بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Jumat, 17 Mei 2013

Epistemologi Kiri Friedrich Wilhelm Nietzsche



Himbauan Penulis Sebelum Membaca Artikel Singkat ini !!!
Camkan dalam hati bahwa ambillah sebuah pemikiran sebelum pemikiran itu menguasai anda, serta Ucapkanlah, “bimillahi rahmanirrahiim”
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Dan Maha Penyayang

Selamat datang dalam khazanah pemikiran Nietzsche,,,
Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf bertubuh kecil dan lemah yang pikirannya menggegerkan Eropa ini lahir di Rocken, Prusia 15 oktober 1884. Tanggal ini bertepatan dengan tanggal lahir Raja Prusia Friedrich Wilhelm, sehingga oleh ayahnya ia diberi nama yang sama. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Ayahnya seorang pendeta dan kakeknya seorang ahli teologi yang mempunyai bakat menulis. Ia dididik dalam suasana penuh kelembutan dan kemanjaan dari ibu dan saudara-saudara perempuannya. Ia adalah seorang yang lembut dan pemalu. Kegemaran utamanya adalah membaca. Pada masa kecilnya ia paling tekun membaca Injil. Hidupnya banyak dirundung malang dan penderitaan, namun ia tidak pernah mengeluh. Hidup itu dilaluinya dengan gagah berani, menghadapi resiko dengan jantan, sebagaimana semboyannya “Amor Fati”.
Pada masa sekolah dan mahasiswa, dia banyak berkenalan dengan orang-orang besar yang kelak memberikan pengaruh terhadap pemikirannya, seperti John Goethe, Richard Wagner, Arthur Schopenhauer dan Friedrich Ritschl. Karier akademis bergengsi yang pernah didudukinya adalah sebagai Profesor di Universitas Basel.
Kesehatannya memburuk sehingga ia melepaskan jabatannya ini. Mengembara mencari tempat yang nyaman dan tenang menyelesaikan karyanya. Menjelang akhir hidupnya dia dirawat di rumah sakit jiwa. Setelah ibunya meninggal, ia dirawat saudaranya, Elizabeth. Saudaranya sangat sedih melihat kondisinya. Bahkan Nietzsche sudah tidak sadar kalau namanya mulai besar.
Pada usia 46 tahun, tanggal 25 Agustus 1900 rajawali kaum filsuf ini menghembuskan nafas terakhir di Weimar. Ia meninggalkan nama dan karya-karya yang sampai hari ini tidak usang untuk dinikmati berulang-ulang. Oleh Nietzsche, sejarah filsafat diperkaya dengan halaman-halaman baru: segar, ganas, gemilang, gila, … namun merupakan karya-karya besar. (Fuad Hasan, 1989:77).
Filsafat Nietzsche tidak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Filsafatnya sekaligus adalah pandangan hidupnya. Ada nilai lebih membaca karya Nietzsche yang tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan tentang filsafat, namun jauh lebih dari itu, yakni pengetahuan tentang hidup. Ia mempunyai arti penting dalam sejarah filsafat sebagaimana dikatakan oleh R.J. Hollingdale (Penerjemah karya-karya Nietzsche selain Walter Kaufmann). Ia memimpin sederetan filsuf-filsuf besar Jerman sejak Leibniz. Ia mengantisipasi pemikiran abad kedua puluh dalam banyak hal, juga meramalkan sejarah abad ini secara menakjubkan (Hollingdale, 1968: 10).
Ia adalah filsuf, psikolog, kritikus seni music damn sastra, dan filolog. Dalam semua tema yang disajikan, ia mampu mengemukakan dengan gaya bahasa yang menarik dan pandangan-pandangan yang orisinil. Nilai historis Nietzsche sangat besar. Pemikirannya yang meloncat dan meramalkan masa depan sangatlah mengagumkan. Ia adalah filsuf bagi para filsuf, tetapi ia lebih besar dari para filsuf lainnya, karena ia juga menjadi filsuf bagi orang kebanyakan (Hollingdale, 1968: 10-11).
Filsafat Nietzsche seperti samudra yang menampung air dari berbagai aliran sungai. Ada warna realisme, empirisme, skeptisme, radikalisme, positivisme, vitalisme, dan pragmatisme. Dari berbagai warna aliran tersebut, di tangan Nietzsche melebur menjadi filsafat nihilisme, dimana warna berbagai aliran tersebut sulit untuk dilihat wujudnya secara terpisah.
Adapun filsafat Nihilisme Nietzsche merupakan bentuk kritik terhadap postulat Plato. Plato, seorang filsuf Yunani yang tumbuh paska era Sokrates, dikenal dengan pendapatnya bahwa dunia ini terbagi atas dua bagian, yakni dunia indrawi dan dunia idea. Dalam dunia indrawi inilah manusia mengenal doxa (pendapat), sedang pada dunia selainnya yang ia sebut sebagai dunia idea barulah manusia bersinggungan atau masuk ke dalam dunia ideal yang diantaranya mengenai episteme (pengetahuan). Dengan kata lain, kepastian dan kesahian sebuah kebenaran menurut pendapat Plato hanya dan ada lewat dunia idea ini, karena pada hakikatnya kebenaran hanya bersemayam di ranah ini. Dunia indrawi semata-mata hanyalah sekumpulan persepsi dan pendapat yang adakalanya saling menegasi satu sama lain, yang oleh karenanya bersifat kabur dan tidak tetap. Sedangkan, sebuah kebenaran tidaklah demikian. Ia berifat tetap dan absolute.
Dan karena dunia idea bersifat begitu istimewa, maka menurut Plato, tentu tak semua orang mampu memasuki dunia ini. Hanya orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaanlah (para filsuf salah satunya) yang mampu memasuki ranah ini. Oleh karenanya, pada zaman itu, pendapat Plato mendorong manusia untuk berupaya memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan demi menemukan absolutsitas yang bertengger dalam dunia idea. Kebenaran yang terutama pengetahuan dan kebijaksanaan pun melalui Plato diseret menjadi sedemikian ekslusif. Ia bukan lagi sekedar kebenaran, tapi lebih mengarah kepada simbol-simbol. Pandangan inilah yang kemudian pada gilirannya memicu timbulnya pemikiran filsuf-filsuf sesudahnya dengan gagasan transcendentalnya yang bermuara pada pembentukan pandangan metafisika yang kemudian dibungkus dalam tradisi keagamaan dalam bentuk-bentuknya yang beragam. Lahirlah manusia-manusia dengan pola hidup zuhud yang tak lagi memikirkan kemajuan duniawi. Hidupnya hanya semata-mata untuk menyiapkan kehidupan sesudah mati. Hidup pun pada akhirnya menjadi berjalan sedemikian lamban.
Sikap-sikap masyarakat Eropa yang terkena waham Platonis (yang dinilainya begitu hipokrit) inilah yang kemudian mengilhami Nietzsche untuk berontak keluar mengobrak-abrik doktrin yang kian mapan itu melalui filsafat nihilismenya. Kehadiran filsafat nihilisme Nietzsche dalam dunia Barat membuat banyak kalangan tercengang. Ia datang sebagai penawar atas filsafat transcendental Barat yang telah berhasil mengalungkan “kuk” ke leher kebenaran hingga menjadikannya sedemikian ekslusif dan bersifat monolitik. Nietzsche mengobrak-abrik semua tatanan yang sudah sedemikian mapan ini dengan diredusir dan dipertanyakan kembali. Menurut Nietzsche, doktrin-doktrin kebenaran yang diadopsi dari faham Platonis yang hipokrit itu bukan saja melemahkan daya vital manusia tapi juga membuat manusia tunduk dan dibuat tidak berdaya dalam satu keyakinan absolut yang tanpa disadari justru mendistorsi manusia sebagai makhluk yang memiliki kehendak untuk berkuasa.
Nietzsche dengan filsafatnya mengajak manusia untuk kembali ke keadaan fitrahnya sebagai manusia, yakni manusia yang memiliki vitalitas untuk berkuasa. Ia begitu yakin, bahwa agama-agama yang ada dan berkembang pada saat itu mengadopsi doktrin Plato yang oleh karenanya membuat para pemeluknya menjadi sedemikian lemah dan hipokrit. Kenapa? Karena menurut Nietzsche, gagasan Plato yang bersemayam dalam doktrin-doktrin agama tersebut mengajarkan pola-pola hidup yang sangat bertentangan dengan kodrat manusia, yakni bahwa hidup di dunia pada hakikatnya hanyalah ilusi, sedang kehidupan sesungguhnya baru akan dimulai ketika manusia memasuki dunia atas (baca: surga). Maka tak heran, dalam cara pandang seperti ini, orang-orang beragama memilih hidup pasrah pada apapun ketentuan Tuhan yang diguratkan oleh kitab suci. Bagi Nietzsche hal tersebut adalah ketololan besar, manusia telah ditipu daya melalui bahasa-bahasa dogmatis agar menggaransikan hidupnya hanya pada kekuatan absolute, padahal menurutnya, agama tidak lain adalah sebuah strategi untuk menghilangkan sengat manusia, sehingga melaluinya manusia digiring untuk menegasi realitas inderawi.
Untuk itu, Nietzsche dengan nihilismenya ingin melepaskan manusia dari belenggu agama tersebut, karena baginya agama merupakan kendala terbesar umat manusia untuk membermaknai hakikat dirinya. Nietzsche yakin benar bahwa kehidupan yang penuh gairah adalah ketika manusia hidup tanpa nilai atau nir makna. Oleh karenanya, untuk kembali merebut keadaan itu tentu manusia wajib merenggutnya dari satu entitas yang selama ini diyakini sebagai pemilik tunggal nilai-nilai. Tuhan. Hanya melalu ketiadaan sang pemilik tunggal nilai-nilai itulah, manusia akan benar-benar memahami eksistensi diri sebagai manusia unggul, tapi sebaliknya, jika manusia tetap memelihara Tuhan dalam dirinya selaku pemilik tunggal enigma kebenaran dari nilai-nilai absolute, maka sama artinya dengan membiarkan eksistensi atau kemampuan adi-kodrati kita selaku manusia dilucuti tanpa syarat yang pada akhirnya memposisikan manusia itu sendiri sebagai tawanan nilai-nilai tanpa bisa berbuat apa-apa. Makanya, Nietzsche pun mewartakan pesan tunggal pada manusia: membunuh Tuhan, dan jadilah manusia unggul !
Kuajarkan Manusia-Unggul kepadamu. Manusia adalah sesuatu yang harus diatasi.
Manusia-Unggul adalah makna bumi. Biarkan kehendakmu berkata: Manusia-Unggul seharusnya menjadi makna bumi. Semua Tuhan sudah mati; kini kita mau Manusia-Unggul hidup-biarkan ini menjadi kehendak terakhir kita satu hari kelak ketika pasang tengah hari besar!
”.  Demikian sabda Zarathustra, pesannya untuk umat manusia.
Nihilisme dapat diartikan sebagai ketiadaan makna serta penolakan pada nilai-nilai absolut, karena itu yang ada adalah kekosongan nilai-nilai. "Nich ist wahr, alles ist erlaubt". Tidak ada sesuatu yang benar, segalanya diperbolehkan sehingga pernyataan dan pengakuan akan kebenaran dalam pandangan Nietzcshe adalah palsu. Dalam mengatasi nihilisme manusia harus menciptakan nilai-nilainya sendiri dengan mengadakan pembalikan nilai-nilai (transvaluation of all values), pembalikan nilai-nilai ini sebagai bukti kekuatan semnagat untuk menjadi manusia unggul. Pemikiran Nietzsche bisa diringkaskan sebagai eksistensi manusia lama itu nihilisme, maka mesti diperbaharui. Nihilisme merupakan paham pemikiran yang menyatakan bahwa makna hidup manusia berakhir dalam ketanpaartian.
Dalam pemikiran Nietzsche, paham ini dipuncakkan dengan menunjukkan nihilisme nilai-nilai yang ada dan ia mewartakan nilai-nilai baru yang harus dihayati secara baru dengan moral baru yang bertolak pada manusia eksistensial secara baru pula. Secara sepintas nihilismenya mempunyai arti yang sama dengan usaha melenyapkan - memusuhi nilai-nilai. Baginya nihilisme berarti melenyapkan nilai-nilai imanen, fisik, sejarah, material dengan cara menegaskan berlakunya nilai-nilai absolut, langgeng. Dengan demikian nilai-nilai yang kita pandang absolut, langgeng itu berlaku sebaliknya bagi Nietzsche.
Dalam kerangka nilainya, Nietzsche bertitik tolak dari suatu pandangan revolusioner, yaitu bahwa nilai-nilai absolut (nilai-nilai rohani), transenden dan seterusnya itu benar-benar memalukan, melemahkan manusia sejati yang merupakan kumpulan nilai remeh dan lemah yang diajarkan kaum imam dan penguasa yang mengajak umat manusia untuk baik, tunduk, rendah hati sehingga membuat manusia seperti unta yang mesti membawa semua beban kehidupan di punggungnya. Bagi Nietzsche sebenarnya hanya ada nilai-nilai otentik yang sejati, yaitu nilai-nilai material, nilai-nilai tubuh, nilai-nilai hidup, nilai-nilai dari bumi ini di dunia ini. Nietzsche sendiri sebelum meninggal berkata bahwa dalam seluruh hidupnya ia mempunyai satu tujuan, yaitu melenyapkan nilai-nilai transenden, rohani yang menjadi dasar kebudayaan Barat dan mau melaksanakan penggantian nilai-nilai. Dengan itu ia mau memulai suatu kebudayaan baru "dengan bangkit kembali, menapak selangkah lebih tinggi dari keadaan dan pandangan hidup yang lemah dan sakit menuju tapak konsep-konsep yang lebih sehat, menuju nilai-nilai kepastian dan kekayaan diri pribadi dalam hidup yang penuh. Sayalah guru itu dan dengan kepalan tanganku, aku siap merobek nilai-nilai yang melemahkan untuk menggantinya". Semua karangan dan tulisan dari tahun 1888-1889 mengarah ke ambisi tersebut sebagai karya sistematis tentang nihilisme nilai-nilai dan usaha penggantiannya (sampai ia sendiri lalu tidak waras).
Jika ditelusuri, ada dua bentuk pemikiran dalam jalan pemikiran nihilisme Nietzsche. Di satu pihak, pemikirannya bersifat merombak, mendobrak, dan menghancurkan (una pars destruens). Di sini yang menonjol adalah pola pemikiran untuk memusnahkan nilai-nilai kekal, absolut dengan seluruh wujud-wujudnya yang diketahui terutama moral, agama, dan filsafat yang mendukung sistem nilai absolut tersebut. Ia menyerangnya dengan sistematis dan garang. Di lain pihak pemikirannya mempunyai pola membangun (una pars construens) yang meliputi uraian teori baru tentang nilai-nilai lalu disusul konsepsi baru mengenai realitas (itu berarti konsepsi vital dan dionisius). Dari empat buku pokoknya, tiga buku ditulis untuk pola yang pertama, yaitu merombak nilai-nilai absolut dan satu buku untuk pola yang kedua, yaitu untuk membangun dasar nilai-nilai baru. Seluruh karyanya berjudul Volontadi Potenza (Kehendak untuk Berkuasa) atau Transvalutasi (Penggantian Semua Nilai). Ia merencanakan membagi Transvalutasi dalam :
1.      Buku I : Antichrist, sebagai usaha untuk mengritik habis-habisan Kristianisme.
2.      Buku II : Roh yang Merdeka (Lo Spirito Libero), sebagai kritik terhadap filsafat yang merupakan usaha yang nihil.
3.      Buku III : The Immoralist, sebagai kritik terhadap moral yang merupakan ketidaktahuan yang paling kekanak-kanakan.
4.      Buku IV : Dionisius, sebagai sebuah filsafat tentang kembalinya keabadian.
Ia membuat strategi yang cukup pintar dengan menjual pemikiran pertamanya di pasar, lalu nilai-nilai barunya ia masukkan untuk mengganti nilai-nilai lama yang mau dibasminya.
Kemudian dalam perkembangan peradaban, seiring dengan perkembangan pengetahuan alam pikiran manusia, banyak pemikiran kalangan filsuf yang dikaji oleh ahli-ahli sejarah ataupun ilmuwan-ilmuwan yang menghabiskan hampir separuh hidupnya untuk mengetahui rekam jejak lahirnya pemikiran para filsuf terdahulu. Hal ini diperuntukkan agar generasi hari ini mampu memahami seluk beluk atau latar belakang lahirnya ide-ide filsuf-filsuf terdahulu guna meneropong kehidupan masa depan.
Hubungannya dengan pemikiran Nietzsche, ada satu pertanyaan yang begitu penting untuk diajukan, yaitu apakah Nietzsche mempunyai konsep epistemologi ? Pertanyaan ini mungkin muncul dalam pikiran kita pada umumnya, atau bahkan mungkin juga bagi mereka yang berkutat di dunia filsafat. Memang, Nietzsche menjadi terkenal bukan karena pandangan epistemologinya. Ia lebih dikenal karena pemikirannya dalam bidang filsafat moral atau etika. Pemikiran epistemologinya tidak begitu diminati oleh para epistemolog. Sulit sekali ditemukan buku-buku khusus epistemologi yang mengambil pemikirannya sebagai rujukan atau tulisan tersendiri. Kalau toh epistemologi Nietzsche dimunculkan, itupun dalam rangka untuk memahami pemikirannya secara keseluruhan. Mengapa hal ini terjadi ? mengapa pemikiran epitemologi Nietzsche tidak didudukkan sejajar dengan epistemologi rasionalisme Rene Descartes, kritisisme Immanuel Kant atau Idealisme Hegel. Padahal dalam kenyataannya, pemikirannya merupakan kritik atau reaksi dari filsuf-filsuf besar tersebut. Sebagai seorang filsuf besar (terlepas dari gaya bahasanya yang urakan dan provokatif), penolakan atau kritik tersebut tentu berdasarkan pada argumentasi yang dalam, bukan hanya sekadar masalah suka atau tidak suka. Nampaknya tidak adil jika selama dua abad ini pemikiran epistemologinya terpinggirkan.
Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan manusia. Beberapa permasalahan dalam epistemologi adalah bagaimana memperoleh pengetahuan yang bisa menjamin kebenaran kenyataan, metode dan sarana serta sumber apa yang dapat dipercaya untuk mendapatkan pengetahuan. Apapun aliran dan permasalahan yang dibicarakan dalam epistemologi tidak bisa dilepaskan dari peran akal. Yang berhasrat ingin tahu adalah manusia yang berakal dan apa yang diketahui, diolah dan tersimpan dalam akal.
Di sinilah Nietzsche mengajukan pandangan kontroversialnya. Pandangan epistemologinya diawali dengan suatu asumsi dasar bahwa kita harus menggunakan skeptisme radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada yang dipercaya dari akal. Terlalu naïf jika akal dipercaya mampu memperoleh kebenaran. Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan dengan akal diperoleh pengetahuan atau kebenaran, maka akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.
Secara implisit, pernyataan ini sudah merupakan penghalang bagi orang lain untuk melirik pandangan epistemologinya. Karena apa yang diungkapkan dan dipikirkan Nietzsche pun dengan sendirinya juga dianggap salah. Kesalahan atau kekeliruan adalah momok bagi mereka yang ingin mendapatkan kebenaran. Inilah gambaran sekilas tentang epistemologi Nietzsche, namun jika dipahami secara mendalam banyak sekali aspek-aspek yang belum tergali. Inilah yang menyebabkan kesalahpahaman terhadap pemikiran Nietzsche.
Hal ini bisa dianalogikan dengan seorang mahasiswa kedokteran yang mempelajari ilmu kedokteran dengan asumsi dasar bahwa nyawa manusia ada di tangan Tuhan. Sehingga pada hakikatnya tidak ada yang diharapkan bisa dilakukan oleh seorang dokter.
Wacana epistemologi, sejak zaman Plato sampai dengan zaman Descartes, bahkan sampai pada zaman kontemporer sekarang ini adalah berupaya untuk mencari kebenaran. Namun tidak bagi Nietzsche, pengetahuan itu tidak untuk mencari kebenaran. Pengetahuan itu untuk mengukuhkan kekuasaan. Pengetahuan itu untuk berkuasa. Pengetahuan itu selalu terkait dengan kehendak untuk berkuasa (The Will To Power).
Epistemologi Nietzsche di tengah zaman modern yang ditandai dengan dominasi akal ini nampak aneh dan sulit untuk diterima. Pendobrakan dogmatisme (kemapanan) akal dengan konsep The Will To Power membuat Nietzsche seperti dalang yang keluar dari pakem. Perbedaan itu sangat nampak sekali dan bahkan berkontradiksi 180 derajat antara filsafat Nietzsche dengan pemikir-pemikir besar yang menjadi kekuatan mainstream saat itu, baik dalam penggunaan bahasa epistemologi maupun materi yang disajikan.
Terlepas dari semua itu, epistemologi Nietzsche layak untuk dikaji dan diperbincangkan. Pemikirannya yang tidak bisa diterima oleh zamannya telah mulai menunjukkan pengaruh dan kekuatannya pada masa sekarang ini. Hal ini dapat dirasakan pada epistemologi Karl Popper dengan falsifikasinya dan juga pada kaum eksistensialis. Nuansa Nietzschean dalam epistemologi postmodernisme (pluralisme, dekonstruksi, relativitas) sangat terasa sekali.

Sumber :
-------------, 1968, The Will to Power, translated by Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale, Vintage Books, New York.
Fuad Hasan, 1989, Berkenalan Dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya, Jakarta.
Kaufmann, Walter, 1967, ‘Nietzsche, Friedrich’ dalam The Encyclopedia of Philosophy, ed. Paul Edward, Vol. V, Collier Macmillan, London.
Nietzsche, Friedrich, 1968, 1968, Twilight of Idols and The Anti-Christ, translated by R.J. Hollingdale, Pinguin Books, Middlesex.
          
          

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts