wakil Kepala Daerah ini tetap
dipertahankan karena kepentingan politik tertentu melalui parpol, sehingga
wajar ketika dalam perjalanannya sering terjadi pecah kongsi antara Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah karena memang sejak awal posisi Wakil Kepala
Daerah ini adalah untuk kepentingan politk.
B. Saran
Adapun yan menjadi saran
dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Patutnya para pembuat
maupun penegak hukum betul-betul menjiwai dalam bentuk tindakan mengenai
tanggung jawab dalam menjalankan amanat konstitusi Negara kita, agar tidak
terdapat kesalahan yang pada gilirannya akan merongrong Negara Kesatuan
Republik Indonesia hanya karena kepentingan politik, seperti keberadaan posisi
Wakil Kepala Daerah.
2. Perlu merekonstruksi
fondasi bangunan hukum di Negara kita Indonesia, agar tercapai orientasi
rahmatan lil’alamin dalam segala
sisi, termasuk landasan hukum mengenai pemerintahan daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gaffar Karim (ed.), 2003,
Kompleksitas Persoalan Otonomi di
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Miriam Budiardjo. 1982. Partisipasi
dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Gramedia. Jakarta
.
Antaranerws.com
Waspada 10 Maret 2011
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Pemilihan Kepala Daerah
http://effanzulfiqar.wordpress.com/2011/07/20/menyoal-posisi-wakil-kepala-daerah/
[1] Lay, Cornelis,2003, “Otnomi Daerah dan Ke-Indonesiaan”
dalam Abdul Gaffar Karim (ed.), Kompleksitas
Persoalan Otonomi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta..
[2]
Miriam Budiardjo.
1982. Partisipasi dan Partai Politik:
Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia. hal. 105.
[3]
http://effanzulfiqar.wordpress.com/2011/07/20/menyoal-posisi-wakil-kepala-daerah/
[4] Antaranerws.com
[6] Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Pemilihan Kepala Daerah
[8]
http://effanzulfiqar.wordpress.com/2011/07/20/menyoal-posisi-wakil-kepala-daerah/
[9] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar