بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Selasa, 02 Juli 2013

Branding, Sebuah Upaya Mengikat Pikiran Publik



Menurut Webster’s (1983: 221), merek adalah :
“to mark with a stencil, as a box, cask, etc. in order to give a description of the contents or the name of the manufacturer. “We may assume for the ease of understanding that “brand” is refers to the particular name, logo, or design a manufacturer uses to identify its products.”
Merek adalah sebuah identitas yang dibuat oleh orang-orang pemasaran agar memudahkan konsumen memilih sebuah produk. Dalam konteks politik, bagaimana masyarakat memilih partai politik sebagai sebuah identitas yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya. Secara sederhana, merek biasa disebut sebagai sebuah kumpulan ekuitas sebuah produk. Pada saat kita melihat lambang BMW, dalam pikiran kita langsung terungkap “kemewahan sebuah mobil”, “prestisius” dan “lambang kesuksesan” dan akan sangat berbeda ketika lambang itu diganti dengan Toyota, Daihatsu, atau bahkan KIA. Begitu juga halnya ketika kita melihat lambang partai, adakah sesuatu terbayang dalam benak kita ?
Dengan menggunakan strategi branding, perilaku konsumen atau pemilih pada saat akan memilih sebuah produk/partai politik/politisi tidak lagi harus melalui proses panjang yang membutuhkan waktu tetapi langsung melompat ke pilihan-pilihan tertentu. Sebagai contoh, pada saat kita akan membeli pasta gigi maka kita tidak lagi dipusingkan dengan klasifikasi produk yang rumit. Kita tidak pernah berfikir akan membeli pasta gigi yang mengandung fluoride atau tidak, anti gigi berlubang atau segar sepanjang masa, tetapi menentukan sebuah merek. Karena sebetulnya dibalik merek tersebut sudah terdapat klasifikasi produk yang dibutuhkan, bahkan juga sejumlah keuntungan psikologis yang tidak jarang bersifat personal sebab hanya diri kita sendiri yang merasakannya. Kalau kita mengenakan Giorgio Armani maka kepercayaan diri akan melesat cepat tetapi apakah orang lain akan melihat kita menjadi lebih percaya diri dengan merek tersebut ?
Pertanyaannya sekarang, sudahkah itu terjadi pada merek politik ? adakah sebuah keunggulan yang langsung muncul dalam benak kita begitu melihat lambang PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, ataupun Hanura ? Biasanya yang muncul lebih sering persepsi negative daripada sebaliknya. Bagaimana dengan citra merek Dewan Perwakilan Rakyat ? setidaknya mereka telah memiliki kesadaran untuk tampil di depan kamera televisi.
Pengambilan Keputusan Konsumen
Nah, sebelum membahas lebih lanjut tentang cara membangun merek-merek politik agar bisa sehebat merek-merek komersial, marilah kita melihat proses penyusutan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh konsumen, yang diakibatkan oleh proses branding !
       
Gambar 1 : Proses Pengambilan Keputusan Konsumen Saat Membeli Produk Sebagai Komoditas

Gambar 2 : Proses Pengambilan Keputusan Konsumen Saat Membeli Produk Sebagai Merek
Kalau kita bedakan dalam dua tampilan, maka akan tergambar seperti di atas (baca gambar 1 dan gambar  2).
Pada gambar 1, konsumen melakukan proses yang panjang dalam mengambil keputusan sebelum membeli produk. Ini dimungkinkan karena konsumen belum memiliki referensi atau produk yang dibeli. Referensi yang digunakan untuk mengambil keputusan biasanya terbatas pada kualitas dan harga produk. Biasanya produk yang memiliki kualitas terbaik dengan harga yang termurah, itulah yang menjadi pilihan konsumen.
Proses pengambilan keputusan yang panjang ini kemudian diperpendek melalui proses branding (lihat gambar 2) dari 6 langkah menjadi 4 langkah. Dua langkah yang paling memakan waktu, yaitu alternatif mencari kebutuhan dan menentukan alternatif yang terbaik, dipangkas disatukan dalam alternatif memilih merek. Dengan perpendekan proses pengambilan keputusan terjadilah perubahan drastis dalam pengambilan keputusan. Saat rambut gatal karena ketombe misalnya, kita tidak pernah lagi berpikir apakah harus membuat shampo tradisional dari merang atau membeli shampo siap pakai ? Pikiran itu sudah tidak ada lagi. Begitu rambut gatal karena ketombe, pikiran kita langsung mengarah pada merek-merek shampo pembasmi ketombe, seperti Clear, Head & Shoulder, atau Rejoice Anti Ketombe.
Praktisi branding memiliki disiplin yang tinggi untuk membangun merek mereka, baik melalui aktifitas Above the line berupa iklan-iklan di media massa ataupun malalui aktifitas Below the line yang berupa promosi langsung ke lini-lini tempat konsumen malakukan aktifitas. Dampaknya memang luar biasa, karena konsumen mengganti proses berpikir “Alternatif Pemenuhan Kebutuhan” menjadi “Alternatif Pemilihan Merek”.
Nah, proses di atas jugalah yang harus dilakukan dalam pencitraan politik. Jika harapan utama dari pencitraan politik adalah vote, maka kita harus betul-betul mengetahui proses-proses yang terjadi dalam benak masyarakat ketika mengambil keputusan untuk memilih partai tertentu. Tetapi bukan berarti, setelah masyarakat memilih partai, lantas persoalan selesai. Dalam branding, saat konsumen memilih, justru disitulah kerja awal dimulai. Jadi ketika akan menggunakan branding, politisi pun harus melihat sisi yang sama. Saat masyarakat memilih mereka, itu sebetulnya bukan akhir karena justru dari situlah kerja awal membangun citra politik dimulai. Karena begitu masyarakat memilih, maka politisi harus memelihara suara mereka agar tidak mengalami kekecewaan dan kemudian lari ke merek politik lain. Ini yang agak sulit sebetulnya karena politisi lebih sering mengakhiri pencitraan politiknya justru setelah terpilih dan malah memikirkan dirinya sendiri untuk mengembalikan modal kampanye.
Dalam konsep branding, ketika seorang konsumen memilih sebuah merek, maka mereka akan bekerja lebih keras untuk menciptakan kebutuhan yang lain. Hal ini mengingat loyalitas konsumen sangat terbatas. Kata kunci branding adalah MENCIPTAKAN kebutuhan konsumen, bukan sekedar MEMENUHI kebutuhan konsumen.
Secara bertahap, pengelola merek mengubah kebutuhan-kebutuhan yang ada pada konsumen. Dulu kita menggunakan sapu tangan untuk aktifitas sehari-hari tetapi sekarang sudah menggantikannya dengan tisu, bahkan sebagian besar dari kita sudah tergantung pada tisu. Proses ini sama halnya dengan ketergantungan kita dengan tisu. Pada masa awal telepon genggam tahun 90-an, kita tidak bermasalah dengan keberadaan alat komunikasi yang berupa telepon biasa di kantor ataupun di rumah. Saat ini, bisakah kita meninggalkan rumah tanpa telpon genggam ? Dari produk yang semula tidak dibutuhkan tetapi sekarang menjelma menjadi kebutuhan utama. Itulah proses menciptakan kebutuhan.
Dalam pencitraan politik, sebaiknya proses MENCIPTAKAN kebutuhan pada publik juga harus dilakukan sehingga setiap politisi tidak pernah kehabisan amunisi ketika harus melakukan gerakan politik. Fenomena kampanye yang seragam, seperti ke pasar, terminal dan daerah-daerah kumuh, akan bisa dikembangkan secara lebih sistematis kalau kita menggunakan proses branding sehingga aka nada diferensiasi pesan yang sulit ditiru oleh politisi lain.
Mari kita kembali membaca proses pengambilan keputusan konsumen pada dua tampilan di atas. Berbeda dengan tampilan 1, ketika konsumen melihat klasifikasi produk sebelum melihat harga, maka dalam tampilan 2, konsumen langsung menetukan merek. Sebagai contoh jika kita  memiliki kebutuhan gula, maka tampilan 1, konsumen akan menetukan terlebih dahulu klasifikasi gula yang akan dibeli, warnanya, kasar halusnya bahan. Sedangkan pada tampilan 2, konsumen langsung memilih ‘Gulaku’ sebagai satu-satunya merek gula di pasaran. Bukan berarti bahwa konsumen tidak melihat klasifikasi produk ‘Gulaku’ tetapi di benak konsumen sudah tertancap persepsi bahwa merek ‘Gulaku’ mewakili klasifkasi produk yang diingikan konsumen.
Gulaku tidak membesarkan mereknya dengan berbasis komunitas tetapi karena Gulaku merupakan satu-satunya merek yang mewakili peralihan dari komoditas (tampilan 1) ke merek (tampilan 2), maka bolehlah dijadikan contoh. Proses branding yang dilakukan Gulaku sejak tahun 2002, selain melalui iklan pada jam tayang utama di televisi-televisi swasta juga menerapkan strategi in-store promotion dengan menyewa sudut-sudut strategis di Carrefour dan Super Indo. Gulaku tergolong sukses dalam proses brandingnya karena pasar yang masih sepi pemain. Penetrasi pasarnya mampu mempercepat target 2 tahunan menjadi hanya 5 bulan. Penjualan sebulan yang direncanakan hanya 4000 ton, melonjak menjadi 5000 ton. Kalau harga per kilogram Rp 5000, maka omset Gulaku mencapai Rp 25 miliar/bulan.
Dengan demikian, merek bukan sekedar mempermudah konsumen, tetapi juga memberi keuntungan pada perusahaan karena produk yang dijual tidak lagi dianggap sebagai komoditas (yang pertimbangannya hanya sekedar pada kualitas dan harga) tetapi juga sudah menjadi merek (saat produk tersebut sudah menjadi bagian dari ritme kehidupan sehari-hari). Jika hal ini dimanfaatkan dalam pencitraan politik, masyarakat tidak akan lagi melihat partai politik sebagai sebuah sosok yang menyebalkan dan merepotkan banyak orang, tetapi justru sebaliknya. Dan yang terpenting, dana partai akan menjadi lebih mudah terisi melalui dukungan-dukungan masyarakat daripada dari pengusaha yang membutuhkan balas budi materi.              
   
Sumber : Wasesa, Siih Agung. 2011. Political Branding & Public Relations. PT. Gramedia. Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts