بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Rabu, 10 April 2013

La Kilaponto Sang Pemersatu



 1.        Polemik dan Interpretasi
Perdebatan tokoh dan Budayawan Sulawesi Tenggara tentang siapa Lakilaponto, apakah tokoh tersebut adalah tokoh yang sama?. Menurut penulis aneka versi yang di kedepankan oleh khususnya tokoh, budayawan lokal: Buton, Muna,Tolaki maupun penulis terdahulu,pada prinsipnya memiliki pandangan sama bahwa Lakilaponto adalah tokoh legendaris di empat kerajaan besar yang pernah ada di Sultra. Pro kontra terletak pada rasionalitas silsilah,tahun dan peran tokoh tersebut, penonjolan nama yang berkonsekwensi gagalnya untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional.

Prof. Rustam Tamburaka dalam Buku Sejarah Sulawesi Tenggara (2004) menulis  : bahwa Haluoleo adalah putra dari perkawinan Elulanggai dan Wealanda (2004:212), sementara pada bab lain khusus sejarah Muna dan Buton Haluoleo putra hasil perkawinan Sugimanuru dan Watubapala (2004: 385). Bagan silsilah (2004: 281-285) Raja Konawe menjelaskan bahwa sejak pertengahan abad ke V (428-447) seorang Mokole Roro dan Elulanggai sebagai raja ke III akhir abad ke V (476-498). Elulanggai beristri Wepabula dan lahir Toletelangi beristrikan Wasitau (498-528). Khusus wasitau dalam Silsilah Buton Muna bersuami Latiworo (abad ke16). Jika Haluoleo atau Lakilaponto memerintah 1493-1587(versi Buton –Muna) maka perbedaan usia Elulanggai dan putrinya adalah 1000 tahun. Lebih lanjut Haluoleo memiliki 3 istri; Wasamika,Wetoburi,dan Wekilinggi . Pada bagan lain Wekilinggi bersuami Latamandalangi yang memerintah tahun 1088-1118. berarti perbedaan lebih 400 tahun dengan Haluoleo.

Adanya indikator persamaan pengakuan tokoh dan budayawan lokal dari keempat etnik Buton-Muna dan Tolaki-Mekongga termuat nama Wasitau dan pengakuan Elulanggai sebagai Sugimanuru (Tamburaka,2004:). Dengan demikian dapat membuka kaitannya dengan versi silsilah Buton - Muna bahwa Pertama Wasitau adalah putri raja Konawe kawin dengan Lakina Tiworo sebagai hasil perkawinan Sibatara Raja Buton I dan Wabokeo yang menurut Lakimi Batoa (wawancara april 2006) berdarah Buton-tolaki. Lakina Tiworo–Wasitau melahirkan selanjutnya watupabapala perkawinannya dengan Sugimanuru yang melahirkan Lakilaponto. Dengan demikian kata pemersatu baik secara konsangunity maupun Affinity, Latoolaki atau haluoleo memiliki 3 hubungan darah keturunan suku Buton-Muna–Tolaki dan maupun prestasi dalam mempersatukan kerajaan-kerajaan yang bertikai di Sulawesi Tengagara seperti mendamaikan  Konawe dan Mekongga.

Hubungan harmonis antarkomunitas kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara pada masa itu tidak saja disebabkan oleh kedekatan kultur dan geografis akan tetapi disebabkan faktor sosial – ekomomi. Dalam pada itu proses kawin mawin antarkomunitas kerajaan terutama bagi kalangan petinggi kerajaan tidak dapat dihindari. Inilah yang dimaksud dengan strategi politik dalam kerajaan tradisional dalam rangka membangun hubungan kerjasama yang harmonis antarkomunitas kerajaan. Lama kelamaan terjalinlah lintas kepemimpinan dengan figur pemimpin berdarah campuran, hal ini terlihat pada kepemimpinan raja La Kilaponto, yaitu pernah memimpin lima kerajaan besar di Sulawesi Tenggara pada zamannya (Kerajaan Buton, Kerajaan Wuna, Kerajaan Kaledupa, Kerajaan Konawe dan Kerajaan Kabaena) hal ini sebagaimana dijelaskan kutipan di bawah ini.

“adapun tatkala Murhum menjadi raja dalam negeri Butun ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian negeri yang besar yaitu Butun dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri ini seperti Kaledupa dialihnya, Mekongga dialihnya, dan Kobaena dialihnya. Maka sekalian negeri pun dialohnya oleh Murum (La Niampe, 2004; Koleksi Belanda, hal 1).”

La Kilaponto sebagai raja di setiap kerajaan yang dipimpinya bukan semata-mata karena kharismatik yang dimilikinya akan tetapi karena kedekatan hubungan kefamilian dengan raja-raja di tempat ia diangkat menjadi raja. Menurut silsilah kefamilian (lihat lampiran) tampak bahwa La Kilapinto tidak saja memiliki hubungan kefamilian dengan keluarga raja-raja di Sulawesi Tenggara seperti Kerajaan Buton, Kerajaan Wuna, Kerajaan Tiworo, Kerajaan Mekongga, Kerajaan Kamaru, Kerajaan Moronene, akan tetapi lebih jauh memiliki hubungan kefamilian dengan raja-raja Bugis, Jawa, Melayu dan Cina (La Niampe, 2004).

2. Nama dan Gelaran
La Niampe, (2004) mengungkapkan bahwa dalam beberapa kitab kuno Buton yang tersimpan di Koleksi KTLV Negeri Belanda terutama yang memuat Silsilah Raja-Raja Buton dan Silsilah Raja-Raja di Muna di peroleh keterangan bahwa nama La Kilaponto selalu diikuti dengan dua nama lain yaitu Murhum dan La Tolaki. Hal ini seperti dijelaskan salah satu kutipan di bawah ini.

“Bahwa inilah  anaknya Wa Kaaka yang tinggal di dalam negeri Buton ini yang bernama Bulawambona. Maka Bulawambona bersuami  dengan Labaluwu, maka beranakan seorang laki-laki Bancapatola namanya yaitu Batara Guru, maka Batara Guru beristri dengan Waeloncugi yaitu Dungkucangia tetapi asal peri juga, maka Batara Guru dan Waeloncugi pun beranak tiga orang laki-laki pertama raja Manguntu, kedua Tua Maruju, ketiga seorang laki-laki yang bernama Kiyaijula. Mka Kiyaijula beristri dengan anaknya raja Tiworo Wa Randea (namanya) saudara Wa Sitao istri Mokole Konawe beranakan Wa Tubapala, maka Wa Tubapala bersuami dengan raja Wuna bernama Sugimanuru. Setelah itu, maka Wa Tubapala beranak tiga orang, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Laki-laki itu La Tolaki namanya, timbang-timbangan La Kilaponto yaitu Murhum, dan lagi seorang Kobankuduna yaitu La posasu namanya. Dan perempuan itu Wa Karamaguna yaitu Wa Ode Pogo, (La Niampe, 2004).

Dalam tradisi lisan muncul pula nama Haluoleo yang menurut Rustam Tamburaka nama terakhir ini adalah salah satu nama lain dari La Kilaponto dan Murhum, tetapi kebenaran pendapat tersebut masih memerlukan studi lebih lanjut. La Niampe, (2004) menjelaskan bahwa Agar tidak terjadi kesalahpahaman keempat nama dimaksud dijelaskan seperti di bawah ini.

2.1.  La Kilaponto
Nama La Kilaponto umumnya lebih populer di kalangan masyarakat Muna. Beliau adalah putra Raja Wuna keenam bernama Sugimanuru. Menurut Couvreur (1935:5) Sugimanuru mempunyai empat belas orang putra terdiri atas sebelas orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Keempat belas orang dimaksud adalah (1) Kakodo, (2) Manuntara, (3) La Kakolo, (4) La Pana (5) Tendridatu, (6) Kalipapoto, (7) Wa Sidakkari, (8) La Kilaponto, (9) La Posasu, (10) Rimaisimba, (11) Kiraimaguna, (12) Patolakamba, (13) Wa Gulo, dan (14) Wa Ode Pogo, (La Niampe, 2004).

2.2. Murhum atau Marhum
Nama Murhum umumnya populer di dalam lingkungan komunitas masyarakat Buton. Murhum adalah gelar yang diberikan kepada La Kilaponto setelah dilantik menjadi Sultan Buton yang pertama oleh Syekh Abdul Wahid berkebangsaan Aran dan salah seorang imam dari Patani tahun 948 H atau 1542 M. Beberapa penulis sejarah Buton menjelaskan bahwa gelar Murhum diberikan kepada Raja La Kilaponto setelah meninggal dunia, (murhum berasal dari kata al-marhum). Sesungguhnya tidaklah demikian, akan tetapi nama murhum dikaitkan dengan nama sebuah kampung dari Patani berdekatan dengan kampung Kerisik. Menurut Saghir Abdulah (2000: 37) Kampung Murhum dikenal sebagai pusat kegiatan kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Imam Patani yang mendampingi Syekh Abdul Wahid pada saat pelantikan Raja La Kilaponto menjadi Sultan Buton berasal dari Kampung Murhum ini. Tampaknya gelar Murhum tidak saja disandang oleh sultan Buton tetapi juga oleh sultan Aceh dan Ternate, (La Niampe, 2004).

Dalam Hikayat Patani (Teeuw, 1970: 133; La Niampe, 2004).) kata Murhum atau Marhum merupakan padanan kata raja. Perhatikan kutipan di bawah ini:
Setelah sampai ke patani, maka syahbandar pun masuk menghadap Duli yang dipertuan Murhum, “Suruh panggil orang itu”. Maka Cau Hang pun masuk menghadap murhum dibawah oleh Syahbandar. Maka titah paduka Murhum .......
Di patani terdapat beberapa Murhum ; Murhum Tambangan, Murhum Besar, Murhum Bungsu, Murhum Tengah, Murhum Teluk, dan Murhum Kelantan.

2.3.  La Toolaki
La Niampe, (2004) menjelaskan bahwa nama La Tolaki ini, meskipun kurang populer di masyarakat (Buton, Muna dan Tolaki), banyak ditemukan dalam beberapa kitab kuno dan arsip-arsip Kerajaan Buton dan Wuna. Menurut kedua sumber tersebut, La Tolaki merupakan nama lain dari La Kilaponto dan Murhum yang juga putra Raja Muna Sugimanuru. La Tolaki adalah nama gelar yang diberikan kepada La Kilaponto setelah diangkat menjadi Mokole di Konawe. Salah satu sumber arsip menjelaskan seperti di bawah ini:

“Setelah beberapa lamanya maka terdengar kabar oleh La Kilaponto (Murhum) bahwa mama dari Wa Sitao anak dari Mokole Konawe telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta benda yang menjadi pusaka Wa Sitao dan Wa Randea nenek Murhum tersebut. Mendengar itu, maka La Kilaponto (Murhum) sampai di Konawe maka diangkatlah oleh syarat Konawe menjadi Mokole dan disebutkan namanya La Tolaki. Beberapa lamanya beliau menajdi Mokole Konawe, maka terjadilah perang antara Mekongga dan Konawe, dalam peperangan dimana Konawe mendapat kemenangan”. (La Ode Abdul Kudus, 1946: 2).

Kata Tolaki terdiri dari dua kata, to berarti orang dan laki berarti jantan. Jadi Tolaki berarti orang jantan atau pahlawan. Orang jantan yang dimaksud di sini ditujukan kepada La Kilaponto atas keberanian dalam mendamaikan du kelompok yang berperang.
2.4 . Haluoleo
Munculnya nama Haluoleo sebagai nama lain La Kilaponto, Murhum, dan La Tolaki pada prinsipnya baru dikenal kemudian dan mengemuka setelah dipublikasikannya hasil penelitian Rustam Tamburaka dkk bertajuk Sejarah Sulawesi Tenggara. Nama ini hanya muncul dalam tradisi lisan, tidak pernah disebut-sebut dalam kitab-kitab kuno atau pun dalam arsip-arsip kerajaan. Haluoleo dalam bahasa Tolaki delapan hari (halu = delapan, dan  oleo = hari). Dalam kemunculannya sebagai tradisi lisan tampaknya pemahaman terhadap Haluoleo telah melahirkan beberapa versi cerita yang berbeda satu sama lain, (La Niampe, 2004).

Menurut versi Tolaki sebagaimana dikembangkan oleh Rusatam Tamburaka dkk, Haluoleo adalah nama tokoh yang penamaanya dihubungkan dengan proses kelahirannya yaitu menjelang kelahirannya ibu dari pasangan salah seorang kepala suku di Konawe mengalami sakit sehingga delapan hari. Versi Muna dan Buton, Haluoleo bukan nama tokoh akan tetapi nama Peristiwa Sejarah. Ketika itu La Kilaponto menajdi mokole di Konawe, terjadilah perang saudara antara Mekongga dan Konawe. Perang tersebut berlangsung selama delapan hari dan berhasil didamaikan oleh La Kilaponto atau La Tolaki. Sementara itu versi Moronene, Haluoleo dikenal sebagai tokoh yang sangat berpengaruh sehingga ia diangkat menjadi Raja Moronene. Menurut versi ini, Haluoleo dikenal sebagai putra Raja Luwu dan mempunyai dua orang putra masing-masing Mororimpu sebagai Raja Rumbia dan Sangia Tewaleka sebagai Raja Poleang.

Sebagaimana telah disinggung terdahulu bahwa La Kilaponto pernah menajdi Raja di tiga kerajaan besar di Sulawesi Tenggara, yaitu Buton, Wuna dan Konawe. Tidak diperoleh keterangan yang pasti berapa lama La Kilaponto menjadi raja atau Mokole di konawe. Ia menjadi raja Wuna selama tiga tahun kemudian digantikan saudaranya yaitu La Posasu dengan gelar Kobangkuduna kemudian La Kilaponto menjadi raja di Buton selama empat puluh enam tahun.

Ada beberapa hal penting yang patut dicatat dalam lembaran sejarah Sulawesi Tenggara sehubungan dengan perjuangan La Kilaponto di antaranya :
1.   La Kilaponto telah menunjukkan keberhasilannya dalam menumpas bajak laut dari Tobelo yang dipimpin La Bolontio. Ketika itu telah membuat Raja Buton V Rajamulae tidak berdaya lagi.
2.   La Kilaponto telah menunjukkan keberhasilannya dalam mendamaikan perang saudara antara Mekongga dan Konawe sehingga ia digelar La Tolaki. Dalam istilah Muna dan Buton disebut peristiwa delapan hari (Haluoleo).
3.   Ketika menjabat sebagai Raja Buton, seluruh kerajaan lain di wilayah Sulawesi Tenggara bagian kepulauan menyatu dengan pemerintahan kerajaan Buton, kecuali empat kerajaan besar (Wuna, Tiworo, Kaedupa dan Kolensusu) tetap berstatus sebagai kerajaan yang memiliki otonomi khusus, yang dikenal dengan istilah Barata Patapalena.
4.   Agama Islam yang sekarang ini menjadi mayoritas di Sulawesi Tenggara pertama kali masuk melalui Buton yang ketika itu diterima secara resmi oleh Raja La Kilaponto dan masuk dalam lingkungan istana kerajaan yang ditandai dengan peristiwa penobatannya dari status raja menjadi sultan dengan gelar Murhum, (La Niampe, 2004).

9 komentar:

abdu samad mengatakan...

BAGUS DAN ILMIAH

abdu samad mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
acil mengatakan...

luar biasa kakanda

BLOG mengatakan...

The best

BLOG mengatakan...

The best

BLOG mengatakan...

The best

BLOG mengatakan...

The best

Unknown mengatakan...

ok

Unknown mengatakan...

Mantao

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts