بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Rabu, 03 April 2013

Orde Baru Sebagai Boneka




ORDE BARU SEBAGAI BONEKA
INTERNATIONAL GANGSTER CAPITALISM

Sebagian besar dari uraian Geoff Simons tentang kekejaman regim militer dalam masa pemerintahan otoriter orde baru dalam bukunya yang berjudul Indonesia : The Long Oppresssion, setebal 304 halaman itu, bukanlah hal baru bagi masyarakat kita, yang secara dekat mengamati dan mengalami kekejaman system pemerintahan orde baru.

Sebagaimana terungkap dengan sangat jelas pada judul buku itu, uraian Simons membangkitkan kesadaran dunia internasional pada umumnya dan warga Indonesia pada khusunya akan sebuah bangsa yang membangun sejarahnya lewat suatu opresi yang sangat panjang. Sejarah nasional mencatat bahwa sejak Portugis mendarat di bumi pertiwi pada abad ke 16 hingga kejatuhan Soeharto pada akhir abad ke 20 ini, masyarakat kita hidup dalam situasi terjajah dari kekuatan opresif yang satu ke kekuatan opresif yang lain, dari kesadisan kolonialisme asing ke kesadisan kediktatoran penguasa bangsa sendiri (orde baru).

Orde baru memulai kekuasaannya dengan darah, menerapkan system kediktatorannya dengan darah, dan mengakhiri kekuasaannya juga dengan darah. Sampai pada akhirnya, orde baru menghantar kita pada babak baru sejarah yang Asvi Warman Adam (sejarahwan LIPI) sebut sebagai “sejarah korban” (Suara Pembaharuan, 3/11/2000).

Dibentengi oleh kekuatan penguasa asing, khususnya Amerika, Inggris, Australia dan Jepang, kelompok negara yang Simons sebut sebagai international gangster capitalism, penguasa orde baru terus menerapkan system opresi yang tak berperikemanusiaan atas rakyat bangsanya sendiri, demi interest imperialisme kooperatif gaya baru, yang beraksi atas nama agung “globalization”.

Menghadapi berbagai aksi opresi tak berperikemanusiaan selama masa pemerintahan orde baru, kelompok negara yang tergabung dalam international gangster capitalism itu berusaha untuk menghadirkan diri sebagai pahlawan yang ingin menyelamatkan bangsa Indonesia melalui kritikan serta berbagai ancaman embargo dan lain sebagainya. Tapi siapa harus mengeritik siapa?

Simons melukiskan bahwa Amerika, Inggris, Australia dan Jepang memainkan peran sentral dalam melahirkan figure yang tampil sebagai penguasa yang kejam selama masa pemerintahan orde baru. Lewat coup d’etat, Amerika telah menghantar Soeharto ke pucuk pimpinan orde baru. Amerika juga telah membesarkan ABRI yang setelah kejatuhan Soeharto dituduh sebagai kambing hitam atas semua aksi pemerkosaan nilai kemanusiaan di negara ini.

Simons menampilkan perspektif baru penemuan sejarah hasil penelitiannya sendiri untuk melengkapi sekaligus mempertegas kemiripan berbagai warna sejarah yang muncul sebelum dan sesudah kejatuhan orde baru. Sebelum kejatuhan Soeharto, transparansi sejarah orde baru sudah diungkapkan oleh beberapa ilmuwan asing.

Dalan artikel berjudul Lessons of the 1965 Indonesian Coup (1991), Terry Cavanagh melukiskan penemuan historis serupa. Cavanagh menulis, Kudeta berdarah di Indonesia merupakan hasil dari niat imperialisme AS untuk mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan alam dan sumber-sumber strategis dari kepulauan yang sering dinamakan 'Permata Asia' (jewel of Asia). Amerika yang sejak awal abad ke 20 telah menguasai eksploitasi minyak bumi (Caltex di Sumatera,dll) dan karet di negeri ini, pasti tidak mau kehilangan interest ekonominya ketika PKI berhasil menguasai massa dan kaum buruh untuk berjuang melawan eksploitasi kaum borjuis asing (termasuk Amerika) yang pada waktu itu menguasai sebagian besar kekayaan alam di negari ini.

Amerika menyadari bahwa ancaman kekuatan massa terhadap interest ekonomi dan politiknya di bumi pertiwi ini hanya bisa dipatahkan dan dikuasai lewat pembentukan pemeritahan dictator yang dipimpin oleh kaum militer. Untuk itu bantuan finansial, penyediaan perlengkapan perang dan latihan bagi kaum militer Indonesia merupakan langkah konkrit Amerika untuk mempersiapkan apa yang kita kenal sebagai peristiwa penganyangan PKI. Cavanagh menulis, Kudeta di Indonesia tanggal 1-2 Oktober 1965 adalah hasil dari sebuah operasi yang sudah lama direncanakan secara hati-hati oleh CIA dan komandan-komandan militer TNI yang dilatih oleh AS.

Tentu saja keberhasilan Soeharto dan pasukannya menjalankan amanat CIA untuk melaksanakan holocaust pada tahun 1965, serta memulai babak baru pemerintahan dictator orde baru merupakan kemenangan bagi Amerika untuk menguasai eksploitasi kekayaan alam di negari ini. Cavanagh membenarkan kenyataan ini dengan melukiskan bahwa setelah kudeta 1965, kegunaan kediktatoran Soeharto bagi kepentingan imperialisme AS telah tergaris bawahi dalam laporan Departemen Luar Negeri AS ke Konggres AS pada tahun 1975.

Sementara itu, berdasarkan dokumen CIA dan wawancara langsung dengan para diplomat Amerika, khususnya Marshal Green, duta besar Amerika yang sangat berpengaruh selama masa penganyangan PKI, Mike Head, dalam artikelnya berjudul US Orchestrated Suharto 1965-66 Slaughter in Indonesia , - artikel yang dibagi atas tiga bagian dan dipublikasikan oleh World Socialist Web Site (WSWS edisi 19, 20 da 21 July 1999), - secara transparant melukiskan keterlibatan diplomat Amerika dan CIA (agen rahasia Amerika), dalam keseluruhan proses penganyangan PKI and perencanaan pembentukan pemerintahan militer dibawah komando Soeharto.

Warna baru penulisan sejarah dari para ilmuwan sejarah asing ini tentu saja bukanlah sesuatu yang begitu mudah untuk segera dipercaya oleh nurani polos anak bangsa yang selama 32 tahun diindoktrinasikan oleh kebenaran sejarah ala orde baru. Selama 32 tahun, kita telah diyakinkan bahwa penguasa orde baru adalah pahlawan yang telah menyelamatkan bangsa ini dari pengaruh komunis.
 
Tapi situasi politik setelah kejatuhan orde baru menunjukkan indikasi yang sangat kontras. Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa figur-figur yang sekian lama dianggap sebagai pahlawan dan penyelamat bangsa, kini tidak lebih dari cuma seorang peng khianat bangsa. Penyembahan atas kesakralannya berubah menjadi caci-maki atas peng khianatannya.

Dengan meragukan sejarah nasional versi orde baru dan mengungkapkan transparansi sejarah versi baru, Simons, Mike dan Cavanangh menantang kita untuk secara kritis meninjau kembali kebenaran sejarah nasional dan melihat siapa melakukan apa kepada siapa dalam sejarah bangsa kita. Karena sebuah bangsa yang kuat dan reformasi yang sesungguhnya tidak akan bertahan kalau dibangun di atas kepalsuan sejarah.

Karena itu, kebenaran sejarah nasional harus ditulis kembali oleh anak-anak negeri ini. Karena mengungkapkan kebenaran sejarah adalah bagian utama dari proses reformasi itu sendiri. Kalau kebenaran sejarah tidak diungkapkan, maka selalu ada kemungkinan bahwa kita akan kembali ke tapak sejarah yang sama. Berpedoman pada sejarah nasional yang kabur, seorang peng khianat pun bisa dimitoskan sebagai seorang pahlawan.

Tentu saja, usaha untuk mengungkapkan kebenaran sejarah yang sesungguhnya bukan hal yang sangat mudah. Tapi harus disadari bahwa pemalsuan sejarah oleh penguasa yang otoriter bukanlah pengalaman historis yang secara eksklusif hanya terjadi dalam sejarah bangsa kita. Kalau kita mau memberikan sebuah contoh, sejarah Jepang di bawah Kaisar Showa bisa diangkat sebagai suatu perbandingan.

Di bawah kaisar Showa Jepang juga mengalami situasi represif yang mirip dengan situasi opresif seperti yang kita alami di bawah pemerintah orde baru. Selama Kaiser Showa masih menduduki kursi kekaiseran di Jepang, tidak ada orang yang berani mengungkapkan kebenaran sejarah sekitar tragedy perang yang diprakarsai oleh kaisar Showa selama perang dunia II di Asia dari tahun 1931 sampai tahun 1945. Malah setelah kematian kaisar Showa, Jepang membutuhkan 11 tahun lamanya untuk mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya dari aksi kesadisan sejarah dan mental kolonial Kaisar Showa terhadap bangsa-bangsa di Asia.

Di tengah krisis masa transisi, dimana bangsa berjalan di atas hukum yang bobrok dan dikomandoi oleh pemimpin yang membingungkan dan lemah kredibilitasnya, agak sulit bagi kita untuk menentukan secara pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menulis kembali kebenaran sejarah bangsa ini. Tapi kesadaran bahwa sejarah ala orde baru adalah sejarah yang rapuh, palsu dan eksploitatif, harus menjadi awal yang memotivasi kita untuk segera menulis kembali sejarah bangsa dan membangun konstruksi sejarah yang benar dan kukuh bagi generasi mendatang.

Karena itu, warna baru dari transparansi sejarah orde baru yang kini ramai diungkapkan baik oleh sejarahwan dalam negeri maupun luar negeri, sebenarnya harus ditanggapi sebagai suara-suara kritis yang mengundang setiap manusia di negeri ini untuk membebaskan diri dari sikap terpaku pada kebanggaan hampa dan kekaguman murah atas kesadisan drama politik yang diperagakan oleh international gangster capitalism,yang telah mengunakan kediktatoran orde baru untuk mengembangkan imperialisme kooperatif gaya baru dan mengeksploitasi kekayaan alam di bumi berlabel Jewel of Asia ini. Suara ingin merdeka yang terus diperdengarkan hingga saat ini di Aceh and Irian jaya mungkin harus dipahami sebagai reaksi ingin merdeka dari penerapan sistem imperialisme kooperatif yang memeras rakyat dan mengeksloitasi kekayaan alam di daerah itu.

Dalam konteks kesadaran ini, reformasi, khususnya reformasi historis, harus menjadi awal dari usaha kita untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa bangsa kita bukan cuma boneka berlabel permata Asia (jewel of Asia). Inilah PR yang harus kita jinjing bersama untuk mengarungi arus dasyat globalisasi abad ke 21.

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts