بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Selasa, 02 Juli 2013

Ali Syari'ati



Ali Syari'ati lahir sebagai anak pertama dari Muhammad Taqi dan Zahra pada 24 November 1933 di Desa Kahak, Kota Mazinan, Provinsi Sabvezar, sebelah timur laut Khurasan, Persia (Iran).  Bertepatan dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah sekolah dasar, Syerafat. ‘Ali lahir dalam keluarga terhormat. Dalam keluarga ini ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama.
Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya asyik bermain, Syari’ati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserable karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamannya di sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi keagamaan di perpustakaan ayahnya yang berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya.
Pada 1955, Syari’ati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan. Selama di universitas, sekalipun menghadapi persoalan administratif akibat pekerjaan resminya sebagai guru full-time, Syari’ati paling tinggi rangkingnya di kelas. Bakat, pengetahuan dan kesukaannya kepada sastra menjadikannya popular di kalangan mahasiswa. Di universitas, Syari’ati bertemu Puran-e Syari’at Razavi, yang kemudian menjadi istrinya. Karena prestasi akademisnya di Universitas ini, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi keluar negeri. Pada April 1959, Syari’ati pergi ke Paris sendirian. Istri dan putranya yang baru lahir, bernama Ehsan bergabung dengannya setahun kemudian.
Selama di Paris, Syari’ati berkenalan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para akademisi, filosof, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya seniman dan pemahat. Dari masing-masing mereka Syari’ati mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi kepada mereka. Di sinilah Syari’ati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual barat antara lain Louis Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lain-lain.
Namun pribadi Syari’ati yang penuh dengan semangat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan, walaupun tidak berada di Iran, ia tetap berjuang menentang rezim Iran. Antara 1962 dan 1963, waktu Syari’ati tampaknya habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistiknya. Keberanian ini dia ungkapkan sebagai berikut:

Dengan bimbingan dan pertolongan Allah-lah saya berani menerjunkan diri menghadapi berbagai fenomena, dan dengan cinta dan dukungan mukjizatlah saya bisa mengatasi hal-hal yang menyakitkan hati saya. Rahmat Allah telah menyebabkan saya memperoleh tenaga baru sesudah saya mengalami kejenuhan. Tanpa bekal keahlian apapun saya menempuh jalan yang situ saya tak akan menyia-nyiakan hidup saya barang sekejappun untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang. Semoga Allah menolong saya, sehingga saya bisa mengatasi berbagai kekurangan yang dapat saya tangkap, dan semoga pula semuanya itu tidak larut oleh kesenangan-kesenangan hidup kala umur yang pendek ini dipergunakan dalam bentuk seperti ini.

Setelah meraih gelar doktornya pada 1963, setahun kemudian Syari’ati dan keluarganya kembali ke Masyhad, Iran. Di sini ia mengajar di sekolah menengah atas. Pada 1965, dia bekerja di Pusat Penelitian Kementerian Pendidikan di Teheran. Kemudian pada 1967 Ali Syari’ati mulai mengajar di universitas Masyhad. Inilah awal kontaknya Ali Syari’ati dengan mahasiswa-mahasiswa Iran. Universitas Masyhad yang relatif tenang dan teduh, segera saja semarak. Kelas Syari’ati tak lama kemudian menjadi kelas favorit. Gaya orator Syari’ati yang memukau memikat audiens, memperkuat isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir.

Sejak Juni 1971, Syari’ati meninggalkan jabatan mengajarnya di Universitas Masyhad, lalu dikirim ke Teheran. Ia bekerja keras untuk menjadikan Hosseiniyeh Ershad menjadi sebuah ‘Universitas Islam’ radikal yang modernis. Berbagai peristiwa politik di Iran pada 1971 memainkan peranan penting dalam membentuk dan mengarahkan orientasi serta aktivitas Hosseiniyeh Ersyad yang semakin militan dan akibatnya semakin terkenal di kalangan kaum muda. Namun pada tanggal 19 November 1972 Hosseiniyeh Ersyad ditutup dan Syari’ati di penjara karena berbagai aktivitas politiknya, yang mengecam rezim Syah.

Pada 16 Mei 1977, Syari’ati meninggalkan Iran. Ia mengganti namanya menjadi ‘Ali Syari’ati. Tentara Syah, Savak akhirnya mengetahui kepergian Ali Syari’ati mereka mengontak agen mereka di luar negeri. Di London Inggeris, pada 19 Juni 1977 jenasah Ali Syari’ati terbujur di lantai tempat ia menginap.

Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang teguh memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Ali Syari’ati telah mengkuti jejak sahabat Nabi dan Imam Ali yang begitu dikagumi dan dijadikan simbol perjuangannya, Abu Dzar Al-Ghifari. 19 Juni tahun 1977, Doktor Ali Syari’ati, seorang cendekiawan Iran kontemporer, gugur di London akibat dibunuh oleh agen rahasia rezim Shah Pahlevi.

Menurut buku biografi Ali Syari'ati karangan Ali Rahnema, pemikir itu meninggal di rumah sakit Southampton akibat serangan jantung. Namun banyak orang menduga Syari'ati kemungkinan dibunuh oleh dinas rahasia Iran, SAVAK. Maklum saja, saat itu rezim Shah Reza Pahlevi sedang berkuasa dan gagasan dia dianggap antipemerintah dan antifeodalisme.

Ayah Syari'ati adalah guru. Pada 1947 dia mendirikan Pusat Penyebaran Kebenaran Islam dan akhirnya mencetuskan gerakan pengambilalihan semua kilang minyak yang dikelola pihak asing di Iran pada 1950. Tidak heran bakat pemberontakan dan pergerakan mengalir dalam darah Ali. Dia menyelesaikan pendidikan dasar hingga tinggi di Mashdad. Saat itu dia berkenalan dengan para pemuda miskin. 

Syari'ati melihat kemiskinan hebat terjadi di negerinya. Hal itu sangat mengganggu batin dan pikirannya. Bagaimana bisa negara kaya minyak tapi membiarkan rakyatnya menderita. Setelah menyelesaikan sekolah, dia masuk ke Sekolah Guru. Saat itu dia makin erat berhubungan dengan berbagai mahasiswa dari semua lapisan masyarakat. Saat mempelajari falsafah dan politik Barat mengenai kesetaraan kesempatan hal itu makin mengusik batinnya. 

Sejak itu dia mulai menulis artikel di surat kabar setempat, Khorasan. Isi tulisannya adalah tentang bagaimana mengubah pandangan masyarakat tentang prinsip-prinsip Islam dalam memecahkan masalah kemiskinan dengan menggunakan pendekatan sosiologi dan filosofi Barat.
Pada 1952, Syari'ati mulai mengajar penuh di Sekolah Menengah Umum sembari kuliah strata satu di Universitas Mashdad. Saat itu dia bertemu dengan jodohnya, Pouran Syariat Razavi. Keduanya kemudian menikah dan dikaruniai empat anak, yakni Ehsan, Susan, Sara, dan Mona.
Syari'ati tetap menyalurkan semangat pergerakan dengan membentuk Persatuan Pelajar Islam. Dia ditangkap tahun itu juga setelah melakukan unjuk rasa menentang kemiskinan. Tahun berikutnya dia mendaftar menjadi anggota Front Nasional.
Ali Syari'ati lulus kuliah pada 1955 dan dua tahun kemudian kembali ditangkap bersama 16 anggota Gerakan Perlawanan Nasional lantaran dianggap berbuat makar. Karena prestasi akademisnya di Universitas Mashdad, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi keluar negeri. Pada April 1959, Syari’ati pergi ke Universitas Sorbonne, Ibu Kota Paris, Prancis, seorang diri. Istri dan putranya yang baru lahir, Ehsan, bergabung setahun kemudian.
Selama di Paris, Syari’ati berkenalan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan mencerahkan serta mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para akademisi, filsuf, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya seniman dan pemahat. 
Dari masing-masing mereka Syari’ati mendapat pemikiran baru tentang kemapanan, kesetaraan, kejujuran. Hal itu coba dia padukan dengan nilai-nilai Islam. Saat itu pula dia berkenalan dengan banyak tokoh intelektual barat antara lain Louis Massignon, Frantz Fanon, Jacques Berque, dan lain-lain.
Semangat Ali Syari'ati dalam kegiatan politik tidak surut meski pernah ditangkap dua kali. Saat melanjutkan kuliah  dia bergabung dengan Barisan Nasional Pembebasan Aljazair pada 1959, setahun setelah dia mendapat gelar mahasiswa terbaik. Dia kembali ditangkap di Paris pada 1961 saat menghadiri aksi solidaritas terbunuhnya pemimpin Kongo, Patrice Lumumba. Dia kembali ke Iran setelah menyelesaikan studi strata tiga pada 1964. Saat itu dia kembali ke kota kelahirannya dan mengajar di almamaternya. Sewaktu tiba di bandara, dia sempat ditahan karena kegiatan politiknya saat kuliah di Prancis. Tetapi beberapa minggu kemudian dia dibebaskan.
Dalam perkuliahan, metode pembelajaran Syari'ati selalu menggugah semangat para mahasiswa lewat tema-tema kritis dan gaya orasinya. Dalam waktu singkat, peminat kelas dia meningkat pesat. Tawaran datang dari Institut Husseiniya Ershad di Teheran. Dia pun menyambut baik dan pindah mengajar.
Sama seperti di Mashdad, peminat kelas Syari'ati meningkat tajam di Husseiniya Ershad. Tetapi kegiatan dia tidak luput dari pantauan dinas rahasia Iran. Saat tahap pembelajaran dia dianggap membahayakan, dia dan beberapa mahasiswanya ditangkap. Alhasil mereka dipenjara selama 18 bulan. Lembaga pendidikan itu pun ditutup paksa. Lantaran merasa terlalu ketat diawasi sejak dibebaskan 20 Maret 1975, Ali Syari'ati memilih pergi ke Inggris dua tahun kemudian. Rupanya itu adalah perjalanan terakhir bagi dia. Tiga minggu setelah berada di negara itu, dia ditemukan tewas di apartemennya.  Di dimakamkan di Ibu Kota Damaskus, Suriah.
Hingga kini penyebab kematian Ali Syari'ati tetap menjadi tanda tanya besar. Tetapi pemikiran dia menjadi jawaban bagi para pejuang keadilan sosial yang menginginkan negeri mereka menjadi berkah bagi seluruh rakyat ketimbang dikuasai penguasa lalim.
a.      Pemikiran Ali Syari’ati (Jalan Menuju Revolusi)
Ali Syari’ati dikenal sebagai pemikir yang multi-dimensi dan, karenanya juga, multi interpretable. Tetapi para pengamat juga dapat melihat semacam pandangan dunia (weltanschauung) yang cukup konsisten dalam tulisan-tulisannya. Pandangan dunia Ali Syari’ati yang paling menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya. Dalam konteks ini Syari’ati dapat disebut pemikir politik-keagamaan (politico religio thinker).
Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Syari’ati adalah agama – dalam hal ini, Islam – dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural mapun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya – yang belum dikuasai kekuatan konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia merupakan problem akut yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar tradisi mereka. Atas dasar ini, maka banyak pengamat menyebut Syari’ati sebagai “the ideologist of revolt”.
Dalam pandangan Syari’ati, agama sebagai ideologi diartikan: “suatu keyakinan yang dililih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat”. Ideologi dibutuhkan, menurut Syari’ati, untuk mengarahkan suatu masyarakat atau bangsa dalam mencapai cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi dipilih untuk mengubah dan merombak status quo secara fundamental.
Menurut Ali Syari’ati, ada dua jenis agama dalam tahap sejarah. Pertama, agama sebagai ideologi dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi dan konversi sosial atau juga sebagai semangat kolektif suatu kelompok. Is menggambarkan kedudukan agama sebagai ideologi dengan pernyataan:
But one comes to understand Islam in the sense of an ideology in another way. Islam, as an ideology, is not a scientific specialization but is the feeling one has in regard to a school of thought as a belief ystem and not as a culture. It is the perceiving of Islam as an idea and not as a collection of sciences. It is the understanding of Islam as a human, historical and intellectual movement, not as a storehouse of cientific and technical information. And, finally, it is the view of Islam as an ideology in the minds of an intellectual and not as ancient religious sciences in the mind of a religious scholar. (Tetapi orang datang untuk memahami Islam dalam pengertian suatu ideologi di dalam pandangan yang lain. Islam, sebagai suatu ideologi, bukanlah suatu spesialisasi ilmiah tetapi adalah kepekaan seseorang yang mempunyai hubungan dengan suatu aliran pikiran lebih sebagai sistem kepercayaan dan bukan sebagai kultur. Ia memposisikan Islam sebagai suatu gagasan dan bukan sebagai suatu koleksi ilmu pengetahuan. Islam demikian mempunyai pandangan yang utuh tentang manusia, pergerakan intelektual dan sejarah, bukan sebagai suatu gudang informasi teknis dan ilmiah. Dan, pada akhirnya, Islam sebagai ideologi berada dalam pikiran kaum intelektual dan bukan sebagai ilmu pengetahuan religius masa lampau yang berada dalam pikiran ulama.)
Syari’ati menjelaskan tentang proses berubahan agama dari ideologi menjadi sebuah institusi sosial. Munculnya agama sebagai ideologi, papar Syari’ati, dimulai ketika para Nabi muncul di tengah-tengah suku-suku dan pemimpin gerakan-gerakan historis untuk membangun dan menyadarkan masyarakat. Ketika para nabi itu memproklamirkan semboyan-semboyah tertentu dalam membantu massa kemanusiaan, maka para pengikut Nabi kemudian mengelilingi nabi dan menyatakan untuk turut bersama-sama Nabi dengan sukarela. Dari sinilah, menurut Syari’ati, munculnya agama sebagai ideologi. Namun kemudian, agama itu kehilangan semangat aslinya dan mengambil bentuk agama sebagai institusi sosial.
Berangkat dari asumsi demikian, maka dapat dicari sebuah jawaban dari pertanyaan mengapa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan cepat dapat diterima oleh masyarakat Arab. Islam sebagai ideologi yang diusung oleh Muhammad membawa orde sosial baru yang disandarkan kepada prinsip keadilan dan persamaan dalam stuktur sosial masyarakat. Islam yang demikian sangat menarik masyarakat Arab yang sudah lama muak dengan bentuk aristokrasi lama yang memerintah dengan tirani, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan monopolisme. Masyarakat kala itu, mulai menemukan semboyan-semboyan ideologi sebagai obat penyembuhan dari penderitaan dan kesulitan akibat sistem tirani. Islam sebagai ideologi mampu memberikan keyakinan baru yang berbasis kepada kemauan bebas manusia untuk melepaskan diri dari jeratan sistem sosial dan politik tiranik.
Sehingga dapat dimengerti jika kemudian Syari’ati mencoba merekonstruksi “Islam Syi’ah” sebagai ideologi revolusioner. Syari’ati menyatakan dengan jelas, bahwa Islam bukanlah Islam kebudayaan yang melahirkan ulama dan mujtahîd, bukan pula Islam dalam tradisi umum, tetapi Islam dalam kerangka Abu Zar. Islam lahir secara progresif dalam upaya merespon problem-problem masyarakat dan memimpin masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita yang berharga. Dalam hal ini, Islam dipahami sebagai sebuah pandangan dunia yang komprehensif, dan diposisikan sebagai “agama pembebasan” yang concern dengan isu-isu sosial-politik seperti penindasan, diskriminasi, ketidakadilan dan sebagainya. Semangat Islam sebagai ideologi pembebasan mendorong terjadinya revolusi masyarakat Islam untuk membangun konstruksi peradaban baru yang progresif, partisipatif, tanpa penindasan dan ketidakadilan.
Dalam konteks global Syari’ati melihat ada problem besar masa depan dunia Islam, yaitu kolonialisme dan neo-kolonialisme oleh Barat. Hal ini telah mengalienasi masyarakat Muslim dari kebudayaan aslinya (turâts), karena mereka mau tidak mau harus mengikuti alur kebudayaan dan pola pikir yang telah “dipaksakan” oleh pihak kolonialis maupun neo-kolonialis. Senada dengan Syari’ati, Hasan Hanafi juga melihat bahwa kolonialisme atau westernisasi mempunyai pengaruh luas terhadap dunia Timur (Muslim), tidak hanya pada budaya dan konsepsi tentang alam, tetapi juga mengancam kemerdekaan peradaban. Bahkan, masih menurut Hanafi, juga merambah pada gaya kehidupan sehari-hari: bahasa, menifestasi kehidupan umum dan seni bangunan. Tidak hanya itu, keterbukaan ekonomi memaksa dunia Islam untuk membuka diri terhadap kapitalisme internasional, demikian juga dengan keterbukaan bahasa, maka konsekwensinya harus menerima kehadiran bahasa asing.
Syari’ati memandang saat itu kolonialisme dan westernisasi telah melanda negara Dunia Ketiga tak terkeculai Iran. Akibat yang timbul dari hal itu adalah munculnya bentuk-bentuk korporasi multi-nasional, rasisme, penindasan kelas, ketidakadilan, dan mabuk kepayang terhadap Barat (Westoxication). Ia menyatakan bahwa kolonialisme Barat dan kepincangan sosial sebagai musuh terbesar masyarakat yang harus diberantas dalam jangka panjang. Tetapi untuk jangka pendek, menurut Syari’ati, ada dua musuh yang harus segera dimusnahkan: pertama, Marxisme vulgal – menjelma terutama dalam Marxisme-Stalinisme – yang banyak digemari para intelektual dan kaum muda Iran, dan kedua, Islam konservatif sebagaimana dipahami kaum mullah yang menyembunyikan Islam revolusioner dalam jubah ketundukan kepada para penguasa.
Untuk membebaskan massa dari krisis yang membawa mereka mencapai negara yang merdeka dan berkeadilan sosial-ekonomi, Syari’ati yakin bukan melalui Liberalisme, Kapitalisme, ataupun Sosialisme, namun yang bisa mengobati penyakit ini, kata Syari’ati, hanyalah Islam. Baginya, Islam merupakan satu-satunya solusi yang akan menyelamatkan negeri Muslim dari segala bentuk tekanan dan penindasan. Hal ini sangat masuk akal jika Syari’ati menginginkan Islam sebagai penggerak revolusi. Terlebih lagi dalam konteks Iran, Islam (Syi’ah) justru dijadikan sebagai agama resmi negara. Dengan latar belakang yang demikian kondusif, Syari’ati menempuh sejumlah strategi sekaligus mengkonsolidasi masyarakat ke dalam satu paradigma: Islam adalah solusi. Beberapa strategi tersebut mengandung muatan yang sama, yakni menyakinkan masyarakat untuk memilih Islam sebagai jalan perubahan.
Pertama-tama Syari’ati berusaha melakukan ideologisasi Islam dengan menunjukkan karakteristik revolusioner Islam. Ia berupaya membuktikan bahwa Islam agama yang sangat progresif, agama yang menentang penindasan. Syari’ati sangat antusias untuk membuktikan perlunya suatu reformasi bagi pemahaman Islam yang benar, sehingga dibutuhkan figur-figur yang mampu memimpin masyarakat kepada perubahan paradigma dan mental masyarakat. Mereka itulah yang menurut Syari’ati disebut para pemikir tercerahkan (rausanfikr). Kemudian Syari’ati menunjukkan bahwa Islam merupakan akar budaya masyarakat Iran yang telah lama mendarah daging. Dengan demikian masyarakat Iran harus kembali kepada warisan budaya Islam jika menginginkan perubahan.
Untuk mengkonstruksi Islam sebagai sebuah ideologi, mula-mula Syari’ati melakukan redifinisi tentang pemahaman ideologi itu sendiri Syari’ati menjelaskan bahwa ideologi terdiri dari kata “ideo” yang berarti pemikiran, gagasan, konsep, keyakinan dan lain-lain, dan kata “logi” yang berarti logika, ilmu atau pengetahuan. Sehingga ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan cita-cita. Menurut pengertian ini seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau keyakinan tertentu. Dalam kaitan ini, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dipeluk oleh suatu kelompok tertentu, suatu kelas sosial atau suatu bangsa.
Ideologys includes both a belief and the knowing of it. It is to have a special attitude and consciousness which a person has in relation to himself, his class position, social base, national situation, world and historic destiny as well as the destiny of one’s own society which one is dependent upon… Therefore, ideology is a belief system that interprets the social, rational and class orientation of a human being as well as one’s system of values, social order, form of living, ideal individual, social situation and human life in all its various dimensions. It answers the questions: What are you like? What do you do? What must you do? What must be?
(Ideologi meliputi suatu kepercayaan dan pengetahuan tentangnya. Ideologi diperlukan agar seseorang mempunyai kesadaran dan sikap khusus dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, posisi kelasnya, dasar sosial, situasi nasional, dunia dan tujuan sejarah seperti halnya tujuan masyarakat sebagai tempat bergantung… Oleh karena itu, ideologi adalah suatu sistem kepercayaan yang menginterpretasikan kondisi sosial, rasionalitas dan orientasi kelas seseorang seperti halnya sistem nilai, orde sosial, format individu ideal, hidup manusia dan situasi sosial dalam berbagai dimensinya . Ideologi menjawab pertanyaan: Apa yang kamu sukai? Apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu harus lakukan? Harus menjadi apa?)
Syari’ati berusaha untuk membedakan antara ideologi, ilmu dan filsafat. Ilmu menurutnya merupakan pengetahuan manusia tentang alam yang kongkret. Ia merupakan penemuan manusia tentang beberapa hubungan, suatu prinsip, kualitas dan karakteristik di dalam kehidupan manusia, alam dan benda-benda lainnya. Demikian halnya dengan ilmu, dapat didefinisikan sebagai pencarian ke arah pemahaman sesuatu yang bersifat umum, belum diketahui dan tidak terjangkau ilmu. Ia mempersoalkan kemungkinan-kemungkinan ideal, kebenaran dan substansi, fenomena dan konsep-konsep yang ada dalam alam pikiran manusia. Tentu saja pemahaman Syari’ati tentang ideologi, ilmu dan filsafat berbeda dengan pandangan para penganut aliran postmodernisme dewasa ini. Jürgen Habermas, misalnya, ia menyatakan bahwa antara ideologi, ilmu, dan filsafat (bahasa Habermas: Knowledge, pengetahuan) mempunyai landasan yang sama dalam pengembanganya, yaitu kepentingan (keberpihakan). Walaupun Habermas berbeda dengan Marx yang mengatakan bahwa kepentingan itu adalah pasti kepentingan kelompok atas, Habermas lebih melihat kepentingan itu muncul dari siapa saja (manusia kelompok manapun) yang terlibat dalam pengembangkan sebuah ilmu, filsafat atau ideologi.
Di sisi yang berbeda, ideologi menuntut seorang cendekiawan untuk memihak. Bagi seorang ideolog, ideologinya adalah suatu kepentingan yang mutlak. Setiap ideologi memulai dengan tahap kritis, kritis terhadap status quo, kritis terhadap masyarakat dengan berbagai aspek kultural, ekonomi, politik dan moral yang cenderung melawan perubahan-perubahan yang diinginkan. Berbeda dengan filsafat maupun ilmu yang sama sekali tidak mempunyai komitmen seperti itu, ia hanya menggambarkan realitas seperti apa adanya dengan tidak membedakan apakah ia menolak atau menerima realitas tersebut. Inilah perbedaan yang menyolok antara ilmu, filsafat dan ideologi. Dengan kata lain, agar ideologi mampu memposisikan dirinya menjadi landasan perjuangan, maka keberpihakannya harus jelas. Pada wilayah politik, ia harus mengabdi sehingga mampu memberikan doktrin-doktrin politik. Pada kekuasaan politik ia harus bisa menyerang. Inilah sebenarnya, kata Syari’ati, makna sesungguhnya dari ideologi, yang berarti bukan konsep, landasan berfikir, filsafat, apalagi ilmu. Ideologi adalah kata lain dari keberpihakan politik, tegas Syari’ati.
Lebih lanjut Syari’ati mengatakan, baik ilmu maupun filsafat tidak pernah melahirkan revolusi dalam sejarah walaupun keduanya selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideologi-ideologi, tegas Syari’ati, yang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengoganisir pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia. Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggungjawab, keterlibatan dan komitmen. Ideologi, lanjut Syari’ati, menuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan filsafat tidak, arena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan, tanggungjawab dan keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan, revolusi, pemberontakan hanya dapat digerakkan oleh ideologi.
 Setelah mengkonstruksi gagasannya tentang ideologi, Syari’ati menegaskan tentang urgensi perubahan yang hanya dapat digerakkan oleh masyarakat yang mempunyai ideologi kokoh. Dalam kondisi keterpurukan untuk konteks Iran, Syari’ati berfikir bahwa Islam harus mampu menjadi penggerak kesadaran masyarakat. Islam perlu lebih dipahami sebagai sebuah pandangan dunia komprehensif, sebuah rencana untuk merealisasikan potensi manusia sepenuhnya, baik secara perseorangan maupun kolektif, untuk tujuan makhluq secara keseluruhan. Di sinilah letaknya bahwa Islam berfungsi sebagai ideologi pembebasan:
Ia (Islam) akan membantu dalam memutuskan bentuk perjuangan melawan kekuasaan tiranik. Ia tidak akan pernah berbaiat (sepakat) dengan kekejaman. Ia akan merancang kontinuitas sejarah berkesinambungan. Ia akan menegaskan perjuangan tak kenal henti antara pewaris Adam dan pewaris setan. Asy-syûra mengingatkan kembali akan ajaran ihwal kenyataan bahwa Islam dewasa ini adalah Islam kriminal dalam jubah “tradisi” dan bahwa Islam sejati adalah Islam yang tersembunyi dalam jubah merah kesyahidan.
Syari’ati berupaya menegaskan perbedaan Islam dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti dikemukakan Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agama-agama, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantab selama generasi demi generasi. Ia tidak harus merupakan menifestasi dari semangat ideal kemanusiaan yang sejati”. Jika Islam dirubah bentuknya dari “madzab ideologi” menjadi sekedar “pengetahuan kultural” dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana yang dikonsepsikan Durkheim, ia akan kehilangan daya dan kekuatannya untuk melakukan gerakan, komitmen, dan tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak memberi kontribusi apa pun kepada masyarakat.
Untuk mencapai tujuan menggerakkan masyarakat melalui ideologisasi Islam, Syari’ati menempuh beberapa langkah strategis. Syari’ati berupaya untuk melakukan redifinisi Islam dengan menyajikan tahapan-tahapan ideologi secara detail, berkenaan dengan cara memahami Tuhan, mengevaluasi segala sesuatu yang berhubungan dengan ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kognitif masyarakat, serta metode atau usulan-usulan praktis untuk mengubah status quo yang tidak memuaskan kehendak masyarakat.
Pada tahap pertama, Syari’ati meletakkan pandangan dunia tauhîd sebagai pandangan dasar. Pendangan ini menyatakan secara langsung bahwa kehidupan merupakan bentuk tunggal, organisme yang hidup dan sadar, memiliki kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal demikian berbeda dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam kategori yang berpasangan: dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib; substansi dan arti; rohani dan jasmani. Karena itu diskriminasi manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan lainnya tidak bisa dibiarkan, karena ia dianggap berlawanan dengan nilai-nilai Ketuhanan.
Pada tahap kedua, adalah berkenaan dengan bagaimana memahami dan mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial dan mental. Bagi Syari’ati, Islam adalah pandangan dunia yang bisa dipahami dengan mempelajari al-Qur’an sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari sejarah Islam sebagai ringkasan kemajuan yang pernah dialami dari permulaan misi Nabi sampai pada dunia kontemporer.
Dengan berpijak pada al-Qur’an, Syari’ati melihat keseluruhan sejarah sebagai sebuah konflik kekuatan-kekuatan, sementara itu manusia sendiri menjadi medan perang antara asal jasmaniahnya yang rendah dan semangat Ketuhanannya. Dialektika sejarah seperti ini sangat mudah diidentifikasi meminjam konsep dialektika sejarah Marxis, meskipun tidak secara keseluruhan. Meskipun demikian, Syari’ati mengklaim bahwa analisisnya mengenai dialektika Qabil dan Habil sebagai sebuah simbol pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran orisinil dalam konteks pemahaman Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat dalam al-Qur’an.
Pada tahap berikutnya, diperlukan suatu ikhtiar bagaimana mencari dan menerapkan jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo. Caranya ialah melengkapi masyarakat dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan, langkah-langkah praktis berdasarkan kondisi masyarakat, serta upaya menciptakan perubahan dan kemajuan dalam aksi-aksi revolusioner. Ideologi harus mengejawantah sebagai suatu amanat yang sedang dihidupkan kembali untuk membangkitkan kaum yang menderita, bodoh dan lamban, agar bangun dan menegaskan hak-hak serta identitasnya.
Keseluruhan langkah yang dikonstruksi Syari’ati pada intinya akan mengerucut pada satu tujuan, yaitu pembaharuan Islam (protestanism).
To emancipate and guide the people, to give birth to a new love, faith, and dynamism, and to shed light on people’s hearts and minds and make them aware of various elements of ignorance, superstition, cruelty and degeneration in contemporary Islamic societies, an enlightened person should start with “religion.” By that I mean our peculiar religious culture and not the one predominant today. He should begin by an Islamic Protestantism similar to that of Christianity in the Middle Ages, destroying all the degenerating factors which, in the name of Islam, have stymied and stupefied the process of thinking and the fate of the society, and giving birth to new thoughts and new movements. Unlike Christian Protestantism, which was empty-handed and had to justify its liberationist presentation of Jesus, Islamic Protestantism has various sources and elements to draw from.
(Untuk membebaskan dan membimbing rakyat, untuk menciptakan cinta dan keyakinan baru, kedinamisan, dan memberi kesadaran baru ke dalam hati dan pikiran rakyat, serta mengingatkan mereka akan berbagai bahaya yang muncul akibat unsur kebodohan, ketahayulan, kejahatan dan kebobrokan di dalam masyarakat-masyarakat Islam kini, orang tercerahkan harus mulai dengan “agama” – maksud saya kebudayaan agama dan bukan salah satu budaya yang dominan sekarang ini. Ini harus dimulai dengan semacam Protestantisme Islam (pembaharuan Islam) yang mirip dengan Protestantisme Kristen (pembaharuan Kristen) pada Abad Pertengahan, yang menghancurkan seluruh faktor perusak yang, dengan mengatasnamakan Islam, telah menghalangi dan membius proses pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan baru. Tidak seperti Protestantisme Kristen, yang tak punya apa-apa dan harus membenarkan kehadiran Yesus sebagai pembebas, maka Protestanisme Islam mempunyai banyak sumber daya dan unsur yang dapat digunakannya.
Gerakan Protestanisme Islam, menurut Syari’ati akan mengeluarkan energi yang sangat besar dan memungkinkan seorang Muslim yang tercerahkan untuk: pertama, penyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat Islam dan mengubah penyebab kebobrokan dan kemandekan menjadi kekuatan dan gerakan. Kedua, mengubah konflik antar kelas dan sosial yang ada menjadi kesadaran akan tanggung jawab sosial. Ketiga, menjembatani kesenjangan yang semakin lebar antara “pulau yang dihuni oleh orang yang tercerahkan” dengan “pantai rakyat kebanyakan” dengan menjalin hubungan kekeluargaan dan pemahaman di antara mereka, dan dengan demikian menempatkan agama – yang datang untuk membangkitkan dan melahirkan gerakan – untuk kepentingan rakyat. Keempat, mencegah agar senjata agama tidak jatuh kepada mereka yang tidak patut memilikinya dan yang tujuannya adalah memanfaatkan agama untuk tujuan-tujuan pribadi, yang dengan cara itu memperoleh energi yang diperlukan untuk menggerakkan rakyat.
Kelima, mengusahakan suatu kebangkitan kembali agama yang – dengan kembali kepada agama yang hidup, dinamis, kuat dan adil – melumpuhkan agen-agen reaksioner dalam masyarakat, sekaligus menyelamatkan rakyat dari unsur-unsur yang digunakan untuk membius mereka. Keenam, menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan yang merupakan ciri agama biasa, dan menggantinya dengan semangat pemikiran bebas (ijtihâd) yang kritis, revolusioner, dan agresif. Semua ini dapat dicapai melalui gerakan pembaharuan agama yang akan menyaring dan menyuling cadangan energi yang sangat besar di dalam masyarakat, dan akan mencerahkan zaman itu serta membangunkan generasi masa kini. Karena alasan-alasan itulah, Syari’ati berharap, agar orang yang tercerahkan dapat berhasil mencapai kesadaran diri yang progresif.
b.     Pemikiran Ali Syari’ati (Filosofi Penciptaan Manusia)
Apakah Tujuan dari Penciptaan Manusia?
Hanya sedikit individu yang tidak mempertanyakan pertanyaan ini kepada dirinya sendiri atau kepada orang lain. Setiap saat terdapat kelompok manusia yang senantiasa lahir di dunia ini, kemudian diikuti oleh kelompok-kelompok lain yang meninggal dunia. Apakah sebenarnya tujuan dari kedatangan dan kepergian ini?
Seandainya kita, manusia, tidak hidup di bumi ini, kira-kira bagian alam manakah yang akan rusak? Dan apakah masalah yang akan timbul? Apakah kita perlu untuk mengetahui; mengapa kita datang dan pergi? Dan untuk mengetahui makna dari semua ini, apakah kita punya kemampuan untuk itu? Dan beribu pertanyaan lain sebagai konsekuensi dari pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan memenuhi pikiran manusia.
Setiap kali kaum materialis mengutarakan pertanyaan semacam ini, sepertinya belum ada jawaban (yang dapat memuaskan). Karena, alam materi tidak memiliki akal dan perasaan sama sekali sehingga ia dapat memiliki sebuah tujuan. Dengan alasan inilah, mereka telah meloloskan diri dari persoalan ini dan meyakini bahwa alam penciptaan adalah nihil dan tak bertujuan. Dan betapa sangat menyedihkan apabila manusia melangsungkan hidupnya di seluruh bidang seperti pendidikan, usaha dan kerja, makanan, penyembuhan, kesehatan, olah raga, dan lain sebagainya dengan tujuan yang pasti dan dengan program yang sangat detail, akan tetapi seluruh (sistem) kehidupan (sebagai sebuah kesatuan) yang ada di alam semesta ini adalah nihil dan tidak mempunyai tujuan sama sekali.
Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang mengherankan apabila sebagian mereka setelah melakukan perenungan terhadap persoalan ini, merasa puas dengan kehidupan yang nihil dan tanpa tujuan ini, dan akhirnya mengakhiri hidupnya dengan melakukan bunuh diri.
Akan tetapi, ketika pertanyaan ini dipertanyakan oleh seorang penyembah Tuhan kepada dirinya sendiri, ia tidak akan pernah menemui jalan buntu. Karena dari satu sisi, ia tahu bahwa pencipta dunia ini adalah Mahabijaksana dan pastilah apa yang Dia ciptakan mempunyai sebuah hikmah yang luar biasa, walaupun kita tidak tahu akan hal tersebut. Dan dari sisi lain, ketika ia memperhatikan anggota-anggota tubuhnya, ia akan menemukan tujuan dan filsafat dari setiap bagiannya. Bukan hanya pada anggota-anggota badan, seperti jantung, otak, pembuluh darah, dan urat saraf saja, bahkan anggota-anggota badan lainnya, seperti kuku, bulu mata, garis-garis sidik jari, lekukan telapak tangan dan kaki, masing-masing mempunyai filsafat yang saat ini telah diketahui oleh setiap orang.
Betapa konyol jika kita meyakini kebertujuan semua anggota itu, tetapi keberadaan alam semesta (sebagai sebuah kesatuan) tidak mempunyai tujuan?
Betapa bodoh jika kita meyakini bahwa setiap bangunan di sebuah kota mempunyai tujuan dan filsafat, akan tetapi bangunan-bangunan itu (secara keseluruhan) tidak tidak memiliki tujuan sama sekali?
Apakah mungkin seorang insinyur membangun sebuah bangunan besar yang seluruh ruangan, koridor, pintu, jendela, kolam, dekor, dan lain sebagainya, masing-masing dirancangnya dengan maksud dan tujuan tertentu, tetapi seluruh bangunan itu (sebagai sebuah kesatuan) tidak mempunyai tujuan sama sekali?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang memberikan kepercayaan kepada seorang manusia mukmin bahwa penciptaan dirinya mempunyai tujuan yang sangat agung, yang untuk memahami hal tersebut, ia harus berusaha dan memanfaatkan kekuatan ilmu serta akal.
Ironisnya, para penganut Nihilisme; ketakbermaknaan penciptaan ini malah masuk ke dalam semua bidang ilmu-ilmu alam untuk menginterpretasikan beragam fenomena yang ada untuk mencari suatu tujuan, dan mereka tidak bisa duduk tenang kecuali telah mendapatkan apa yang mereka maksudkan. Bahkan, mereka pun tidak bersedia menerima kehadiran sebuah wujud berupa butiran begitu kecil yang berada dalam bagian badan manusia tanpa mempunyai sebuah aktifitas pun, dan mungkin saja mereka membutuhkan waktu bertahun-tahun di dalam laboratorium penelitian untuk menemukan filsafat dari satu wujud ini. Akan tetapi, ketika sampai pada penciptaan manusia, mereka dengan tegas mengatakan bahwa penciptaannya tidak memiliki tujuan sama sekali.
Betapa sebuah kontroversial yang sangat menakjubkan!
Bagaimanapun, iman pada hikmah Allah Swt. dari satu sisi, dan beragam filsafat yang terdapat pada setiap bagian dari wujud insan pada sisi lain akan membentuk diri kita menjadi seorang mukmin. Hal ini merupakan sebuah tujuan agung dari penciptaan manusia.
Saat ini kita harus mencoba mencari apa tujuan tersebut, dan sejauh kemampuan kita akan mencoba menyingkapnya dan setelah itu, kita akan berusaha melangkahkan kaki ke arahnya secara bertahap. Perhatian terhadap satu masalah prinsip akan mampu membentuk pelita yang menerangi jalan yang gelap ini.
Kita senantiasa mempunyai tujuan dalam setiap apa yang kita lakukan. Tujuan tersebut biasanya dalam rangka menutupi kekurangan dan kebutuhan yang kita miliki. Bahkan, apabila kita berkhidmat kepada orang lain atau menuntun tangan seseorang yang mengalami kesulitan dan memberikan jalan keluar dari kesulitan yang sedang dialaminya, atau bahkan dengan melakukan kesetiaan dan ketakwaan, semua ini pun merupakan sebuah cara untuk memenuhi kekurangan-kekurangan maknawi yang ada pada diri kita sehingga kebutuhan-kebutuhan suci kita akan menjadi tercukupi.
Dan karena kita sering membandingkan sifat dan perbuatan Ilahi dengan sifat dan perbuatan diri kita, mungkin saja akan memunculkan sebuah pertanyaan; adakah kekurangan yang dimiliki oleh Allah Swt. sehingga menciptakan kita untuk menutupi kekurangan itu? Dan apabila di dalam salah satu ayat Al-Qur’an kita menemukan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk melakukan ibadah dan penghambaan, lalu apa perlunya Dia membutuhkan penghambaan dari kita?
Cara berpikir yang demikian ini muncul lantaran komparasi sifat Khaliq dengan makhluk, dan antara yang Wajib dengan yang mungkin.
Wujud kita adalah sebuah wujud yang terbatas, maka kita harus melakukan usaha untuk menutupi kekurangan yang ada dan semua amalan kita dalam rangka memenuhi kekurangan ini. Akan tetapi, pada sebuah wujud yang tanpa batas, penjelasan ini tidaklah bisa diterima. Kita harus mencari tujuan perbuatan-Nya dari selain wujud-Nya.
Ia adalah Sang Awal dan Sumber kenikmatan. Segenap makhluk berada dalam genggaman kepedulian, perhatian dan pemeliharaan-Nya. Dia membawa mereka dari kekurangan kepada kesempurnaan. Inilah tujuan hakiki dari penghambaan (‘ubûdiyah) kita, dan inilah filsafat dari ibadah dan doa kita; dimana semua itu merupakan rangkaian pendidikan bagi kesempurnaan kita.
Dengan demikian, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk kesempurnaan wujud kita. Pada prinsipnya, penciptaan merupakan satu langkah menuju kesempurnaan yang sangat agung yang akan membuat ketiadaan menjadi sebuah wujud; dari tidak ada menjadi ada, dan dari nol menuju angka.
Dan setelah tuntasnya proses kesempurnaan yang agung ini, tahapan kesempurnaan yang lain akan dimulai dan seluruh program agama dan Ilahi akan berada dalam rute ini.
Mengapa Allah tidak Menciptakan Manusia secara sempurna dari Sejak Awal Penciptaannya?
Dasar pertanyaan muncul dari kelalaian terhadap satu hal, yaitu bahwa asas utama kesempurnaan (takamul) adalah kesempurnaan yang dicapai secara ikhtiyârî. Dengan kata lain, manusia melakukan perjalanannya berdasarkan kehendak, dan keputusannya sendiri. Apabila ia berjalan dengan dituntun atau ditarik paksa, ini bukan merupakan sebuah kebanggaan, bukan pula sebuah kesempurnaan. Apabila manusia menginfakkan satu rupiah dari kekayaannya dengan kesadaran dan kehendaknya sendiri, maka ia telah melangkahkan kakinya ke arah kesempurnaan hakiki. Sementara, apabila orang lain telah dipaksa mengeluarkan berjuta-juta dari kekayaannya untuk diinfakkan, ia tidak akan mengalami kemajuan dalam proses kesempurnaannya, hatta satu langkah sekali pun.
Oleh karena itu, berbagai ayat di dalam Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa apabila Allah swt. menghendaki keseluruhan manusia untuk beriman secara terpaksa, iman demikian ini tidak akan pernah membawa berguna bagi mereka.
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang yang berada di muka bumi ini akan beriman seluruhnya ….”
Tujuan dari Kesempurnaan Manusia
Sebagian mengatakan bahwa tujuan penciptaan adalah untuk kesempurnaan manusia. Akan tetapi, apa tujuan dari kesempurnaan ini?
Secara ringkas, jawaban atas pertanyaan ini ialah bahwa kesempurnaan merupakan tujuan akhir, atau dengan ibarat lain, kesempurnaan merupakan tujuan dari segala tujuan.
Penjelasan
Apabla kita bertanya dari seorang pelajar, “Untuk apa kamu belajar?”, pasti ia akan segera menjawab, “Karena aku ingin melanjutkan pelajaranku sampai ke perguruan tinggi.” Selanjutnya, apabila kita bertanya, “Untuk apa belajar di perguruan tinggi?”, ia akan menjawab, “Karena (misalnya) aku ingin menjadi seorang dokter, atau insinyur yang andal.” Ketika kita bertanya lagi, “Untuk apa kamu menginginkan gelar dokter atau insinyur tersebut?” Ia akan menjawab, “Supaya aku bisa melakukan aktifitas-aktvitas yang positif dan memperoleh income yang bagus”, Lalu, “Untuk apa kamu menginginkan income yang bagus itu?” Jawabannya adalah, “Untuk mendapatkan kehidupan yang senang dan terhormat.”
Akhirnya, jika kita bertanya, “Lalu, untuk apa kamu menginginkan kehidupan yang senang dan terhormat tersebut?” Di sini, kita akan melihat bahwa nada suaranya akan menjadi berubah dan menjawab, “Ya … untuk kehidupan yang senang dan terhormat itu tadi.” Tampak bagaimana ia mengulangi apa yang telah dikatakan sebelumnya.
Ini adalah dalil bahwa ia telah sampai pada jawaban terakhir. Dengan ungkapan lain, ia telah sampai pada sebuah aktifitas di mana ia tidak akan menemukan jawaban lain selain hal tersebut dan membentuk sebuah tujuan terakhir. Semua ini berkenaan dengan kehidupan materi.
Dalam kehidupan maknawi pun masalah akan muncul sebagaimana di atas. Ketika ditanyakan; untuk apakah kehadiran para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, dan kewajiban serta rangkaian pendidikan ini, kita akan mengatakan; untuk kesempurnaan manusia dan taqarrub kepada Allah Swt.
Dan apabila ditanyakan; untuk apakah kesempurnaan dan kedekatan kepada Allah Swt. itu?, kembali kita akan mengatakan; ya, untuk kedekatan kepada Allah Swt. itu sendiri. Dengan demikian, bisa diketahui bahwa tujuan ini merupakan tujuan akhir dari kesempurnaan manusia. Dengan ungkapan lain, kita menginginkan segala sesuatu yang ada untuk kesempurnaan dan kedekatan kepada Allah Swt. Akan tetapi, kedekatan kepada Allah Swt. adalah tujuan itu sendiri.
Ujian Tuhan Terhadap Manusia
Terdapat banyak pembahasan tentang masalah ujian Ilahi ini. Pertanyaan pertama yang akan muncul di dalam pikiran adalah bukankah ujian adalah agar kita mengenal seseorang atau segala sesuatu yang kabur dan mengurangi tingkat kebodohan kita? Jika demikian adanya, lalu mengapa Allah Swt. -yang ilmu-Nya telah meliputi segala sesuatu, mengetahui semua rahasia lahir dan batin, mengetahui langit dan bumi dengan ilmu-Nya yang tak terbatas- masih merasa perlu untuk menguji manusia? Apakah ada sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya sehingga untuk mengetahuinya Dia harus memberikan ujian kepada manusia?
Jawaban atas pertanyaan penting ini (dapat dipecahkan) dengan merenungkan realita bahwa ujian dan cobaan yang diberikan oleh Allah Swt. sangatlah berbeda dengan ujian-ujian yang ada pada kita. Ujian-ujian yang ada pada kita adalah —seperti yang telah dijelaskan di atas— untuk mengenal lebih banyak dan menyingkapkan kejahilan. Akan tetapi, ujian Ilahi pada dasarnya bertujuan untuk pendidikan.
Penjelasan
Di dalam Al-Qur’an, terdapat lebih dari dua puluh macam ujian yang telah dinisbahkan kepada Allah Swt. Ini merupakan satu hukum universal dan sunah yang abadi dari Allah Swt. Dia menguji manusia dengan tujuan membuat bakat-bakat yang tersimpan nampak (dan mengubah sesuatu dari wujud potensi [quwwah] menjadi aktual [fi’liyah]) dan —pada akhirnya— untuk mendidik para hamba. Sebagaimana baja harus dimasukkan ke dalam tungku pembakaran terlebih dahulu untuk menghasilkan baja yang berkualitas tinggi, demikian juga halnya dengan manusia pun harus ditempa dan dididik terlebih dahulu dengan musibah-musibah yang berat dan kesulitan yang beragam untuk menjadi insan berkualitas baja dan tahan tempa.
Pada hakikatnya, ujian dari Allah Swt. ini mirip dengan pekerjaan seorang tukang kebun yang telah mempunyai banyak pengalaman dalam menebarkan biji-biji yang berpotensi di atas tanah-tanah yang telah siap. Biji-biji ini akan memulai perkembangan dan pertumbuhannya dengan memanfaatkan sumber-sumber alami, dan secara bertahap, ia akan bertahan  melawan kesulitan dan perubahan yang ada di sekitarnya, berdiri tegak ketika berhadapan dengan topan besar, dingin yang mematikan dan panas yang membakar sehingga ia melahirkan bunga-bunga yang cantik, atau berubah menjadi pokok pohon yang rimbun dengan buah yang merumpun yang akan bisa membawanya untuk melanjutkan perjalanan hidupnya dalam menghadapi segala kesulitan.
Untuk menghasilkan seorang serdadu yang kuat dan kokoh di medan perang, para tentara dan serdadu harus dibawa ke medan-medan perang buatan, dan meninggalkan mereka di dalam keadaan yang sulit, seperti kehausan, kelaparan, dingin, panas dan kondisi-kondisi kritis, sehingga mereka menjadi serdadu yang kuat dan matang. Inilah yang dinamakan dengan rahasia dari ujian Ilahi.
Di tempat lain, Al-Qur’an menjelaskan hakikat ini: “… dan Allah [berbuat demikian] untuk menguji apa yang ada di dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang berada di dalam hatimu.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 154)
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. memberikan penjelasan yang penuh makna tentang filsafat ujian Ilahi ini dalam ungkapannya: “Dan meskipun Allah lebih mengetahui keadaan spiritual para hamba-Nya daripada mereka sendiri, akan tetapi Dia tetap memberikan ujian kepada mereka untuk menampakkan perbuatan-perrbuatan baik dari perbuatan yang buruk dan sebaliknya, dan ini merupakan tolok ukur perolehan pahala atau siksa.”
Yaitu, karakter yang berada dalam diri insan tidak bisa secara sendiri dijadikan sebagai olok ukur untuk mendapatkan pahala atau siksa. Karakter ini hanya akan bisa dijadikan tolok ukur untuk pahala atau siksa ketika telah diimplementasikan ke dalam perbuatan manusia. Allah Swt. memberi cobaan kepada para hamba-Nya supaya mereka memanifestasikan bakat dan potensi terpendam mereka dalam bentuk perbuatan, dan mengembangkannya menjadi aktual, sehingga bisa ditentukan apakah mereka berhak untuk mendapatkan pahala ataukah siksa.
Apabila tidak ada ujian dari Allah Swt., potensi ini tidak akan pernah aktual, dan wujud sebuah pohon yang berbentuk seorang manusia tidak akan pernah membuahkan perbuatan yang nyata. Inilah filsafat cobaan Ilahi dalam logika Islam.
c.      Pijakan Pemikiran Syariati
Pijakan terpenting dari pemikiran syariati adalah terletak pada cara memahami Islam. Bagi Syariati, persoalan cara atau metode menjadi sangat menentukan, karena dengan menggunakan cara atau metode kita dapat memahami Islam secara komprehensif. Salah satu cara atau metode memahami Islam adalah dengan cara melakukan perbandingan. Bagaimana mengenal Allah, dan membandingkannnya dengan sesembahan agama-agama lain. Mempelajari Al-Quran dan membandingkannya dengan kita-kitab lainnya. Mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkan beliau dengan tokoh-tokoh besar yang pernah hidup dalam sejarah. Dan terakhir, mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dengan membandingkan tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.
Bertolak dari asumsi itulah, kita dapat menelusuri pemikiran-pemikran Syariati dalam pelbagi tema, seperti; agama, filsafat, etika, sosiologi, sejarah, sastra dan biografi. Sehingga, dalam berbagai karya Syariati, kita akan menemukan, bagaimana karakter Tuhannya Musa dan Isa di perbandingkan, maupun konsep-konsep Tuhan lain, dengan Tuhannya Muhammad
Demikian juga halnya dengan pemikiran-pemikiran filsafat atau aliran-aliran pemikiran. Bagaimana Humanisme, Marxisme, Eksistensialisme diperbandingkan dengan Islam sebagai mahzab pemikiran. Dalam hal agama pun diperbandingkannya, bahkan secara internal agama Islam, maupun dalam mahzab Islam Syiah yang dianutnya, termasuk ritus-ritus keagamaan yang Syariati anggap keliru. Dan, selanjutnya bagaimana Syariati menulis tentang sosok seperti; Nabi Muhammad dan Imam Ali, Fatimah Azzahra, Imam Husain dan Abu Dzar Al-Giffari , yang tentu masih dalam kerangka perbandingan pemikiran dalam sejarah.
d.     Gerakan Revolusioner Syariati
Ali Syariati pernah berkata, “ Saya memberontak maka Saya Ada”, dan pada bagian lain ungkapaannya yang sangat terkenal, bahkan pada saat revolusi sosial Islam di Iran terjadi, dan ditulis dalam bentuk spanduk dan pamflet, “Setiap hari adalah Assyura dan setiap tempat adalah Karbala.” Meski Syariati tidak sempat menyaksikan jalannya revolusi, tetapi peranannya sebelum rvolusi tidak bisa diabaikan. Bahkan Syariati dianggap sebagai salah seorang arsitek dan ideolog Revolusi Islam Iran.
Mengapa Syariati terlibat dalam gerakan revolusioner? Karena Syariati telah mendefenisikan bahwa bila merindukan perubahan, maka dibutuhkan Raushanfikr (orang-orang yang tercerahkan). Dan rupanya, julukan raushanfikr patut pula diberikan kepada Syariati, karena sang raushanfikr adalah ; individu-individu yang sadar dan tanggungjawab utamanya adalah membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” (khud-agahi) masyarakat. Sebab hanya kesadaran diri yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bobrok menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif.
Keterlibatan Syariati dalam gerakan revolusioner, bukan hadir secara tiba-tiba. Tetapi sejak muda ia telah terlibat dalam berbagai macam gerakan revolusioner. Pada tahun 1940-an, Syariati telah bergabung dengan “Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan” dan Pusat Penyebaranm Islam” yang didirikan oleh ayahnya. Di tahun 1950-an, Syariati kemudian aktif dalam gerakan rakyat dan nasionalis untuk nasionalisasi industri minuak iran, dan selanjutnya mendirikan “Persatuan Pelajar Islam” di Masyhad. Yang akhirnya di penjara karena aktivitas politiknya.
Memasuki tahun antara 1959-1964, ketika sudah belajar di Sarbone University Perancis, Syariati aktif dalam kehidupan politik di Perancis bersama Mustafa Chamran dan Ebrahim Yazdi, mendirikan Gerakan Kebebsan Iran, di Luar Negeri. Lalu ikut dalam pembentukan Front Nasional Kedua, dan selanjutnya bergabung dengan gerakan Aljazair, yang kemudian dipenjara karena memberikan kuliah kepada mahasiswa revolusioner Kongo.
Pada tahun 1964, Syariati kembali ke Iran, kemudian ditahan di perbatasan dan selanjutnya dipenjarakan selama 6 bulan. Setelah keluar dari penjara, Syariati kemudian mendirikan Husayniah Irsyad, dan menjadikannya sebagai basis pergwrakannya. Dan pada tahun 1972, Husayniah Irsyad menghentikan aktinitasnya, dan selanjutnya Syariati pun ditahan. Kemudian, pada tahun 1975, oraginasisi-organisasi internasional, kalangan intelektual Paris dan Aljazair membanjiri Teheran dengan petisi untuk kebebsan Syariati, akhirnya dibebaskan dari penjara. Tetapi, setelah itu, hingga tahun 1977 dikenakan tahanan rumah.
Setelah dikenakan tahanan rumah, tepatnya pada bulan Mei 1977, Syariati
mampu meloloskan diri ke luar negeri. Setelah mampir di Paris, ia melanjutkan perjalanan menuju London, Inggiris, dengan maksud akan meneruskan perjalanan ke Amerika Serikat Dan sebulan kemudian, Juni 1977, Syariati meninggal secara misterius di rumah kerabatnya, dengan petunjuk-petunjuk kuat bahwa ia telah syahid di tangan Savak.
Berdasarkan harapan dan keingininan Syariati, yang sering diucapkannya, untuk dikuburkan dekat kuburan Zaenab, saudara Imam Husain --yang menyaksikan peristiwa Karbala, dan menyiarkan kesaksiannya – maka jenazahnya di bawah ke Damaskus, Syiria dan dimakamkan di sana. Dan pada tahun 1979, Syariati mendapatkan anumerta atas penerbitan kumpulan karyanya, yang hingga 1986, telah terbit 35 buah buku. Sayangnya, Syariati hanya hidup dalam waktu yang singkat, 44 tahun. Padahal masih banyak yang dibutuhkan dari pemikirannya dan gerakan-gerakan revolusionernya. Tetapi seperti kata Abdul Aziz Sachedina :  “ Tidak mudah untuk menganalisa pribadi-pribadi seperti Syariati, yang dalam pemikiran-pemikiran dan perbuatan-perbuatannya tampaknya berdimensi banyak. Adalah merupakan fenomena yang hebat dalam sejarah orang-orang besar bahwa dalam karirnya mereka meninggalkan begitu banyak yang tidak terpecahkan, sehingga orang selalu mengiginkan kiranya mereka dapat hidup sedikit lebih lama guna memecahkan teka-teki yang banyak ini.” 
Wallahu alam bissawab
e.      Polaritas Masyarakat Dalam Pemikiran Ali Syari’ati Dan Imam Khomeini
Peta politik internasional, khususnya kawasan Timur Tengah, akhir tahun 70-an mengalami pergeseran signifikan. Di tengah perang dingin antara kekuatan Amerika dengan sekutunya, NATO, via-a-vis Uni Soviet dengan Pakta Warsawa, muncul fenomena mengejutkan, yaitu tampilnya kekuatan tradisional Islam-Syi’ah Iran ke pentas politik menggulingkan pemerintahan sekuler Muhammad Reza Pahlevi (Syah Iran).
Revolusi Islam Iran (11 Februari 1979) menarik untuk dikaji. Setidaknya, ada tiga alasan mengapa Revolusi Islam Iran itu layak untuk dicermati: Pertama, fenomena Revolusi Islam Iran merupakan salah satu bentuk kontradiksi-paradoksal dari proses modernisasi di negara dunia ketiga, terutama di Iran. Kontradiksi-paradoksal dalam arti bahwa proses modernisasi yang memangkas peran agama dalam fungsi sosial-politik, ternyata, di satu sisi menyebabkan peran agama terpinggir, tetapi di sisi lain mengentalkan sentimen keagamaan para pemeluknya. Keotentikan dan identitas kaum beragama yang terancam modernisme mengkristal menjadi gerakan-gerakan sosial, politik, dan kultural yang tidak sungkan-sungkan menggunakan simbol-simbol agama sebagai basis aktivitasnya.
Kedua, pengaruh Revolusi Iran telah menerobos seluruh penjuru dunia Islam, mulai dari Maroko sampai ke Indonesia, dari Bosnia di jantung Eropa sampai ke Afrika. Oleh karena itu, dampak revolusi tersebut sangat berpotensi mengubah peta konstelasi politik regional, khususnya kawasan Timur Tengah, maupun internasional.
Ketiga, Theda Skocpol, dalam Social Revolutions in the Modern World, mengategorikan Revolusi Islam Iran sebagai salah satu revolusi sosial terbesar di samping Revolusi Prancis, Rusia dan Cina. Revolusi Islam Iran adalah akumulasi kekecewaan dan ketidakpuasan seluruh komponen bangsa Iran, bukan hanya ketidakpuasan kelompok elit mullah (religious scholars) dan intelektual.
Citra yang tertangkap secara umum ketika kita menelaah Revolusi Islam Iran adalah citra sebuah revolusi para mullah dengan instrumen ideologi religius murni. Citra tersebut mengakibatkan pemerintahan Iran pasca Revolusi Februari 1979 kerap dituding dengan istilah mullahocracy (kekuasaan kaum mullah). Namun, bila disorot secara lebih tajam dan cermat, sesungguhnya, ada pula konstruk ideologis semi-religius.
Secara simplistik, ada dua gugus ideologi yang menjadi pilar Revolusi Islam Iran, yaitu: ideologi religius tradisional Syi’ah yang diusung oleh para ulama atau mullah, dan ideologi semi-religius yang tetap berbasis atas peristilahan-peristilahan Syi’ah, tetapi dibawa oleh para intelektual berlatar pendidikan sekuler. Dalam kategori pertama bisa disebut dua nama yang paling populer, yaitu Ayatullah Ruhullah Musawi Khomeini dan Ayatullah Murtadha Muthahhari. Pada kategori kedua yang paling menonjol adalah Ali Syari’ati, Mehdi Bazargan, dan Bani Sadr. Meski punya misi-praktis yang sama, yaitu menggulingkan rezim represif Syah Iran, kedua kelompok ideologis ini kadang saling berhadap-hadapan.
Yang paling sering disinggung dalam studi-studi tentang para ideolog Revolusi Iran adalah Khomeini. Tokoh-tokoh yang lain seakan tenggelam di bawah bayang-bayang nama besarnya. Memang harus diakui, dengan berbekal kecerdasan dan kharismanya, Khomeini mampu menyatukan gerakan-gerakan revolusioner yang berbeda-beda di Iran saat itu yang menuntut penghapusan monarki. Lalu, apakah fungsi Khomeini dan Syari’ati dalam Revolusi Iran tersebut? Sebagaimana diungkap John L. Esposito, Khomeini, dalam Revolusi Islam Iran, lebih berperan sebagai pemimpin revolusi, sedangkan perumus dan penyedia ideologi revolusinya sendiri adalah Ali Syari’ati. Bahkan menurut Nikki R. Keddie, "Ali Syari’ati-lah yang telah sangat mempersiapkan (secara ideologis, MS) orang muda Iran untuk perjuangan revolusioner itu". Tulisan ini akan mencoba menelusuri basis pemikiran sosial Syari’ati tentang polaritas masyarakat dan membandingkannya dengan gagasan Imam Khomeini seraya mencari titik temu, benang merahnya.
Kutub Habil Versus Kutub Qabil
Inti filsafat sosial Syari’ati adalah polarisasi masyarakat menjadi dua kutub dialektis. Pandangan tentang polarisasi masyarakat merupakan wujud konsistensi Syari’ati dalam mempertahankan kaca mata analisis dialektika. Secara lebih spesifik, Syari’ati menyatakan, "Sosiologi pun berdasarkan dialektika." Jadi, dialektika sosiologi adalah refleksi atas masyarakat (sosiologi) yang didasarkan pada konsep dialektika.
Masyarakat, seperti telah dikemukakan di muka, memiliki super-struktur, yang di dalamnya terdapat struktur dan mekanisme ekonomi (cara produksi, relasi produksi, alat-alat dan barang). Struktur tidak ditentukan oleh mekanisme ekonomi. Struktur bersifat mandiri (independent) terhadap semua kinerja dan mekanisme ekonomi. Dalam masyarakat, terdapat dua struktur tetap, yang dalam konsep Syari’ati disebut sebagai struktur Habil dan struktur Qabil, mengambil dua sosok anak Adam.
Kutub Qabil : Kelas Penguasa
Kutub Qabil adalah kutub penguasa atau raja, pemilik (owner), dan aristokrat. Kutub Qabil merupakan pemilik kekuasaan. Ada tiga kekuasaan yang disebutkan oleh Syari’ati, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan religius. Kemudian, manifestasi ketiga kekuasaan kutub Qabil tersebut dalam pentas sejarah sosial mengambil bentuk yang berbeda-beda, tergantung tingkat perkembangan masyarakatnya.
Pada tahap-tahap perkembangan sosial yang masih primitif dan terbelakang, kutub ini memanifestasikan diri dalam bentuk pemusatan kekuasaan pada seorang individu. Individu tersebut menyerap ketiga kekuasaan (raja, pemilik dan aristokrat) pada dirinya. Ia mewakili muka Qabil. Sementara itu, dalam tahap evolusi sosial yang lebih maju, ketiga kekuasaan tersebut dipisahkan, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan religius.
Al-Quran, sebagai salah satu dasar epistemologis filsafat sosial Syari’ati, menyinggung ketiga wajah kekuasaan tersebut dengan memperkenalkan simbol-simbol khas untuk ketiga manifestasi Qabil tersebut. Ada tiga istilah yang melukiskan sifat tiga wajah kekuasaan tersebut, yaitu mala’ (yang serakah dan kejam), mutraf (yang rakus dan bermewah-mewahan), dan rahib (kependetaan). Personifikasi ketiga sifat tersebut disimbolkan dengan nama-nama tokoh. Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Fir'aun, kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun (Croesus), dan kekuasaan religius dilambangkan oleh tokoh Balaam Bauri. Ketiganya merupakan manifestasi tritunggal dari Qabil. Syari’ati menjelaskan ketiga manifestasi Qabil secara panjang lebar dalam Haji.
Di sepanjang sejarah, anak-cucu Qabil telah berperan sebagai pemimpin umat manusia. Begitu masyarakat-masyarakat manusia bertambah besar, berubah dan sistem-sistemnya menjadi lebih rumit; dan begitu timbul pembagian-pembagian, spesialisasi-spesialisasi, dan klasifikasi-klasifikasi, Qabil, sang pemimpin, mengubah wajahnya! Sementara mempertahankan kekuatan-kekuatannya di tiga buah basis, di dalam masyarakat-masyarakat modern Qabil menyembunyikan wajah aslinya di balik topeng politik, ekonomi dan agama. Qabil menciptakan tiga buah kekuatan untuk menindas: kekayaan dan kemunafikan yang melahirkan despostisme; eksploitasi; dan teknik-teknik indoktrinasi. Ketika kekuatan ini dapat dijelaskan dengan istilah-istilah monoteisme (tauhid). Fir'aun: lambang penindas; Qarun (Kroesus): lambang kapital dan kapitalisme; Balaam: lambang kemunafikan (religius).
Dalam realitas konkret, Fir'aun diwujudkan oleh orang-orang yang berkepentingan dengan politik, dan hidup di bawah despotisme, militerisme dan fasisme. Qarun diwujudkan oleh orang-orang yang berkubang dalam ekonomi pasar. Mereka memandang ekonomi sebagai dewa penentu nasib masyarakat. Sedangkan Balaam diwujudkan oleh kaum intelektual yang yakin bahwa perubahan sosial tidak mungkin tercipta tanpa melawan kebodohan, kelemahan, dan kondisi yang menyebabkan manusia menganut politeisme yang berselimutkan monoteisme.
Ketiga poros kekuasaan tersebut saling menunjang. Fir'aun merestui perampokan sistematis dan prosedural yang dilakukan Qarun. Lalu, Qarun pun mendukung kerja intelektual Balaam dengan sarana finansial kekayaannya. Fir'aun menyokong Balaam dengan jaminan politisnya. Sedangkan Balaam menyediakan basis doktrin untuk melegitimasikan rezim Fir'aun, bahwa keberadaan Fir’aun kekuasaan Tuhan. Ketiga komponen penopang kekuasaan Qabil itu disebut trinitarianisme-sosial.
Kutub Habil: Kelas yang Dikuasai
Berseberangan dengan kutub Qabil, kutub Habil adalah representasi kelas yang dikuasai, yang ditindas. Kutub Qabil merupakan penjelmaan kelas rakyat (al-nas). Syari’ati menggambarkan ketertindasan kutub Habil ini secara dramatik dalam beberapa karyanya, seperti Yea, Brother! That's the Way It Was.
Dalam buku itu Syari’ati menceritakan tentang kekagumannya pada monumen-monumen besar, seperti Piramida di Mesir. Namun, kekaguman tersebut mendadak sirna ketika ia menyadari bahwa monumen-monumen itu dibangun di atas penderitaan para budak yang dengan tenaga, keringat, bahkan nyawanya terpaksa mengikuti keinginan penguasa untuk menciptakan simbol budaya tersebut. "Aku benci dan marah! Kulihat peradaban sebagai suatu kutukan. Ia dihasilkan dari ribuan tahun penindasan dan perbudakan," tulis Syari’ati. Para budak adalah wujud nyata kelas Habil, penghuni kutub Habil.
Selanjutnya, yang menarik dari pandangan Syari’ati adalah bahwa Allah Swt —dalam konfrontasi kedua kutub masyarakat itu— memihak pada kutub rakyat (Habil). Bahkan, Syari’ati berpendapat bahwa Allah Swt, dalam al-Quran menjadi sinonim dengan al-nas. Menurutnya, kedua ungkapan tersebut kerap saling menggantikan dan semakna. Umpamanya, Syari’ati memberi contoh QS. Al-Taghabun ayat 17 yang berbunyi, "Jika kalian meminjamkan pinjaman yang baik kepada Allah". Syari’ati menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Allah adalah al-nas, manusia atau rakyat, karena Allah sama sekali tak membutuhkan pinjaman dari kita.
Masalah sinonimasi Allah dan al-nas perlu diklarifikasi karena bisa mengundang kesalahpahaman. Syari’ati menyamakan kata al-nas dengan Allah dalam wacana sosial, bukan wacana akidah seperti tata kosmos. Jelas, Syari’ati membedakan ranah (domain) diskursus. Dalam ranah teologis, Allah berbeda dengan al-nas. Namun, pada ranah sosiologis, istilah Allah dan al-nas adalah sinonim.
Lebih jauh Syari’ati memaparkan bahwa sinonimasi kata Allah dan al-nas tersebut bermakna: bila disebutkan "kekuasaan berada di tangan Allah", maka berarti kekuasaan berada di tangan rakyat bukan di tangan mereka yang mengaku dirinya sebagai wakil atau anak Tuhan, atau kerabat Tuhan atau sebagai Tuhan itu sendiri. Bila dikatakan bahwa, "hak milik adalah kepunyaan Allah", maka bermakna bahwa kapital adalah kepunyaan rakyat, bukan milik Qarun. Selanjutnya, bila dituturkan, "agama adalah kepunyaan Allah", maka itu bermaksud bahwa keseluruhan struktur dan isi agama diperuntukkan bagi rakyat banyak, bukan demi kelompok, lembaga tertentu yang memonopoli otoritas keagamaaan, seperti pendeta (clergy) atau gereja (church).
Jadi, konsep utama tentang kutub Habil adalah konsep al-nas. Kata al-nas memiliki makna yang dalam dan khas. Kekhasan tersebut diungkap Syari’ati. Menurut Syari’ati, rakyat merupakan wakil-wakil Allah (the representatives of God) sekaligus keluarga-Nya (al-nas iyalu 'Llah). Syari’ati menandaskan pula dengan adanya fakta bahwa al-Quran dibuka dengan nama Allah dan diakhiri dengan nama rakyat (al-nas). Lalu, Ka’bah, kiblat umat Muslim saat shalat, adalah rumah Allah (house of God), tapi juga sekaligus disebut sebagai rumah rakyat (house of people) dan rumah kebebasan (free house atau al-bayt al-'atiq).
Kata al-nas, meskipun berbentuk tunggal, namun bermakna jamak. Kata al-nas tidak berarti kumpulan perorangan, namun dalam pengertian masyarakat atau, lebih tepat, massa. Oleh karena itu, kata al-nas, bagi Syari’ati, memiliki konotasi unik yang mewakili konsep rakyat.
Mustadafin versus Mustakbirin
Pandangan Syari’ati di atas bertitik temu dengan pemikiran Imam Khomeini. Imam Khomeini membagi masyarakat secara dikotomis, terutama pada periode 1970-1982. Salah satu buku yang memadai untuk mengungkap pandangan Imam Khomeini tentang masyarakat tersebut adalah Khomeinism: Essays on the Islamic Republic (1993), karya Ervand Abrahamian. Dalam buku tersebut, Abrahamian membagi tiga tahap pemikiran Imam Khomeini yang terkait dengan pandangannya tentang masyarakat.
Tahap I (1943-1970): Gradasi yang Harmonis
Menurut Abrahamian, pada tahap ini Imam Khomeini memandang masyarakat sebagai sebuah hirarki yang di dalamnya terdapat lapisan dan kelompok masyarakat (qeshra), seperti ulama, santri, pegawai kantor, pedagang, buruh dan lainnya. Masing-masing kelompok tersebut saling bergantung satu dengan lainnya untuk mempertahankan diri, memiliki dan menjalankan fungsinya, serta menghormati hak-hak kelompok lainnya. Skema Imam Khomeini ini, mengikuti istilah Stanislaw Ossowski, berupa gradasi yang harmonis. Karena itu, tugas utama pemerintah adalah melindungi Islam dan memelihara keseimbangan antara strata sosial tersebut.
Bagi Imam Khomeini, strata tertinggi (qeshr-e bala) dalam masyarakat adalah ulama. Ulama bertanggung jawab untuk berteriak lantang, mengkritik pemerintah yang tidak melakukan tugas utamanya. Jadi, secara singkat, pada periode ini Imam Khomeini menggunakan metafora Aristotelian tentang tubuh manusia (human body) untuk menjelaskan masyarakat. Strata sosial yang beragam tersebut adalah bagian dari sebuah keseluruhan organik.
Tahap Kedua (1970-1982): Dikotomi Antagonistik
Pada tahap ini, Imam Khomeini mulai menggunakan konsep dan bahasa yang radikal, seperti digunakan Syari’ati. Imam Khomeini memandang masyarakat dibangun dari dua kelas antagonistik (tabaqat): penindas (mustadafin) dan yang ditindas (mustakbirin). Pada periode sebelumnya Imam Khomeini menggunakan istilah mustadafin dalam pengertian Quranik, yakni "yang lembut/penurut", "rakyat biasa", dan "yang dilemahkan". Namun, pada periode ini, Imam Khomeini menggunakan istilah mustadafin dengan makna massa tertindas yang marah, sebuah pengertian yang didapat ketika pada awal 1960-an Syari’ati dan murid-muridnya menerjemahkan The Wretched of the Earth-nya Franz Fanon sebagai Mustadafin-e Zamin.
Terminologi mustakbirin identik dengan kelas atas (tabaqeh-e bala) yang melingkupi dengan penindas, pengekspoitir, feodalis, kapitalis, para penghuni istana, koruptor, penikmat kemewahan, dan elit yang bermegah-megahan. Sedangkan mustadafin disebut juga sebagai kelas bawah (tabaqeh-e payin), yang tercakup di sana: orang-orang yang tertindas, yang diekploitir, kaum yang lemah, yang lapar, miskin, pengangguran, yang tak berpendidikan, tuna karya, dan tuna wisma.
Menurut Imam Khomeini, para penindas selalu memiliki kecenderungan pada ketidakadilan, setani dan membangun pemerintahan yang tiranik. Mereka melangggar dan melawan ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw, dan dalam konteks Iran, mendukung monarki Pahlevi dan emperialisme Amerika. Sedangkan kaum tertindas sebaliknya. Mereka berjuang untuk keadilan, pemerintahan Islam, mengikuti jejak langkah Nabi, dan bersedia mati demi revolusi Islam. Yang memimpin dan membebaskan kaum tertindas adalah ulama. Pandangan dikotomis masyarakat Imam Khomeini ini, meminjam terminonologi Ossowski, disebut dengan dikotomi antagonistik.
Tahap Ketiga (1982-1989): Trikotomi Semiharmonis
Tahap ini adalah tahap pasca revolusi. Karena itu, pandangan Imam Khomeini tentang polaritas masyarakat pun bergeser. Pada tahap ini, menurut Abrahamian, Imam Khomeini tidak memakai dikotomi antagonistiknya, namun trikotomi. Masyarakat terdiri dari tiga kelas: kelas atas (tabaqeh-e bala), kelas menengah (tabaqeh-e motavasset), dan kelas bawah (tabaqeh-e payin). Kelas atas dihuni oleh orang-orang yang secara ekonomi sejahtera dan mapan. Kelas menengah melingkupi ulama, intelektual, dan pedagang. Kelas bawah mencakup buruh, dan orang-orang yang secara ekonomi masih terjerat kemiskinan. Dalam konteks pembagian kelas ini, Imam Khomeini menekankan trikotomi semiharmonis di mana kelas menengah memiliki peran yang penting.
Menurut Imam Khomeini, kelas menengah, terutama kaum bazaris, berperan besar pada masa pra-revolusi, selama revolusi, dan pasca revolusi. Kaum bazaris berperan dalam mengkritik penguasa tiranik Pahlevi, bahkan menyumbangkan para martirnya. Dan bazaris selalu bersanding dengan kelas bawah. Hal ini dikarenakan kelas menengah memiliki kepentingan yang sama dengan kelas bawah, yakni melawan imperialisme dan kelas atas lama. Karena itu, dapat dipahami mengapa pemimpin-pemimpin pemerintahan yang baru banyak berasal dari kelas menenggah ini. Singkatnya, pada tahap ketiga ini, Imam Khomeini membagi kelas dalam masyarakat yang dapat distilahkan dengan trikotomi semiharmonis.
Keberpihakan pada Mustadafin
Dari paparan di atas, tampak bahwa Syari’ati dan Imam Khomeini memiliki kesamaan yakni penekanan pada emansipasi mustadafin. Perjuangan pembebasan mustadafin sebagai isu dan agenda penting dalam karya-karya mereka.
Deskripsi-deskripsi Syari’ati, dalam dialektika sosiologi, telah mengkutubkan kemanusiaan menjadi dua kutub, yakni kutub Habil dan kutub Qabil. Secara implisit dan eksplisit, Syari’ati menilai kedua kutub tersebut sebagai kutub positif dan kutub negatif. Kutub positif kemanusiaan selalu berada dalam keadaan tertindas, terjajah dan tak diuntungkan. Oleh karena itu, bagi Syari’ati, kutub ini perlu dibela serta diperjuangkan hak-haknya. Demikian pula dengan identifikasi Imam Khomeini dengan dikotomi antagonistik dan trikotomi semiharmonisnya.
Sesungguhnya, perjuangan pembebasan mustadafin tidak murni dari Syari’ati dan Imam Khomeini. Sejarah Syi’ah sendiri merupakan sejarah perlawanan kelompok yang termarjinalkan secara politis di Dunia Islam. Doktrin Syi’ah, konsep keadilan ('adalah) misalnya, memberikan ruang lebih untuk lahirnya semangat pembebasan mustadafin. Bahkan, tendensi keberpihakan khas Syi’ah ini semakin mengental pada pasca Revolusi Islam Iran. Robin Wright mencatat pernyataan Khomeini sebulan setelah revolusi pecah bahwa, "it is a champion of all oppressed people." Demikian pula dengan pemerintahan Iran pasca Revolusi. Pemerintahan Iran pasca revolusi memberikan simpati dan solidaritas pada perjuangan pembebasan di dunia ketiga tak terkecuali terhadap gerakan revolusioner non-Muslim seperti gerakan Kongres Nasional Afrika di Afrika Selatan atau gerakan Sandinista di Nikaragua.

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts