بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Selasa, 07 Mei 2013

Sistem Pemerintahan Zaman Sultan Buton (Kadie)



Kesultanan Buton:
Asal muasal penduduk Buton adalah migrasi kelompok orang yang datang dari Johor pada abat 13, yang dikenal dengan empat kelompok:, mereka membagi pendaratan menjadi empat bagian yaitu:
1.        Kelompok pertama dipimpin oleh Si-Panjonga. Mereka mendarat di Sulaa kota Bau-bau sekarang.
2.       Kelompok yang dipimpin oleh Si-Malui, mendarat di Kapontori
3.       Kelompok yang dipimpin oleh Si-Tamanajo yang mendarat di Kamaru
4.      Dan kelompok Si-Jawangkati di Mawasangka (Wilayah Buton Bagian timur).
Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, dan Sijawangkati. Kemudian dikenal dengan sebutan mia patamiana (empat orang) yang dianggap sebagai peletak dasar kerajaan Buton.  Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio yang saat ini berada didalam Kota Baubau serta membentuk system pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 limbo (4 wilayah pemerintahan kecil) yaitu : (1) Gundu-gundu; (2) Barangka Topa; (3) Peropa; dan (4) Baluwu. Masing masing wilyah dipimpin oleh seorang bonto, sehingga lebih dikenal dengan patalimbona (4 orang yang memimpin) diwilayah tersebut diatas. Keempat orang bonto tersebut, disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang raja.
Selain 4 limbo yang disebutkan diatas di Buton telah berdiri kerajaan kecil seperti: (1) Tobe-tobe; (2) Kamaru; (3) Wabula; (4) Todanga; dan (5) Batauga. Maka atas jasa patalimbona kerajaan kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa kaa (seorang wanita keturunan dynasty Fatimiyah dengan silsila berasal dari Persia, Putri Raja Persia, Wa Kaa Kaa datang dari Negeri Tiongkok, karena ketika pertama kali mereka datang di wilayah Buton, atribut kerajaan di ikutkan, misalnya saja lambang-lambang kerajaan berupa Naga, lambang nenas, pakaian-pakaian kerajaan, termasuk ajaran kepercayaannya yaitu agama Budha, walaupun Wa Kaa Kaa sendiri telah menganut Islam, dan atribut-atribut wanita lainnya yang sekarang telah dijadikan pakaian adat Buton, Wa Kaa Kaa bersuamikan Sibatara, turunan bangsawanan kerajaan Majapahit menjadi raja pertama pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari 4 orang bonto atau patalimbona (saat ini hampir sama dengan lembaga legislative).  Dalam periodisasi sejarah Buton telah mencatat dua fase penting yaitu:
(1) Masa pemerintahan kerajaan tahun 1332 sampai pertengahan abad 16 dengan diperintah oleh 6 orang raja diantaranya dua raja perempuan yaitu Wa Kaa kaa dan Bulawambona, ini mendandakan bahwa sejak masa lalu di Buton derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat.
(2) Masa pemerintahan Kesultanan sejak masuknya agama islam di Kerajaan Buton pada tahun 948 Hijriah (1542 M) bersamaan dilantiknya Lakilaponto, sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada Muhamad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke 38 yang berakhir tahun 1960.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan 3 kelompok atau rombongan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya; kelompok berikutnya berasal dari kekaisaran China dan menetap di Buton dan kelompok ketiga berasal dari kerajaan Majapahit.

Sistem Kerajaan atau Kesultanan:
Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan yaitu:
(1)  Golongan bangsawan  atau kaomu (pemegang adat dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan);
(2) Golongan walaka atau rakyat biasa. Susunan kekerabatan Kaomu terbagi atas 3 golongan yang disebut kamboru-mboru talupalena (tanailandu, tapi tapi dan kumbewaha). Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada ditangan golongan walaka. Namun yang menjadi sultan harus berasal dari golongan kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan diantara yang terbaik. 
Kelompok Walaka merupakan keturunan dari Sipanjonga  memiliki tugas untuk menentukan bibit unggul untuk dilatih dan di didik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti. Sistem pemerintahan kerajaan atau kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan : (1) Sara pangka sebagai lembaga eksekutif; (2) Sara gau sebagai lembaga legislative; (3) Sara bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli mengklaim kalau system ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencentuskan konsep trias politica. Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton 12 diantaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan, dan hukumannya termasuk hukuman mati.
Pengaruh demokrasi dalam system kesultanan, juga berlaku pada anggota pengurus Mesjid Agung Keraton Buton, yang berjumlah lima puluh enam orang namanya sarakidina. Mereka datang dari keturunan bangsawan dan rakyat jelata. Tugas mereka terdiri dari satu orang lakina agama, satu orang imam, empat orang khatib, sepuluh orang moji, dan empat puluh orang anggotanya. Di era Indonesia modern, pengurus mesjid tidak diperbolehkan berpolitik, karena dapat mengganggu independensi  dewan mesjid. Mereka juga setiap saat bisa dicabut wewenang dan jabatannya ketika membuat kesalahan

Pemilihan Sultan
Manakala seorang meninggal dunia ataupun diturunkan dari tahtanya karena dianggap melakukan pelanggaran adat, maka sultan yang baru harus segera dipilih  dan dilantik untuk mengisi jabatan  sultan yang kosong.
1.        Pertama tama yang dilakukan oleh angota syarat kerajaan (sarana wolio) yang utama yakni sapati, kenipulu, bonto ogena dan sio limbona adalah melakukan pertemuan untuk membicarakan soal pengambilan alat alat kelengkapan kemualian sultan dari kamali (istana) sultan yang wafat atau diturunkan. Dalam bahasa Wolio alat kelengkapan ini disebut dengan istilah parintana baluwu o‘Peropa. 
2.       Semua angota kerajaan bertemu/hadir secara lengkap (tanpa sultan) hadir di baruga maka kedua bonto ogena (menteri besar) mengirim perutusan untuk mengambil alat kelengkapan kemulian sultan tersebut. Perutusan ini terdiri dari 8 bonto atau menteri dari sio limbona ditambah dengan 8 orang lain yang sudah terpilih dari kelompok babato sebagai wakil mereka. Alat tersebut dibawa ke Bbaruga dari baruga diantar ke rumah bonto peropa dan disimpan disana sampai pelantikan sultan yang baru tiba, pertimbangannya adalah bahwa pengambilan alat setelah 120 hari wafatnya sultan.  Dalam pertemuan selanjutnya untuk menentukan hari diadakan pencalonan, rapat dipimpin oleh sapati yang dihadiri pembesar kerajaan seperti kenipulu, kedua kapitalao, kedua menteri besar  yaitu bonto ogena dan kesembilan bonto atau menteri sio limbona.
3.       Setelah adanya kesepakatan tentang hari pencalonan, maka menteri besar yang tertua umurnya mengundang kesembilan menteri sio limbona dan satu menteri besar lainnya untuk hadir dalam penentuan calon sultan. Dalam penentuan calon sultan ini hanya hadir 11 orang,  pertemuan kali ini dipimpin oleh bonto ogena dan calon yang dikemukakan harus dari kalangan bangsawan keturuanan kamboru-mboru talu palena. Pada pertemuan itu para bonto  dari sio limbona mengemukakan calon mereka pada bonto ogena, nama calon  yang mereka ajukan  boleh lebih dari 1 orang, tetapi kesemuanya maksimum hanya boleh 6 orang, nama calon calon ini mereka jaga secara ketat tidak boleh diketahui orang lain sebelum hari pelantikan sultan tiba. Nama calon sultan di “kandung”  oleh mereka dengan baik. Pada saat itu mereka juga mempertimbangkan nama calon sultan yang dikehendaki para pembesar kerajaan, tetapi hal tersebut sifatnya tidak mengikat. Artinya, kedua bonto ogena dan kesembilan bonto sio limbona lah yang berhak secara adat menentukan siapa yang nantinya jadi sultan. Ketetapan yang diambil oleh bonto ogena dikenal dalam adat dengan istilah “ apasoa”  yang artinya “dipaku” atau “diteguhkan”. Nama para calon yang sudah diteguhkan ini perlu dilakukan penyaringan lagi yang dikenal dalam adat dengan istilah “afalia” yang berarti difirastkan. Kegiatan afalia ini dimaksudkan untuk mendapatkan firasatnya: apakah calon sultan baik atau tidak? Pelaksanaan kegiatan afalia ditentukan dengan meliat petunjuk hari baik atau buruk yang tercantum dalam buku Jaa afara Shadiqi, buku dinamakan demikian karena diyakini merupakan buku dari Ja’far Shadiq.
4.      Setelah ditentukan hari baiknya maka diadakan pertemuan yang biasanya pada malam hari di Mesjid Agung Keraton untuk memfirasatkan baik buruk nama-nama calon sultan yang diajukan. Pada malam yang baik itu yang dipilih menurut petunjuk buku Jaafara, kesembilan menteri sio limbona berkumpul di Mesjid Agung Keraton. Setelah berkumpul semua, maka salah seorang dari mereka melakukan sembahyang, sedangkan seorang yang lain membuka Alqur’an sekehendak hatinya tanpa ditentukan terlebih dahulu juz dan ayat yang akan dibuka. Setelah  dibuka lalu dihitung berapa banyak huruf ”kh” pada halaman sebelah kanan dan berapa banyak huruf  “sh” pada halaman sebelah kiri. Huruf “kh” menunjuk makna kata khair yang berarti baik, sedangkan “sh” menunjuk kata shar yang artinya buruk. Apabila dalam perhitungan diperoleh lebih banyak sh dari kh maka calon yang bersangkutan lebih banyak buruknya dari pada baiknya, atau sebaliknya. Sangat jarang terjadi diatara sekian calon yang difirasatkan, tidak ada satupun calon yang memiliki kelebihan mutlak, sehingga kedua bonto ogena tidak dapat menetapkan calon terpilih. Seandainya demikian terjadi, maka bonto ogena kemudian menetapkan 2 calon yang menonjol diantara calon-calon yang ada untuk dilakukan afalia ulangan, baru setelah firasat ulang dilakukan, satu calon dengn hasil yang terbaik dipilih. Calon yang terpilih ini secara adat masih dirahasiakan dan tidak ada satupun yang mengetahui selain bonto ogena dan bonto sio limbona. Kerahasiaan nama calon terpilih ini disebut dalam adat dengan istilah “ikokompoakana baaluwu o’Peropa” artinya yang dikandung oleh baluwu dan peropa.
5.      Setelah calon sultan ditetapkan, para menteri sio limbona dan syarat kerajaan lainnya mulai disibukan dengan berbagai persiapan yang harus dirampungkan sebelum pelantikan dapat dilaksanakan, pakaiyan sultan dan permaisurinya mulai dikerjakan dan alat kemulian sultan atau Parintana Baluwu o’Peropa harus juga mulai diperbaharui. Pelaksanaan semua pekerjaan ini memakan waktu sehingga seusai difirastkan atau diafaliakan pelantikan tidak langsung  diselenggarakan.
6.      Setelah semua persiapan rampung dikerjakan, maka ditetapkan hari pengumuman calon terpilih yang dalam adat lazim disebut dengan istlah hari “sokaiana pau” hari sokaiana pau ini kembali ditentukan oleh buku Jaafara Shadiqi. Pada hari pengumuman calon terpilih, berkumpul semua anggota syarat kerajaan  dan rakyat di Baruga di depan mesjid agung keraton, saat pengumuman ini calon yang terpilih tidak boleh hadir di baruga. Tempat duduk anggota syarat kerajaan tergantung dari tinggi rendahnya jabatan masing masing dalam syarat kerajaan.   Dalam acara ini dikeluarkan nama calon sultan yang ada dalam kandungan yang dirahasiakan. Setelah itu di ikuti dengan upacara pemandian sultan dan permaisuri, upacara bulilianga pau, yaitu calon sultan memasuki batu popaua.

Wilayah Kekuasaan Buton
Wilayah kekuasaan kesultanan Buton terdiri atas pusat pemerintahan (Wolio) dan daerah kekuasaan kesultanan yaitu Barata dan Kadie. Wilayah pusat kekuasaan tersebut merupakan gabungan dari delapan daerah yang didirikan pada masa awal terbentuknya kerajaan. Sedangkan wilayah kekuasaan yang secara langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat disebut Kadie, sedangkan daerah kekuasaan yang diberi hak otonom secara luas oleh pemerintah pusat disebut barata. Dalam undang-undang Murtabat Tujuh (Undang-Undang Dasar yang terdiri dari Tujuh Martabat yang harus dijalankan seluruh rakyat kesultanan Buton yaitu: Ahadiyah, Wahdah, Wahidiyah, Alam Ruh, Alam Misal, Alam Ajsam, dan Alam Insan) dan sifat dua puluh kesultanan Buton, jelas pengaturan tentang pemerintahan pusat yang di sebut dengan sarana wolio, wilayah barata disebut dengan sarana barata dan wilayah kadie disebut dengan sarana kadie
Wilayah yang pernah masuk dalam kekusaan kesultanan Buton meliputi gugusan kepulauan di kawasan bagian tenggara bagian Jazirah Sulawesi Tenggara (Sultra)yang terdiri atas:
a.      Pulau Buton, yaitu sebuah pulau yang terletak disebelah tenggara jazirah sultra, Pulau Buton dipisahkan oleh laut/selat Buton, pada masa lalu disebut selat flaming
b.      Pulau Muna atau Wuna, yang disebut dalam dokumen Belanda dengan Pancana, yaitu sebuah pulau yang terletak diantara Pulau Puton dan Jazirah Sultra.
c.       Pulau Kabaena, yaitu sebuah pulau yang terletak disebelah barat Pulau Muna
d.      Sejumlah pulau-pulau kecil didekat Pulau Buton dan Muna, pulau-pulai ini adalah Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya besar dan Tobeya Kecil, Pulau Makasar atau liwuto, Pulau Kadatua, Masiring, Siompu, Pulau Talaga Bdan Talaga Kecil yang terletak disebelah selatan Pulau Buton.
e.      Pulau Wakatobi/Pulau Tukang Besi (Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko) yang terletak di sebelah tenggara Pulau Buton
f.        Poleang, Rumbia, yang terletak di daratan Jazirah Sulawesi Tenggara bagian Tenggara, berhadapan dengan Pulau Kabaena
g.      Pulau Wawonii yang terletak disebelah utara Pulau Buton
Adapun wilayah kekuasaan atau pemerintahan Kerajaan Buton ketika itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.      Wilayah inti, meliputi wilayah Bonto dan babato. Adalah pengembangan dari wilayah utama yang terdiri dari empat daerah (pata limbona) menjadi 30 wilayah yang disebut kadie, sedang wilayah babato adalah pengembangan dari Sembilan kampung yang menjadi 40 kadie masing-masing dikepalai seorang lakina (penguasa kadie). Kadie-kadie tersebut akhirnya berjumlah 72 kadie.
b.      Wilayah Moronene terdiri dari Pulau Kabaena, Poleang, dan Rumbia, dan merupakan penopang ekonomi utama bagi kerajaan Buton. Kepala daerah di Kabaena di sebut Sapati, sedang di Poleang, dan Rumbia disebut Mokole. Kedua wilayah ini berada di bawah pimpinan Bontona Wandailalo dan Bontona Somba marusu
c.       Wilayah Barata, yaitu daerah yang dianggap dan diharapkan dapat menjaga keamanan dan kestabilan kerajaan dari kekuasaan asing atau serangan dari kerajaan-kerajaan lain. Adapun wilayah Barata tersebut adalah Barata Muna, pusatnya di Raha, pesisir timur bagian tengah pulau Muna, Barata Tiworo, pusatnya di Pulau Tiworo, Barata Kulisusu pusatnya di pesisir timur bagian utara pulau Buton, dan barata kaledupa, pusatnya di pulau Kaledupa.

Referensi
Maula Jadul dkk. Kesepakatan Tanah Wolio. Titian budaya. 2011
Zuhdi Susanto. Sejarah Buton yang Terlupakan. Rajawali Pers. 2010

4 komentar:

sawsawsaw mengatakan...

memang tokoh agama tokoh masyarakat , jangan TERLALU DALAM masuk dalam politik . politik antara dalam hadits dan masakini sangat bertentangan definisi Nya .maka harus di bidang masing2 dgn tujuan sama dalam keBAIKan keBENARan.

Unknown mengatakan...

Wilayah kesultanan buton adalah klaim sepihak buton bagi kami Kerajaan Moronene dgn 3 kerajaan yakni Poleang, Rumbia dan Kabaena bergabung dhn buton dalam bentuk federasi krn kami mengatur seluas2x wilayah kerajaan masing 2 dengan gelar Raja Mokole bukan Laode,trbukti pada perlawanan Mokole Dowo terhadap Belanda tdk ada bantuan sm sekali dari Buton dan terakhir saat DTII menghancurkan tanah Moronene dimana peran Buton, olehnya era reformasi ketiga kerajaan Moronene bersatu mendirikan Kabupaten Bombana keluar dari Kabupaten Buton

Unknown mengatakan...

Anda kurang memahami latar belakang sejarah bhw batasan wilayah administratif kesultanan buton meliputi pulau kabaenah dan selayar sdngkan poleang dan sekitarx adalah wilayah dibawah pengaruh kekuasaan kerajaan bone akan tetapi dlm penataan wilayah propinsi terjadi pertukaran batas wilayah bahwa selayar dimasukan dlm administrasi sulawesi selatan sedangkan poleang dan sekitarnya ditetapkan dlm administrasi sulawesi tenggara kabupaten buton...persoalan hari ini terpisah dari kabupaten buton tentu ini mrupkan sebuah kebijakan yg diaminkan uu otoda sehingga bisa mekar....jika anda merasa bahwa poleang sebuah daerah yg memiliki kedaulatan sendiri maka anda keliru karna pusat kerajaan mokole sendiri meliputi wilayah konawe dan sekitarnya...adapun poleang, kasipute dan sekitarnya adalah wilayah kecil yg didasari kesamaan etnis murunene...msh banyak yg harus dijlskn mohon maaf keterbatasan dlm penjelasan ini

Anonim mengatakan...

Maaf apa benar di kesultanan Buton ada 72 Kadir kalau betul demikian sebutkan

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts