BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara sederhana, demokrasi bisa
didefinisikan sebagai kekuasaan di tangan rakyat, atau kekuasaan oleh rakyat. Selain
itu, demokrasi mempunyai dua aspek, yaitu aspek prosedural dan aspek
substantif. Demokrasi dalam aspek prosedural mencoba menjawab masalah tentang
bagaimana rakyat bisa ikut memerintah dan mengawasi pemerintah, seperti memilih
pemimpin nasional dan wakil-wakil rakyat dalam pemilihan umum, proses
pengambilan keputusan dalam kebijakan publik, mekanisme pengawasan efektif
terhadap pemerintah, parlemen, yudikatif dan sebagainya. Demokrasi dalam aspek
substantif menyentuh masalah apa saja yang bisa diatur oleh pemerintah.
Bolehkah pemerintah melakukan intervensi dalam urusan agama, sejauh mana
kebebasan berserikat dan kebebasan menyatakan pendapat bisa dijalankan
penduduk, sejauh mana pemerintah ikut campur dalam urusan pernikahan antar
warganya dan lain sebagainya. Para penganut teori substantif demokrasi,
umumnya, bersepakat bahwa pemerintah harus menjamin hak-hak dasar warganegara,
perlu mendapat jaminan dari pemerintah. Dalam konteks demokrasi di
negara-negara Barat, yang sangat ditekankan adalah perlindungan terhadap civil
liberties dan civil rights. Termasuk dalam kategori civil
liberties, misalnya, kebebasan beragama dan kebebasan menyatakan pendapat
secara terbuka, termasuk juga kebebasan pers.
Dalam hal ini kebebasan pers mendapatkan
perhatian untuk dijamin kebebasannya termasuk di Indonesia dari masa ke masa. Sejak merdeka tahun 1945, Indonesia
sudah beberapa kali mengalami pergantian sistem pemerintahan. Tahun 1945 sampai
1965 dikenal dengan nama sistem pemerintahan Orde Lama, yang mana merupakan era
presiden Soekarno. Setelah presiden Soekarno tumbang, tampung kekuasaan
diserahkan kepada jenderal Soeharto yang akhirnya melahirkan sistem
pemerintahan Orde Baru. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 sampai tahun
1998. Dikarenakan sudah terlalu lama menjabat dan merajalelanya KKN, presiden
Soeharto digulingkan oleh rakyat Indonesia yang akhirnya melahirkan zaman baru
bagi Indonesia, reformasi. Reformasi berlangsung dari tahun 1998 sampai
sekarang. Disinilah cikal bakal munculnya kebebasan dalam hal berpendapat
termasuk semakin diusungnya kebebasan akan pers.
Perkembangan
dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan dan pertumbuhan sistem politik dinegara ini. Bahkan sistem pers di
Indonesia merupakan sub sistem dari sistem politik yang ada. Di negara dimana
sistem persnya mengikuti sistem politik yang ada maka pers cenderung bersikap
dan bertindak sebagai “balancer”
(penyeimbang) antara kekuatan yang ada.
Sebagaimana
yang diketahui bahwa pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan
demokrasi dan sarana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat
maupun dari masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan
menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi
masyarakat sehingga demokrasi dapat terlaksana. Sebagai lembaga sosial, pers
adalah sebuah wadah bagi proses input dalam sistem politik. Diantara tugasnya
pers berkewajiban membentuk kesamaan kepentingan antara masyarakat dan negara
sehingga wajar sekali apabila pers berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan kepentingan pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan
keterbukaan pers untuk secara baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap
sasaran yang manapun sejauh hal itu benar-benar berkaitan dengan proses input.[1]
Seiring dengan perkembangan peradaban, situasi
kebebasan pers di Indonesia saat ini, bedanya seperti langit dan bumi jika
dibandingkan dengan situasi pada era Orde Baru.[2].
Dulu, ketika Tommy Soeharto mengalami kecelakaan di sirkuit Sentul (waktu
latihan), pers tidak boleh mempublikasikannya karena berita seperti itu
dikhawatirkan dapat menjelekkan martabat keluarga Kepala Negara. Pembajakan
pesawat Garuda Wyola (1981) saja dilarang disiarkan oleh pers. Belakangan pers
diziinkan menyiarkan, tapi harus bersumber dari pemerintah. Sebuah pos polisi
di Cicendo, Jawa Barat, suatu hari diserang dan diobrak-abrik oleh sekelompok
“orang bersenjata”. Sementara pers mencium berita ini, tapi segera diancam oleh
aparat keamanan untuk tidak mempublikasikannya. Berita semacam ini, pada masa
Orde Baru, amatlah sensitif, karena menyangkut persoalan “stabilitas nasional”.
Jangankan bisnis anak-anak Pak Harto, bisnis petinggi pemerintah pun ketika itu
untouchable oleh pers. Selain itu, pers yang bandel dan tidak
mengindahkan “imbauan” pemerintah untuk tidak menyiarkan satu berita terancam
breidel.[3]
Berbeda dengan era reformasi, kebebasan pers semakin diakui dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999
tentang Pers Pasal 2 yang menandaskan
bahwa ”Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. Dengan
klausul ini, jelas sekali bahwa pers memposisikan dirinya sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat, atau “kepanjangan tangan rakyat”. Karena negara ini milik
rakyat, maka pers perlu diberikan kebebasan seluasnya untuk melaksanakan amanat
rakyat tadi.
Pada era reformasi ini, tidak ada obyek,
apakah itu perorangan, instansi pemerintah, pejabat Negara atau Presiden sekali
pun, yang tidak bisa disentuh dan dikecam oleh pers. Bahkan kejatuhan Presiden
Abdurrahman Wahid pun diyakini, sebagian adalah berkat kerja pers. Betapa
banyak kasus KKN yang dibongkar oleh pers, baik yang dilakukan pejabat
eksekutif, apalagi anggota legislatif. Betapa banyak perilaku buruk wakil
rakyat yang ditelanjangi pers. Ketika konflik etnis di Sampit pecah, pers
mengeksposnya habis-habisan. Sebuah penerbitan pers daerah pernah
mempublikasikan foto kepala seorang korban yang sudah lepas dari badannya
tatkala banyak santri NU yang dibunuh oleh “ninja-ninja” misterius. Kasus
dugaan korupsi Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh, sudah
marak diungkap pers jauh sebelum aparat hukum melakukan penyidikan. Pada era
reformasi tiga “tembok pers” berhasil dirobohkan, kini tidak ada lagi lembaga
izin terbit, sensor dan breidel. Bahkan instansi pemerintah yang mengurus
ketiga “tembok pers” ini, yaitu Departemen Penerangan R.I sudah lenyap
dibubarkan oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid. Kini siapa pun, termasuk
Presiden R.I tidak bisa menutup sebuah penerbitan pers. Pelaksanaan kebebasan
pers Indonesia dewasa ini mirip dengan kebebasan pers era tahun 1950-1959 yang
dikenal dengan sebutan era demokrasi liberal yang bercorak libertarian.[4]
Dari fenomena-fenomena tentang
perjalanan kebebasan pers dari masa ke masa di Indonesia yang telah dijelaskan
di atas, memberikan kesan kepada khalayak publik tentang perbedaan pemberian
kebebasan pers di era Orde Baru dan era reformasi, yang pada gilirannya kita
mempunyai pandangan tentang efektifitas maupun batasan-batasan kebebasan pers itu
sendiri sehingga menimbulkan opini publik tentang baik buruknya pers dalam
mengawal perjalanan demokrasi di Indoensia. Olehnya itu berangkat dari
ilustrasi latar belakang di atas, kami tertarik untuk menulis makalah yang
berjudul Kebebasan Pers era Orde Baru dan era Reformasi.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
yang menjadi rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
:
1. Bagaimana
kebebasan Pers di era Orde Baru ?
2. Bagaimana
kebebasan Pers di era Reformasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kebebasan
Pers di era Orde Baru
Tidak
bisa dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara.
Tanpa pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke
pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang
tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha[5]
mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya
adalah kaum intelektual atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji
konsep-konsep yang diterapkan pada setiap kebijakan.
Diawal kekuasaannya, rezim
pemerintahan Orde Baru menghadapi Indonesia yang traumatis. Suatu kondisi
dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta psikologis rakyat yang
baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat ketika itu kemudian
dijadikan formula Orde Baru, yakni pemulihan atau normalisasi secepatnya harus
dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian berlarut-larut dalam ketidakpastian
dan pembangunan nasional akan semakin tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan
untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh sektor dilibatkan serta seluruh segmen
masyarakat dikerahkan demi mensukseskan pembangunan nasional tersebut.
Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi pembangunannya yakni stabilitas,
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai kata kunci yang saling berkait erat
serta sebagai bagian doktrin negara.[6]
Oleh karena pemerintah menitikberatkan
pembaruan pada pembangunan nasional, maka sektor demokrasi akhirnya
terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan oleh karena sepeninggalan Orde
Lama tidak satupun kekuatan non negara yang bisa dijadikan acuan dan
preferensi, serta seluruh yang tersisa mengidap kerentanan fungsi termasuk yang
melanda pers nasional. Deskripsi-deskripsi yang sering kali ditulis oleh para
pemerhati pers menyatakan bahwa kehidupan pers di awal-awal Orde Baru adalah
sarat dengan muatan berbagai kepentingan, ketiadaan pers yang bebas, kehidupan
pers yang ditekan dari segala penjuru untuk dikuasai negara, wartawan bisa
dibeli serta pers yang bisa dibredel sewaktu-waktu.
Sehingga dapat digambarkan bahwa pada
masa Orde Baru atau juga dikatakan pada era pembangunan, mungkin nasib pers
terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya harus
mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan
kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa
perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI
dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan rezim Orde Baru di
tanah air pada masa itu.
Hal tersebut terlihat ketika
terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring
bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang sempat dibredel oleh pemerintah,
PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau
menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru
mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara
nyaring terhadap pemerintah.
Bagaimana tidak bahwa pada dasarnya
bagi suatu pemerintahan diktator, kebenaran merupakan bahaya baginya, sebab
kebenaran akan membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita yang
berasal dari foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki daya
yang sangat kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokratis atau
suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah
melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi
ketidakadilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi.
Banyak pers yang khawatir bahwa
keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak mengikuti sistem yang berlaku.
Oleh karena itu guna mempertahankan keberadaannya, pers tidak jarang memilih
jalan tengah. Cara inilah yang sering mendorong pers itu terpaksa harus
bersikap mendua terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam
kaitan ini pulalah banyak pers di negara berkembang yang pada umumnya termasuk
di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai
acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri.
Disamping itu, bentuk lain dari kekuasaan
negara atas pers di tanah air pada era Orde Baru adalah munculnya SIUPP yakni
Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal
pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan
menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi
pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal
dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator
bagi perubahan politik atau pun sosial. Sementara pada masa Orde Baru, fungsi
katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh
Abar[7]
bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan
politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru
mendorong resistensi dan represi negara. Hal ini merupakan suatu hal yang
sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya
terhadap lembaga pers.
Akan tetapi, sesungguhnya pada masa Orde
Baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai
Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen
yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers
dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat Undang-Undang,
dewan pers meiliki 7 fungsi yaitu :
a.
Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain,
bisa pemerintah dan juga masyarakat
b.
Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
c.
Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik
d.
Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian
pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
e.
Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan
pemerintah.
f.
Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di
bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan
g.
Mendata persuahaan pers
Namun
sangat disayangkan bahwa dewan pers masa Orde Baru tidak melaksanakan fungsinya
dengan efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama
jurnalis. Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994.
Banyak anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun
dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa
dilakukan dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya
dengan melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde
baru hanya sebatas formalitas.[8]
B.
Kebebasan Pers di era Reformasi
Pada runtuhnya rezim orde baru
menghasilkan berbagi kelokan sejarah (ephipahy)
politik yang cukup dramatis. Hampir seluruh tatanan poltik mengalami perubahan
yang cukup mendasar. Undang-Undang politik, kehidupan berdemokrasi, dan
produk-produk hukum mengalami perubahan yang sulit diramalkan keajegannya.[9]
Produk hukum pada era reformasi
tentang pers ini dapat dikatakan sebagai sapu jagatnya kemerdekaan pers
Indonesia, setelah sekian lama didera pembelengguan oleh rezim Orde Baru.
Dikatakan sebagai sapu jagat karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menghapus
semua ketentuan represif yang pernah berlaku pada era Orde Baru, seperti:
a. Pasal 9 ayat (2) Uundang-Undang Nomor
40 Tahun 1999 meniadakan keharusan mengajukan SIUPP untuk menerbitkan pers.
b. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor
40 tahun 1999 menghilangkan ketentuan sensor dan pembredelan pers.
c. Pasal 4 ayat (2) juncto Pasal
18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, melindungi praktisi pers dengan
mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda Rp. 500 juta bagi yang
menghambat kemerdekaan pers.[10]
Selain
menghapus berbagai kendala kemerdekaan pers tersebut di atas, Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 juga memuat isi pokok sebagai berikut. Pertama,
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, kemerdekaan pers adalah perwujudan
dari kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan
supremasi hukum dan kedua, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999, kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara yang hakiki dan dalam
rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, serta memajukan dan mencerdaskan
bangsa.
Pada
masa reformasi, pemerintah juga memberi kemudahan untuk memperoleh SIUPP.
Akibat kemudahan memperoleh SIUPP tersebut, jumlah pemohon SIUPP membengkak
lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan dengan masa Orde Baru.[11]
Kebijakan lain Pemerintah Kabinet Reformasi dalam membuka peluang kebebasan
pers adalah dengan mencabut SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan
pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
Pencabutan SK ini, mengakhiri era wadah tunggal organisasi kewartawanan,
sehingga tidak sampai dalam satu tahun telah tumbuh 34 organisasi wartawan
cetak dan elektronik. Walaupun kehadirannya dapat dipandang sebagai cerminan euphoria kebebasan, akan tetapi di pihak
lain dapat menjadi ajang kompetisi wartawan Indonesia meningkatkan
profesionalitas mereka.[12]
Pada
masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, departemen penerangan yang dianggap
mengekang pers dibubarkan. Pemerintah tidak mempunyai ruang untuk mengekang
pers. Pers yang tadinya diawasi dengan ketat oleh pemerintah pada masa reformasi
ditiadakan. Yang ada hanya Dewan Pers yang bertugas untuk mengawasi dan
menetapkan pelaksanaan kode etik, juga sebagai mediator antara masyarakat, pers
dan pemerintah apabila ada yang dirugikan.
Pelaksanaan kebebasan pers pada era reformasi dalam
kenyataannya masih banyak menghadapi kendala. Euforia kebebasan berpendapat dan
kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan surat kabar
atau media, serta didirikannya partai-partai politik. Fenomena
euphoria kebebasan politik berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan pers.
Dalam realitasnya keberhasilan gerakan Reformasi membawa pengaruh pada
kekuasaan pemerintah jauh berkurang, untuk tidak mengatakan tiada sama sekali
terhadap pers.
Pergulatan pers
dengan sebuah rezim seolah telah usai. Pada masa reformasi pers sepenuhnya
bergulat dengan pasar yang semakin membuat jaya kelompok-kelompok media yang
sudah mapan secara ekonomis di masa Orde Baru. Untuk sementara pers Indonesia
boleh bernafas lega dari tekanan politis sambil mencari keuntungan uang
sebanyak mungkin. Fenomena ini kemudian melahirkan gejala kelompok-kelompok
usaha media, seperti Gramedia Grup, Sinar Kasih Grup, Pos Kota Grup, Presindo
Grup, dan Grafiti / Jawa Pos Grup.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa kebebasan pers pada
masa orde baru sangat berbeda dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pada
masa orde baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai boneka
pemerintah untuk melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi,
kebebasan pers sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers
dapat melakukan fungsi top – down dan
bottom – up, walaupun terkadang masih
dimanfaatkan sebagai alat penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers masa
reformasi juga bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang timbul akibat
dari kebebasan pers itu sendiri.
B.
Saran
Adapun yang menjadi saran-saran
dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Bagi pihak pemerintah tentunya harus
mengetahui posisi strategis keberadaan pers saat ini, sehingga dengan demikian
dapat menjadi indikator pembuatan kebijakan selanjutnya mengenai pers.
2. Bagi pihak pers harus mampu
memposisikan diri sebagai salah satu pengawal jalannya demokrasi di Indonesia
karena perannya yang strategis.
[1] Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 1, Juni 2005 : 1-14
[2] Lesmana, Tjipta. “Kebebasan dan Tanggungjawab Pers Harus Berimbang”. Sinar
Harapan, 8-10-2003, hal 10
[3] Ibid
[4] Ibid, hal. 8-10
[5] Imawan, Riswandha. 1998. Membedah
Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[6]
http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/makalah-sistem-pers-era-orde-baru/
[8] http://andhikafrancisco.wordpress.com/2013/06/21/makalah-perbandingan-kebebasan-pers-pada-masa-orde-baru-dan-masa-reformasi-di-indonesia/
[9] B. Bambang Wismabrata, “Rekonstruksi Makna Kebenaran Pers”, jurnal penelitian IPTEK-KOM, Edisi
12, hlm. 31.
[10] Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers, hlm. 95.
[11] Majalah Tempo, edisi 25 Mei 2003, hlm 94.
[12] Alex Sobur, Etika Pers, hlm. 388
2 komentar:
Hai bagi kalian yang berkunjung nih ada applikasi buat nyari Duit $ online secara mudah dan legal modal HP aja , lumayan bisa ditukerin sama STEAM gift card, gem coc , Google Play gift card, , paypal, facebook giftcard, Xbox,PlaystationStore, Amazon dan ItunesGiftCard
1. Download aplikasi Whaff Rewards di playstore
2. Setelah ke intsall buka appnya
3. Seteah di buka klik tombol login, login ajaa pake akun facebook kalian
4. Abis itu ada kotak invitation code
5. Masukan kode AF77779
6. Setelah masukan kode diatas kalian bakal Dapet $0.3, lumayan kaan, kalian tinggal ngumpulin deh sampe 10$
7. Cara ngumpulinnya gampang, tinggal invite orang lain atau download aplikasi yang ada di app tersebut
8. Setiap download aplikasi kalian akan mendapat hadiah sebagai reward, hadiahnya bisa $0.17, $0.22 sampe $0.66
9. Setiap hari kalian pun akan mendapat reward bila setelah di download aplikasi tersebut tidak di uninstall lagi lumayan kaan setiap hari Uang kalian bertambah hehehe
10. Setelah terkumpul $10 baru deh kalian bisa tukerin ke voucher google play,
11. Terus kalian juga bisa tukerin sama Google Play gift card, steam gift card , paypal, facebook giftcard, Xbox,PlaystationStore, Amazon dan ItunesGiftCard
NJ casinos to play casino games - Dr. McD
MGM National Harbor Resort Casino will 안성 출장안마 soon offer games 거제 출장샵 from Microgaming. They are 구리 출장샵 currently accepting bets on slots, video 김포 출장안마 poker, blackjack, Aug 2, 2020 · Uploaded by MGM National 의왕 출장안마 Harbor
Posting Komentar