بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Kamis, 19 Desember 2013

Bingkisan Air Mata Untuk 1928 _Ketika Para Pemuda Melupakan Sumpahnya

Bukan kami yang mengucap sumpah 85 tahun yang lalu. Tetapi kakek tua renta yang duduk di seberang sana. Maka tidak ada ikatan apa pun bagi kami. Sungguh, Kek, apa yang kakek lakukan 85 tahun silam itu tidak berarti apa-apa bagi kami. Mungkin bagi kakek, itu adalah sebuah bukti pengorbanan dan rasa cinta tanah air bagi kakek. Namun bagi kami, disaat kini dimana cinta tanah air sudah tidak lagi populer dan dianggap sebagai sebuah fanatisme sempit dan tergeser oleh tatanan masyarakat global, apa yang kakek lakukan hanya tinggal coretan kata di buku pelajaran anak-anak yang masih memakai baju putih-merah.
Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah
darah yang satu, Tanah Air Indonesia
Kek, aku ingin bertanya sesuatu. Apa itu tanah air? Kami pun tidak tahu. Sesungguhnya kami adalah warga negara Indonesia. Kami hanya manusia yang bermukim di wilayah yang kebetulan merupakan bagian dari wilayah kedaulatan NKRI. Bukan berarti kami rela menumpahkan darah demi tempat tinggal kami. Sungguh jika kami mampu, maka kami akan lebih memilih tinggal di negara-negara Eropa sana untuk agar bisa memadu kasih di bayang-bayang keindahan Eiffel, berteriak kebebasan di atas Miss Liberty, atau
tersesat di keramaian kota New York.
Hanya saja kami tidak mampu. Takdir mendamparkan kami di negeri yang masyarakatnya banyak di bawah garis kemiskinan atau tepat di garis kemiskinan tersebut. Negeri dengan ketimpangan ekonomi yang sangat besar. Dan sebuah negara besar yang bahkan tidak berkutik meski berulang kali diusik oleh tetangganya. Jadi buat apa kami menumpahkan darah untuk tanah ini? Sungguh hanya orang-orang bodoh yang rela menumpahkan darah dan berperang hanya demi apa yang mereka sebut harga diri. Heran saja di zaman globalisasi ini masih ada orang yang fanatik sempit hanya untuk apa yang mereka sebut tanah air. Kami hanyalah warga negara, kami bukan penduduk. Tidak ada kewajiban bagi kami untuk membela apa yang disebut tanah air. Bahkan kami tidak mengerti apa itu. 
Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa
yang satu, Bangsa Indonesia
Sadarlah, Kek. Jendral tersenyum itu tidak lagi berkuasa. Tidak ada lagi istilah menyatukan keragaman. Di masa sekarang ini yang sedang trend adalah upaya mempertahankan keragaman. Tidak perlulah kalian berbohong dengan berkata hanya ada satu bangsa di NKRI ini. Bahkan secara nyata tampak dari dulu bahwa negara ini didiami oleh bermacam-macam bangsa yang berbeda baik itu pribumi maupun pendatang. Secara ilmiah, tidak ada apa itu yang kalian sebut sebagai Bangsa Indonesia. Selama 32 tahun Orde Baru istilah Bangsa Indonesia hanya digunakan orang-orang Jawa dalam upayanya menjajah daerah-daerah lain. Kini lihatlah mereka mulai sadar bahwa tidak ada Bangsa Indonesia, yang ada adalah Bangsa Jawa yang memaksakan bangsa-bangsa lain di NKRI ini untuk mengikuti mereka. Jadi, Kek, kenapa kalian berbohong bahwa kalian itu sama? Kenapa kalian membuat sumpah palsu bahwa kalian itu satu? Bukankah pada kenyataannya kalian itu berbeda-beda dan itu tidak dapat dipungkiri lagi. Mungkin hanya satu kesamaan kalian pada waktu itu yaitu: sama-sama dijajah! Kenapa pula Kakek bangga mengaku bagian dari mereka? Lihatlah mereka adalah sekumpulan orang-orang yang malas bekerja dan korup. Tidak ada yang membanggakan dari mereka. Lihatlah Negara yang kaya ini hancur bukan karena orang lain, tetapi karena perilaku mereka sendiri. Lalu apa yang Kakek banggakan dengan mengaku bahwa kalian adalah satu: Bangsa Indonesia?
Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, Bahasa Indonesia
Kek, ingatkah adikku yang paling kecil kini bersekolah di Taman Kanak-Kanak? Disana dia tidak lagi diajari bahasa persatuan kalian itu. Ini era globalisasi. Maka kini Bahasa Persatuan kami adalah Bahasa Inggris. Bahasa Inggris lah yang menyatukan kami dengan negara-negara lain. Bahasa Inggris pula lah yang menunjukkan seberapa terpelajar kami di masayarakat kita ini. Maka jangan heran jika kini orang tua kami lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah yang mengajarkan BahasaPersatuan kami itu. Jangan heran pula jika kini kami lebih suka menggunakan istilah asing dalam keseharian kami. Karena bahasa persatuan kami adalah Bahasa Inggris. Cukuplah Bahasa Persatuan kalian itu dipelajari dalam sekolahsekolah konvensional kami dari umur 5 tahun hingga 18 tahun, tidak lebih. Dan jangan berharap kami akan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari kami karena itu sangat memalukan. Mana mungkin di zaman globalisasi ini kami masih menggunakan bahasa konvensional itu?? Lihatlah buku-buku kami, dapatkah Kakek temukan Bahasa Persatuan kakek? Lihatlah selebaran-selebaran kami yang dipenuhi istilah-istilah Bahasa Persatuan kami. Lihatlah forum-forum terpelajar kami yang mulai meninggalkan Bahasa Persatuan kakek karena sudah ketinggalan zaman. Kek,kenapa 85 tahun yang lalu kalian tidak bersumpah saja menjunjung tinggi Bahasa Inggris? Sekali lagi, Kek, kami sungguh tidak paham dengan kalian. Mengapa kalian membuat sumpah semacam itu 85 tahun yang lalu? Tidak tahukah kakek bahwa Sumpah dan Janji itu sangat sakral dan harus ditepati? Tapi untunglah, Kek, bukan kami yang bersumpah melainkan kalian.

Dibalik catatan
Sumpah pemuda itu sumpahnya siapa? Jika memang pemuda pada zaman itu yang bersumpah, maka tentu kini sumpah itu menjadi sumpah orang tua. Namun sumpah pemuda adalah sumpah yang melekat kepada seluruh pemuda di Indonesia tanpa mengenal zaman. Catatan ini ditulis dalam rangka memperingati hari sumpah pemuda.
Pertanyannya adalah apakah pemuda Indonesia saat ini mau bersumpah semacam ini?
Sumpah pemuda kini tidak lebih dari sekedar hiasan dinding di gedung-gedung sekolah tua. Para pemuda lupa akan sumpah yang tidak pernah mereka ucapkan tersebut. Terlepas dari itu semua sumpah pemuda berisi harapan akan Indonesia yang bersatu. Indonesia yang melupakan label-label kedaerahannya dan menyatu menjadi sebuah masyarakat yang satu. Ini merupakan suatu tantangan tersendiri, dimana Indonesia didiami oleh bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda. Terlebih lagi di zaman sekarang ini dimana keragaman semakin diperkuat. Sumpah pemuda menyadarkan kita mengapa Indonesia tidak menjadi negara serikat. Negara serikat memelihara keragaman dan menyatukan keragaman tersebut dalam suatu ikatan formal. Namun para pendahulu kita menginkan negara yang satu, negara yang meskipun terdiri dari berbagai macam bangsa namun melebur menjadi satu yaitu bangsa Indonesia, yang memiliki tanah tumpah darah yang satu, dan berbahasa satu.
Sumber : Khusni Mustaqim, Catatan Bangsa Yang Aneh.

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts