بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Selasa, 16 April 2013

Polisi Di Mata Masyarakat



Kata polisi berasal dari Politeia, adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh Plato, seorang filsuf Yunani  Kuno. Buku itu berisi tentang teori dasar polis atau Negara kota. Pada zaman itu kelompok-kelompok manusia berbentuk himpunan yang merupakan satu kota. Dari kata politeia itu kemudian timbul kata politik yang di maksudkan sebagai tata cara mengatur sistim pemerintahan, kata polisi yang mengatur penegakan peraturan, kata policy atau kebijaksanaan dan sebagainya. Pengembangan dari semua itulah yang melahirkan Negara dengan segala atribut dan pengaturannya hingga saat ini.
Kemudian kata politeia berkembang menjadi maknanya menjadi fungsi polisi seperti yang ada sekarang. Sampai saat ini polisi di Italia di sebut politeia, yang di Perancis disebut La Police, di Inggris menyebutnya Police, Belanda Politie dan German Polizei. Indonesia mengikuti tradisi Belanda menyebutnya dengan kata Polisi atau Politie di eja dengan ejaan Indonesia. Di Malaysia mengikuti tradisi Inggris dengan ejaan melayu, Police.
Menurut  Kunarto, (1997) Sejarah kepolisian, tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia. Setiap peradaban manusia yang memulai dan merasakan perlunya keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam mempertahankan kehidupannya, pada saat itulah sebenarnya fungsi polisi itu ada, tumbuh dan berkembang.
Fungsi polisi itu tumbuh dan berkembang semakin jelas manakala ancaman terhadap suatu kelompok semakin nyata. Ancaman itu tidak hanya berupa bahaya yang datang dari luar kelompok itu, tetapi juga berupa ancaman yang ada didalam kelompok itu sendiri maupun ancaman dari luar kelompoknya. Kehidupan akan senantiasa melahirkan pergulatan hebat, dimana manusia yang kuat pada kelompoknya selalu bertindak sebagai pimpinan untuk melawan musuh dan melindungi kelompok lainnya. Tindakan manusia kuat itulah wujud dari fungsi polisi yang paling sederhana.
Olehnya itu, berbicara mengenai aparat keamanan dalam negeri dalam hal ini adalah pihak kepolisian, tentunya mendapatkan posisi yang penting dalam upaya peningkatan keamanan dalam negeri tersebut, dalam hal ini adalah NKRI pada umumnya. Olehnya itu, sudah barang tentu tugas dari penjaga stabilitas keamanan di suatu negara dimandatkan kepada polisi di samping tentara. Membuat aman dan rasa nyaman kepada masyarakat adalah salah satunya. Segala tindak kejahatan dan semua tindakan yang dapat merugikan khalayak ramai adalah “makanan” mereka sehari.
Jika kita bertanya kepada anak-anak kita, saudara kecil ataupun kerabat dan anggota keluarga mengenai cita-cita, profesi sebagai polisi masih menjadi favorit pilihan mereka di samping menjadi dokter yang sangat lumrah. Ini sebenarnya nilai tambah bagi sosok seorang polisi. Ia begitu diidamkan karena kemuliaan dan keikhlasannya membantu dan menjaga masyarakat dari tindak kejahatan dan kesulitan serta ketakutan akan kondisi keamanan. Sosok polisi yang bersahaja menjadi panutan bagi semua masyarakat seperti sosok polisi yang diidamkan.
Akan tetapi dalam perkembangannya, Polri (Polisi Republik Indonesia), yang memegang kuasa penuh atas hal tersebut bukan saja menjadi sosok bak pelindung namun juga kerap sebagai momok yang menakutkan bagi orang-orang yang tak bersalah atau melanggar hukum. Seiring berkembangnya dan beranekaragamnya akan dinamika kehidupan, baik di sisi sosial, ekonomi dan politik, Polri menjadi momok yang menakutkan. Bukan dikarenakan mereka memiliki senjata yang kapan saja siap disodorkan ke semua pihak jika melanggar hukum, tapi juga karena moral dan etika dasar polisi sudah luntur di institusi besar ini.
Tak perlu jauh-jauh kita melihat bagaimana etika dan moral seorang polisi itu menjadi momok menakutkan bagi masyarakat termasuk kita sendiri. Di jalan-jalan, tentunya kita sering menemukan polisi lalu lintas yang mangkal dan patroli di setiap sudut kota dan daerah. Tugas mereka di sana adalah menertibkan pengguna jalan dan memantau kondisi jalan, tapi bukan itu yang terjadi, mereka  (oknum) justru merisaukan masyarakat dengan dalih penegakkan hukum. Pemerasan, intimidasi dan tindak tak terpuji yang sudah sepatutnya di pegang polisi, telah terlalu sering dilakukan. Hal ini berlanjut sampai sekarang dan tak ada tindakan dari atasan mereka di institusi. Lain halnya lagi, ada juga (oknum) polisi yang menjadi centeng dari pembuat atau pelaku tindakan yang melanggar hukum. Club-club malam, tempat prostitusi, bahkan tempat berjudi justru mendapatkan perlindungan dari (oknum) polisi, padahal semestinya mereka memberantas hal tersebut. Dalam hal ini masyarakatlah yang menjadi pihak pertama yang dirugikan.
Dan pada umumnya, dalam ranah penegakkan hukum, sudah terbukti dan terlihat jelas, begitu banyak (oknum) dari Polri yang menjadi mafia-mafia dan pelanggar hukum negara. Korupsi dan nepotisme tumbuh subur di tubuh Polri. Melihat “kegilaan” (oknum) Polri seperti itu tentu masyarakat semakin antipati terhadap Polri. Tetapi, untungnya, institusi yang dahulu menjadi panutan kita semua, juga memiliki prestasi yang sedikit banyak dapat menutupi boroknya. Adanya Badan Narkotika Nasional (BNN) yang serius membunuh jarungan narkoba di dalam negari dan Detasemen Khusus (DENSUS) yang fokus memberantas aksi terorisme, juga berbicara banyak. Keberhasilan BNN dalam memberantas peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang direspon dan dinilai masyarakat dengan tingkat kepuasan yang lumayan yakni 59% dalam laporan yang dilakukan Litbang KOMPAS. Di samping itu, Densus yang belakangan ini mengalami peningkatan citra dan popularitas, dinilai dan direspon masyarakat dengan tingkat kepuasan yang sangat baik, yaitu sekitar 77%.
Dan tentunya, berbicara mengenai harapan dan tantangan tentang kepolisian ini, maka sebagai warga negara Indonesia, kita semua berharap Polri ke depannya dapat menjadi lebih baik dan setia dalam melayani masyarakat seperti moto mereka. Namun tidak menuntut Polri untuk berubah. Harapan masyarakat itu akan menjadi tantangan berat bagi Polri untuk menjadi lebih baik. Salah satunya dengan mereformasi dalam skala besar tubuhnya (Polri). Memberantas segala tindak pelanggaran hukum dan menjaga masyarakat agar tetap selalu ada dalam rasa aman dan nyaman harus menjadi tugas utama bagi mereka, hanya tinggal menunggu eksekusinya saja nanti seperti apa. Jika harapan masyarakat dan tantangan bagi Polri itu tidak dengan serius dilaksanakan, jangan harap, Polri dapat kembali bercitra baik. Bahkan di masa depan nanti, anak-anak dan sanak saudara kita akan enggan menyebut profesi sebagai polisi menjadi cita-cita mereka.
Di lain sisi, seorang  polisi  dalam melaksanakan tugasnya akan memiliki banyak pilihan  untuk menempatkan dirinya pada bentangan yang luas antara spektrum posisi dibenci atau dimuliakan, atau memilih posisi biasa-biasa saja. Namun apapun posisi yang dipilih, sesungguhnya polisi senantiasa dibutuhkan masyarakat. Di era transisional sesungguhnya tidak mudah menjadi seorang polisi. Menghadapi  masyarakat, mereka harus bersikap ramah dan bertindak bijak. Kepada penjahat, mereka harus selalu waspada. Tak jarang  polisi yang bertugas  sebagai penegak hukum, berada  di ambang bahaya. Nyawa atau setidaknya luka di tubuh menjadi taruhannya. Namun, kenyataannya sebagian besar masyarakat  menganggap fungsi polisi sebagai penegak hukum dan pelayan masyarakat, masih terkontaminasi dengan kesan polisi yang masih memiliki perilaku distortif dan destruktif baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pelayan masyarakat.
Dalam menyikapi sesuatu, kita akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara kita memandang persoalan itu sendiri, demikian juga  dalam memandang polisi, yang kini sedang mengalami proses metamorfosis melalui reformasi struktural, instrumental dan reformasi kulturalnya. Setiap orang bisa dan berhak memandangnya dari sudut pandang masing-masing, tetapi yang pasti kita tidak boleh mengembangkan apalagi memaksakan pandangan pesimis yang mengalahkan rasa optimis. Seperti pepatah Skotlandia bahwa “Lebih baik kita menyalakan sebuah lilin kecil daripada (hanya) menyumpahi kegelapan”, karena terus-menerus menyalahkan kegelapan tidak akan membawa kita keluar dari kegelapan itu sendiri. Kupu kupu yang indah dan memberi keindahan, merupakan hasil proses metamorfosis dari sebuah kepongpong.
Dalam perjalanannya, kepolisian menjadi amat dibutuhkan, terutama saat instabilitas, kriminalitas, dan kekerasan komunal kian merebak. Masalahnya yang tidak pernah kunjung berhenti adalah, mengapa polisi yang dirindu juga sekaligus dibenci ?
Pandangan masyarakat terhadap kinerja Polri terdapat berbagai penilaian Positif dan negatif dari masyarakat. Baik buruknya citra Polri juga tergantung dari sikap masyarakat, bersikap apatis, reaktif, kritis atau telah puas atas kinerja Polri selama ini. Polisi yang berkarakter terpuji yang dapat menempatkan diri sebagai seorang moralis, bapak, teman, pengabdi, dan tokoh yang dikagumi dan dihormati. Artinya kemulyaan martabat dan kehormatan anggota Polri dapat di lihat dari besarnya penghargaan dan pengakuan masyarakat terhadap profesinya. Penghargaan yang sesungguhnya tercermin dalam realitas perilaku pengabdian dan pelaksanaan tugasnya yang membawa manfaat bagi masyarakat, bahkan ditempatkan secara terhormat di tengah kehidupan masyarakat.
Persepsi buruk masyarakat terhadap citra kepolisian adalah akibat dari ketidak-mampuan polisi menjadi pengayom masyarakat. Masih banyak orang yang mencibir bahwa hanya ada dua polisi yang baik, yaitu “polisi patung” dan “polisi tidur”. Bahkan mereka sering berucap bahwa “polisi tidur saja bisa bikin susah, apalagi sedang berjaga”. Masih banyak lagi ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja polisi, begini katanya: “melaporkan kehilangan kambing ke polisi akan kehilangan sapi”. Jika dikaitkan dengan kemampuan dan daya dukung kepolisian terhadap upaya pemulyaan martabat dan kehormatan Polri, terutama dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, citra kepolisian malah semakin terpuruk.
Di tengah derasnya arus pesimisme masyarakat terhadap Polri, maka hal ini penting untuk dicatat, oleh karena kalangan internal Polri sendiri dianggap kurang tanggap membenahi diri. Citra buram selama ini belum banyak berubah, sehingga beragam kritik pedas masih menerpa korps kepolisian hingga kini. Hubungan polisi dengan masyarakatnya pun, belum kunjung mesra. ”Kerinduan” masyarakat terhadap polisi, seolah berganti menjadi ”kebencian”.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa praktik-praktik perpolisian di Indonesia hingga saat, masih cenderung mengisolasikan aparat kepolisian dari masyarakat yang dilayaninya yang tentunya berdampak pada kinerja kepolisian untuk melakukan pengendalian kejahatan yang lebih efisien. Oleh karena itu, penerapan community policing sangat dibutuhkan untuk memberikan ruang bagi para aparat penegak hukum tersebut untuk memperbaiki kembali hubungannya dengan warga masyarakat yang merupakan mitra utamanya. Kemitraan adalah salah satu wujud nyata komunikasi sehingga kedua belah pihak, terlebih pihak kepolisian sebagai pihak yang paling berperan dalam mewujudkan kemitraan yang memberi nilai tambah perlu menerapkan strategi komunikasi yang tepat.
Hal ini sejalan dengan hasil Pusat Penelitian Hak Asasi Manusia UII Yogyakarta (2001) yang meneliti kemitraan polisi dan masyarakat pasca reformasi, yang menampung semua pendapat masyarakat mengenai polisi dan apa komentar polisi tentang masyarakat. Hasilnya sangat memprihatinkan, dua belah pihak saling menebar rasa kekecewaan dan malas untuk memercayai satu sama lain. Masyarakat lebih memilih bertindak pragmatis dalam berhubungan dengan polisi dan polisi juga menilai masyarakat terlalu banyak menuntut kepadanya.
Di tengah-tengah hubungan polisi masyarakat yang fluktuatif, terkadang membara, ada baiknya kita mengenang almarhum Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, yang memaknai jati dirinya sebagai polisi dan perannya di tengah masyarakat. Hoegeng memaknai seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal polisi. Tentu saja yang terakhir memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar. “Hakikat seorang polisi demikianlah, yang membuat saya mencintai tugas kepolisian dan bangga sebagai polisi, tanpa membedakan kedudukan dan pangkat!. Hoegeng membuktikannya dengan tidak pernah merasa malu turun tangan mengambil alih tugas teknis seorang agen polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat. Misalnya jika di suatu perempatan jalan terjadi kemacetan lalu lintas, kadang kala dengan baju dinas Kapolri, beliau menjalankan tugas seorang polisi lalu lintas di jalan raya. “Saya melakukan dengan ikhlas. Sekaligus memberikan contoh teladan tentang motivasi dan kecintaan polisi akan tugasnya, sekaligus memberikan teguran dan peringatan secara halus kepada bawahan yang lalai atau malas!” Dalam persepsinya tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab polisi, maka keinginannya yang pertama adalah memulai menegakkan citra ideal seorang polisi dari diri sendiri. Berbarengan dengan itu menaikkan pula citra seorang komandan polisi yang baik.
Seiring bertambahnya usia, dan terjadinya proses dialektika antara polisi dan masyarakat. Masyarakat berharap Polri, senantiasa mengubah jati dirinya menjadi polisi yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.  Polri bermetamorfosis menjadi sosok polisi yang dipercaya, dicintai  dan professional dalam melaksanakan tugasnya. Dan masyarakat harus meresponya dengan sikap positif, namun tetap kritis, suportif dan proposional dalam menyikapi  reformasi yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian kita. Wajah polisi adalah wajah kita semua, karena polisi lahir dari masyarakat dan berkarya di tengah masyarakat.
Olehnya itu, perlu kiranya aparat kepolisian membangun citra yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Polisi yang dipercaya adalah tangga awal untuk merebut hati masyarakat. Hubungan antara polisi dan masyarakat sering diibaratkan sebagai ikan dan air. Ikan jelas tidak bisa hidup tanpa air, demikian pula polisi tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik tanpa dukungan masyarakat. Dengan demikian, memperoleh dukungan yang ikhlas dari masyarakat menjadi sangat penting untuk kelancaran tugas, sesuai dengan yang diamanatkan doktrin polisi mutakhir shaking hands with the entire community (Satjipto Rahardjo, 1999) bergandengan tangan dengan seluruh komponen strategis masyarakat.
Hati masyarakat hanya bisa direngkuh jika Polisi memahami karakter masyarakat, menaruh simpati dan empati yang tinggi terhadap penderitaan masyarakat, serta betul-betul menempatkan diri sebagai pengayom dan pelayan masyarakat. Polisi ada untuk menjaga keamanan masyarakat secara umum. Dengan demikian, rekomendasi alternatif bagi para pemimpin kepolisian dan jajarannya adalah:
1.      Mampu menjadikan masyarakat sebagai mitra kerja,
2.      Mensosialisasikan hukum, agar masyarakat menjadikan hukum sebagai solusi penyelesaian masalah, dan bukan sekedar instrumen yang harus dipatuhi dalam bertindak.
3.      Memiliki sifat realistis dan kritis mampu menjalin kerjasama dengan masyarakat,
4.      Mengetahui dengan benar kondisi dan aspirasi masyarakat.
Jika rekomendasi tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan kewenangan dan peraturan yang berlaku, maka diharapkan Polri dapat mengeliminir segala tantangan, dan mampu mengayomi, melindungai, memelihara kamtibmas dan penegakan hukum secara efektif.

3 komentar:

Sutarmini mengatakan...

masyarakat pesimistis sering tidak mendengar dan melihat realita yang adil .. itulah polisi sagat berat dalam menemptkan diri jadi serba salah.. padahal polisi dengan kondisi yang sekarang ini merupakan akumulasi budaya yang terbentuk bersama masyarakat trus bagaimana ya

Unknown mengatakan...

semoga menuju lebih baik..

Davin mengatakan...

tulisan penulis benar2 mampu mendeskripsikan polri. diperlukan adanya suatu evaluasi bagi polri agar fungsi polri benar2 dpt dijalankan dengan baik. mohon kunjungi balik https://law-justice.co/citra-polisi-semakin-buruk-di-masyarakat.html

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts