PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DALAM PERSPEKTIF
DESENTRALISASI DI INDONESIA
JURNAL
Oleh
:
La Patuju
NIM : MH.12.21.1344
Program
Studi : Ilmu Hukum
PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan jurnal ini sebagai rangkaian dari tugas akhir penulisan Tesis.
Tentunya, penulis telah menyusun jurnal ini dengan sebaik-baiknya dan
semaksimal mungkin. Namun tentunya sebagai manusia biasa tidak akan luput dari
kesalahan dan kekurangan. Harapan penulis, semoga bisa menjadi koreksi di masa
mendatang agar lebih baik dari sebelumnya.
Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak di
Program Pascasarjana Ilmu Hukum atas bimbingan, dorongan, dan ilmu yang telah
diberikan kepada penulis sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan rangkaian
tugas ini dan insya Allah sesuai dengan yang diharapkan.
Pada dasarnya tulisan ini disajikan khusus untuk membahas
tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Di
Indonesia. Untuk lebih jelasnya, pembaca dapat menyimak pembahasan dalam
tulisan ini. Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan pengetahuan yang
mendalam tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi
Di Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak memiliki
kekurangan. Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari teman-teman serta khalayak pembaca guna perbaikan
penulisan selanjutnya. Sebelum dan sesudahnya penulis ucapkan terimakasih.
Semarang, Mei
2014
Penulis
ABSTRAK
Dinamika
masyarakat mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan termasuk pemilihan umum
Kepala Daerah. Kebijakan desentralisasi telah membawa perubahan dalam mekanisme
pengisian jabatan Kepala Daerah sebagai bentuk manifestasi kedaulatan rakyat
dalam bingkai demokrasi.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam
Perspektif Desentralisasi Di Indonesia, Kelebihan dan Kelemahan Dalam Pemilihan
Umum Kepala Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Di Indonesia, Serta Solusi
Yang Dapat Ditawarkan Untuk Meminimalisir Kelemahan Dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah Dalam Perpsepktif Desentralisasi Di Indonesia.
Berdasarkan
penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pemilihan umum kepala daerah dalam
perspektif desentralisasi mengalami perubahan atau dinamika model pengisian
jabatan tersebut sesuai dengan model ketatanegaraan Indonesia dari masa ke
masa, kelebihan pemilihan kepala daerah tersebut yakni menjadi sarana untuk memperkuat
otonomi daerah, kepala daerah yang terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi
yang sangat kuat, kepala daerah tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai
atau fraksi-fraksi politik yang telah mencalonkannya, mencegah konsentrasi di
pusat, Pemilukada sebagai wadah pendidikan politik bagi masyarakat. Kemudian
kelemahannya dapat diliat dari sisi bakal calon kepala daerah, dana
yang dibutuhkan dalam penyelenggaraannya relatif tinggi, dari sisi kelemahan
isi Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah, dapat
memicu konflik horizontal antar masyarakat, dari sisi persiapan daerah
menyelenggarakan pilkada, serta dari sisi posisi jabatan wakil kepala daerah.
Adapun solusi yang ditawarkan untuk meminimalisir resiko dalam pemilihan kepala
daerah di era desentralisasi diIndonesia yakni pemilihan kepala
daerah dikembalikan dan dilakukan oleh DPRD, efektifitas fungsi dalam Parpol,
dan peninjauan kembali posisi jabatan wakil kepala daerah.
Saran
yang penulis sampaikan berdasarkan hasil penelitian yakni perlu dilakukan
amandemen terhadap ketentuan BAB VI UUD NRI 1945 tentang Pemerintahan Daerah
khususnya Pasal 18 ayat (4), yang mengganti frasa demokratis dan atau
ditambahkan dengan penegasan model pemilihan langsung atau demokrasi langung,
merekonstruksi atau penataan kelembagaan penyelenggara yang berwenang dan
bertanggungjawab menyelenggarakan pengisian jabatan kepala daerah.
Kata kunci : Pemilukada, Desentralisasi,
Kedaulatan Rakyat.
ABSTRACT
Community dynamics affect the
administration of elections, including the Regional Head. Decentralization
policy has brought about a change in the mechanism of filling the position of
Regional Head as a form of manifestation of popular sovereignty in a democratic
frame.
This study aims to find out about
the regional election in the Perspective of Decentralization in Indonesia, Pros
and Cons In regional election in the Perspective of Decentralization in
Indonesia, And Solutions That Can Offered To Minimize Weakness In regional
election in Perpsepktif Decentralization in Indonesia.
Based on the research we concluded
that the elections of regional heads in a decentralized perspective or change
the dynamics model of filling the vacancy in accordance with the model of the
Indonesian state administration from time to time, the excess of the local
elections as a means to strengthen local autonomy, local chief elected will
have a mandate and legitimacy are very strong, regional head does not need to
be tied to concessions parties or political factions that have nominating,
prevent concentration in the center, Election as a forum for political
education for the community. Then weaknesses can see of the regional head
candidates, funds needed for its implementation is relatively high, the
contents of the weaknesses of the Act which regulates the local government,
could trigger horizontal conflicts between communities, readiness of regional
to election implement, as well as from the position of deputy head of the
regional office. The proposed solution to minimize the risk in the local
elections in the era of decentralization in Indonesia that is returned and
local elections conducted by the Parliament, the effective functioning of the
political parties, and review of the position of deputy head of the regional
office.
Suggestions based on the results of
the study authors convey the necessary amendment to the provisions of Chapter
VI of the Constitution NRI 1945 on Local Government in particular Article 18
paragraph (4), which replace the democratic and phrases or added to the direct
election model affirmation or indirectly democracy, reconstruction or
institutional arrangement organizers authorized and responsible for filling the
post of head of regional organizing.
Keywords
: Election, Decentralization, Sovereignty of the People.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia
merupakan sebuah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945
bertujuan untuk menciptakan tatanan kehidupan yang sejahtera sebagaimana yang
termaktub dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alinea IV. Disamping tujuan
tersebut, diakui pula mengenai persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum
dalam bentuk penerapan kedaulatan rakyat.
Dengan
melihat sejarah perjalanan ketatanegaraan bangsa Indonesia, yang mengalami
puncak perubahan yakni dengan momentum Reformasi tahun 1998 yang mengusung
isu-isu sentral seperti penegakkan demokrasi, pengakuan Hak Asasi Manusia
(HAM), serta Otonomi Daerah melalui amandemen UUD 1945 memberikan dampak yang
cukup urgen terhadap eksistensi sebuah bangsa yang besar seperti bangsa
Indonesia. Disinilah cikal bakal munculnya Otonomi Daerah sebagai bentuk fait a comply sentralisasi di masa Orde
Baru. Dengan demikian maka Otonomi Daerah dapat dipraktekan ketika sistem
sentralisasi diubah menjadi sistemn desentralisasi sebagai bentuk
pengejewantahan kewenangan dari pusat ke daerah.
Hubungannya
dengan Otonomi Daerah, maka daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur
daerahnya sendiri dengan berorientasi kepada kemandirian daerah dengan tidak
menyalahi NKRI. Sehingga seiring dengan di amandemennya UUD 1945, dimana Pasal
18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 hasil amandemen berbunyi “Gubernur, Bupati,
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah Propinsi, Kabupaten dan
Kota dipilih secara demokratis”, maka daerah mempunyai kewenangan untuk
menentukan sendiri kepala pemerintahnya.
Alhasil,
misi ini direspon dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang dirasakan lebih demokratis dan desentralistis dibandingkan dengan
dengan Undang-Undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang berkarakter konservatif pada masa Orde
Baru. Namun dalam prakteknya, Undang-Undang ini ternyata desentralisasi
berhenti pada tingkatan pemerintah paling bawah, dan bukan berakhir pada
masyarakat karena dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 mengamanatkan antara lain “Kepala Daerah dipilih secara demokratis oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai
representasi dari rakyat”.
Sehingga dari kelemahan di atas, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 direvisi melalui Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang dilatarbelakangi oleh
beberapa hal yang belum dicakup oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Dan dalam Undang-Undang ini membawa perubahan yang sangat signifikan dalam
dinamika politik lokal. Di
antaranya,
pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan oleh KPUD dan dilakukan
secara langsung oleh masyarakat sebagai bagian dari partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dan hal ini telah
mengantarkan Indonesia memasuki proses pemerintahan desentralisasi setelah
lebih dari 30 tahun berada di bawah rezim Orde Baru yang serba sentralistis.
Harapannya dengan adanya pemilihan
langsung Kepala Daerah, masyarakat tidak lagi hanya
sekadar penikmat atau bahkan korban dari segala kebijakan yang diterapkan
pemerintah, melainkan juga secara langsung terlibat dalam memilih dan menentukan pemimpin yang layak menurut
pandangan masyarakat itu sendiri. Di sinilah letak perubahan mendasar antara sistem pemilihan Kepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Namun Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 juga tidak luput dari kelemahan seperti[1]
masyarakat masih bersifat primordial yang menginduk kepada perintah pimpinan
yang justru hal ini menghilangkan kemandirian masyarakat yang bertentangan
dengan nafas demokrasi, wilayah suatu
kabupaten/kota tidak seluruhnya mudah dijangkau yang berimplikasi kurang
maksimalnya pilkada langsung, partai-partai politik belum berfungsi baik dalam
pendidikan politik yang berdampak pada hilangnya kualitas demokrasi langsung,
biaya pilkada langsung sangat besar yang berimplikasi kepada terabaikannya
kepentingan publik, serta penegakkan hukum yang belum memadai.
Dari
fenomena di atas, memberikan gambaran kepada kita mengenai plus-minus dari penerapan sebuah sistem pemerintahan yang
mempengaruhi efektifitas pemerintahan itu sendiri, sehingga bertitik tolak dari latar belakang di atas, penulis tertarik
untuk membahas mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam Perspektif
Desentralisasi Di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana
pemilihan umum Kepala Daerah dalam perspektif desentralisasi di Indonesia ?
2. Bagaimana
kelebihan dan kelemahan pemilihan umum Kepala Daerah dalam perspektif
desentralisasi di Indonesia ?
3. Solusi
apa saja yang dapat ditawarkan untuk mencegah atau meminimalisir
kelemahan-kelemahan dalam pemilihan umum Kepala Daerah dalam perspektif
desentralisasi di Indonesia ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pemilihan
Umum Kepala Daerah Dalam Persepktif Desntralsasi Di Indonesia
Perlu
diketahui bahwa pemilihan Kepala Daerah dalam perspektif desentralisasi di
Indonesia, sesungguhnya telah dilaksanakan sejak awal kemerdekaan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda meskipun dalam tataran implementasinya
cenderung ke arah sentralistis, yang kemudian hal ini mengalami dinamika atau perubahan
sesuai dengan kondisi ketatanegaraan dari masa ke masa. Artinya bahwa, model
pemilihan Kepala Daerah di Indonesia berubah-ubah sesuai dengan jamannya, dan
hal ini tentu diatur sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Adapun model
pemilihan Kepala Daerah dimaksud dapat dibagi ke dalam beberapa periode yakni
sebgai berikut :
1. Periode
Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949).
Dalam masa periode ini, ada 2 (dua)
Undang-Undang yang pernah berlaku yang mengatur tentang pemilihan Kepala
Daerah, yakni:
a. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah (KND), dimana dalam UU
tersebut menyebutkan bahwa KND memilih beberapa orang diantara anggotanya yang
sebanyak-banyaknya 5 (Lima) orang sebagai Badan Eksekutif, yang bersama-sama
dengan dan dipimpin oleh kepala daerah menjalankan pemerintahan sehari-hari di
daerah. Ke-5 (Lima) orang anggota Badan Eksekutif tersebut merupakan anggota
pula dari Badan Perwaklan Rakyat (KND).[2]
Jadi dari anggota yang terpilih sebagai Badan Eksekutif tersebut, dipilih salah
satunya sebagai ketua sekaligus sebagai Kepala Daerah. Disamping itu, dalam UU
ini tidak disebutkan posisi jabatan Wakil Kepala Daerah.
b. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan
Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya
Sendiri, dimana di dalam UU ini menginformasikan bahwa Pemerintahan daerah
terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintahan
Daerah (DPD), dimana Kepala Daerah menjadi ketua dan anggota DPD yang
menjalankan kekuasaan eksekutif dan DPRD menjalankan kekuasaan legislatif
melalui kewenangan membentuk peraturan daerah. Anggota DPD dipilih oleh dan
dari DPRD atas dasar perwakilan berimbang untuk menjalankan pemerintahan
sehari-hari dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepada DPRD yang dilakukan baik secara kolegial maupun sendiri-sendiri.[3]
2. Periode
UUD RIS 1949 (27 September 1949-7 Agustus 1950).
Sebagai
akibat dari agresi militer Belanda yang ke 2 berimplikasi dengan terjadinya Konferensi
Meja Bundar dan melahirkan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang
berbentuk negara federal berikut diberlakukannya Konstitusi RIS,[4]
namun hal ini tidak sampai begitu lama karena keinginan Negara-negara bagian
untuk bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pada akhirnya
Negara kesatuan terbentuk kembali dan konstitusi RIS 1949 diadakan perbaikan
dan penyesuaian seperlunya menjadi UUDS 1950.[5]
Jadi,
dalam hal ini UUD RIS 1949 hanya berlaku kurang lebih 1 tahun, dan
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang sempat dibentuk yakni Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1950 untuk Negara Indonesia Timur (NIT), namun sebagian besar
isi dari dari Undang-Undang tersebut masih mengacu kepada Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1948. Sehingga model pengisian jabatan Kepala Daerah yakni
pertama-tama anggota Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) dipilih oleh dan dari DPRD
atas dasar perwakilan berimbang. Kemudian anggota DPD terpilih memilih ketua
yang sekaligus menjadi Kepala Daerah.
3. Periode
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959).
Dalam
periode ini, yang menjadi landasan hukum pemilihan Kepala Daerah adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemrintahan Daerah, dimana dalam UU ini telah
ada wacana untuk mengadakan pemilihan kepala daerah secara langsung, tetapi
karena pertimbangan kondisi politik, sosial dan budaya, maka oleh pembentuk
Undang-Undang tersebut untuk sementara ditunda, sampai dengan waktu yang
memungkinkan. Sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalam Pasal 24
Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1957 ditetapkan, bahwa untuk sementara waktu Kepala
Daerah dipilih oleh DPRD dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan
pengetahuan yang diperlukan bagi jabatan tersebut, syarat-syarat mana dapat
diatur dengan Perarturan Pemerintah[6], dan
hasil pemilihan oleh DPRD memerlukan pengesahan lebih dahulu dari (Pasal 24
ayat (1) dan (2) :[7]
a. Presiden
apabila mengenai Kepala Daerah dari tingkat I
b. Menteri
Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya apabila mengenai Kepala Daerah
dari tingkat II dan ke III.
4. Periode
Kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959-18 Agustus 2000).
Dalam masa periode ini, ada beberapa
Undang-Undang yang pernah melandasi pemilihan Kepala Daerah yakni :
a. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam
Undang-Undang ini, Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri
Dalam Negeri melalui calon - calon yang diajukan oleh DPRD,[8]
dan dimana mekanismne rekruitmen pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah diatur di dalam Pasal 11 dan Pasal 12 ayat (1), yang berbunyi :
“Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
diangkat dan diberhentikan oleh :
1) Presiden
bagi Daerah tingkat I;
2) Menteri
Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi daerah tingkat II;
3) Kepala
Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi daerah tingkat
III yang ada dalam Daerah tingkat I”.
b. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dimana mekanisme
pengisian jabatan Kepala Daerah adalah sebagai berikut :
1) Kepala
Daerah tingkat I (Gubernur)
Calon Kepala Derah
tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang
dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan
disepakati bersama antara pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-Fraksi di depan Menteri
Dalam Negeri. Hasil pemilihan tersebut kemudian diajukan oleh DPRD yang
bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2
(dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. Sebelum memangku
jabatannya kepala daerah diambil sumpah/janjinya dan dilantik oleh Presiden.
2) Kepala
Daerah tingkat II (Bupati/Walikota)
Calon
Kepala Daerah tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya
3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah
dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-Fraksi
dengan Gubernur kepala daerah. Hasil pemilihan tersebut kemudian diajukan oleh
DPRD bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur kepala daerah
sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya.
Sebelum memangku jabatannya, kepala daerah diambil sumpah/janjinya dan dilantik
oleh Menteri Dalam Negeri.
3) Untuk
Wakil Gubernur
Wakil
Kepala Daerah tingkat I diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri yang
memenuhi persyaratan. Dengan memperoleh persetujuan DPRD tanpa melalui
pemilihan, Gubernur kepala daerah mengajukan calon wakil kepala daerah tingkat
I kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
4) Untuk
Wakil Bupati atau Wakil Walikota
Wakil
Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden
dari Pegawai yang memenuhi persyaratan. Dengan memperoleh persetujuan DPRD
tanpa melalui pemilihan, kemudian Bupati/Walikota kepala daerah mengajukan
calon wakil kepala daerah tingkat II kepada Menteri Dalam Negeri melalui
Gubernur kepala daerah.
c. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana UU ini merupakan UU
pertama tentang Pemerintahan Daerah yang lahir pasca Reformsi sebagai bentuk
rekonstruksi dari UU sebelumnya yang cenderung sentralistis di masa Orde Baru dan
menurut Undang-Undang ini juga, pemerintah daerah terdiri dari Kepala Daerah
dan perangkat daerah lainnya, dimana DPRD di luar Pemerintah Daerah yang
berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya
pemerintahan.[9]
Adapun mekanisme pemnilihannya yakni Kepala Daerah baik propinsi maupun
kabupaten/kota dipilih oleh DPRD sesuai tingkatannya dan disahkan oleh
pemerintah pusat (Gubernur oleh Presiden, Bupati/Walikota oleh Menteri Dalam
Negeri). Dan mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah, diatur dalam Pasal 34
ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa :
(1) Pengisian
jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui
pemilihan secara bersamaan.
(2) Calon
Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah, ditetapkan oleh DPRD melalui tahap
pencalonan dan pemilihan.
5. Periode
UUD NRI 1945 setelah Amandemen kedua (18 Agustus 2000-sekarang).
Undang-Undang yang berlaku pada periode
ini adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menagakomodir calon Kepala
Daerah perseorangan (independent), namun secara prinsip, tidak ada perbedaan
substansial dalam hal pengaturan mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah.
Adapun mekanisme pemilihan Kepala Daerah
yakni dilaksnakan secara langsung oleh rakyat dan calonnya diusulkan oleh
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik serta dapat juga melalui jalur
perseorangan (independent), yang diselenggarakan oleh KPUD dimana melalui
Undang-Undang ini, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) provinsi, kabupaten dan
kota diberikan kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan Kepala Daerah. KPUD
yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah KPUD sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, DPRD. Oleh karena itu, tidak
diperlukan untuk membentuk dan menetapkan KPUD dan keanggotaannya yang baru.[10]
B. Kelebihan dan Kelemahan
Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi di Indonesia
1.
Kelebihan (dampak positif)
pemilihan umum Kepala Daerah dalam perspektif desentralisasi di Indonesia,
mencakup hal-hal sebagai berikut :
a.
Pilkada langsung dapat menjadi
sarana untuk memperkuat otonomi daerah, dimana otonomi daerah merupakan
kewenangan masing-masing daerah untuk mengurus daerahnya dalam bingkai NKRI
termasuk di dalamnya menentukan pemimpin sendiri yakni pemilihan Kepala Daerah.
b.
Kepala daerah yang terpilih akan
memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat, karena pertama-tama yang terjadi dengan pemilihan secara
langsung Kepala Daerah adalah akan mendekatkan elit politik dengan konstituen
atau masyarakat. Diharapkan dengan pemilihan seperti ini masyarakat akan lebih
mengenal pemimpin mereka di daerah sehingga akan memudahkan proses komunikasi
politik di daerah. Maka dengan demikian Kepala Daerah yang terpilih akan
mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat.
c.
Kepala daerah tidak perlu terikat
pada konsesi partai-partai atau fraksi-fraksi politik yang telah
mencalonkannya, karena yang memilih mereka adalah rakyat secara langsung bukan
partai politik.
d.
Mencegah konsentrasi kekuasaan di
pusat, dimana dengan adanya otonomi daerah yang kemudian dikuti dengan pilkada
langsung maka segala
urusan untuk mengatur daerah diserahkan kepada daerah yang bersangkutan untuk
mengelola serta mengatur daerah agar daerah tersebut bisa lebih sejahtera.
e.
Pemilukada sebagai wadah
pendidikan politik bagi rakyat, karena pilkada
menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan
dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya
memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
2.
Kelemahan (dampak negatif)
pemilihan umum kepala daerah dalam perspektif desentralisasi di Indonesia.
a.
Dari sisi bakal calon Kepala
Daerah, yang terjadi adalah :
-
- Money politik
- Pendahuluan start kampanye
-
Intimidasi
-
Kampanye negatif
b.
Dari sisi dana
yang dibutuhkan dalam penyelenggaraannya relatif tinggi, maksudnya adalah adalah
biaya yang dikeluarkan oleh calon Kepala Daerah baik untuk membeli suara rakyat
maupun biaya yang dikeluarkan untuk partai politik yang mengusungnya yakni
korupsi yang dilakukan pasca pemilihan Kepala Daerah yang berimplikasi terhadap
terabaikannya kepentingan publik.
c.
Dari sisi kelemahan isi
Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah, dimana yang dimaksud
disini adalah tidak jelasnya status seorang tersangka untuk mencalonkan diri
sebagai Kepala Daerah karena dalam prakteknya justru seorang tersangka
dibolehkan untuk mencalonkan diri. Dan selain itu, ada pula ketidakmampuan isi
Undang-Undang yang mengatur Pemerintahan Daerah mengenai politik uang yang
terjadi pada masa pemilihan umum Kepala Daerah.
d.
Dapat memicu konflik horizontal
antar masyarakat, dimana hampir di seluruh wilayah NKRI yang menggelar pilkada
selalu diwarnai dengan konflik yang disebabkan banyak faktor terutama dari
masyarakat itu sendiri.
e.
Dari sisi persiapan
daerah menyelenggarakan pilkada,[11]diantaranya
beratnya syarat pengajuan calon, sistem pilkada dua putaran yang dianut dapat
dijadikan sarana bagi beberapa daerah untuk mengajukan anggaran pilkada secara
besar-besaran, besarnya daerah pemilihan, dan cara pemilihan kepala daerah
dengan memilih orang menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam
menentukan pilihan kepala daerah.
f.
Dari sisi posisi jabatan Wakil
Kepala Daerah, karena
dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tidak
menyebutkan “Wakil Kepala Daerah”, tetapi justru berbunyi “Gubernur,
Bupati dan Wali Kota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi,
Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”. Sementara status seorang Wakil
Kepala Daerah hanya disebutkan dan diatur di dalam
Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yang menyebutkan bahwa “Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”.
C.
Solusi
yang ditawarkan untuk meminimalisir kelemahan pemilihan umum Kepala Daerah
dalam perspektif desentralisasi di Indonesia.
1. Pemilihan
Kepala Daerah dikembalikan dan dilakukan oleh DPRD.
Maksud penulis disini adalah pemilihan
Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD semata-mata untuk meminimalisir resiko yang
ditimbulkan pada saat pilkada langsung. Untuk ukuran demokratis, pilkada oleh
DPRD tetap dianggap demokratis meskipun itu demokrasi perwakilan. Kemudian
indikasi money politik dapat dicegah ketika pilkada oleh DPRD karena jumlah
anggota DPRD yang pasti dan terbatas sehingga sangat mudah untuk dikontrol.
Olehnya itu, karena semua yang menetukan adalah anggota DPRD juga maka moral
dan karakter individu anggota DPRD lah yang harus dimantapkan melalui sistem
kaderisasi yang didapatkannya dalam parpol dimana ia berada. Sehingga dengan demikian,
parpol dengan strategi tertentu harus mampu melahirkan kader yang berkulitas
dan mampu mengemban misi kemanusiaan rahmatan lil’alamin yang berpegang kepada
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Jika hal ini
tercapai maka maka konflik horizontal dalam masyarakat akibat pemilihan
langsung dapat dihindarkan, penggunaan anggaran untuk membiayai pemilihan akan
semakin sedikit dibandingkan pemilihan langsung oleh masyarakat, termasuk
kecurangan-kecurangan di lapangan oleh ulah calon atau kandidat maupun tim
suksesnya.
2. Efektifitas
fungsi dalam Parpol.
Yang menjadi sorotan disini adalah
fungsi dari parpol itu sendiri yakni yaitu sosialisasi politik, rekrutmen
politik, partisipasi politik, pemandu kepentingan, komunikasi politik,
pengendali konflik, dan kontrol politik.[12]
Dan salah satu fungsi partai politik yang menarik disorot terkait pelaksanaan
Pilkada langsung ini adalah rekrutmen politik karena disinilah cikal bakal
berkualitas tidaknya calon Kepala Daerah yang diajukan oleh parpol tertentu.
3. Peninjauan
kembali posisi jabatan Wakil Kepala Daerah.
Maksud
dari hal ini adalah karena tidak jarang terjadi hubungan yang tidak harmonis
antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berakibat kepada tidak
efektifnya pemerintahan di daerah yang bersangkutan. Lagi pula jika seandainya
posisi Wakil Kepala Daerah dihilangkan justru tidak menabrak UUD NRI Tahun
1945. Akan tetapi jika tetap harus ada Wakil Kepala Daerah, maka Wakil Kepala Daerah akan ditunjuk
langsung oleh Kepala Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota) dari kalangan
pejabat struktural pemerintahan. Alternatif lain bisa juga posisi Wakil
Kepala Daerah diusulkan oleh Kepala Daerah dan setelah melewati proses
rekomendasi mulai dari Gubernur hingga pusat, baru dilakukan pemilihan lewat
DPRD.[13]
Pemikiran lain yang muncul terkait dengan posisi Wakil Kepala Daerah bila tidak
dihapus adalah Wakil Kepala Daerah tidak mesti hanya satu bisa dua atau tiga,
tergantung luas wilayah dan banyaknya penduduk.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan
sebelumnya, mengenai pemilihan umum Kepala Daerah dalam perspektif
desentralisasi di Indonesia, maka kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa
perjalanan ketatanegaraan bangsa Indonesia hubungannya dengan pengisian jabatan
Kepala Daerah menagalami dinamikan yang cukup signifikan, artinya perubahan
demi perubahan bahkan pergantian Undang-Undang yang melandasi tentang
Pemrintahan Daerah terus dilakukan untuk menjawab kondisi kekinian, bahkan
mampu menjawab tantangan ke depannya. Dan hal itu tidak lepas pula dari dampak
negatif maupun positifnya sehingga kita sebagai generasi penerus paling tidak
mampu untuk merumuskan formulasi solusi yang ditawarkan agar efektifitas
pemerintahan di daerah tercapai. Dinamika itu ditandai dengan adanya penerapan
Undang-Undang dimulai dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite
Nasional Daerah (KND), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan
Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak
Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1950 untuk Negara Indonesia Timur (NIT), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemrintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
B.
Saran
Adapun yang menajdi saran-saran dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Perlu
adanya amandemen terhadap ketentuan BAB VI UUD NRI 1945 tentang Pemerintahan
Daerah khususnya Pasal 18 ayat (4), yang mengganti frasa demokratis agar tidak
menimbulkan multi tafsir (ambigu) dan atau ditambahkan dengan penegasan model
pemilihan langsung atau demokrasi langung.
2. Patut
untuk merekonstruksi atau menata kembali kelembagaan penyelenggara yang
berwenang dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pengisian jabatan Kepala
Daerah, agar tercipta atmosfir pengisian jabatan Kepala Daerah yang semakin
baik dan berkualitas baik dari sisi mekanisme maupun hasil dari penyelenggaraan
pengisian jabatan Kepala Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Agussalim Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politk
dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor.
Ahmad Nadir, 2005, Pilkada Langsung Dan Masa Depan
Demokrasi, Averroes Press, Malang.
Joko J. Prihatmoko, 2005, Pemilihan
Kepala Daerah Langsung; Filosofi, Sistem, dan Problema Penerapan di Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Koirudin, 2005, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia;
Format
Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, Averroes Press, Malang.
Surbakti Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta.
Wendy Melfa, 2013, Pemilukada (Demokrasi dan Otonomi
Daerah), BE Press, Lampung.
B. Lain-Lain
Undang-Undang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite
Nasional Daerah, UU No. 1 Tahun 1945, Pasal 3.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, Ad. 3.
Majalah
FIGUR Edisi XXII/Februari 2008.
http://effanzulfiqar.wordpress.com/2011/07/20/menyoal-posisi-wakil-kepala-daerah/
Roni Lukum, Pilkada Langsung Dan Implikasinya Terhadap
Perubahan Perilaku Masyarakat Dalam Menuju Pembangunan Demokrasi Di Indonesia. Hal. 7-8. http://kelemahanpilkadalangsung.com, diakses tanggal 5 Januari 2014.
[1] Roni Lukum, Pilkada Langsung Dan Implikasinya Terhadap
Perubahan Perilaku Masyarakat Dalam Menuju Pembangunan Demokrasi Di Indonesia. Hal. 7-8. http://kelemahanpilkadalangsung.com, diakses tanggal 5 Januari 2014.
[2] Undang-Undang Peraturan Mengenai Kedudukan
Komite Nasional Daerah, UU No. 1 Tahun 1945, Pasal 3.
[3] Agussalim Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan
Daerah Kajian Politk dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 85.
[6] Memori Penjelasan Mengenai Usul Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Ad. 3.
[8] Joko J. Prihatmoko, 2005, Pemilihan
Kepala Daerah Langsung; Filosofi, Sistem, dan Problema Penerapan di Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 61.
[9] Koirudin, 2005, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia;
Format
Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, Averroes Press, Malang,
hal 75.
[10] Ahmad Nadir, 2005, Pilkada Langsung Dan Masa Depan
Demokrasi, Averroes Press, Malang, hal. 110-111.
1 komentar:
terima kasih, semoga dapat pahala yg banyak :)
Posting Komentar