بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Minggu, 01 Desember 2013

Piagam Madinah dan Relevansinya bagi Politik Hukum Ketatanegaraan di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah suatu keniscayaan untuk menciptakan kehidupan yang lebih terkontrol dan teorganisir dengan orientasi kemaslahatan umat manusia. Negara adalah wujud kontrak sosial dan politik antara rakyat dan penguasa sebagai wakil rakyat dalam mencapai tujuan-tujuan bersama yang disepakati dan dituangkan dalam sebuah Konstitusi yang menjadi landasan berjalannya suatu organisasi negara. Penguasa dalam hal ini adalah tangan panjang dari rakyat yang diberikan kepercayaan untuk memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap rakyat. Tentunya untuk mendukung Negara menjalankan fungsinya tersebut diperlukan yang namanya hukum sekaligus untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan tersebut.
Oleh sebab itulah, dibutuhkan pembatasan-pembatasan kekuasaan yang dapat menghindarkan penguasa dari tindakan sewenang-wenang yang hanya akan merugikan rakyat. Pada dasarnya pembatasan kekuasaan diletakkan dalam sebuah Konstitusi yang menjadi landasan suatu negara. Pembatasan kekuasaan memuat tugas dan wewenang penyelenggara negara sebagai pengemban amanat dalam mencapai tujuan bersama, dan pengakuan hak-hak asasi manusia sebagai wilayah yang tidak dapat diganggu dan harus dipenuhi oleh negara. Dengan kata lain, penguasa dalam menjalankan kewajibannya dibatasi oleh batasan-batasan Kewenangan dan wilayah asasi.
Indonesia sebagai Negara hukum memiliki arti dalam penyelenggaraan negara, tindakan-tindakan penguasanya harus didasarkan hukum, dengan maksud untuk membatasi kekuasaan penguasa dan bertujuan melindungi kepentingan masyarakatnya, yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi anggota-anggota masyarakatnya dari tindakan sewenang-wenang, terlepas bahwa dalam praktek pelaksanaan hukum di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur dari luar Indonesia itu sendiri dikarenakan oleh banyaknya pula sistem yang pernah berlaku di dalamnya termasuk adanya penjajahan yang membawa hukum kolonial. Tak pelak lagi adalah hukum di dalam Indonesia itu sendiri seperti hukum agama dan hukum adat. Tentunya dengan semua unsur yang ada akan mempengaruhi bahkan menentukan model politik hukum yang ada di Indonesia saat ini guna menjamin kelangsungan hidup bagi hukum itu sendiri untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan pentingnya pelaksanaan politik hukum tersebut.
Berbicara mengenai konstitusi tentunya tidak terlepas dari sejarah Konstitusi tertua di dunia yang lahir di Madinah sebagai dasar negara Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad Saw. Konstitusi itu juga disebut sebagai Piagam Madinah yang berisi kesepakatan-kesepakatan penduduk Madinah yang heterogen dan pengakuan serta jaminan hak-hak rakyat. Oleh sebagian kalangan Piagam tersebut juga dianggap sebagai Konstitusi yang mendahului peradaban dan banyak diikuti banyak negara modern saat ini.
Olehnya itu berangkat dari ilustrasi latar belakang di atas, penulis mengangkat tema dari makalah ini mengenai Piagam Madinah dan relevansinya bagi Politik Hukum Ketatanegaraan di Indonesia.
B.  Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana korelasi atau hubungan antara Piagam Madinah dengan Politik Hukum Ketatanegaraan di Indonesia ?
   


BAB II
PEMBAHASAN
Piagam Madinah merupakan sejarah pertama dalam konstitusi Islam dalam mencapai konsensus bersama dalam masyarakat yang majemuk dan plural adalah inisiatif dan ketetapan Nabi Muhammad saw untuk mengorganisir dan mempersatukan umat manusia sebagai umat yang satu (ummat wahidah). Pada saat itu Nabi Muhammad saw melihat adanya kebutuhan penataan ulang tentang struktur masyarakat Madinah dalam membangun pola hubungan dan kerjasama sosial, politik, ekonomi dan agama. Estimasi ini tampak jelas dalam langkah Nabi saw  dalam awal-awal membangun negara Madinah. Yaitu melakukan terjun ke masyarakat untuk mengikat solidaritas yang dibangun atas ikatan ideologis dan mengubur fanatisme-fanatisme yang menjadi sejarah konflik di antara penduduk Madinah. Langkah awalnya adalah konsolidasi internal, antara kaum Muhajirin dengan kaum Ansor. Kemududian Nabi saw mengkonsolidasi seluruh komunitas di Madinah.
Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun pertama hijriyah, Nabi saw memperoleh pengakuan yang legal dan lebih luas di luar intern umat Islam. Dengan strategi dakwah yang dijalankan oleh Nabi Muhammad saw dan posisinya sebagai penengah antara beberapa suku dan kelompok di Madinah serta upaya mempersatukan mereka dalam wadah kebersamaan, Nabi saw telah mampu mengikat tali kerjasama antara kaum Yahudi, Kristen dam kaum muslim di Madinah. Ini ditandai dengan lahirnya perjanjian tertulis (Piagam Madinah) antara orang-orang muslim Muhajirin dan Ansor bersama kaum Yahudi dan sekutunya yang diprakarsai oleh Nabi Muhammad saw. Dalam perjanjian tertulis itu, Nabi saw diakui sebagai pemimpin tertinggi dan sebagai hakam (penengah) bagi penandatanganan Piagam serta siapa saja yang bergabung dengan mereka. Sehingga hubungannya dengan hal tersebut bahwa dalam kajian-kajian ilmu politik ditegaskan bahwa tugas-tugas kepala negara untuk mencapai tujuan negara antara lain membuat undang-undang dan peraturan-peraturan serta melaksanakannya, menghukum orang yang salah, meminta pertimbangan dari orang-orang yang dipandang cakap dan mengetahui hal-hal tertentu[1]
Pandangan para ahli politik Islam tidak berbeda dengan teori politik modern tentang kriteria kepala negara dan fungsinya. Menurut al Baghdadi, fungsi negara yang harus dilakukan oleh kepala negara ialah melaksanakan undang-undang dan peraturan, menegakkan hukum bagi pelanggar hukum, mengorganisir militer, dan mengelola zakat dan pajak[2]. Menurut al Mawardi, bahwa fungsi negara yang harus diwujudkan oleh kepala negara adalah menjamin hak-hak rakyat dan hukum-hukum Tuhan, menegakkan keadilan, membangun kekuatan untuk menghadapi musuh, melakukan jihad terhadap orang yang menentang Islam, memungut pajak dan zakat, meminta nasihat dan pandangan dari orang-orang terpercaya, dan kepala negara harus langsung mengatur urusan umat dan agama, dan meneliti keadaan yang sebenarnya[3].
Dalam Piagam Madinah yang hanya dihadiri oleh pemuka suku dan kaum elit dari kalangan muslim dan non muslim yang masing-masing mewakili warga dan sukunya, namun dapat dikatakan bahwa mereka telah membawa aspirasi segenap penduduk Madinah. Setiap suku yang ada di Madinah pada saat itu tercantum dalam teks Piagam[4]. Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi per­janjian masya­rakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komu­nitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
Menurut John Lock, kesepakatan yang didapat melalui perjanjian masyarakat meskipun itu individu-individu dapat dianggap sebagai tindakan seluruh warga masyarakat, dan oleh karenanya mewajibkan individu lain mentaati persetujuan tersebut. Ungkapan ini sejalan dengan teori ashabiyyaat-nya Ibnu Kholdun meskipun tidak bicara dalan kontek kontrak sosial. Perjanjian yang terjadi antara Nabi Muhammad saw dengan komunitas-komunitas penduduk Madinah membawa mereka kepada kehidupan sosial yang teratur dan terorganisir, atau dari keadaan zaman pra-negara yang disebut alamiah (state of nature/status naturalis) ke zaman bernegara di bawah kepemimpinan Nabi saw.
Di dalam piagam itu, Menurut Muhammad Jalaluddin Surur, terdapat peraturan bagi segenap warga negara dan memuat hak dan kewajiban (tugas) semua pihak sebagai syarat-syarat yang mengakui keberadaan mereka. Muhammad al Ghazali memandang perjanjian itu bernilai strategis bagi Nabi saw untuk mengembangkan risalahnya dalam menata hubungan manusia muslim dengan Tuhan dan hubungan sesama umat Islam di satu sisi serta hubungan umat Islam dengan non muslim di sisi lain. Dalam pada itu, kaum Yahudi dan penyembah berhala tetap dalam agama dan keyaknan mereka, dan mereka boleh tetap tinggal di tengah-tengah masyarakat Madinah[5].
Dalam Piagam Madinah tulis Muhammad Khalid, terdapat ketetapan mengenai dasar-dasar negara Islam yang bekerja untuk mengatur suatu umat dan membentuk suatu masyarakat serta menegakkan suatu pemerintahan[6]. Karena itu, menurut Gibb, undang-undang legislatif Islam yang pertama itu telah meletakkan dasar-dasar sosio-politik untuk mempersatukan penduduk Madinah, dan teks itu hasil dari inisiatif Nabi Muhammad saw, bukan dari wahyu[7].
Realitas sejarah dan komentar para pakar tentang piagam Madinah menunjukkan bahwa Piagam Madinah adalah sebuah konstitusi pertama dalam Islam yang sangat penting dan memiliki nilai dan posisi strategis dalam mengantarkan misi Nabi saw untuk mempersatukan penduduk Madinah yang heterogen dan multi dimensi dalam ikatan persaudaraan kebersamaan dalam satu negera.
Dalam proses sejarah terbentuknya hukum nasional Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu elemen pendukung selain hukum adat dan hukum Barat. Hukum Islam telah turut serta memberikan kontribusi norma-norma dan nilai-nilai hukum yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen. Meskipun perlu disadari pula bahwa mayoritas kuantitas penduduk muslim di suatu negara tidak selalu dapat diasumsikan berarti juga “mayoritas” dalam politik dan kesadaran melaksanakan hukum (Islam).
Menurut teori hukum Islam (Ushul Fiqh), hukum Islam terbentuk atas 4 (empat) landasan yaitu Al Qur’an dan Sunnah (landasan materiil), Ijma’ (landasan formal), dan Qiyas (aktivitas penyimpulan analogi yang efisien). Dalam lingkungan masyarakat Islam sendiri berlaku 3 (tiga) kategori hukum, yaitu:
1.    Hukum Syariat (terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits) yang berkaitan dengan perbuatan subyek hukum, berupa melakukan suatu perbuatan memilih atau menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang;
2.    Fiqh (Ilmu atau hasil pemahaman para ulama mujtahid) tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci;
3.    Siyasah Syar’iah (kewenangan Pemerintah/peraturan perundang-undangan) untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu.
Adapun mengenai Piagam Madinah, seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak lama setelah Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah, beliau membuat suatu piagam politik yang merupakan salah satu strategi umat Islam untuk membina kesatuan hidup di antara berbagai golongan warga Madinah. Dalam piagam tersebut dirumuskan aturan-aturan mengenai kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan hidup, dan sebagainya. Betapa tinggi nilai substansi Piagam Madinah tersebut hingga Almarhum Prof. Nurcholis Madjid menyatakan:
 “...bunyi naskah konstitusi (Piagam Madinah) itu sangat menarik. Piagam tersebut memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia”. 
Dalam kaitan antara Piagam Madinah dengan kehidupan politik di Indonesia, tepatnya pada awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, maka umat Islam di Indonesia pada masa itu juga membentuk kesatuan hidup bersama dengan pemeluk agama lain berdasarkan UUD 1945. Alamsyah Ratu Perwira Negara (Mantan Menteri Agama RI) berpendapat bahwa penerimaan umat Islam terhadap Pancasila menurut rumusannya yang kompromistis sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang terdapat dalam Alinea IV UUD 1945, merupakan “hadiah” umat Islam bagi persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Kedua konstitusi tersebut (Piagam Madinah dan UUD 1945) memiliki banyak kesamaan dalam hal pokok-pokok pemikiran, antara lain bahwa konstitusi merupakan bagian yang sangat penting dalam hidup bermasayarakat dan bernegara, dan juga berdasarkan perbandingan tersebut maka diperoleh kesimpulan bahwa yang paling penting dan harus selalu dipelihara dalam suatu konstitusi suatu masyarakat dan negara adalah sifat Islami, bukan label Islam.
Selain itu Tata hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan dan arahan politik hukum terhadap pembangunan bidang agama (hukum agama) dengan jelas. Menurut Prof. Mochtar Kusumatmadja, sila KeTuhanan Yang Maha Esa pada hakekatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Pasal 29 UUD 1945 menegaskan tentang jaminan yang sebaik-baiknya dari Pemerintah dan para penyelenggara negara kepada setiap penduduk agar mereka dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi agama termasuk hukum-hukumnya, melindungi dan melayani keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut.
Tak pelak lagi, berkaitan dengan kontribusi hukum Islam dalam hukum nasional di Indonesia maka terdapat 3 (tiga) pola legislasi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:
1.    Hukum Islam berlaku untuk setiap warganegara dengan beberapa pengecualian. Pola ini dikenal sebagai pola unifikasi dengan diferensiasi (contoh: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan),
2.    Hukum Islam diundangkan dan hanya berlaku bagi umat Islam (contoh: Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh), dan
3.    Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku untuk setiap warganegara (contoh: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1990 Tentang Kesehatan).
Pada masa Nabi saw telah terbentuk sebuah Negara Madinah. Sebab unsur-unsur definisi sebua negara telah terpenuhi; yaitu population, territory and a government. Menurut Mac Iver, Negara adalah The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive the universal external conditions of social order[8].
Konsitusi Madinah telah tercermin dalam konstitusi Indonesia. Bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berideologi Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar struktur Negara. Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bab XI UUD 1945 menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Ketentuan UUD 1945 tersebut bertentangan dengan arah sekularisasi dan teokrasi homogen. Demokrasi menurut UUD adalah demokrasi Pancasila. Setiap sila dari lima sila, termasuk Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, Negara tidak memisahkan antara urusan agama dengan Negara. Urusan agama menjadi urusan resmin Negara seperti telah dibentuk Kementerian Agama. Maka demokrasi pun tidak lepas dari nilai-nilai agama, tetapi juga buka Negara agama.
Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencakup tanggung jawab bersama dari semua golongan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk secara terus menerus dan bersama-sama meletakkan landasan moral, etik dan spiritual yang kokoh bagi pembangunan nasional sebagai pengamalam pancasila[9].

  
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Secara historis hukum Islam dengan segenap pola legislasinya telah teruji, baik eksistensinya maupun efektivitasnya, dalam turut serta menjamin kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Piagam Madinah dimana kaidah-kaidah (hukum) Islam dapat menjamin kelangsungan penyelenggaraan negara secara adil dan sejahtera. Untuk mengimplementasikan semua itu tidak harus misalnya dengan menerapkan aturan-aturan pidana Islam di Indonesia ataupun bahkan dengan mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Islam, namun yang terpenting bahwa hukum Islam harus dapat menjiwai dan menjadi pondasi utama bagi struktur hukum nasional. Oleh karena itu, hukum Islam tidak hanya dapat hidup berdampingan dengan hukum nasional, namun hukum Islam juga dapat berperan sebagai pondasi utama dan melengkapi kekurangan-kekurangan hukum nasional. Piagam Madinah dengan Konstitusi Indonesia. Keduanya mengandung konsep kesamaan adanya ikatan agama dengan negara. Bedanya, ikatan agama Islam dengan Negara Madinah sangat erat sekali, karena agama Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw. yang bertindak sebagai kepala negara. Ikatan Islam dengan Negara Madinah tampak jelas dalam hal menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan dan hubungan agama dengan Negara. Berbeda dengan negara Indonesia yang secara rinci dan eksplisit mengatur antara hubungan negara dengan agama.
B.  Saran
Dalam menelaah Piagam Madinah mengenai agama dan hubungannya dengan konstitusi sebuah negara yang masyarakatnya plural, selayaknya kita dapat menemukan bahwa otoritas negara terhadap keagamaan masyarakat sebatas menjamin keberlangsungan, kebebasan untuk memilih dan memeluk agama, mengatur militer serta terpeliharanya perdamaian dalam kehidupan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Al Mawardi, al Ahkan al Sulthoniyah, (Bairut: Dar al Fikr, t. th.)
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1988, Bab IV Pola Umum Peita kelima, Angka 5a
G.S. Diponolo, 1975, Ilmu Negara, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta.
H.A.R. Gibb, 1949, Muhammadanism, A Historical Survey, University press, London.
Muhammad al Ghazali, 1953, Fiqh Al Sirah, al Qahirah.
Muhammad Khalid, Khatamun Nabiyyiin.
Muhammad Zafrullah Khan, 1980, dikutip oleh  J Suyutu Pulungan (Muhammad seal of of the prophet), London.
R.M. Mac Iver, The Modern State, Oxford University Press, London.



[1]  G.S. Diponolo, Ilmu Negara, (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), Jilid I
[2] Muhammad Zafrullah Khan, Muhammad seal of of the prophet, (London, 1980 M.), h. 88 dikutip oleh  J Suyutu Pulungan
[3] Al Mawardi, al Ahkan al Sulthoniyah, (Bairut: Dar al Fikr, t. th.)
[4] J. Suyuthi Pulungan, Loc. Cit.,  h. 71
[5] Muhammad al Ghazali, Fiqh Al Sirah, (al Qahirah, 1953)
[6]  Muhammad Khalid, Khatamun Nabiyyiin
[7] H.A.R. Gibb, Muhammadanism, A Historical Survey, (London: University press, 1949)
[8] R.M. Mac Iver, The Modern State, London: Oxford University Press
[9] Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1988, Bab IV Pola Umum Peita kelima, Angka 5a

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts