بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Senin, 13 Mei 2013

Selayang Pandang Mengenai Ibn Khaldun



Pada 1382 M, seorang Sarjana Muslim Arab yang mengabdi kepada penguasa Tunisia meminta izin sang penguasa untuk melakukan perjalanan haji ke Mekkah. Setelah mengantongi izin, ia pun berlayar dengan kapal laut menuju Iskandariyah, Mesir. Pada usianya yang ke-50, barulah ia meninggalkan negeri-negeri Maghrib (bagian Barat dunia Islam), dimana ia dan nenek moyangnya telah memainkan beragam peran yang penting.
 ‘Abd Al-Rahman ibn Khaldun (1332-1406) berasal dari sebuah keluarga yang telah meninggalkan Arab selatan menuju Spanyol setelah wilayah itu ditaklukan oleh bangsa Arab, dan kemudian menetap di Sevilla. Ketika kerajaan-kerajaan Kristen Spanyol utara berekspansi ke selatan, keluarga tersebut pun berangkat menuju Tunisia. Banyak keluarga yang memiliki tradisi sebagai pekerja budaya dan pelayan Negara melakukan hal yang sama dan mereka pun membentuk di kota-kota Maghrib suatu kelas bangsawan yang pengabdiannya dimanfaatkan oleh para penguasa lokal.
Kakek buyut Ibn Khaldun ikut berperan dalam politik istana Tunisia, tetapi tidak disukai, lalu dibunuh; kakeknya juga adalah seorang pegawai istana, sedangkan ayahnya menjauhi politik dan menjalani kehidupan sunyi seorang sarjana. Ibn Khaldun sendiri memperoleh pendidikan yang ketat dari ayahnya dan dari para sarjana yang mengajar di mesjid dan sekolah-sekolah Tunisia atau yang berkunjung ke kota tersebut. Ia melanjutkan studinya ketika ia mulai beranjak dewasa ke kota-kota lain, karena hal itu adalah bagian dari tradisi yang ia warisi, dimana seorang laki-laki dewasa harus menuntut ilmu pengetahuan dari semua orang yang dapat mengajarkannya. Dalam autobiografinya, Ibn Khaldun membeberkan nama-nama para sarjana yang kuliahnya ia ikuti serta materi-materi yang mereka ajarkan. Ia belajar, antara lain Al Quran yang diyakini umat muslim sebagai kalam Illahi yang diwahyukan dalam bahasa Arab melalui Nabi Muhammad; Hadis atau tradisi-tradisi yang mengandung perkataan dan perbuatan Nabi; Yurisprudensi, ilmu hukum dan moralitas sosial yang didasarkan pada Al Quran dan Hadis; Bahasa Arab yang tanpanya mustahil ilmu-ilmu agama dapat dimengerti; serta ilmu-ilmu rasional, seperti matematika, logika, dan filsafat. Ia merinci kepribadian dan kehidupan para gurunya dan menginformasikan kepada kita bahwa sebagian besar mereka, seperti halnya kedua orang tua Ibn Khaldun , meninggal karena terjangkit “Kematian Hitam”, wabah penyakit yang melanda dunia pada pertengahan abad ke-14 M.
Pada usia belia, penguasaan Ibn Khaldun atas bahasa dan ilmu yurisprudensi membawanya mengabdi kepada penguasa Tunisia. Mula-mula sebagai sekretaris, kemudian pada posisi-posisi riskan yang lebih berat tanggung jawabnya. Periode 20 tahun ini dipenuhi aneka keberuntungan. Ia meninggalkan Tunisia dan mengabdi kepada penguasa lain di Maghrib, lalu ke Granada, ibu kota kerajaan Spanyol Muslim yang paling akhir bertahan. Di sana ia berhasil menarik perhatian, lalu diutus membawa sebuah misi kepada penguasa Kristen di Seville, kota para leluhurnya, tetapi ia menuai kecurigaan dan karenanya ia pun segera hengkang ke Aljazair.
Sekali lagi ia menduduki jabatan, mengerjakan urusan pemerintahan di pagi hari dan kemudian mengajar di mesjid. Ia berperan mengajak pemimpin Arab atau Berber yang menghuni padang-padang rumput dan pegunungan untuk mengadakan persekutuan politik dengan para penguasa patronnya. Pengaruh yang ia peroleh bersama para pemimpin tersebut sangat berguna tatkala ia, seperti terjadi berkali-kali dalam hidupnya, tidak lagi disenangi oleh patronnya. Suatu ketika, ia menjalani empat tahun (1375-1379) hidup dalam sebuah kastel di pedesaan Aljazair di bawah perlindungan seorang kepala suku Arab. Masa itu adalah tahun-tahun ketika ia terbebas dari urusan dunia dan menghabiskan waktunya menulis sejarah dinasti-dinasti Maghrib, yang dibangun dalam suatu kerangka yang luas.
Bagian awal dari sejarah ini, Muqaddimah (Prolegomena)1, telah menarik banyak perhatian hingga saat ini. Di dalamnya, Ibn Khaldun berusaha menjelaskan berdiri dan jatuhnya dinasti-dinasti dalam suatu cara yang dapat menjadi patokan guna menilai kredibilitas narasi-narasi historis. Ia percaya bahwa bentuk paling sederhana dan paling awal dari masyarakat manusia adalah yang dicontohkan oleh masyarakat penghuni padang-padang rumput dan pegunungan , yang bercocok tanam dan menggembala ternak, serta mengikuti para pemimpin yang tidak mengikuti kekuasaan terorganisasi. Masyarakat seperti itu memiliki suatu kebaikan dan energi alamiah tertentu, tetapi tidak mampu secara mandiri menciptakan pemerintahan yang stabil, kota-kota, dan budaya yang tinggi. Untuk memungkinkan hal tersebut, harus ada seorang penguasa yang memiliki kewenangan khusus dan sosok seperti itu dapat membangun dirinya hanya ketika ia sanggup menciptakan dan menguasai kelompok pengikut yang menganut ‘ashabiyyah’, yakni suatu semangat bersama yang diarahkan kepada pencapaian dan pemeliharaan kekuasaan. Yang paling tepat merepresentasikan kelompok ini adalah orang-orang energik yang mendiami padang-padang rumput dan pegunungan. Kelompok ini dapat disatukan oleh perasaan dari keturunan yang sama, baik nyata ataupun fiktif, atau oleh perasaan saling ketergantungan, serta diperkuat oleh penerimaan yang sama terhadap satu agama. Seorang penguasa dengan kelompok para pengikut yang kuat dan padu dapat mendirikan sebuah dinasti. Manakala pemerintahan dinasti itu stabil, kota-kota akan tumbuh dan disana akan muncul spesialisasi-spesialisasi, gaya hidup mewah, dan budaya yang tinggi.
Namun, setiap dinasti membawa dalam dirinya benih-benih kemunduran. Ia dapat dilemahkan oleh tirani, gaya hidup yang berlebihan, dan hilangnya kualitas-kualitas memerintah. Kekuasaan yang nyata mungkin saja berpindah dari sang penguasa ke anggota kelompoknya sendiri, tetapi lambat laun dinasti itu bisa jadi digantikan oleh dinasti lain yang dibangun dengan cara yang sama. Manakala ini terjadi, tidak hanya sang penguasa tetapi juga segenap rakyat yang melandasi kekuasaannya, serta kehidupan yang telah mereka ciptakan, bisa jadi sirna, seperti dikatakan oleh Ibn Khaldun dalam konteks lain : “Ketika terjadi suatu perubahan umum atas kondisi-kondisi, maka itu berarti seolah-olah seluruh makhluk telah berubah dan segenap dunia pun tergantikan.”2 Bangsa Yunani dan Persia, “kekuasaan-kekuasaan terbesar di dunia pada masanya”3, telah digantikan oleh bangsa Arab yang kekuatan dan kekuasaannya telah menciptakan suatu dinasti yang membentang dari Arabia hingga Spanyol. Namun, pada gilirannya merekapun digantikan oleh bangsa Berber di Spanyol dan Maroko dan oleh bangsa Turki di sebelah timur.
Keberuntungan para penguasa diikuti oleh keberuntungan para pembantunya. Ketika berangkat menuju Iskandariyah, Ibn Khaldun sedang memulai sebuah karier. Ia tidak menunaikan ibadah haji pada saat ini, meskipun ia harus melakukannya nanti, tetapi ia berangkat ke kairo, kota  yang membuatnya terkagum-kagum karena memiliki skala yang berbeda dengan kota-kota lain yang dikenalnya. Ia adalah “kota metropolitan, tanah semesta, tempat berkumpul bangsa-bangsa, sarang berjubelnya manusia, tempat Islam yang mulia, takhta kekuasaan”4. Kairo adalah ibu kota kesultanan Mamluk, satu diantara Negara-negara muslim terbesar pada saat itu, meliputi Suriah dan juga Mesir. Ibn Khaldun pun dipersembahkan kehadapan penguasa, menarik perhatiannya, dan memperoleh hadiah. Lalu, ia diberi posisi sebagai guru di beberapa sekolah istana. Dia mengirim utusan untuk menjemput keluarganya di Tunisia. Namun naas menimpa, mereka semua tenggelam di tengah perjalanan laut.
Ibn Khaldun menetap di Kairo sampai akhir hayatnya. Kebanyakan waktunya ia jalani untuk membaca dan menulis, tetapi pola hidupnya yang terdahulu terulang kembali dalam silih bergantinya pengaruh dan kebencian yang ia tuduhkan kepada para musuhnya, tetapi yang mungkin saja diakibatkan oleh kepribadiannya sendiri. Berkali-kali penguasa menunjuknya sebagai hakim pada salah satu pengadilan tinggi. Akan tetapi, berkali-kali pula ia kehilangan atau sengaja meninggalkan kedudukannya. Ia pergi bersama sultan ke Suriah dan mengunjungi tempat-tempat suci di Jerussalem dan Hebron. Ia berkunjung kesana untuk kedua kalinya ketika Damaskus dikepung Timur Lenk, satu penakluk Asia yang masyhur, yang telah menciptakan sebuah imperium yang meliputi India utara hingga Suriah dan Anatolia. Ia melakukan pembicaraan dengan Timur Lenk, seorang yang pada dirinya ia temukan suatu contoh kekuatan memerintah, yang benar-benar bertumpu pada kekuatan tentara dan rakyat, yang mampu mendirikan sebuah dinasti. Ia tidak berhasil menyelamatkan Damaskus dari kehancuran, tetapi memastikan perjalanan yang aman bagi dirinya sendiri kembali ke Mesir. Namun, di tengah perjalanan ia dicegat dan dirampok di perbukitan Palestina.
Kehidupan Ibn Khaldun sebagaimana ia gambarkan, menjelaskan kapada kita tentang dunia yang ia jalani, yakni dunia yang sepenuhnhya mengingatkan kita tentang kelemahan ikhtiar manusia. Karirnya sendiri menunjukkan betapa tidak stabilnya persekutuan kepentingan yang melandasi dinasti-dinasti guna mengawetkan kekuasaannya. Pertemuannya dengan Timur Lenk di Damaskus menjelaskan betapa bangkitnya suatu kekuatan baru dapat mempengaruhi kehidupan kota-kota dan penduduknya. Di luar kota, tatanan tidak menentu, seorang duta penguasa dapat dijarah, seorang hakim yang tidak disukai dapat mencari perlindungan di luar jangkauan kendali kota. Kematian orang tuanya akibat penyakit menular dan anak-anaknya akibat kapal tenggelam memberikan suatu pelajaran tentang tidak berdayanya manusia di tengah genggaman takdir.
Namun, satu hal tetap dan nampaknya tidak berubah yakni suatu dunia dimana sebuah keluarga dari Arab selatan dapat pindah ke Spanyol, dan setelah berlalu enam abad kembali ke daerah tidak jauh dari tempat asalnya dan masih menemukan dirinya akrab dengan lingkungan sekitar, dan memiliki kesatuan yang mengatasi perbedaan jarak dan waktu. Bahasa Arab dapat menempati kedudukan yang memengaruhi seluruh dunia; sebuah bidang pengetahuan, ditransmisikan selama berabad-abad oleh rangkaian guru yang diketahui, merawat suatu masyarakat bermoral bahkan ketika para penguasa berubah. Tenpat-tempat ziarah, Makkah dan Jerussalem, adalah kutub-kutub dunia manusia yang langgeng kendatipun kekuasaan berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Dan, iman kepada satu Tuhan yang mencipta dan memelihara dunia ini dapat memberikan makna di tengah permainan takdir. 

Sumber :
1.      Albert Hourani.2004. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, terjemahan dari A History of The Arab Peoples. Penerjemah Irfan Abu Bakar. PT. Mizan Pustaka. Bandung.
2.      ‘Abd Al-Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah (Kairo, t.t), h. 33; terjemahan Inggris, F. Rosenthal, The Muqaddimah (London, 1958), Jil. I, h. 65.
3.      Ibid., h. 163; terjemahan Inggris, Jil. 1, h. 330.
4.      Ibn Khaldun, Al-Ta’rif bi Ibn Khaldun, editor M.T. Al-Tanji (Kairo, 1951), h. 246; terjemahan Prancis, A. Cheddadi, Ibn Khaldun: le voyage d’occident et d’orient (Paris, 1980), h. 148.                   

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts