بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Jumat, 03 Mei 2013

Aliran Mu'tazilah (Aliran Dalam Islam Pada Masa Klasik)



Pertumbuhan dan Perkembangan Mu'tazilah berawal ketika wafanya rasulullah dan di akhiri dengan meninggalnya sahabat Rasulullah 'ali bin abi Thalib. Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan.  Mu’tazilah adalah golongan yang timbul pada masa Utsman bin Affan yang tidak memihak salah satu dari pihak utsman atau lawannya.
Setelah wafatnya Rasul saw sejarah Islampun terus bergulir, pemerintahan selanjutnya dipegang oleh khilafah rasyidah hingga yang terkhir yaitu Ali bin Abi Tahalib yang akhirnya tidak akui oleh sebagian kaum muslimin sesaat setelah terjadinya perang Shifin yang berkesudahan dengan tahkim pada tahun 37 H dengan Mua’waiyah bin Abi Sufyan. Permasalahan boleh atau tidaknya menerima tahkim yang terjadi saat itu melahirkan alamiran-aliran kalam-meskipun pada mulanya banyak orang setuju permasalahan itu adalah permasalahn politik-seperti khawarij.
Dari berbagai persoalan politik dan teologi pada saat setelah Utsman dibunuh tidak lepas dari pengaruh khawarij lahirlah aliran baru yang begitu rasionalist , aliran yang dikenal sebagai al-mu’tazilah. Terlepas apakah aliran ini benar atau tidak menurut al-qur’an dan hadist, ia merupakan bagian dari sejarah perkembangan pemikiran dalam islam yang harus dipelajari dan diteliti oleh para ahli untuk mendapatkan faedah histories dan perkembangan pemikiran ummat islam selanjutnya.
A.    Pengetian Mu’tazilah.
1.      Etimologi
Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.
Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.
Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan “in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua menunjukakkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.
2.      Terminolgi
Memang literature tentang mu’tazilah ini sangat banyak, tapi sedikit yang memberikan arti terminology secara inklusif maupun eksklusif tentang mu’tazilah. Diantaranya terdapat beberapa definisi mu’tazilah:
Mu’tazilah adalah golongan yang timbul pada masa Utsman bin Affan yang tidak memihak salah satu dari pihak utsman atau lawannya. Mereka juga golongan yang tidak mau membai’at Utsman ketika diangkat. Pendapat ini dikatakan oleh Ahmad Amin.
Sedangkan menurut Ali Musthafa adalah golongan yang muncul pada masa Hasan Bashri yang dipimpin oleh Washil bin Atho. Pendapat lain mengatakan bahwa mu’tazilah adalah golongan yang mengnut freewill yang menganggap ahl sunnah dan khawarij salah.
Tetapi apa yang kita pelajari bukanlah golongan yang timbul pada masa Utsman, bukan pula golongan yang hanya membahas perbuatan manusia tetapi lebih luas dan besar dari itu. Setelah kita mempelajari mu’tazilah, sejarah dan ajarannya kita akan melihat bahwa sebagian besar sejarawan setuju berbagai hal tentang mu’tazilah
1. mu’tazilah adalah aliran kalam.
2. dipimpin oleh Washil bin Atho pada awalnya.
3. lahir pada masa Daulah Bani umayyah.
4. mempunyai lima ajaran dasar.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa mu’tazilah adalah aliran teologi yang muncul pada masa Bani Umyyah berkisar antara 115-110 H, dipimpin oleh Washil bin Atho. Yang menganut lima ajaran dasar.
B.     Sejarah Kelahiran
1.      Suasana Kelahiran. 
Aliran ini lahir pada awal abad ke II H di Bashrah, Iraq, yang dalam perkembangannya menjadis alah satu pusat peradaban dunia. Banyak orang-orang muslim ataupun non muslim datang ke Baghdad untuk belajar. Bashrah pada saat itu juga menjadi salah satu tujuan para pencari ilmu yang nantinya banyak melahirkan tokoh-tokoh besar. Seperti Hasan Basri dan Washil yang bukan kelahiran Bashrah.
Pada masa Daulah Bani Umayyah, wilayah kekuasaan ummat Islam bertambah luas dengan pesat hingga banyak wilayah non-musli takluk dibawah kekuasaan Islam. Wilyah Islam saat itu terdiri multi bangsa dan multi etnis dan menjadi percampuran multi peradaban.
Mereka yang takluk di bawah Islam banyak berpindah agama memeluk Islam. Sebagian dari mereka memang memeluk Islam dengan ikhlas tapi ada juga yang terpaksa atau memang senagja memeluk agama Islam dengan tujuan menghancurkan agama Islam yang menjadi kekuatan bangsa Arab dengan cara menyebarkan isu-isu teologis.
Begitu pula dengan mereka yang masih berstatus non muslim, mereka yang tidak senang dengan bangsa Arab yang dianggap sebagai penjajah tentu ingin menghancurkan bangsa Arab dan islam. Salah satunya adalah Syi’ah Rafhidoh yang begitu jauh keluar dari ajran agama Islam, juga aliran tawawwuf Al-hulul yang meyakini adanya inkarnasi. Dalam suasan seperti inilah mu’tazilah lahir.
2.      Sejarah Kelahiran.
Telah disebutkan diatas bahwa pertikaian politik telah meningkat menjadi masalah teologi yang seterusnya sejarawan mencatat lahirnya golongan khawarij. Golongan ini membahas tenang perbuatan ali, Mu’awiyah dan orang-orang yang bersama mereka. Mereka menganggap bahwa Ali dan pengikutnya, juga Mu’awiyah dan pengikutnya adalah kafir karena telah melakukan dosa besar masalah dosa besar inilah yangmenjadi puncak rangsangan terhadap lahirnya mu’tazilah. Di Bashrah, pada akhir abad I H, dikenal seorang ulama besar bernama Hasan Bashri (w 110 H). ia mempunyai murid bernama Washil bin Atho (80-131 H).
Pada suatu hari seorang bernama Qradah bin Da’mah dating kepengajian Hasan dan bertanya” wahai pemimpin agama pada saat ini telah ada golongan yang mengkafirkan pendosa besar yaitu waidiyah khawarij, juga ada golongan yang menangguhkan huku atas pendosa besar dan menganggap dosa besar tidak berpengaruh terhadap iman, yaitu murji’ah. Bagaimana kami beri’tiqad?”.
Hasan terdiam sejenak untuk memikirkan jawabannya, pada saat itulah Washil mengutarakn jawabannya “ aku tidak mengatakan pendosa besar sebagai mu’min tidak juga sebagai kafir secara mutlak tapi ia berposisi diantara keduanya”. Dalam penuturan As-Syahrastani, kemudian Washil bangkit dan meninggalkan pengjian itu, ia pergi ke salah satu sidit masjid dan menegaskan jawabannya. Melihat ini Hasanpun berkata “ washil telah memisahkan diri dari kita”.
Adapun menurut Al-Baghdadi yang dikutip oleh Harun nsution, bahwa Washil sebenarnya diusir oleh gurunya. Pendapat ini juga didukung oleh Ali Musthafa. Harun melanjutkan sebenarnya telah terjadi perselisihan faham antara keduanya sebelum kejadian itu, salah satu masalahnya dalah mengenai qadar. Masalah dosa besar hanyalah puncak perselisihan pendapat antara keduanya hingga Washil meniggalkan pengajian Hasan Bashri. Memahami bahwa Washildiusir oleh gurunya adalah hal yang sangat logis pada saat itu, karena seorang murid tidak boleh boleh mendahului dan menentang pendapat gurunya.
Setelah kejadian itu nama Mu’tazilah menjaditerkenal di Bashrah, pendapat ini adalah pendapa paling popular dikalangan sejarawan. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa ketika Qatadah dating ke masjid washil dan amr bin ubaid telah memisahkan diri dari gurunya. Qatadah dating dan menghampiri salah satu pengajian disudut masjid. Ketika ia mengetahui itu bukanlah pengajian Hasan iapun pergi dan berkata” ini adalah golongan Mu’tazila (yang memisahkan diri)”. Pendapat ini diajukan oleh Taszy Zadah Al-Kubro. Sedangkan Ahmad Amin berpendapat bahwa mu’tazilahtelah ada sejak masa Utsman bin Affan.
3.      Sebab-Sebab Sebutan Al Mu’Tazilah.
Hasan Bashri pada saar I’tizal mengatakan “ I’tazala anna Washil” dengan menggunakan kata kerja bukan dengan kata sifat atau pelaku. Yang kita tangkapa adalah bahwa memang Hasan Bashri tidak bermaksud memberi nama bagi golongan Washil. Perkataan hasan itu tidak mengandung maksud pujian ataupun ejekan. Lantas bagaimana sebutan ini menjadi baku?
Pendapat pertama mengatakan meskipun hasan tidak bermaksud untuk memberi nama, tapi tentu perkataannya itu mempunyai pengaruh besar karena dirinya merupakan salah satu ulama terkemuka saat itu, hingga orang-orangpun mulai menyebut Washil dan temannya-temannya dengan nama mu’tazilah. Pendapat lain mengatakan, meskipun Hasan mengatakan I’tazala tapi yang berperan besar dalam pembakuan nama mu’tazilah adalah lawan golongan mu’tazilah itu sendiri. Bagi lawan-lawanya mu’tazilah adalah ejekan.
Pendapat mu’tazilah bahwa pendosa besar telah terpisah dari golongan mu’min juga berperan dalam membakukan sebutan mu’tazilah bagi kelompok mereka. Pendapat keempat mengatakan bahwa Hasan hanya berperan mengingatkan orang-orang pada sebutan mu’tazilah yang sudah ada pada masa Utsman. Tentu saja lantas sebutan ini meleat pada Washil dan teman-temannya.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa golongan mu’tazilah ini telah ada di kalangan yahudi pada abad III SM, yaitu golongan Pharisee, yang artinya memisahkan diri dalam bahasa Ibarani. Sebutan ini tepat sekali untuk mu’tazilah karena dua golongan ini berkeyakinan sama tentang perbuatan manusia. Tapi alasan ini lemah jikalau dikaitkan dengan motof berdiri kedua golongan ini.
Seluruh alasan diatas adalah pendapat-pendapt yang sudah terkenal dalam alasan penyebutan nama mu’tazilah. Menurut kami seluruh alas an itu saling berperan satu sama lain dalam pembakuan nama mu’azilah tersebut.
C.    Perkembangan Mu’tazilah
Dalam mempelajari perkembangan mu’tazilah selanjutanya kita akan menemukan tiga masa dimana aliran ini lahir, Washil bin Atho dan Amr bi ubaid sebagai tokohnya sebagai masa pertama. Masa kedua adlaah masa perkembangan dan kejayaan mu’tazilah, yaitu pada masa awal Daulah Abbasyiah, Abu Hudzail dan An-Nazzham sebagai tokohnya. Dan masa ketiga yaitu masa kemunduran bahkan kehancuran mu’tazilah hinga beberapa saat lamanya, Al-jubbai dan dan putarnya Abu Hasyim sebagai tokohnya. Pembagian ini sebenarnya berdasr pada sistematika pemikieran dan argumentsi mereka. Tetapi jikalau kita membaca Al-Mughni, kita akan cenderung menambahkn satu masa lagi, dimana aliran ini melahirkan tokoh-tokoh terkenal lainnya yaitu Zamakhisyari dan Al-Qadhi Abdul Al-jabbar.
1.      Masa Pertama. 
Pada masa ini Washil dan Amr cenderung berargumentasi dengan al-qur’an dan hadist sebgai landasan pertama yang dilanjutkan dengan rasio tentunya. Pada masa ini, filsafat masih sangat minim dikalangan mereka bahkan belum dikenal. Pada masa ini kaum muslimin terlah mulai mempelajari al-qur’an dan hadist dari bebagai aspeknya. Mereka juga telah mulai menerjemahkan berbagai buku ke dalam bahasa Arab. Tapi itu hanya untuk faedah praktis saja, belum ke teori atau untuk keperluan argumentasi.
Argumentasi mereka yang berdasar pada Al-quran dan hadist dapat dilihat dalam diskusi-diskusi mereka. Seperti percakapan washil dan amr tentang manzilah bayna manzilatain. Amr: kenapa anda mengatakan bahwa pendosa besar berada pada manzilah bayna manzilatain?
Washil: bukankah dalam ayat qodzaf pedosa besar dikatakan sebagai fasiq? Dan pada ayat ysng lain fasiq dikatakan sebagai munafiq? Dan pada ayat lain dikatakan bahwa ia adalah seorang yang dzhalim dan orang yang dzalim adalah kafir. Aliran-aliran lain berbeda pendapat tentang apakah ia kafir atau mu’min. menurut khawarij ia adalah kafir fasiq, menurut syi’ah kafir ni’mat fasiq, menurut hasan kafir munafiq. Tapi mereka semua setuju bahwa pendosa besar adalah fasiq. Menrutmu apakah kita tidak lebih baik mengikuti ijma’? bahwa pendosa besar adalah fasiq, dan tidak ikut dalam pertentangan mereka karena pendosa besar bukanlah kafir tidak juga mu’min tapi antara keduanya. Pada percakapan ini terlihat washil memakai tiga dalil, nash, hadist dan rasio.
2.      Priode Kedua
Masa ini adalah awal pemerintahan Bani Abbasyiah, pada masa ini islam mencapai puncak kejayaanya termasuk dari segi keilmuwan. Pada masa ini kaum muslimin telaj mulai menerkjemahkan buku-buku yang beragam termasuk filsafat. Para bangsa non Arab mulai berdatangan untuk menuntut ilmu, percampuran bangsa, kultur, bahasa dan pengetahuan terjadi pada masa ini. Pengaruhnya adalah kaum muslimin menjadi lebih tolerir. Contohnya adalah bangsa sarayan diperbolehkan mendirikan sekolah yang mengajarkan filsafat.
Tapi filsafat yang berkemabang atau yang diajarkan disekolah tidaklah murni dari filsafat yunani kuno tapi telah bercampur dengan pemikiran-pemikiran plato. Pada masa ini mu’tazilah telah memakai filsafat meskipun belum sempurna, seperti Abu Hdzail Al-Allaf yang mengambangkan pemikiran-pemikiran mu’tazilah yang kemudian diramu dengan informasi-informasi baru. Juga dengan An-Nazzham yang dianggap sebagai filosofis pertema mu’tazilah yang paling mendalam pemikirannya. Menurut Ibrahim Madzkour pada masa inilah pemikiran mu’tazilah disitematiskan oleh Abu Hudzail Al-Allaf.
Pada masa ini juga mu’tazilah mencapai puncak kejayaannya, yaitu pada masa Al-Ma’mun (198 H). khalifah ini menjadikan mu’tazilah sebagai madzhab resmi kerajaan. Disebutkan pula bahwa khalifah ini pernah menjadi murid Al-allaf.
3.      Priode Ketiga (masa kemunduran)
Pada priode ke dua, tokoh-tokoh mu’tazilah telah mengenal filsafat meskipun belum sempurna, karena pada masa itu adalah awal peerjemahan. Maka pada priode selanjutnya yaitu pada masa Abu Ali AL-Jubbai (w 235 H) penrjemahan ini bisa dikatakan sempurna. Mereka telah menggunakan istilah-istilah filsafat secara menyeluruh seperti al-jauhar, aradh, hulul, dan sebagainya. Pemikiran dan argumentasi merekapun telah berdasarkan filsafat.
Pada masa ini mu’tazilah mulai menurun dan akhirnya kalah pada masa Abu Hasyim oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, murid Al-Jubbai sendiri. Abu Hasan adalah penganut mu’tazilah selama lebih dari 40 tahun, pada suatu ketika ia tidak puas dengan jawaban gurunya tentang tentang pertanyannya soal anak kecil, kafir dan mu’min yang meniggal. Iapun meninggalkan mu’tazilah dan mengenalkan ajaran baru.
Pengaruh politk juga sangat penting dalam kemunduran mu’tazilah. Pada saat Al-mutawakkil berkuasa (232 H) kemunduran ini semakin terlihat. Menurut a.Hanafi hal ini adalah akibat dari perbuatan mereka sendiri, yaitu ketika Alma’mun berkuasa, para mu’tazilah ini memaksakan faham mereka kepada orang lain dan orang yang menolak diturunkan dari jabatan politiknya. Kehadian ini tekenal dengan sebutan peristiwa qur’an.
Maka ketika AL-Mutawakkil berkuasa orang-orang yang diturunkan secara paksa pada masa al-ma’mun diberikan jabatannya kembali, tentu orang-orang ini balik menyerang mu’tazilah. Puncak kemunduran mu’tazilah terjadi pada masa Mahmud Ghaznawi-seorang sunni bermadzhab syafi’I-berkuasa (361-421). Buku-buku mu’tazilah dibakar.
4.      Mu’tazilah Setelah Masa Ghaznawi.
Meskipun secara umum mu’tazilah sudah tidak berjaya lagi tapi ajran-ajarannya tetap hidup dan melahirkan tokoh-tokoh besar dalam yang banyak berkarya dalam tulisan. Tokoh pertama mu’tazilah pada abad keempat adalah Abdul Jabbar. Pada mulanya ia belajar fiqh dan hadist kepada imam Syafi’I, tapi kemudian ia lebih suka belajar tentang mu’tazilah. Ia menulis sistematika pemikiran mu’tazilah dalam karyanya Al-Mughni.
Kemudian lahir pula tokoh besar lainnya yaitu Az-Zamaihksyari. Ditangannyalah terkumpul karya-karya mu’tazilah. Ia menulis beberapa karya-karya terkenal seperti Al-Kasysyaf Al-Faiq, Asasul Balaghah dan Al-Mufasshal. Karya-karya ini masih dipelajari orang saat ini.
Begitulah seterusnya, meskipun mu’tazilah tidak lagi menjadi madzhab mayoritas tetepi ia tetap melahirkan banyak tokoh-tokoh besar pada bidangnya. Banyak tokoh-tokoh terkemuka memang tidak mengatakan kalau ia adalah seorang mu’tazilah ataupun memang tidak bisa dikatakan sebagai mu’tazilah, tetapi mereka adalah pengusung rasionalis yang berguna bagi perkembangan Islam selanjutnya, seprti Muhammad abduh di Mesir dan Harun Nasution di Indosnesia. Mu’tazilah yang terkenal dengan rasionalitasnya tetap hidup hingga sekarang ini. Meskipun secara tak sadar orang telah menganutnya.
D.    Sebutan Lain Bagi Mu’tazilah
Selain nama mu’tazilah mereka juga dikenal dengan berbagai nama, yang paling popular adalah Ahl adl wa tauhid. Hal ini diakrenakan mereka menjadikan tauhid dan adl sebagai dasar ajaran mu’tazilah. Meskipun mu’tazilah benci disandangkan nama al-qodariyah, tetapi nama itu tetap melekat. Ini dikarenakan kesamaan faham mereka dengan Ja’ad bin Dirham. Mereka juga digelari al-mu’aththilah, yang artinya mengosongkan, karena mereka tidak mengakui adanya sifat tuhan yang qadim.
E.     Ajaran Mu’tazilah
Mu’tazilah meletakkan seluruh ajaran mereka pada lima sendi dasar yaitu:
Pertama: at-tauhid
Seluruh mu’min memang harus mengesakan tuhan, tapi mu’tazilah karena kegigihan mereka dalam mempertahankan teori ini, dan juga karena mereka meniadakan sifat tuhan, sifat adalah dzatnya sendiri. Akhirnya mereka menjadikan tauhid sebagai dasar pertama. Pengesaan menurut ilmu kalam adalah pengetahuan dan pengakuan bahwa Allah itu esa tidak ada satupun yang menyamainya, pengetahuannya, kekuasaanya. Maka pengetahuan dan pengakuan menurut mu’tazilah adalah dua rukun tauhid. Maka orang yang meniggalkan salah satunya tidak bisa dikatakan muwahhid. Ruang lingkup pembahasan tauhid ini ada lima: a] cara mengetahui tuhan, b] sifat wajib bagi tuhan, c] sifat mustahil bagiNya, d] sifat jaiz, e] tidak ada yang menyamainya.
Cara mengetahui tuhan adalah dengan akal, meskipun terdapat petunjuk lain seperti al-qur’an dan hadist tapi akallah cara pertama untuk mengetahui tuhan. Karena al-qur’an maupun hadist hanya diberikan kepada orang yang berakal. Hal pertama yang harus dilakukan untuk mengenal tuhan adalah penalaran, dan itu adalah kerja akal. Dan tuhan tidak akan memberikan khitabnya kecuali kepada orang yang berakal.Al-qur’an dijadikan dalil setelah diyakini kebenaranyya sebagai kalam Ilahi. Akal adalah anugerah tuhan yang harus dijaga dan dipergunakan.
Adapun soal sifat. Tuhan mempunyai dua sifat, yaitu :
Sifat dzat, konsep utama dalam hal ini adalah tidak ada sifat qadim bagi tuhan, karena kalau ada yang qadim maka akan ada dua yang qadim. Sifat tuhan tidak lain adalah esensinya, sifat adalah dzatnya dan zat adalah sifatnya. Menafikan siat tuhan bukan berarti tidak meyakini adanya sifat bagi tuhan tapi sifat itu adalah dzatnya.
Agaknya pengertian ahwal lebih rasional, bahwa memberikan sifat yang qadim bagi tuhan bukan berarti mentapkan adanya yang qadim selain dzatnya, tetapi sifat tuhan itu adalah keadaanya dan keadaan itu tidak akan ada jikalu dzatnya tidak ada, dan dzat tidak akan ada kalau keadaan tidak ada. Dengan begitu bisa difahami sifat itu qadim dengan qadimnya tuhan. Sifat dzat yang wajib bagi tuhan adalah maha tahu, maha maha kuasa, maha hidup, maha ada dan maha kekal.
Kedua adalah sifat perbuatan: sifat ini adalah baharu karena sifat ini mendatang pada dzatnya. Dari sekian banyak sifat yang ada dalam al-qur’an selain lima sifat dzat diatas adalah siat perbuatan dan baharu. Seperti adil, berkendak, kalam dan lainnya.
Sifat iradah artinya allah berkehendak dengan kehendak yang baharu, kehendak yang tidak bertempat seperti kehendak manusia yang berada di hati, ia berkehendak bukan karena dzatnya bukan pula dengan kehendaknya yang kekal.
Jikalau ada penetapan bagi sifat tuhan tentu ada pebafian terhadap sifat yang lain, baik siafat perbuatan ataupun sifat dzat, seperti lemah, bodoh dan lain-lain. Wahid mempunyai dua arti yaitu sesuatu yang tunggal dtidak terpilah kepada bagian-bagian. Dan sesuatu yang mempunyai sifat dan tidak ada yang dapat menyerupainya. 
Allah dengan sifatnya tidak sama dengan sifat manusia atau siapapun. Allah maha melihat tidak sama dengan melihatnya manusia. Makanya ayat musytabihat yang memungkinkan adanya anggapan kesamaannya dengan makhluknya harus diakwilkan.
Kedua : Al-Adlu
Seperti yang kami tuliskan diatas sifat ini adalah sifat perbuatan. Kata adil ini bisa menyifati pelaku yang berarti tuhan maha adil, ia tidak akan berbuat buruk. Dan bisa juga menyifati perbuatan tuhan itu sendiri yang berearti pemberian hak-hak seseorang sesuai dengan perbuatannya.
Keadilan tuhan berarti:
1.      Maha suci dari segala bentuk kejahatan atau hal-hal buruk lainnya, segala perbuatannya adalah baik.
2.      Ia pasti melaksanakan segal janji dan ancamannya.
3.      Ia tidak akan memberikan taklif diluar batas kemampuan manusia.
Allah tidak menciptakan kesesatan dan keimanan, teapi manusia dengan akalnya bisa mengenal tuhan. Dalam hal ini juga manusia bebas menetukan pilihannya tanpa terikat dengan kemauan Allah, karena jikalau ia menciptakan iman dan inkar tentulah ia sendiri yang harus bertanggung jawab atas inkar dan iman tersebut. Karena mengazab orang yang terpaksa bersalah lebih kejam daripada mengazab orang karena kesalahan orang lain itu. Faham ini sangat erat kaitannya dengan dasar selanjutnya yaitu al-wa’du wal waid. Karena allah adil maka ia akan meminta pertanggung jawaban masing-masing.
Ketiga: al-wa’du wal waid
Karena ia adil ia memberikan taklif sebatas kemampuan manusia, akrena ia adil ia memberikan pahal dan dosa bagi yang berhak. Karena allah adil janji dan ancamannya akan terwujud. Manusia yang berbuat baik akan mendapatkan wa’dunya sedangkan yang berbuat ingkar akan mendapat waidnya. Dengan begitu tidak akan ada syafaat pada hari hisab.
Keempat: Al-Manzilah bayna Manzilatain.
Pendosa besar adalah fasiq tidak mu’min juga tidak kafir juga tidak mukmin ia berposisi diantara keduanya. Sedangkan nasibnya di akhirat adalah tergantung apakah ia bertobat atau tidak sebelum mati. Dosa besar adalah segala yangterdapat ancamannya dalam al-quran, seperti qadzaf, zina, membunuh dan lainnya. Konsep utama dari dosa besar adalah menyalahi aturan akal juga menyalahi aturan agama. Selain yang disebutkan hukumannya secara jelas oleh al-quran maka termasuk dosa kecil.
Bagaimanakh awal mula al-manzilah bayna manzilatain ini?
Dalam ayat qadzaf disebutkan bahwa mereka adalah orang yang fasiq, tapi tidak dijelaskan apakah ia keluar dari iman atau tidak, sedangkan para muslim berbeda pendapat apakah pendosa besar keluar dari iman atau tidak, dan mereka setuju bahwa pendosa besar adalah fajir dan fasiq.
Di dalam ayat lain disebutkan” dan perangilah ahli-ahli ktab yang tidak beriman kepada allah dan kepada hari akhir, dan tidak mengharamakan apa yang diharamkan oleh allah dan rasulnya. Juga tidak memeluk agama yang haq [at-taubah : 29]
Dan hadist nabi” seorang muslim tidak mewarisi orang yang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim”
Sedangkan pendosa besar tidak temasuk dalam kriteriua diatas. Sedangkan munafik hukumnya, apabila ia tidak memperlihatkan kenifaqannya maka ia tetap dianggap mu’min tapi apabila ia memperlihatkannya ia disuruh bertobat atau dibunuh.
Adapun mu’min dalam al-qur’an adalah” allah menjadi wali bagi orang-oang yang beriman [al-baqarah: 257]. Dalam ayat lain” dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman bahwa mereka akan mendapatkan keutamaan yang besar dari sisi allah [ali imran: 28]
Sedangkan pendosa besar dalam al-qur’an adalah “ ingatlah allah akan melaknat orang-orang yang dzalim (hud :18 ).Berati pendosa besar tidaklah mu’min tidak juga kafir, tapi fasiq dan fajir sesuai dengan kesepakatan orang muslim dan kehendak allah.
Kelima: al-amr bil ma’ruf dan nahy an munkar.
Yaitu memerintahkan atau menganjurkan untuk berbuat kebaikan dan melarang dari perbuatan yang munkar, ajaran ini lebih berkaitan kepada amalan lahir seorang mukmin daripada lapangan ketauhidan.
Allah menyuruh kaum muslimin untuk menyeru kepada kebaikan, menyiarkan agama dan memberikan petunjuk kepada yang sesat. Mu’tazilah dikenal alah satu yang giat dalam mengamalakan ajaran yang kelima ini. Iman tidak telepas dari perbuatan baik. Iman sesungguhnya adalah yang tercermin dalam perbuatan baik, mereka yang berbuat jelek akan masuk neraka kecuali jikalau bertobat.
F.     Sekte-sekte Mu’Tazilah.
Mu’tazilah adalah golongan rasionalis, mereka menjunjung tinggi akal, menganjurkan untuk meragui segala sesuatu. Bagi mereka seoang murid tidak salah untuk mendebat gurunya. Maka tak heran jikalau banyak terjadi perbedaan pendapat tokoh-tokoh mu’tazilah tapi itu hanya dlam beberapa masalah kecil bukan dalam lima perkara ajaran dasar. Sekte atau golongan mu’tazilah ini muncul akibat perbedaan pendapat dalam substansi-substansi pembahasan mereka. Biasanya golongan ini dinamai sesuai dengan nama pemimipin mereka, seperti Al-Bahsyamiah, an-nizhamiyah, al-jubbaiyah dan lain-lain. Salah satunya adalah golongan ahwal, yaitu merka yang meyakini akan ahwal bagi Allah. Aliran ini juga dikeal dengan nama Al-Bahsyamiyah yang dinisbatkan kepada tokohnya Abu Hasyim. Pendapat mereka adalah :
1.      Allah bersifat kalam tapi tidak dengan suara juga tidak dengan lambang, maka mushaf yang kita baca bukanlah kalam allah tapi lambang dari kalam Allah.
2.      Allah tidak mungkin melihat kepada manusia di akhirat karena melihat itu harus bertempat, sedangkan kalau bertempat berati ia terbatas.
3.      Sifat allahadlah apa yang ia sifati bagi dirinya dalam al-qur’an teapi dzat yang qadim tetaplah satu tidak terpilah.
4.      Ahwal yaitu keadaan tuhan. Menetapkan sift yang qadim bagi tuhan bukan berarti menetapkan ada yang qadim selain dzatnya, tapi sifat itu adalah keadaan, dengan begitu ahwal tidak akan ada jika dzatnya tidak ada dan dzatnya tidak ada jika ahwal tidak ada. Dan akal dapat membedakan antara menganal ahwal dan mengenal dzat.
Golongan selanjutnya adalah Nozhamiyah, yaitu pengikut ibrahim Siyar An-Naam. Pendapat An-Nazzham adalah:
1. keinginan Allah terbagi tiga:
üApabila kehendak itu berkaitan dengan perbuatan Allah menciptakan sesuatu maka disebut kaun.
ü  Apabila berkenaan dengan perbuatan manusia maka disebut dengan amr.
ü  Apabila berkenaan dengan perbuatan menciptakan sesuatu tapi belum terwujud maka disebut sebagai ketetapan.
2. mu’zijat al-qur’an bukanlah dari segi bahasanya, tapi:
ü  Informasi tentang yang ghaib.
ü  Informasi tentang kejadian lampau.
ü  Kehendak allah melemahkan manusia untuk menciptakan tandingan Al-Qur’an.
Pembagian sekte diatas adalah berdasarkan pendapat mereka yang berbeda dengan mayoritas tokoh mu’tazilah lainnya. Dua sekte yang kita sebutkan diatas adalah sekte yang paling terkenal dalam mu’tazilah. Selain itu, jika kita mnegelompokkan mu’tazilah berdasarkan sikap mereka, kita akan menemukan dua kelompok besar :
1.      Mu’tazilah eksteim.
Yaitu Mu’tazilah yang memeaksakan faham mereka kepada orang lain. Meskipun mayoritas kaum mu’tazilah bersikap moderat tapi ada juga yang ekstrim. Golongan ini lahir pada masa keemasan mu’tazilah, yaitu mereka y menyalahgunakan kekuasaan Al-Ma’mun.
Golongan ini adlah yang menjunjung tinggi dasar kelima. Golongan ini dikenal dengan nama Waidiyah (pengancam]. Dalam melaksanakan dasar yang kelima ini mereka tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan.
2.      Mu’tazilah moderat
Mayoritas kaum mu’tazilah adalah moderat, hal inilah salah satu yang membedakannya dengan Syi’ah maupun khawarij. Sikap moderat ini pulalah yang menjadi salah satu kunci kelanggengan aliran ini selama kurang lebih tiga abad lamanya.
G.    Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
1.      Washil bin Atho [80-131 H]
Lahir di Madinah, dalam satu riwayat diakatakan ia lahir sebagai budak, tapi kemudian tidak disebutkan bagaimana ia bebas, karena ia tidak mungkin menuntut ilmu dalam status budak. Ia alah seorang pembawa bendera dalam perang, dari kerjanya inilah ia mendapatkan bekal dalam menuntut ilmu. Madinah sebagai tempat kelahirannya tentu sangata berpengaruh dalam sistimatika argumentasinya, terbukti ia lebih banyak menggunakan dalil-dalil naqli daripada dalil aqli. Ia menulis beberapa karya meskipun tidak sampai kepada kita, seperti: Al-khutbah Al-khaliyah minar Riba, As-Sabil ila ma’rifatil Haq, Alf Masalah dan Al-khutbah fil Adli wa Tauhid.
2.      Amr bin Ubaid bin Bab [80- 140 H].
Lahir di Bulkh. Selain menjadi diplomat rahasia Bani Abbas ia juga seorang tukang besi bahkan industri besi. Dari penghasilannya inilah ia mempunyai bekal untuk menuntut ilmu.. ia diouji oleh hasan sebagai seorang yang berakhlak baik, zahid. Ia juga meriwayatkan hadist meskipun ia banyak dibenci oleh ahli hadist, karena ia berpendapat banyak hadist dhaif yang mereka riwayatkan adalah hadist dhaif.
Amr mahir dalam ilmu-ilmu rasional, ilmu naqli dan dunia dan akhirat, pada satu riwayat dikatakan bahwa ia termasuk orang terpintar pada zamannya. Ia juga pintar dalam berargumentasi. Ia berguru kepada Hasan Bashri bersama Wasil dan temasuk dari murid yang diusir.
3.      Abu Hudzail Al-Allaf [135-226 H]
Lahir dan tumbuh di Bashrah, di suatu desa yang mayoritas penduduknya adalah penjual makanan binatang, karena itu ia diberi gelar AL-Allaf. Oleh Al-Ma’mun ia diminta pindah ke Madinah hingga wafat disana. Ia berguru kepada Utsman At-Thawil, salah satu murid Washil. Ia banyak membaca buku-buku sastra, filsafat dan agama. Ia juga banyak bergaul dengan para sastrawan dan filosof.
4.      Ibrahim bin Sayyar bin Hanafi An-Nazzham [185-221 H]
Ia lhir dan tumbuh di bashrah, wafat pada masa Al-Musta’sim. Pada masa kelcilnya ia banyak bergaul dengan non muslim dan para filosofis. Hal sangat berpengaruh pada sistimatika argumentasinya. Sejak kecil ia terkenal dengan kecerdasan luar biasa.

Sumber : Makalah Ahmad Sholihin Siregar

1 komentar:

Unknown mengatakan...

min mohon maaf emang ga sekalian dikasih referensi sumber materinya kah?

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts