بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Selasa, 07 Mei 2013

Tuhan Yang Disaksikan (Bukan Yang Didefenisikan) Melalui Bukti Ketunggalan Realitas



Alkisah, seorang Arab Badawi bermaksud menjual sekarung gandum ke pasar. Berulangkali ia mencoba meletakkan karung itu di atas punggung unta; dan berulangkah ia gagal. Ketika ia hampir putus asa, terkilas pada pikirannya pemecahan yang sederhana. Ia mengambil satu karung lagi dan mengisinya dengan pasir. Ia merasa lega, ketika kedua karung itu bergantung dengan seimbang pada kendaraannya. Segera ia berangkat ke pasar.

Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang asing yang berpakaian compang-camping dan berkaki telanjang. Ia diajak oleh orang asing itu untuk berhenti sejenak, beristirahat, dan berbincang-bincang. Sebentar saja, orang Badawi itu menyadari bahwa yang mengajaknya berbincang itu orang yang banyak pengetahuan. Ia sangat terkesan karenanya. Tiba-tiba, orang asing itu menyaksikan dua buah karung bergantung pada punggung unta. "Bapak, katakan apa yang bapak angkut itu; kelihatan sangat berat", tanya orang asing itu. "Salah satu karung itu berisi gandum yang akan saya jual ke pasar. Satu lagi karung berisi pasir untuk menyeimbangkan keduanya pada punggung unta", jawab orang Badawi. Sambil tertawa, orang pintar itu memberi nasehat, "Mengapa tidak ambil setengah dari karung yang satu dan memindahkannya ke karung yang lain. Dengan begitu, unta menanggung beban yang ringan dan ia dapat berjalan lebih cepat."
Orang Badawi takjub. Ia tidak pernah berpikir secerdik itu. Tetapi sejenak kemudian, ketakjubannya berubah menjadi kebingungan. Ia berkata, "Anda memang pintar. Tapi dengan segala kepintaran ini mengapa Anda bergelandangan seperti ini, tidak punya pekerjaan dan bahkan tidak punya sepatu. Mestinya kepandaian Anda yang dapat mengubah tembaga menjadi emas akan memberikan kekayaan kepada Anda." Orang asing itu menarik nafas panjang, "Jangankan sepatu, hari ini pun saya tidak punya uang sepeser pun untuk makan malam saya. Setiap hari, saya berjalan dengan kaki telanjang untuk mengemis sekerat atau dua kerat roti."
"Lalu apa yang Anda peroleh dengan seluruh kepandaian dan kecerdikan Anda itu."
"Dari semua pelajaran dan pemikiran, aku hanya memperoleh sakit kepala dan khayalan hampa. Percayalah, semuanya itu hanya bencana bagiku, bukan keberuntungan." Orang Badawi itu berdiri, melepaskan tali unta, dan bersiap-siap untuk pergi. Kepada filsuf yang kelaparan di pinggir jalan, ia memberi nasehat, "Hai, orang yang tersesat. Menjauhlah dariku, karena aku kuatir kemalanganmu akan menular kepadaku. Bawalah semua kepandaianmu itu sejauh-jauhnya dariku. Sekiranya dengan ilmumu itu kamu ambil suatu jalan, aku akan mengambil jalan yang lain. Sekarung gandum dan sekarung pasir boleh jadi berat; tetapi itu lebih baik daripada kecerdikan yang sia-sia. Anda boleh jadi pandai, tetapi kepandaian Anda itu hanya kutukan; saya boleh jadi bodoh, tapi kebodohan saya mendatangkan berkat, karena walaupun saya tidak cerdik, tetapi hati saya dipenuhi rahmat-Nya dan jiwa saya berbakti kepada-Nya."
Kisah Jalal al-Din Rumi, yang diceritakan di atas, merupakan kritik halus kepada para filsuf yang berusaha mengetahui Tuhan dengan akalnya. Moral cerita ini ditutup dengan kuplet-kuplet berikut:
Jika kau ingin derita
benar-benar hilang dari hidupmu
Berjuanglah untuk melepaskan
'kebijakan' dari kepalamu
Kebijakan yang lahir dari tabiat insani
tak menarik kamu lebih dari khayalan
Karena kebijakan itu tidak diberkati
yang mengalir dari cahaya kemuliaan-Nya
Pengetahuan tentang dunia
hanya memberikan dugaan dan keraguan
Pengetahuan tentang Dia, kebijakan ruhani sejati
membuatmu naik keatas duniawi
Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan
semua pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan hati
dalam kecerdikan dan permainan bahasa
Raja sejati adalah dia
yang menguasai pikirannya
Bukan dia yang pikirannya
Menguasai dunia dan dirinya
Rumi menunjukkan bahwa dengan intelek kita tidak akan memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Intelek mempunyai kemampuan terbatas; dan karena itu, tidak akan mampu mencerap Tuhan yang tidak terbatas. Sekiranya intelek mencoba memahami Tuhan, ia akan memberikan batasan kepada-Nya. Tuhan para pemikir adalah Tuhan yang didefinisikan. Rumi mewakili para sufi yang ingin mengetahui Tuhan melalui pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta, bukan kata; melalui taqwa bukan hawa. Mereka tidak ingin mendefinisikan Tuhan; mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan menggunakan intelek, kita hanya akan mencapai pengetahuan yang dipenuhi keraguan dan kontroversi. Melalui mujahadah dan 'amal, kita dapat menyaksikan Tuhan dengan penuh keyakinan. Dalam Matsnawi, Daftar-e Sevon, Bait 1267, Rumi menyingkatkan pengetahuan hasil pemikiran: Az nazar keh guftesyan syud mukhtalef, an yeki dalesy laqb dad in alef. Karena pemikiran ucapan mereka bertentangan, kata yang satu dal kata yang satu alif. Seperti Kucing Schroedinger dalam fisika, pengamat menciptakan realitas. Tuhan menjadi hasil konstruksi manusia. Tuhan dapat muncul dalam berbagai "bentuk" sesuai dengan siapa yang memahami-Nya.
Seperti Rumi, Ibn 'Arabi menunjukkan kekeliruan pengetahuan tentang Tuhan yang dilakukan oleh para filsuf dan ahli ilmu kalam. Pemikiran tidak mungkin mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan; malahan pemikiran seperti itu hanya menghasilkan tipuan, khayalan, dan pertentangan. Ia menulis:
Pengetahuan ahli ilmu kalam dan filsuf berkenaan dengan esensi Tuhan bukanlah cahaya. Tidak ada satu madzhab pun yang tidak punya para pendukungnya. Mereka sendiri tidak sepakat, tetapi mereka tetap juga digambarkan sebagai kaum Mu'tazilah atau Asy'ariyah, seperti itu juga pada filsuf dalam ajaran mereka tentang Tuhan dan apa yang harus dipercayainya. Mereka belum sepakat di antara mereka tetapi setiap kelompok mempunyai status dan nama ... Kita melihat nabi dan rasul yang terdahulu dan yang kemudian sejak Adam sampai Muhammad, termasuk yang datang di antara mereka 'alayhim al-salam; mereka tidak pernah berikhtilaf dalam akar keimanan mereka pada Tuhan ... Jadi, berpegang-teguhlah kepada keimanan dan lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu dan ingat Tuhanmu pada waktu pagi dan sore (Q.S Al A'raf/7:205) dengan zikir yang ditetapkan syari'at kepadamu baik dengan mengulangi la ilaha illaAllah (tahlil) atau tasbih dan takutlah kepada Tuhan. Jika al-Haqq berkehendak untuk memberikan kepadamu apa yang Dia mginkan berupa pengetahuan tentang Dia, hadirkan akalmu dan hatimu (lubb) apa yang Dia berikan dan anugerahkan kepadamu berupa pengetahuan tentang Dia. Sesungguhnya inilah pengetahuan yang bermanfaat dan cahaya yang dengan itu hatimu hidup, dan berjalan bersamamu di dunia ini. Dengannya kamu selamat dari kegelapan syubhat dan keraguan yang terjadi pada pengetahuan yang dihasilkan oleh pemikiran (afkar) ... Saya sudah membimbingmu, saudara, bagaimana mencapai jalan pengetahuan yang bermanfaat. Jadi, bila kamu sudah merintis jalan yang lurus, ketahuilah bahwa Tuhan sudah membimbing tanganmu, memeliharamu, dan telah mempersiapkan kamu untuk diri-Nya.
Pada tempat lain, Ibn 'Arabi menulis:
Di antara berbagai kelompok, tidak ada seorang pun yang lebih tinggi dari orang yang memperoleh pengetahuan melalui taqwa. Taqwa terletak pada tingkat pencapaian pengetahuan yang paling tinggi. Ia saja yang memiliki keputusan yang pasti. Otoritasnya berada di atas setiap keputusan yang ada dan di atas setiap orang yang membuat keputusan. Ia adalah qadli yang terbaik. Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh pada tingkat permulaan. Karena itu, hanya orang yang berilmu di antara orang yang beriman yang dipilih untuk memperolehnya: yakni, mereka yang tahu bahwa ada Seseorang untuk kembali, dan menyaksikan-Nya dapat diraih. Jika mereka jahil dari pengetahuan ini, aspirasinya (himmah) akan sangat lemah sehingga sekiranya al-Haqq menampakkan diri-Nya (tajalli) kepada mereka, mereka akan menafikan-Nya dan menolak-Nya, karena pandangan mereka dibatasi (muqayyad) oleh sesuatu. Selama faktor pembatas itu tidak ada pada waktu penampakan diri-Nya (tajalli), mereka pasti akan menolak bahwa itu Tuhan, sekalipun Tuhan berbicara kepada mereka secara langsung atau mereka mendengar ucapan bahwa Dia itu Tuhan. Karena tidak memperoleh ilham dan karena pemikiran rasional mereka meyakinkan mereka bahwa tidak mungkin siapa pun dapat melihat al-Haqq --seperti para filsuf dan kaum Mu'tazilah-- bahkan sekiranya kita mengetahui-Nya, mereka niscaya menolak-Nya dalam penampakan-Nya kepada mereka. Diperlukan bagi orang beriman agar cahaya imannya membawanya kepada apa yang telah membawa Musa a.s. ketika ia bertanya: Ya Tuhanku, tampakkan diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat-Mu (Q.S Al-A'raf/7:143).
Apa yang dikritik Ibn 'Arabi dan para sufi lainnya bukan intelek dalam pengertian akal, tetapi salah satu di antara fakultas (quwwah) dibawah kekuasaan akal. Kekuatan itu disebut daya pikir (quwwah mufakkirah). Tidak mungkin kita mengulas epistemologi Ibn 'Arabi di sini, baik karena keterbatasan waktu maupun karena sudah adanya tulisan orang lain yang lebih lengkap. Tetapi secara singkat bisa kita katakan, bahwa Ibn 'Arabi menyatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan hanya dapat diperoleh bila intelek dihadapkan kepada hati dan mengambil pelajaran dari hati.
Sekali intelek diyakinkan tentang perlunya mengambil pelajaran dari hati, manusia memulai kelahiran baru dalam perjalanan panjangnya. Ia akan beristirahat di tempat tinggalnya, berhenti di daerah-daerah pedesaan, merasakan situasi baru setiap saat, menunggu dengan penuh gairah apa yang bakal datang, tetapi ia tidak akan pernah sampai, karena pengetahuan tidak punya akhir dan tidak ada batasnya.
Pengetahuan yang diperoleh melalui hati adalah pengetahuan yang sejati. Pengetahuan ini tidak didasarkan pada pendefinisian Tuhan, tetapi pada penyaksian Tuhan. Dalam istilah al-Qur'an, pengetahuan ini disebut pertemuan (liqa'). Bersama Ibn 'Arabi, al-Ghazali, al-Nasafi, dan tokoh-tokoh sufi lain sepanjang zaman kita diberi petunjuk bagaimana sampai kepada Pertemuan Agung ini.
Kebanyakan orang mengetahui Tuhan melalui berita tentang Tawhid yang dibawa dari Nabi Muhammad s.a.w. Mereka membenarkannya dengan hati, mengamalkannya dengan tubuh, tetapi mengotori diri mereka dengan dosa dan maksiat. Maka hiduplah mereka di dunia dalam kebodohan dan kekurangan. Mereka berada dalam bahaya besar kecuali yang disayangi oleh Yang Pengasih dari segala yang mengasihi.
Lebih tinggi dari itu, ada sekelompok manusia yang mengenal Tuhan dengan pembuktian. Mereka adalah ahli pikir, nalar, dan akal. Mereka meyakini tawhid berdasarkan dalil, ayat-ayat, dan tanda-tanda ketuhanan. Mereka mengetahui yang gaib atas dasar yang konkret. Mereka meyakini kebenaran dalil. Mereka berada pada jalan yang benar, hanya saja, mereka terhalang tirai dari Allah Ta'ala dengan perhatian mereka kepada dalil-dalil mereka. Ahli ma'rifat khusus mengetahuinya dengan keyakinan yang paling utama. Mereka tenteram dalam pengetahuan mereka. Tidak merisaukan mereka dalil. Tidak memalingkan mereka sebab. Dalil mereka Rasulullah s.a.w. Iman mereka al-Qur'an. Cahaya mereka menerangi di hadapan mereka.
Barangsiapa yang mengenal Allah Ta'ala berdasarkan berita maka ia seperti saudara-saudara Yusuf ketika mengetahui rupanya tapi tidak menyadarinya, sehingga mereka dipermalukan di hadapannya, ketika mereka berkata: jika ia mencuri maka sesunggulmya saudaranya telah mencuri pula sebelum itu (Q.S Yusuf/12:77). Barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan dalil maka ia seperti Ya'qub a.s. ketika tahu bahwa Yusuf masih hidup, sehingga bertambah-tambah tangisan dan penderitaannya, sehingga ditanggungnya berbagai bala sampai putih matanya karena kesedihan, karena tahu bahwa Yusuf masih hidup dan karena rindu untuk berjumpa dengannya. Ia berkata: Pergilah selidiki keadaan Yusuf, aku sudah mencium bau Yusuf. Karena ucapannya itu, orang-orang yang tidak tahu berkata; Demi Allah sesungguhnya engkau dalam kesesatanmu yang terdahulu (Q.S Yusuf/12:59). Mereka berkata: Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang-arang yang celaka (Q.S Yusuf/12:85).
Perumpamaan orang yang mengenal Tuhan melalui Tuhan adalah seperti Bunyamin yang diambil Yusuf untuk dirinya. Yusuf berkata: "Saudaraku, apakah kamu ingin menyaksikanku atau kembali kepada bapakmu?" Ia berkata: "Aku ingin menyaksikanmu". Yusuf berkata: "Jika kamu menginginkan aku, bersabarlah atas ujianku". Ia berkata: "Aku siap, karena engkau akan kupikul segala bencana asalkan aku tinggal bersamamu dan tidak berpisah denganmu". Kemudian Yusuf mengeluarkan gandum dari kantong Bunyamin dan menuduh saudaranya mencuri. Seluruh penduduk kola mengecam dan mengejek Bunyamin. Saudara-saudaranya mempersalahkannya. Tetapi ia sendiri bergembira, tertawa dalam kesendiriannya. Ia tidak takut pada ejekan orang-orang yang mengejek. Inilah perumpamaan ahli yaqin dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan.

Disamping itu, hubungannya dengan Tuhan yang disaksikan bukan yang didefenisikan, tentunya harus memahami pula tentang bukti ketunggalan realitas yang berisi tentang esensi dan makna kehidupan duniawi yakni sebagai berikut :

lautan dalam setetes air, karena bila tidak,
betapa mungkin lautan mengada
mentari ada dalam cahaya purnama, karena bila tidak, betapa mungkin purnama bercahya
hujan, yang menghujani dan yang dihujani, dapatkah engkau pilahkan, duhai Afkari
sebagaimana lautan, yang melauti dan yang dilauti, dapatkah engkau pisahkan, duhai Aqali

Puji pada Nya Yang Maha Kudus, dan tiada tersifati oleh apa pun, oleh siapa pun, kapan pun. Subhanalloohi ‘amma yashifuun. Kecuali oleh hamba-hambaNya yang ikhlash, illa ‘ibaadalloohi al-mukhlashiin, yakni yang telah menyadari tauhid af’aal,, yakni yang menyadari bahwa Pelaku Hakiki adalah Sang Maha Tunggal Yang Sempurna.
Demikian Ibnu ‘Arabi menguraikan bahwa Rasulullah tidak mengatakan barangsiapa fana (lenyap) dalam Tuhannya maka ia mengenal Tuhannya, namun Rasulullah mengatakan barrang siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya (man ‘arafa nafsahu faqod ‘arofa robbahu). Yakni, barangsiapa mengenal bahwa "dirinya" adalah "ketiadaan" dan hanya Tuhan Yang Ada dan Tiada Selain Dia, maka ia ( baca pula "Ia") telah mengenal Tuhannya.
Yakni, barangsiapa yang mengenal Ketunggalan Realitas yang menampakkan dirinya dalama alam maha-jamak ini, dan tidak melihat adanya sesuatu selain Dia Yang Tunggal dan Meliputi Segela Sesuatu yang tak lain adalah DiriNya Sendiri, maka ia (baca pula; " Ia") telah mengenal TuhanNya.
Maka orang yang percaya adanya penyatuan wujud manusia dan wujud Tuhan adalah puncak kesempurnaan perjalanan ruhani ada dalam kesesatan yang nyata, karena ia telah menyerupakan Tuhan dalam hal yang paling hakiki dengan manusia, tak lain adalah keberadaan atau wujudnya. Argumentasi lain adalah, bagaimana mungkin menyatukan yang tiada dengan yang Ada?
Mengenai orang-orang yang telah mencapai keadaan jiwa ilahiyyah seperti ini, yang telah lenyap dalam samudera Ketunggalan Keberadaan Tuhan seperti ini, mungkin inilah yang diibaratkan oleh Maulana, Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) dalam pesannya kepada Kumayl Ibn Ziyad (r.’a.) tentang sifat-sifat jiwa (nafs) yang al-kulliyyah al-ilaahiyyah (komprehensif ke-ilahian); …" ….dan bagi jiwa yang seperti ini terdapat dua sifat khas; ridho (terhadap qodho dan qadar Allah) dan taslim (berserah diri kepada Allah), dan hal ini sumbernya adalah dari Allah dan kepadaNya akan kembali, sebagaimana FirmanNya Ta’aala; dan Kami tiupkan ke dalamnya dari ruh Kami (wa nafakhnaa fiihi min ruuhinaa)…." Dalam riwayat ini, Imam’Ali menegaskan bahwa sumber-sumber keadaan jiwa yang ilahi adalah Allah itu sendiri, dengan merujuk kepada "Dan Kami tiupkan ke dalamnya dari ruh Kamii" Subhaanallooh.
Mengenai bukti (rasional dan filosofis) Ketunggalan Realitas salah satunya adalah sebagai berikut. Pertama, segala yang ada hanyalah lautan keapaan (atau disebut juga mahiyyah/esensi/kuiditas) , seperti halnya ruang, waktu, kopi, langit, atom, gen, yang akan mempunyai efek terhadap yang lain jika telah memiliki keberadaan.Kedua, dengan mengamati bahwa tanpa keberadaannya seluruh samudera keapaan tersebut tidak memiliki efek apa pun, yakni mereka tereduksi dalam keadaan ketiadaan, maka keberadaan lebih nyata (real) dibandingkan dengan keapaan. Ketiga, dengan mengamati bahwa ketiadaan segala sesuatu identik, maka keberadaannya pun identik, maka dapat disimpulkan bahwa Keberadan di Alam Real itu Tunggal. Keempat, dengan mengamati bahwa Keberadaan di Alam Real itu Tunggal, maka semua selain Keberadaan itu sendiri tidak memliki Keberadaan. Kelima, dengan mengamati bahwa semua selain Keberadan itu sendiri tidak memiliki keberadaan, maka keberadaan seluruh samudera maujudaat (hal-hal yang maujud) semuanya tidak real , kecuali Keberadaan itu sendiri. Dan inilah yang disebut dengan Realitas Tunggal yang meliputi semua namun bukan salah satu dari hal yang terliputinya sama sekali. Maha Suci Dia dari semua yang kita sifatkan.
bening dan hening, lautan kesejukan dalam
gemilang kerlap cahaya
buta segalat mata, tuli segala telinga, pula segenap rasa
oh layla perawan suci, kusentuh indahmu dengan indahmu dan
bukan selain itu
oh layla purnama rindu, kudesahi nanar matamu dan
keindahannya dengan celakmu dan bukan selain itu
 Bilama ada keindahan nan senantiasa perawan dan kecantian nan senantiasa terjaga dalam masudera ‘iffah (kehormatan serta keanggunan), maka tentulah itu adalah Dia, Yang Maha Cantik dan Teramat Menarik namun tak tersentuh oleh siapa pun, bahkan oleh pandangan siapa pun. Mata-mata majnun hingga nanar mengharapkan persuaan dengan layla pun yang didapatinya tak lebih dari domba-domba yang mengembik. Maka, dikisahkan dalam tarikh, betapa Penghulu Semua Wanita di Semesta Fathimah binti Muhammad (‘alaihimassalam) selalu dalam keadaan Perawan. Maha Suci Dia yang menjadikan kekasih-kekasihnya sebagai ibarat atas DiriNya Sendiri. Wa yabqoo wajhu robbika dzu aljalaali wa al-ikraami. Dan kekallah wajah Tuhanmu.
Maka, Dia-lah Sang Maha Suci Nan Senantiasa Perawan. Dia-lah Sang Maha Perawan, yang bahkan tak tersentuh oleh penglihatan apa pun selainNya dan pendengaran apa pun selainNya. Dalam hakikat KeDiaanNya (huwiyyah) tak mungkin selain Ia menyentuhnya dengan pemahaman (idrak) apa pun, dan tak mungkin pula menyentuhnya dengan apa pun (secara lahir maupun batin) bahkan Ia meliputi segala sesuatu. Allohumma inni as’aluka birohmatika allatii wasi’at kulla syai’. Yaa Allah, aku bermohon kepadaMu dengan rahmatMu yang meliputi segala sesuatu. Alaa innahu bikulli syai’in muhitth. Sesungguhnya Dia atas segala sesuatu Maha Meliputi. Laa tudrikuhu al-abshooru, wa huwa yudriku al-abshoora. Tak menyentuhNya (segala) penglihatan dan Dia menyentuh (segala) penglihatan.
Sebagian orang menganggap bahwa ayat laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa yudriku al-abshoora menegaskan bahwa :  Dia tak bisa dipersepsi oleh persepsi apa pun. Adanya realitas yang jamak, minimal adanya persepsi yang jamak
Muhyiddin Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa ayat laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa yudriku al-abshoora justru menegaskan Ketunggalan Realitas, bahwa hanya Dialah satu-satunya yang maujud dan tiada maujud selain Dia. Dalam Kitab Al-Ajwibah, beliau menuliskan sebagai berikut;
laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa yudriku al-abshoora, yakni, tak ada siapa pun dan tiada siapa pun yang berpenglihatan mampu untuk mempersepsiNya. Maka jika kita misalkan ada sesuatu yang lain selain Ia dalam keberadaan, maka kita mesti membolehkan bahwa selain di mempersepsiNya (minimal dalam satu aspek/modalitas keberadaannya yang dirasakan oleh sesuatu yang lain tersebut, penjelasan penulisan).
Tapi Tuhan (Yang Namanya Maha Tinggi) telah mengingatkan kita dalam firmanNya "Penglihatan-penglihatan tak menyentuhNya" yakni tidak ada apa pun disampingNya; artinya, tidak ada yang lain yang mempersepsiNya (dalam seluruh modalitas keberadaannya, penjelasan penulis) tapi Ia yang mempersepsiNya adalah Tuhan (Yang Namanya Maha Tinggi). Maka tak ada apa pun yang lain selain Dia. Dia lah yang mempersepsi Hakikatnya sendiri, dan bukan yang lain. Maka "Penglihatan-penglihatan tak mengenaiNya", secara sederhana adalah karena penglihatan-penglihatan adalah bukanlah sesuatu selain WujudNya sendiri. Dan bila ada yang mengatakan "Penglihatan-penglihatan tak mengenaiNya" karena penglihatan-penglihatan ini bermula hudust sedangkan yang hudust tak mungkin mempersepsi yang qidam", ia belum mengenal dirinya sendiri, karena tidak ada apa pun dan tidak ada penglihatan apa pun kecuali Dia. Dia, maka, mempersepsi WujudNya sendiri, tanpa keberadaan persepsi dan tanpa sifat."
menggapai-gapai jemari orok merah, susu ibuku tetek ibuku,
kerna di dalam susu-lah sermpurnalah ia
demikian pula majnun sang Qays, tanpa Layla pun ia teriakkan Layla, kerna di dalam Layla sempurnalah ia
menggapai-gapai lautan wujud nan mungkin,
wujud wajibku wujud wajibku, kerna di dalamNya sempurnalah ia
demikian pula khidir sang Hidup,
di samudera Hidup pun ia teriakkan Huwa,
 kerna di dalamNya sempurnalah ia
Man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa robbahu. Barangsiapa menganal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Demikian sabda Junjungan Kita YM Rasulullah SAWW. Maka salah satu ibarat yang dapat diambil dari ucapan Baginda Rasul SAWW tersebut; Barangsiapa yang mengenal kefaqiran esensial dirinya dan keinginan dirinya untuk menuju Kesempurnaan maka ia akan mengenal Tuhannya, taklain adalah Kesempurnaan itu sendiri.
Intelek (akal) manusia tiada yang tak memahami kefaqiran esensial dirinya sendiri. Apakah itu kefaqiran esensial? Bahwa diri seseorang, maupun semua miliknya, ataupun hal-hal yang jauhari ( substansial) maupun ‘aradhi (aksidental) dari dirinya, mungkin lenyap sesaat setelah ini. Sebuah roti kecil yang menyumbat jalan pernafasan bisa melenyapkan jiwa . Sebuah kompor kecil yang meledak bisa menghancurkan seluruh harta-benda maupun keluarga. Sebuah tabrakan maut dengan mudah melenyapkan jiwa-jiwa. Apakah benar manusia bisa memiliki sesuatu? Sedangkan dirinya sendiri pun tidak ia miliki? Apakah benar orang terkaya memiliki harta terbanyak? Dan apakah benar orang ‘alim memiliki ‘ilmu terbanyak? Sedangkan gerak jantungnya sendiri pun tidak ia miliki? Maka jelas bahwa antum al-fuqoroo` ila alloohi., kamu semua faqir terhadap Allah. Dan sesungguhnya Allah Maha Kaya atas sekalian alam, Innallooha ghoniyyun ‘ani al-‘aalamiina.
Di sisi lain, intelek(akal) memandang bahwa semua makhluk bergerak menuju yang lebih sempurna bagi dirinya sendiri secara spontan. Demikianlah bayi menangis mencari susu. Harimau lapar mencari makan. Laki dan wanita menikah. Hujan turun dari langit. Air sungai mengalir ke lautan. Wanita hamil makan lebih banyak. Dan lain-lain. Maka demikianlah manusia mengharapkan Kesempurnaan. Manusia belajar agar semakin berilmu, dan Berilmu adalah suatu kesempurnaan. Manusia makan agar berkekuatan, dan Berkekuatan adalah suatu kesempurnaan. Manusia bermain musik agar semakin lembut dan indah, dan Lembut maupun Indah adalah suatu kesempurnaan.
Pada saat lautan kefaqiran menerpa manusia, dengan bala dan bencana, dengan berbagai hal yang menggundahkan dirinya, dengan hambatan-hambatan untuk mencapai nikmat-nikmat kesempurnaan, maka hati manusia menyeru secara spontan pada Kesempurnaan Tunggal, tak lain tempat bergantungnya seluruh ide kesempurnaan yang ingin ia capai. Duhai Tuhan, Duhai Kenikmatan Yang Sempurna. Demikianlah, salah satu bukti adanya Tuhan adalah; bayangkan diri Anda terapung-apung di sebatang kayu kecil di samudera maha luas, maka saat itu apakah yang akan Anda bayangkan? Satu kefaqiran, ketakberdayaan total, kelemahan total diri, dan satu ketergantungan total ke Satu Fokus Yang Maha Kokoh. Saksikanlah demikian jelas dan terang dalam hati ! Allohu ash-shomad. Engkaulah itu Yaa Allah, An-Nuur, yang maha terang dan menunjuki segala yang di langit dan di bumi, dan Al-Qudduus, yang tak kan terjangkau oleh pandangan apa pun kecuali dirinya sendiri.
Maka kecenderungan hati manusia untuk menuju Kesempurnaan Yang Satu merupakan bukti nyata Keberadaan Kesempurnaan itu. Maka ingatkah kita akan "perjanjian" kita sebelum hidup di dunia ini dengan Tuhan; alastu birobbikum, qooluu balaa. Apakah Aku TuhanMu, mereka semua berkata yaa.
Padahal dapat dibuktikan dengan mudah bahwa kesempurnaan identik dengan keberadaan. Karena sesuatu disebut sempurna bila tak butuh selain dirinya, dan tak ada yang tak butuh selain dirinya untuk mengada selain keberadaan. Maka jika kesempurnaan itu ada, pastilah ia tak lain adalah keberadaan itu sendiri.
Maka, barang siapa mengenal dirinya, yakni kefaqiran esensialnya, dan mengenal bahwa Yang Sempurna(baca pula ; Ada) Hanyalah Satu, maka ia mengenal Tuhannya, yakni Kesempurnaan (baca pula; Keberadaan) itu sendiri.
Pada saat Pemimpin Mukminin Imam ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.) membicarakan tentang jiwa yang al-kulliyyatul-ilaahiyyah (komprehensif ilahi), Beliau (‘a.s.) menyifatkan lima kekuatan jiwa yang seperti ini; baqaa`un fii ial-fanaa` i, wa na’iimun fii asy-syiqaaqi, wa ‘izzun fii dzillin, wa ghoniyyun fii faqrin, wa shobron fii balaa`in(kekal dalam kefanaan, dan nikmat dalam kesengsaraan, dan mulia dalam kehinaan, dan kaya dalam kemiskinan, dan sabar dalam bencana. Dan beliau (‘a.s.) menegaskan pula bahwa Sumber dari kelima kekuatan ini adalah Allah dan kepadaNya-lah akan kembali. Maka, barang siapa mengenal dirinya, yakni kefaqiran esensialnya, dan Yang Kekal, Yang Nikmat, Yang Mulia, Yang Kaya, Yang Sabar hanyalah Dia Yang Maha Sempurna , maka ia telah mengenal TuhanNya, yakni Kesempurnaan itu sendiri.
Maha Suci Allah, Yang baginya segenap Kesempurnaan, di awalnya maupun di akhirnya, di segala tempat dan segala waktu, di segala alam yang tampak maupun yang gaib.
Tunjukilah kami semua WajahMu Yang Mulia, Yaa Allah, dengan keterputusan kepada selainMu,
dan hanya pada wajahMu dan gemilangnya saja kami menatap.
Bihurmati Muhammadin wa aali Muhammad.
Wa allohu a’lam bi ash-showwab.

Sumber :
Dimtri Mahayana
Jalaluddin Rakhmat                                                                  

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts