بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Senin, 18 Februari 2013

Beberapa Tinjauan Pustaka Dalam Penelitian Sosiologi



A.    Konsep Peran
Membahas masalah peran maka yang dimaksudkan adalah adanya kemampuan dari seseorang dalam memberikan fungsinya secara maksimal kepada salah satu obyek yang menjadi sasaran. Berkaitan dengan hal tersebut maka terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dimana berikut ini dapat dikemukakan.
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, disebutkan bahwa peran merupakan fungsi atau tugas seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat (Muljono, 2000). Oleh Soekanto menyebutnya “role” sebagai suatu peran, adalah merupakan bentuk fungsi suatu subyek terhadap obyek lain. Peran ini katanya dapat berupa peran seseorang secara individual, peran sosial sebagai masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat. Peran sebagai individu merupakan sebentuk aktivitas yang dilakukan seseorang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Sedangkan peran sosial merupakan peran yang diberikan atau dipercayakan oleh masyarakat atau individu lain berdasarkan status sosial (1990)
Lebih lanjut, Soekanto (1990) menjelaskan bahwa peranan mencakup beberapa hal, antara lain :
1.      Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan posisi dengan tempat kedudukan seseorang dalam masyarakat atau srangkaian aturan yang membimbing seseorang dalam masyarakat.
2.      Peranan sebagai konsep perihal yang dilakukan individu dalam masyarakat sebagai pelaku organisasi.
3.      Peranan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial yang pokok.
Sedangkan salah saeorang ahli Antropologi Indonesia Koentjaraningrat, menyatakan bahwa peranan berhubungan dengan status sosial seseorang sebagai bentuk pola perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki posisi dalam organisasi atau masyarakat ( dalam Soekanto, 1990 : 2).
Dalam kaitannya antara peranan dan status maka Mayor Polak berpendapat bahwa : 1) peranan menunjuk pada aspek dinamis dari status, 2) peranan memiliki dua arti, yaitu 2.1) dari sudut individu tersebut aktif, 2.2) peranan secara umum menunjuk pada keseluruhan peranan itu dan menentukan apa yang dikerjakan seseorang untuk masyarakatnya, serta apa yang dapat diharapkan dari masyarakat itu. (dalam Gunawan, 2004 : 41).
Seseorang dalam pengambilan peran, penerimaan peran, pembuatan peranan ataupun memainkan peranannya terutama pada situasi tertentu akan mempersangkutkan ketentuan-ketentuan pribadinya yang biasa berupa hasil-hasil pemikiran yang diteliti sehubungan dengan keberaadaannya dalam suatu kelompok di tengah-tengah atau dalam suatu lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, suatu yang peranan yang diambil senantiasa dilandasi tanggung jawab serta terpenuhinya haraapan dan cita-cita individu itu sendiri.

B.     Pengertian Kecerdasan Spiritual
Secara konseptual kecerdasan spiritual terdiri dari gabungan kata kecerdasan dan spiritual. Kecerdasan berasal dari kata cerdas yaitu sempurna perkembangan  akal budi untuk  berfikir  dan mengerti.  Sedangkan  spiritual berasal dari kata spirit yang berasal dari bahasa latin yaitu spritus yang berarti nafas. Dalam istilah modern mengacu kepada energi batin yang non jasmani meliputi emosi dan karakter.  Dalam kamus psikologi spirit adalah suatu zat atau makhluk immaterial, biasanya bersifat ketuhanan menurut aslinya, yang diberi sifat dari banyak ciri karakteristik manusia, kekuatan, tenaga, semangat, vitalitas energi disposisi, moral atau motivasi.
Dengan   demikian   dapat   dimaknai   bahwa   yang   dimaksud   dengan kecerdasan  spiritual adalah kemampuan  yang sempurna  dari perkembangan akal   budi   untuk   memikirkan   hal-hal   diluar   alam   materi   yang  bersifat ketuhanan yang memancarkan energi batin untuk memotivasi lahirnya ibadah dan moral.
Danah Zohar dan Ian Marshal (dalam Agustian, 2001), mengatakan bahwa:
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi perilaku atau hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa hidup seseorang lebih bermakna   bila  dibandingkan   dengan   yang  lain.  SQ  adalah landasan  yang  diperlukan  untuk  memfungsikan   IQ  dan  EQ secara   efektif   bahkan   SQ   merupakan   kecerdasan   tertinggi manusia.
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang paling tinggi, bahkan kecerdasan inilah yang dipandang berperan memfungsikan dari kecerdasan IQ dan EQ. Sebelum kecerdasan ini ditemukan,  para ahli sangat bangga dengan temuan tentang adanya IQ dan EQ, sehingga muncullah suatu paradigma dimasyarakat bahwa otak itu adalah segala-galanya, padahal nyatanya tidaklah demikian.
Spiritual adalah suatu dimensi yang terkesan maha luas, tak tersentuh, jauh diluar sana karena Tuhan dalam pengertian Yang Maha Kuasa, benda dalam sesta yang metafisis dan transenden, sehingga sekaligus meniscayakan nuansa mistis dan supra rasional. Dengan asumsi dasar yang telah diketahui ini, telah tertanam  pengandaian  bahwa terdapat sekat tebal antara manusia, Tuhan dan semesta. Upaya manusia untuk menembus sekat tebal Tuhan- manusia bukannya tidak pernah dilakukan. Bahkan eksistensi semua filosuf sejak zaman Yunani senantiasa berakhir pada upaya untuk memberikan pemaknaan dan pemahaman terhadap wujud Tuhan itu, sekaligus kemudian mereka  berlabuh  dalam epistemologi yang berbeda-beda; misalnya filsafat idealism, empirisme, ataupun estetika yang telah dicakup dengan cakupan refernsentatif oleh aliran filsafat Immanuel Khant. Akhirnya Khant sendiri harus  berguman  dengan  sedih  bahwa  Tuhan”  dalam  traktat  rasionalitas adalah   hipotesis,   tetapi  dalam   traktat   keimanan   atau  keyakinan   adalah kebenaran.
Rodolf Otto, sebagaimana dikutip oleh Sayyed (2003) mendefinisikan spiritual sebagai pengalaman yang suci. Pemaknaan ini kemudian diintroduksi oleh seluruh pemikir agama (spiritualis) dalam pemahaman makna keyakinan- keyakinan dalam konteks sosial mereka. Jadi tegasnya, spiritual diasumsikan bukan dalam pengertian diskursifnya, at home atau in side, melainkan terefleksikan  dalam  perilaku  sosialnya.  Ini  sekaligus  menunjukkan  klaim bahwa           segala   perilaku  sosial   manusia  niscaya  juga diwarnai oleh pengalaman yang suci itu spiritualitasnya.
Selanjutnya  Agustian (2001 : 57), mendefinisikan  bahwa kecerdasan spiritual  adalah  kemampuan   untuk  memberi  makna  ibadah  pada  setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah  dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik) serta berprinsip hanya karena Allah.
Dengan  demikian  berarti  orang  yang  cerdas  secara  spiritual  adalah orang yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiah sebagai manifestasi dari aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari dan berupaya mempertahankan keharmonisan dan keselarasan dalam kehidupannya, sebagai wujud dari pengalamannya  terhadap tuntutan fitrahnya sebagai makhluk yang memiliki ketergantungan terhadap kekuatan yang berada diluar jangkauan dirinya yaitu Sang Maha Pencipta.
Kebutuhan akan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan keyakinan,  mengembalikan  keyakinan,  memenuhi  kewajiban  agama,  serta untuk menyeimbangkan kemampuan intelektual dan emosional yang dimiliki seseorang, sehingga dengan kemampuan ini akan membantu mewujudkan pribadi manusia seutuhnya.
C.    Fungsi Keluarga
Keluarga merupakan institusi pendidikan utama dan pertama bagi anak. Karena anak untuk pertama kalinya mengenal pendidikan didalam lingkungan keluarga  sebelum  mengenal  masyarakat   yang  lebih  luas.  Disamping  itu keluarga dikatakan sebagai peletak pondasi untuk pendidikan selanjutnya. Pendidikan  yang diterima anak dalam keluarga  inilah yang akan digunakan oleh anak sebagai dasar untuk mengikuti pendidikan selanjutnya disekolah.
Orang tua sebagai pendidik utama dan utama bagi anak merupakan penanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Tugas dan tanggung jawab orang tua dalam keluarga terhadap pendidikan anak-anaknya lebih bersifat pembentukan watak, agama dan spiritualnya.
Selanjutnya, Syamsu (2001) menyatakan bahwa secara psikososiologi keluarga berfungsi sebagai:1.) Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainya, 2.) Memberi pemenuhan  kebutuhan baik fisik maupun psikis, 3.) Sumber kasih sayang dan penerimaan, 4.) Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota  masyarakat yang baik, 5.) Pemberi bimbingan bagi pengembangan  perilaku yang secara sosial dianggap tepat, 6.) Pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan, 7.) Pemberi  bimbingan  dalam  belajar  keterampilan  motorik,  verbal  dan  sosial yang dibutuhkan  untuk penyesuaian  diri, 8.) Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi, baik disekolah maupun di masyarakat,   9.)  Pembimbing   dalam   mengembangkan   aspirasi,   dan  10.) Sumber persahabatan atau teman bermain bagi anak sampai cukup usia untuk mendapatkankan teman diluar rumah, atau apabila persahabatan diluar rumah tidak memungkinkan. Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga dapat diklasifikasikan  kedalam fungsi-fungsi berikut : 1) Fungsi biologis, 2) Fungsi ekonomis,  3) Fungsi pendidikan  (edukatif),  4) Fungsi sosialisasi,  5) Fungsi perlindungan (protektif), 6) Fungsi rekreatif,  7) Fungsi agama (religius).
Untuk lebih jelasnya, berdasarkan pendapat Syamsu (2001), penulis kemukakan satu persatu antara lain:
a)  Fungsi  biologis,  artinya  keluarga  merupakan  tempat  memenuhi  semua kebutuhan biologis keluarga seperti; sandang, pangan dan sebagainya.
b)  Fungsi  ekonomis,   maksudnya   dikeluargalah   tempat  orang  tua  untuk memenuhi semua kewajibanya selaku kepala keluarga.
c) Fungsi pendidikan,  dimana dikeluargalah  tempat dimulainya  pendidikan semua anggota keluarga.
d)  Fungsi  sosisalisasi,  maksudnya  keluarga  merupakan  buaian  atau penyemaian bagi masyarakat masa depan.
e)  Fungsi  perlindungan,  keluarga  merupakan  tempat  perlindungan  semua keluarga dari semua gangguan dan ancaman.
f)   Fungsi rekreatif, keluarga merupakan pusat dari kenyamanan dan hiburan bagi semua anggota keluarganya.
g)  Fungsi agama, maksudnya keluarga merupakan tempat penanaman agama bagi keluarga.
Kemudian, Suharsono (2000), menambahkan bahwa ada beberapa  hal  lagi  yang  perlu  menjadi  perhatian  orang  tua  yaitu  sebagai berikut:
1.   Karena orang tua merupakan pembina pribadi yang pertama bagi anak, dan tokoh yang diidentifikasi atau ditiru anak, maka seyogianya dia memiliki kepribadian yang baik atau berakhlakul karimah (akhlak yang mulia). Kepribadian orang tua, baik yang menyangkut sikap, kebiasaan berprilaku atau tata cara hidupnya  merupakan  unsur-unsur  pandidikan  yang   tidak langsung memberikan  pengaruh terhadap perkembangan  fitrah beragama anak.
2.   Orang  tua  hendaknya  memperlakukan  anaknya  dengan  baik.  Perlakuan yang otoriter (perlakuan yang keras) akan mengakibatkan  perkembangan pribadi anak yang kurang diharapkan, begitu pula perlakuan yang permisif (terlalu  memberi  kebebasan)  akan  mengembangkan  pribadi  anak  yang tidak bertanggung jawab atau kurang memperdulikan tata nilai yang dijunjung  tinggi  dalam  lingkungannya.  Sikap  dan  perlakuan  orang  tua yang baik adalah yang mempunyai karakteristik: a. Memberikan curahan kasih  sayang  yang  ikhlas,  b.  Bersikap  respek  atau  menghargai  pribadi anak, c. Menerima anak sebagaimana biasanya, d. Mau mendengarkan pendapat atau keluhan anak, e. Memaafkan kesalahan anak, meminta maaf bila ternyata orang tua sendiri salah kepada anak, f. Meluruskan kesalahan anak dengan pertimbangan atau alasan-alasan yang tepat.
3.   Orang tua hendaknya memelihara hubungan yang harmonis antar anggota keluarga (ayah dengan ibu, orang tua dengan anak, dan anak dengan anak). Hubungan yang harmonis penuh pengertian dan kasih sayang akan membuahkan  perkembangan  perilaku  anak  yang  baik.  Sedangkan  yang tidak harmonis, seperti sering terjadi pertentangan atau perselisihan akan mempengaruhi perkembangan pribadi anak yang tidak baik, seperti keras kepala, pembohong dan sebagainya.
4.   Orang  tua  hendaknya  membimbing,  mengajarkan  atau  melatih  ajaran agama  terhadap  anak seperti:  Syahadat,  Shalat  (bacaan  dan gerakanya), Doa-doa,   Bacaan  Al-Quran,   lafaz  zikir  dan  akhlak  terpuji  seperti bersyukur ketika mendapat anugerah, bersikap jujur menjalin persaudaraan dengan  orang  lain,  dan  menjauhkan  diri  dari  perbuatan  yang  dilarang Allah.
Untuk         memelihara  keluarga  dari  segenap  hal-hal yang dapat menjerumuskan kedalam neraka tentu tidak mudah begitu saja. Karena itu dibutuhkan suatu proses pengertian dan pemahaman yang mendalam terhadap tugas-tugas tersebut. Sebagai orang tua, tidak hanya berkewajiban memenuhi kebutuhan jasmaniah anak semata tetapi juga kebutuhan akan spiritual anak dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan cara membiasakan anak sejak dini dengan hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan agama diharapkan akan terbentuk akhlak dan pribadi yang baik pula dimasa- masa  selanjutnya,  sehingga  pada  gilirannya  anak  dapat  membedakan  mana yang baik dan terbaik dan mana yang buruk dan terburuk, mana yang benar dan mana yang salah dalam kehidupan sehari-hari.
D.    Konsep Keluarga
Keluarga adalah sebuah insititusi sosial dan bukanlah sebuah kelompok, melainkan pola-pola tingkah laku yang berhubungan dengan fungsi-fungsi yang diikat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Keluarga adalah institusi sosial terkecil yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, bila berbicara tentang keluarga akan kita langsung mengaitkannya dengan sepasang suami istri beserta anak-anak mereka yang belum menikah, tinggal bersama dalam satu rumah karena didasarkan pada pertalian perkawinan antara suami dengan istri (Scharefer dan Lamn, dalam Ihromi, 1999 : 67).
Hal ini sejalan dengan Ahmadi (1991 : 108), keluarga adalah wadah yang sangat penting di antara individu atau group, dan merupakan kelompok sosial yang pertama di mana anak-anak menjadi anggotanya. Dan sudah barang tentu keluargalah yaang pertama-tama menjadi tempat untuk mengadakan sosialisasi kehidupan anak-anak.
Ogburn yang dikuptip oleh Ahmadi (1991) bahwa fungsi keluarga adalah sebagai berikut :
1.      Fungsi kasih sayang.
2.      Fungsi ekonomi.
3.      Fungsi pendidikan.
4.      Fungsi perlindungan/penjagaan.
5.      Fungsi rekreasi.
6.      Fungsi status keluarga.
7.      Fungsi agama.
Menurut Bierstedt, dikutip oleh Ahmadi (1991) bahwa keluarga berfungsi sebagai berikut :
1.      Menggantikan keluarga.
2.      Mengatur dan menguasai impuls-impuls sexual.
3.      Bersifat membantu.
4.      Menggerakkan nilai-nilai kebudayaan.
5.      Menunjukkan status.
Soekanto (1990) menyatakan bahwa keluarga mempunyai fungsi antara lain fungsi pengawasan, sosial pendidikan keagamaan, perlindungan dan rekreasi dilakukan oleh keluarga terhadap anggota-angotanya. Namun, dalam proses industrialisasi, urbanisasi, dan sekulerisasi maka keluarga dalam masyarakat modern kehilangan sebagian dari fungsi-fungsi tersebut. Akan tetapi fungsi utama keluarga tetap melekat, seperti melindungi, memelihara, sosialisasi dan memberikan suasana kemesraan bagi anggotanya.
Oleh karena itu, menurut Goode (1983 : 2), fungsi keluarga adalah sebagai pengatur pada masyarakat, sebagai penghubung peribadi dengan struktur sosial yang lebih besar. Sedangkan peran keluarga diharapkan mampu berfungsi sebagai sarana pemecah masalah yang sudah kronis.

  
E.     Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan
Selanjutnya Agustian (2001) mengungkapkan ada dua faktor utama yang mempengaruhi kecerdasan secara umum yaitu:
1.) Faktor genetik/ bawaan
Faktor ini lebih merupakan potensi kecerdasan yang sudah ada atau terberikan karena terkait dengan saraf-saraf yang ada pada organ otak. Bagaimana kecepatan otak mengola atau memproses masukan yang didapat amat tergantung pada kondisi dan kematangan organ vital yang satu ini. Jika organ dalamnya baik, maka proses pengolahan apapun yang diterima otak akan ditangkap dengan baik dan dijalankan tubuh sesuai perintah otak. Hasilnya? Apa yang di kerjakan anak akan memberi hasil terbaik.
2.) Faktor lingkungan
Kapasitas atau potensi kecerdasan yang sudah terberikan dalam diri setiap anak tidak akan berarti apa-apa kalau lingkungan sama sekali tidak berperan dalam merangsang dan mengasah potensi tersebut. Di sini ada empat faktor lingkungan yang dapat mengasah potensi anak yaitu:
a.) Lingkungan rumah.
Lingkungan keluarga merupakan faktor pendukung terpenting bagi kecerdasan anak. Dalam lingkungan keluarga anak menghabiskan waktu dalam masa perkembangannya. Pengaruh lingkungan rumah ini berkaitan pula dengan masalah: a.1) Stimulus. Untuk menjadikan anak cerdas, faktor stimulus menjadi sangat penting, baik yang berkaitan dengan fisik maupun mental/emosi anak. Orang tua dapat memberikan stimulus sejak anak masih dalam kandungan, saat lahir, sampai dia tumbuh besar. Tentu saja dengan intensitas dan bentuk stimulasi yang berbeda-beda pula pada setiap tahap perkembangan. Contohnya ketika masih dalam kandungan, stimulus lebih diarahkan pada pendengaran menggunakan irama musik dan tuturan ibu dan ayah. Setelah anak lahir, stimulus ini diperluas menjadi pada kelima indra maupun sensori-motoriknya. Begitu stimulasi lainya yang dapat merangsang dan mengembangkan kemampuan kognisinya maupun kemampuan lain. Secara mental orang tua juga menstimulasi anak dengan menciptakan rasa aman dan nyaman sejak masa bayi. Caranya dengan mencurahkan kasih sayang, menumbuhkan empati dan afeksi, disamping memberi stimulasi dengan menanamkan nilai-nilai moral dan kebijakan secara konkret. Dengan itu dapat membuat potensi kecerdasan anak mencapai maksimal. a.2) Pola asuh. Pola asuh orang tua yang penuh kasih sayang diyakini dapat meningkatkan potensi kecerdasan si anak. Sebaliknya, tidak adanya pola asuh hanya akan membuat anak bingung, stres, dan trauma yang berbuntut masalah pada emosi anak. Dampaknya apapun yang dikerjakannya tidak akan membuahkan hasil maksimal. a.3) Memberi pangajaran. Orang tua harus aktif dan interaktif merangsang otak anaknya. Ini pun lagi-lagi dapat dilakukan sejak ia masih dalam kandungan, Misalnya dengan aktif mengajaknya bicara. Setelah anak lahir, ayah dan ibu dapat memberikan beragam eksperimen kecil kepadanya yang berguna untuk merangsang keinginan dan minat bereksplorasi.

b.) Kecukupan nutrisi.
Peran nutrisi bagi kecerdasan anak tak bisa diabaikan begitu saja. Untuk menjadikan anak sehat secara fisik dan mental, sebetulnya perlu persiapan jauh-jauh hari sebelum proses kehamilan terjadi. Tepatnya mesti dimulai ketika masa perencanaan kehamilan, sepanjang masa kehamilan dan akan terus berlanjut selama masa pertumbuhan anak. Mengapa demikian? Tak lain karena kecukupan nutrisi berkaitan erat dengan perkembangan organ otak dan fungsinya yang akan menentukan kualitas anak dimasa depan. Tanpa nutrisi yang baik dimasa-masa sebelumnya, kemungkinan besar pertumbuhan dan fungsi otak terhambat sehingga potensi kecerdasan anak menjadi rendah. Begitu pula kesehatannya secara keseluruhan. Tubuh yang lemah dan sering sakit-sakitan tentu saja juga mempengaruhi potensi kecerdasannya.
c.) Interfensi dini.
Dampak interfensi dini terhadap anak akan baik jika itu dilakukan berdasarkan pertimbangan tingkat kematangannya. Menyediakan berbagai fasilitas bagi kepentingan anak merupakan salah satu bentuk interfensi orang tua. Agar efeknya selalu positif, ingatlah selalu untuk menginterfensi anak dengan hal-hal kreatif. Contohnya mengajak membuat mainan bersama guna merangsang kognisi anak.
d.) Pendidikan di sekolah.
Yang pasti kecerdasan dalam diri anak tidak muncul begitu saja. Diluar potensi yang terberikan, sebetulnya cerdas juga berarti ketekunan mempelajari sesuatu. Selain pendidikan yang diberikan orang tua di rumah, peran sekolah juga tidak kalah besar. Boleh dikatakan sekolah merupakan rumah kedua bagi anak yang memungkinkannya mentransfer pengetahuan, keterampilan, dan nilainilai kehidupan.

F. Peranan Orang Tua dalam Membina Kecerdasan Spritual SQ Anak dalam Keluarga
Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa keluarga dalam hal ini orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak, tentu akan terhambatlah pertumbuhan anak tersebut.
`Keluarga memiliki peranan  yang sangat  penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan beragama dan bermasyarakat, merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Orang tua merupakan orang yang terdekat dengan anak. Di mana sikap dan tingkah laku orang tua akan menjadi panutan bagi anaknya, terutama anak yang  masih  kecil.  Pengalaman  anak  semasa  kecil  ini  akan  terbawa  dan membekas sampai ia  dewasa.  Dan akhirnya  akan  mewarnai corak kepribadianya. Dalam  hal  ini terutama  sekali  dari  pihak  ibu  lebih  dituntut untuk berperan aktif, karena ibu merupakan  orang yang lebih dekat dengan anaknya. Seorang ibu yang penuh keseriusan perhatian, penyayang dan tekun menjalankan  ajaran-ajaran  agama, serta untuk hidup sesuai nilai-nilai  moral yang telah digariskan oleh agama, maka ia dapat membina moral dan mental (pribadi) anaknya  secara sehat dan teratur.
Menurut Gustav Jung, seorang  psikolog  terkenal  mengatakan, kalau orang tua ingin anaknya bertingkah laku baik, terlebih dahulu orang tua harus mengevaluasi dirinya, apakah memang sudah bisa bertingkah laku lebih baik. Berat sekali memang tugas sebagai orangtua, ada tuntutan untuk selalu bisa menjadi teladan bagi anak karena anak akan selalu belajar tentang dunia ini dengan melihat sikap dari orang terdekatnya terutama orang tua.
Orang tua manapun pasti ingin anaknya bisa bertingkah laku yang baik di depan  orang  banyak,  menghormati  orang  lebih  tua,  sadar  akan  hak dan kewajiban orang lain yang bisa membatasi hak dan kewajibannya sendiri, serta peka terhadap orang lain. Pendek kata anak bisa mengikuti norma dan nilai sosial  yang  berlaku.  Sungguh  bukan  hal  yang  mudah  untuk  diserap  dan dipelajari anak, namun kita begitu ingin mereka tahu dan bisa mengamalkan hal-hal baik tersebut. Mengapa anak harus mempelajari hal tersebut? Bald rige, seorang ahli etiket yang merupakan staf ahli dari mantan Fisrt Lady Lecgueline  Kennedy,  mengatakan  bahwa  alasan  kita  (dan juga anak-anak) perlu bertingkah laku yang baik dan sopan santun yaitu:
1. Diri kita akan merasa nyaman dan bahagia ketika kita bisa memperlihatkan tingkah laku yang baik
2. Kita akan bisa hidup ditempat yang efisien dan tertib bila semua orang bisa bertingkah laku baik dan bersopan santun
3. Kebaikan akan membuat lingkungan dan dunia kita lebih baik dan nyaman.
Menurut Monty (2003), untuk mengembangkan  SQ dalam keluarga   maka ada beberapa cara  yang dapat diperhatikan orang tua:
1) Melalui jalan tugas.
2) Melalui jalan pengasuhan.
3) Melalui jalan pengetahuan.
4) Melalui jalan perubahan pribadi.
5) Melalui jalan persaudaraan.
6) Melalui jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian.
Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan satu persatu, yaitu:
a.       Melalui jalan tugas, yaitu   anak   dilatih   melakukan   tugas-tugas   hariannya   dengan dorongan motivasi dari dalam. Artinya anak melakukan setiap aktifitas- nya dengan perasaan senang, bukan karena terpaksa atau karena paksaan orang tua. Biasanya anak akan melakukan tugas-tugasnya dengan penuh semangat  apabila  dia tau manfaat  baginya.  Untuk  itu orang tua perlu memberi motivasi,  membuka  wawasan sehingga setiap tindakan anak- anak tersebut secara bertahap dimotivasi dari dalam.
Anak perlu diberi waktu menggunakan kebebasan pribadinya, membenamkan  diri pada  aktifivitas-aktivitas  favoritnya seperti membaca, menatap tembok, mendengarkan musik, menari, memancing, dan sebagainya. Permainan-permainan ini membuat anak-anak produktif dan mengembangkan kekayaan kecerdasan dalam diri mereka.
Didalam keluarga perlu kondisi yang mendukung pengembangan kondisi batin  anak agar dapat  berkhayal, berangan-angan, mengembangkan  fantasinya,  dan  bermain.  Permainan  membuka  pintu bakat  dan  membuat   orang  bebas   berpikir  dan dengan demikian mengembangkan kecerdasan. Permainan memungkinkan anak-anak mengenal dirinya sendiri. Permainan adalah guru terbaik bagi anak-anak. Permainan   membuka   pintu   untuk   memasuki   suatu   yang   mungkin dirasakan seseorang anak sebagai tatanan yang sudah ada sebelumnya. Permainan  membantu  anak terhubung  dengan  bebas  ke dunianya  dan dengan mudah menghabiskan waktunya penuh kualitas.
Kebebasan  berpikir  yang  efektif  dan  positif  akan  berkembang dalam diri anak yang merencanakan, memulai, dan menentukan sendiri arah permainannya.  Berhubungan  dengan  hal itu, sifat-sifat  orang tua yang sangat  mengekang  atau mengendalikan  anak  secara  negatif  akan menghambat perkembangan SQ anak.
b.      Melalui jalan pengasuhan, yaitu orang tua yang penuh kasih sayang, saling pengertian, cinta, dan penghargaan.  Anak tidak perlu dimanjakan karena akan mengembangkan dalam diri anak sifat mementingkan  diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan  orang lain. Pengasuh  atau ibu yang terlalu menolong  tidak mengembangkan  kecerdasan  spiritual  (SQ)  anak, karena hanya mengembangkan pribadi-pribadi yang kikir dan berpikiran sempit dalam cinta, tidak memilih perspektif luas sehingga tidak menyadari kebutuhan dasar atau keberadaan orang lain.
Terbuka  dan jalin hubungan  kasih dengan  anak-anak.  Kita perlu belajar untuk bisa menerima dan mendengarkan dengan baikdiri kita sendiri”  dan lebih-lebih  orang  lain.  Orang tua perlu  membuka  diri, mengambil   resiko  mengungkapkan   dirinya  kepada  putra-putrinya. Hanya dengan cara demikian kita memberi model dan pengalaman hidup bagi anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan spiritual (SQ)-nya.
Orang tua perlu menciptakan lingkungan keluarga penuh kasih dan pengalaman saling memaafkan. Tindakan balas kasihan, pelayanan dan pengampunan  memberikan  apa yang dikatakanan  oleh ahli pendidikan Grace  Pilon  sebagai  rasa  sejahtera   dalam  pikiran”   yang  menjadi landasan bagi pengembangan kecerdasan spiritual (SQ).
c.       Melalui jalan pengetahuan, yaitu dengan mengembangkan sikap investigatif, pemahaman, pengetahuan dan sikap eksploitatif. Dirumah perlu  diberi ruang bagi anak

untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuannya. Mungkin dialog dengan  orang  tua  yang  sudah  memiliki  pengetahuan  yang  lebih  luas dapat memperluas pengetahuan anak sehingga membantu usaha eksploi- tatif dan pencariannya terhadap kekayaan ilmu pengetahuan itu sendiri.
d.      Melalui jalan perubahan pribadi (kreatifitas), yaitu untuk mengembangkan kreatifitas anak membutuhkan waktu bagi dirinya sendiri untuk dapat berimajinasi dan kemudian menciptakan sesuatu sesuai hasil imajinasinya. Banyaknya larangan mungkin akan menghambat ruang kreatifitas anak. Itu berarti orang tua tidak lagi melarang dan mengarahkan kegiatan anak melainkan perlu berdialog dengan anak-anak, sehingga mereka dapat menggunakan kebebasan kreatifitasnya  dengan tetap memperhatikan  komitmen pada tugas-tugas yang dilakukannya.
e.       Melalui jalan persaudaraan, yaitu hal inilah yang paling dapat dilatih dalam keluarga, melalui sikap saling terbuka semua anggota keluarga dengan berdialog satu sama lain. Setiap  kesulitan  atau  konflik  yang timbul  dalam  keluarga  dipecahkan bersama  dengan  saling  menghargai  satu  sama  lain.  Sarana  untuk  itu adalah dialog”.  Untuk dapat berdialog  diandalkan  kemampuan  untuk saling   mendengarkan   dan   kemampuan   menerima   pendapat   yang berbeda. Pengalaman seperti itu hanya dapat dialami oleh anak didalam keluarganya.
f.       Melalui jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian, yaitu orang tua adalah model seorang pemimpin yang akan dialami oleh anak-anak didalam  keluarga.   Pemimpin   yang  efektif  seorang  yang bersikap ramah, mampu memahami perasaan yang dipimpin dan mampu berhubungan  dengan  semua  anggota  keluarga.  Disini  orang  tua dapat menjadi model bagi anak-anak untuk melayani, rela berkorban, dan mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan diri sendiri. Karena yang memandu setiap perilaku adalah apa yang bernilai dan bermakna bagi semua. Singkatnya, tempat pertama untuk menumbuhkan kecerdasan spiritual adalah keluarga. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang berkecerdasan spiritual (SQ) tinggi akan menjadi pribadi- pribadi dengan SQ tinggi pula.
            DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Emosi dan Spiritual Berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam. Arga Wijaya Persada. Jakarta  
Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. PT. Rineka Cipta, Cetakan Pertama. Jakarta.
Chaplin. 1989. Kamus Lengkap Psikologi. Rajawali. Jakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia.  Balai Pustaka, Jakarta
Drajad, Zakiah. 2001.  Kesehatan Mental. PT Toko Gunung Agung. Jakarta
Goode, William J. 1983. Sosiologi Keluarga Terjemahan Indonesia. Bina Aksara. Jakarta.
Hossein Nasr, Sayyed. 2003. Antara Tuhan Manusia dalam Alam; Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual, terjemahan oleh Ali Noer Zaman. Yogyakarta.
Ihromi T.O. 1999. Bunga Sosiologi Keluarga, Yayasan obor Indonesia. Jakarata.
LN. Syamsu Yusuf. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
PT. Ramaja Rosda Karya. Bandung
Muljono, 2000. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pustaka Pelajar. Jakarta.
Satiadarma, Monti. P. dan Waruwu, Fidelis. E. 2003. Mendidik Kecerdasan. Pustaka Populer Obor. Jakarta  
Satori, Djam’an dan Komariah A’an. 2010. Metode Penelitian kualitatif. Alfabeta : Bandung.
Suharsono. 2000. Mencerdaskan Anak. Intiusi Press. Jakarta. 
Toni Buzan. 2003. Kekuatan ESQ : 10 Langkah Meningkatkan Kecerdasan   Emosional Spiritual, terjemahan Ana Budi Kuswandani. PT Pustaka Delapratosa.Indonesia
Yusuf, Syamsu LN. 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Rosda Karya. Bandung.
www. mail- archive.com/balita-anda/balita-anda.com/msg 54237. html.
A.             Konsep Faktor
Menurut Drs. The Liang Gie (1972:147) faktor adalah suatu kumpulan yang merupakan penyebab atau pendorong timbulnya sesuatu hal lain yang merupakan kebulatan. Selanjutnya, menurut Drs. Komaruddin (1988:38), faktor adalah kondisi penyebab/insiden yang menimbulkan suatu gejala.
Faktor adalah suatu hal (keadaam, peristiwa, dam sebagainya) yang ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu. (Poerwadarminta, 1982:279).
Menurut Prajudi Atmosudirdjo (1976:14) mengemukakan bahwa faktor ialah suatu hal yang menentukan terlaksananya suatu pokok permasalahan atau persoalan yang akan dikerjakan agar terlaksana dengan baik sehingga dapat mendatangkan suatu hasil.
Dari pengertian di atas jelas bahwa yang dimaksud dengan faktor adalah suatu unsur atau hal yang dapat mempengaruhi suatu keadaan atau seseorang untuk melakukan sesuatu.
B.     Konsep Kesempatan Kerja
Pengertian kesempatam kerja (Demand for Labour) adalah suatu keadaan yang menggambarkan tersedianya lapangan kerja (pekerjaan) untuk diisi oleh pencari kerja, kesempatan kerja dapat juga diartikan sebagai permintaan akan tenaga kerja (Nurjaka, dkk 1998 : 144).
Kesempatan kerja adalah suatu masalah yang erat kaitannya dengan unsur triologi pembangunan dan merupakan suatu persoalan struktural yang memerlukan penanganan secara terus menerus, menyeluruh dan terpadu.
Tohari Syaifudin (1995 : 70) mengatakan kesempatan kerja (employment service) adalah keadaan semua orang (kebanyakan orang) yang tersedia dan dapat bekerja sesuai dengan pernyataan tertentu dengan bidang yang diperlukan untuk setiap produksi dan proses produksi.
Soeharsono (1982 : 48) mengatakan kesempatan kerja juga dapat diartikan sebagai partisipasi dalam pembangunan, maupun dalam pertanggungjawaban atas pelaksanaan pembangunan ataupun pula di dalam menerima kembali hasil pembangunan.
Perluasan kesempatan kerja dalam arti menyediakan lapangan pekerjaan bagi pengganggur penuh dan mempertinggi produktifitas dan pendapatan bagi mereka yang setengah mengganggur, akan merupakan suatu kebijakan redistribusi pendapatn menaikan pendapatan bagi kelompok penghasilan rendah, (Soeharsono : 54). Sedangkan kesempatan kerja yang merupakan salah satu jalur pemerataan dalam rangka kebijaksanaan pemerintah mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi dan merupakan suatu unsur penting bagi stabilitas nasional (Soeharsono 1982 : 14).
Kesempatan kerja (employment) di bagi menjadi 2 kelompok yaitu, mereka yang sudah bekerja penuh (Full employment) dan mereka yang masih setengah menganggur.
a. Pekerjaan penuh (Full employment) adalah mereka sudah bekerja dan telah memenuhi syarat-syarat pekerja penuh di antaranya :
- Mereka bekerja 40 jam kerja perminggu
- Memiliki upah minimum regional
- Sesuai dengan latar belakang pendidikanya (keahliannya)
b. Setengah penggangguran adalah mereka sudah bekerja belum memenuhi syarat seperti di atas sehingga produktivitas rendah (Soeharsono, 1982 : 145)
C.    Konsep kondisi ekonomi
Menurut Hidayat (1991 : 58) bahwa kondisi ekonomi merupakan keadaan pekerja ditinjau dari segi ekonomi seperti penghasilan, sumber mata pencaharian, kesehatan, perumahan, investasi, permodalan dan fasilitas sanitasi.
Lebih lanjut ,Hidayat, (1991 : 84) mengatakan bahwa kehidupan sosial ekonomi merupakan keadaan pekerja ditinjau dari segi ekonomi seperti :  penghasilan, upah yang di terima, permodalan investasi. Sehubungan dengan masalah sosial ekonomi, Winardi (1982) mengatakan bahwa penggerak ekonomi Indonesia saat ini membuat sebagian masyarakat dapat mencapai kesejahteraan, namun umumnya belum mencapai tahap itu karena landasan produksinya masih perlu pembenahan dan dalam pembenahan ini hendaknya tenaga yang berkaitan dalam proses produksi mendapat penghasilan yang adil.
Sedangkan Max Weber (dalam Paul Jhonson, 1996) mengemukakan bahwa kehidupan ekonomi dan sosial merupakan tindakan aktor yang dinyatakan sebagai tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperlihatkan tingkah laku individu lain dan oleh karena itu diarahkan pada tujuan tertentu.
Winardi, (1982 : 87) mengatakan bahwa sistem sosial ekonomi membahas mengenai rangkaian upaya tentang bagaimana cara orang atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka baik melalui sektor formal maupun sektor jasa dan barang dengan menggunakan pendekatan-pendekatan sosiologi. Cara yang di maksud berkaitan dengan aktivitas orang dan masyarakat yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukangan,  konsumen, jasa dan barang-barang langka.
D.   Konsep Pendapatan
Dalam suatu masyarakat, kondisi sosial ekonomi dipengaruhi bahkan ditentukan oleh tingkat pendapatan artinya apabila tingkat pendapatan seseorang lebih tinggi maka kesejahteraannya cenderung akan tinggi. Hal ini dapat dipahami karena dengan tingkat pendapatan yang tinggi memungkinkan pemenuhan kebutuhan baik materil maupun nonmateril secara optimal.
Pendapatan diartikan oleh Sagir, (1992) sebagai produk perolehan dari hasil, berdasarkan harga pasar yang di jumlahkan dengan nilai tambah (Value) yang ditimbulkan oleh nilai tambah itu sendiri, yang terdiri dari upah, sewa, tanah, keuntungan dan pajak langsung.
Apabila pandangan tersebut di atas dianalisis, terlihat bahwa pada dasarnya pendapatan adalah apa yang di hasilkan oleh kegiatan produktif. Dalam pemahaman penelitian, maka pendapatan adalah merupakan hasil akhir (etning result) dari proses produksi baik yang bersifat barang maupun jasa.
Dalam pandangan yang lebih luas Susanto, (1997) berpendapat bahwa pendapatan dapat ditaksirkan sebagai usaha seseorang di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya guna mencapai kemakmuran. Pandangan ini menitik beratkan perhatiannya terhadap manfaat pendapatan yaitu bahwa dengan pendapatan yang memadai, memungkinkan seseorang mencapai puncak kemakmuran yang lebih baik. Searah dengan pandangan tersebut, Salim (1995) mengamati pendekatan dari dua aspek, yaitu aspek ekonomi menyangkut kualitas atau jumlah pendapatan yang dapat di hitung. Sedangkan pendapatan dilihat dari aspek sosiologi menyangkut pengaruh atau efek dari pendapatan terhadap kehidupan sosial anggota keluarganya.
Bila pandangan tersebut diatas di analisis, terlihat aspek-aspek pendapatan mempunyai pola pemenuhan kebutuhan keluarga seperti pemenuhan akan pendidikan, kesehatan kebutuhan jasmani lainya Tingkat pendapatan antar seseorang dengan yang lainya relatif berbeda-beda karena pendapatan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang cukup kompleks.
D.    Konsep Perubahan Sosial
Fenomena perubahan dalam kehidupan manusia merupaka suatu hal yang akan terjadi dan dijumpai bahkan dialami oleh setiap manusia, karena perubahan itu sendiri itu merupakan suatu kepastian yang akan terus terjadi mengikuti perkembangaan dan perjalanan zaman. Perubahan sosial merupakan suatu dinamika di dalam kehidupan manusia. Karena setiap perubahan manusia sebagai makhluk sosial  dalam hidupnya pasti telah mengalami perubahan-perubahan. Perubahan tersebut dapat dirasakan sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan tetapi dapat juga dirasakan sebaliknya.  Perubahan sosial yang mengarah pada kemajuan dan berlangsung cepat dan lambat, sebaliknya ada juga perubahan yang mengakibatkan kemunduran dan dapat terjadi secara tiba-tiba atau berangsur-angsur. Karena itu, konsep perubahan pada hakikatnya dapat terjadi dalam bentuk yang bersifat “kemajuan”(progres), dan ada pula dalam bentuk yang bersifat “kemunduran”(regres), baik secara lambat maupun cepat. Demikian pula ada perubahan sosial dapat terjadi secara alami atau yang tidak direncanakan (unplanned change) dan perubahan sosial yang direncanakan (planned change).
Sinaga dan Sujadi (2004 : 6), mengatakan bahwa perubahan adalah keadaan yang menunjukan situasi sebelum dan sesudahnya. Jika suatu keadaan mengalami perbedaan dalam kurun waktu tertentu, maka keadaan atau situasi tertentu mengalami perubahan.
Gillin dan Gillin (Soekanto 1982) memberikan defenisi tentang perubahan sosial, sebagai suatu variasi dan cara-cara hidup yang diterima dan disebabkan baik karena perubahan kondisi-kondisi geografis kebudaaan materil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena difusi maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan pandangan tersebut maka dapat dianalisis bahwa suatu perubahan sosial merupakan suatu bentuk cara-cara hidup dan keadaan sebelumnya. Dalam kaitannya dengan perubahan aktifitas pada masyarakat di Desa Pising, Kecamatan Kabaena Utara, Kabupaten Bombana. Maka proses perubahan sosial yang terjadi adalah  perubahan aktifitas masyarakat dari nelayan ke petani, begitu pun sebaliknya.
Berdasarkan dari pandangan di atas maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa perubahan sosial adalah suatu bentuk atau cara hidup baru dari keadaan semula. Perubahan sosial menurut Laurer (2001), mengungkapkan pandangan bahwa perubahan sosial merupakan suatu konsep yang serba mencangkup, yang merujuk pada perubahan fenomena sosial diberbagai tingkat kehidupan manusia mulai tingkat individual hingga tingkat dunia. Dengan demikian untuk memahami suatu fenomena perubahan sosial perlu dibatasi dengan tingkat analisis apakah itu menyangkut individu, kelompok, komunitas, masyarakat maupun unit-unit analisis yang lebih luas.
Perubahan sosial juga dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lenih tepatnya terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Jadi konsep dasar perubahan sosial adalah perbedaan, pada waktu berbeda, dan diantara keadaan sistem sosial yang sama (Strasser dan Randall 1981 : 16).
Dalam kehidupan manusia yang makin lama makin bersifat global, perubahan itu jelaslah akan dianggap suatu kebiasaan dan merupakan gejala normal. Pengaruhnya bisa menjalar dengan cepat ke bagian-bagian dunia lain berkat adanya perkembangan transportasi dan komunikasi modern. Penemuan-penemuan baru di bidang teknologi yang terjadi di suatu tempat, dengan cepat diketahui oleh masyarakat lain yang berada jauh dari tempat tersebut. Terjadinya perubahan sosial dalam dunia modern dewasa ini memang tidak bisa ditolak yang sebagaimana diringkaskan oleh Moore sebagai suatu kesatuan generalisasi (dalam Garna, 1992 : 2-3) yaitu : (1). Bagi masyarakat atau kebudayaan manapun, perubahan cepat berlangsung, atau berlaku secara tetap, (2). Perubahan-perubahan itu tidaklah bersifat sementara maupun terpencil secara spesial, karena perubahan terjadi dalam rangkaian bukan sebagai krisis sementara yang diikuti oleh masa rekonstruksi diam-diam, dan akibat perubahan cenderung bergema ke seluruh kawasan atau seluruh dunia, (3). Karena perubahan semasa itu mungkin berlaku dan akibatnya bermakna dimanapun, maka perubahan tersebut berasas ganda, (4). Proporsi perubahan semasa berencana atau isu-isu akibat inovasi yang sengaja dilaksanakan akan llebih tinggi proporsinya dibandingkan pada masa lalu, (5). Kejadian normal perubahan telah memberikan akibat bagi suatu pengalaman individu yang lebih luas dari aspek fungsional masyarakat dalam dunia modern, bukan karena masyarakat seperti itu terintegrasi dalam banyak hal, tetapi karena tidak ada gambaran tentang ciri hidup yang bebas dari kebiasaan perubahan.
Menurut Haviland (dalam Ahmadi. 2010 : 7), bahwa salah satu istilah yang digunakan untuk menjelaskan proses perubahan sosial yang terjadi seiring dengan pembangunan di negara-negara berkembang ada proses modernisasi sebagai proses perubahan kebudayaan dan sosial ekonomi yang meliputi segala-galanya dan terdapat di seluruh dunia, dimana negara-negara berkembang berusaha memperoleh karakteristik dari masyarakat industri maju. Di lain pihak juga teori-teori perubahan yang ada dalam masyarakat sering mempersoalkan antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan.
Lawang (1995), mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan perubahan diantaranya : (1) faktor internal yaitu perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang disebabkan oleh masyarakat itu sendiri, (2) faktor internal laten yaitu faktor yang menyebabkan perubahan masyarakat yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar yang mencakup faktor penduduk, perubahan lingkungan dan adanya kelemahan-kelemahan kelompok yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat yang bersangkutan serta faktor kebudayaan.    
E.     Konsep Perilaku Masyarakat
Konsep perilaku telah menjadi kajian sosiologi dan antropologi. Dalam bidang sosiologi, Weber dalam Veeger (1990) secara khusus telah menjelaskan tentang perilaku sosial. Menurutnya, terjadi pergeseran tekanan ke arah keyakinan, motivasi, dan tujuan pada diri anggota masyarakat yang semuanya memberi isi bentuk kepada kelakuannya. Kata “perikelakuan” di pakai oleh Weber untuk perbuatan-perbuatan bagi si pelaku mempunyai arti subyektif, artinya pelaku hendak mempunyai suatu tujuan atau didorong oleh motivasi. Baik kelakuan itu bersifat lahiriah atau alamiah berupa perenungan, perencanaan keputusan, atau memakai kelakuan untuk perbuatan manusia yang mempunyai arti bagi dia.
Weber (1990) kemudian membuat klasifikasi perilaku sosial, dimana ia membedakan empat tipe, yakni (a) kelakuan yang diarahkan secara rasional kepada tercapainya suatu tujuan, baik tujuan itu sendiri maupun segala tindakan yang diambil dalam rangka tujuan itu dan akibat-akibat sampingan yang akan timbul, (b) kelakuan yang berorientasi kepada nilai, seperti keindahan, (c) kelakuan yang menerima orientasinya dari perasaan seseorang, (d) dan kelakuan yang menerima arahnya dari tradisi sehingga sehingga disebut kelakuan  tradisional.
Pendekatan perilaku dalam sosiologi, juga dikemukakan Skiner dalam Ritzer (1975) yang direview Krisdawati Sadhana (1997) bahwa perilaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan perubahan perilaku. Sehingga terdapat hubungan fungsional antara perilaku dengan kondisi sosial aktor.
Selanjutnya, Selo Soemarjan dan Sulaiman Soemardi, merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat, dimana karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan jasmaniah (material culture), yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan dan hasilnya dapat diabadikan pada keperluan masyarakat (Soekanto, 1990 : 169).
Dari defenisi yang dijelaskan oleh para ahli di atas dapat diketengahkan bahwa kebudayaan memiliki tujuh unsur sebagai kulture universal, yakni :
a.       Peralatan dan perlengkapan hidup.
b.      Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi.
c.       Sistem kemasyarakatan.
d.      Bahasa.
e.       Kesenian.
f.       Sistem pengetahuan.
g.      Religi.
Sedangkan menurut Kluckhohm dalam Koentjaraningrat (1990 : 35), menyebutkan keudayaan itu membahas lima masalah dasar dalam kehidupan manusia yaitu :
1.      Masalah mengenai hakekat hidup manusia.
2.      Masalah mengenai hakekat dari karya manusia.
3.      Masalah mengenai hakekat dari kedudukan masalah manusia dari ruang lingkup.
4.      Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
5.      Masalah mengenai dari hubungan manusia dengan sesamanya.

DAFTAR PUSTAKA
Atmosudirdjo, Prajudi 1976. Beberapa Pandangan Umum Tentang Pengambilan Keputusan. Cetakan keempat. Jakarta.
Garna K. Judistria. 1992. Teori-teori Perubahan Sosial. Program Pasca sarjana Unpad Bandung. Bandung.
Hidayat, Mukmin. 1980. Beberapa Aspek Perjuangan Wanita di Indonesia. Bina Cipta. Jakarta.
Keke, Ahamad. 2010. Strategi Adaptasi Masyarakat Desa Bone Balano Terhadap Perubahan Mata Pencaharian. Unhalu. Kendari.
Kusnadi, 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dainamika Ekonomi Pesisir. AR-Ruzz Media. Yogyakarta.
Komaruddin, Drs. 1988. Kamus Istilah Skripsi dan Thesis Edisi Ke-2. Angkasa Bandung. Bandung.
Lawang, Robert H. 2001. Perspektif Tentang Suatu Perubahan Sosial. Rineka Cipta. Jakarta.
Liang Gie, The Drs. 1972. Kamus Administrasi Edisi ke-2. PT. Gunung Agung. Jakarta.
Nurjaka, & Asep Oman, 1998. Tenaga Kerja, Lapangan Kerja dan Kesempatan Kerja. Rineka Cipta. Jakarta.
Poerwadarminta, W.J.S. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN. Balai Pustaka. Jakarta.
Sagir, 1992. Produktifitas Pendapatan Masyarakat di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.
Salim, Emil. 1995. Pendapatan Masyarakat di Sektor Informal. Bina Ilmu. Jakarta.
Soeharsono, 1982. Tenaga Kerja, Kesempatan Kerja dan Pembangunan. Bina Ilmu. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Garfindo Persada. Jakarta.           
Sujadi, 2004. Perubahan Pola Usaha Tani Pada Masyarakat. Unhalu Kendari.
Susanto, Astrid. 1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Rineka Cipta. Jakarta.
Tohari Syaifuddin, 1995. Pegangan Ekonomi. Armico. Bandung.

A.    Konsep Persepsi
Persepsi dapat diartikan suatu hasil yang dilahirkan atas kesadaran sesuatu hal melalui perantara pikiran sehat. Persepsi menurut Thoha (2007 : 141), bahwa persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman, pada dasarnya memahami persepsi bukan suatu pencatatan yang benar terhadap situasi yang dihadapi, melainkan merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Krech (Thoha, 2007 : 142), bahwa “peta kognitif individu itu bukanlah penyajian potografik dari suatu kenyataan fisik, melainkan agak bersifat konstruksi pribadi yang kurang sempurna mengenai obyek tertentu, diseleksi sesuai dengan kepentingan utamanya dan dipahami menurut kebiasaanya”.
Secara ringkas pendapat di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambaran unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari kenyataannya.
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Rifai (2003 : 231), persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka. Sedangkan persepsi menurut Rakhmat (Sobur, 2003 : 446), menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi berdasarkan pengalaman, peristiwa yang serupa yang pernah dialami.
Ciri-ciri persepsi menurut Rakhmat sebagai berikut :
a.       Persepsi merupakan sebagai cara pandang.
b.      Adanya stimulus (input), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus.
c.       Adanya pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
d.      Adanya proses pemberian arti terhadap lingkungan seorang individu.
Salah satu alasan mengapa persepsi demikian penting dalam hal menafsirkan dunia sekeliling kita adalah bahwa kita masing-masing mempersepsi, tetapi mempersepsi secara berbeda apa yang dimaksud dengan sebuah situasi ideal. Persepsi merupakan sebuah proses yang hampir bersifat otomatik dan persepsi bekerja dengan cara yang hampir serupa pada masing-masing individu. Sekalipun demikian, persepsi secara tipikal menghasilkan persepsi-persepsi yang berbeda-beda.     
Persepsi berasal dari bahasa Inggris yang berarti tanggapan yang pada dasarnya lebih dekat pada pengertian kesan (Hayeb, 1993 : 58). Pendapat yang lain, juga dikemukakan oleh Desi Derato yang menyatakan bahwa persepsi adalah pangalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan kesan (Rahmat, 1986 : 57).
Sedangkan menurut Bruner, bahwa persepsi adalah proses kategorisasi, organisasi yang dirancang oleh suatu masukan tertentu (objek-objek di luar peristiwa dan lain-lain) dan organisme merespon dengan menghubungkan masukan itu dan salah satu kategori (golongan) objek-objek atau peristiwa-peristiwa. Proses sengaja mencari kategori yang tepat terhadap masukan tersebut, dengan demikian persepsi juga bersifat intersial (mencari kesimpulan) dari berbagai masukan rangsangan (Sarwono, 1983 : 95).
Selanjutnya Hammer dan Organ menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami mengolah pertanda gejala sesuatu itu mempengaruhi pola perilaku yang akan diterima (Indrawijaya, 1984 : 85).
Menurut Soekanto, bahwa persepsi adalah kesan didalam pikiran manusia dengan hasil penggunaan panca indera yang berbeda sama sekali dengan kepercayaan (believe) dan takhayul. Jadi persepsi adalah bagaimana terjadinya suatu daya tanggapan, kesan atau sikap seseorang terhadap apa yang dilihatnya, terhadap lingkungannya sebagai hasil penafsiran dan penggunaan pada indaranya (1981).
Menurut Hasirun (2000 : 8-10), persepsi seseorang terhadap apa yang ada di lingkungannya atau disekitarnya akan timbul bila terdapat rangsangan pada diri manusia. Timbulnya proses persepsi yang dimulai dari tahap penerimaan rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar manusia dikategorikan ada 5 (lima) yang mempengaruhinya, antara lain :
1.       Faktor lingkungan, yaitu yang secara sempit hanya menyangkut warna, bunyi, sinar dan secara luas dapat menyangkut faktor ekonomi, sosial dan politik. Semua unsur faktor ini dapat mempengaruhi seseorang dalam menerima dan menafsirkan sesuatu rangsangan.
2.      Faktor konsepsi, yaitu pendapat dari teori seseorang tentang manusia dan segala tindakannya. Seseorang yang mempunyai konsepsi, pendapat dan teori bahwa manusia pada dasarnya baik, canderung menerima semua rangsangan sabagai sesuatu yang baik atau paling tidak sebagai sesuatu yang bermanfaat.
3.      Faktor yang berkaitan dengan konsep seseorang tentang dirinya sendiri. Seseorang mungkin beranggapan bahwa dirinya yang terbaik, sedangkan orang lain kurang baik dari diri sendiri.
4.      Faktor yang berhubungan dengan motif dan tujuan yang pokoknya berkaitan dengan dorongan dan tujuan seseorang untuk menafsirkan sesuatu rangsangan.
5.      Faktor pengalaman masa lampau, yang dapat menimbulkan proses selektif (selectirity) dan proses menutupi kekurangan informasi (cloruse).
Selain kelima faktor tersebut yang mempengaruhi proses timbulnya persepsi, maka ada hal-hal lain yang dapat menyebabkan sesuatu objek yang sangat dipersepsikan berbeda oleh dua orang atau lebih yang berbeda. Perbedaan persepsi dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti :     
1.      Perhatian, biasanya dapat menangkap seluruh rangsangan yang ada disekitarnya sekaligus, tetapi kita memfokuskan perhatian kita pada satu atau dua objek saja. Perbedan fokus antara satu orang dengan orang lainnya menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi antara mereka.
2.      Set, adalah harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul. Rangsangan tersebut bermacam-macam harapan sehingga menyebabkan pula terjadinya perbedaan persepsi diantara orrang yang satu dengan orang yang lainnya.
3.      Kebutuhan, merupakan kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseoramg, akan mempengaruhi persepsi orang tersebut. Dengan demikian, adanya kebutuhan-kebutuhan yang berbeda-beda antara setiap orang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan persepsi.
4.      Sistem nilai, sistem nilai ini berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula terhadap persepsi. Apabila dalam suatu masyarakat terdapat sistem nilai yang berbeda, maka akan menimbulkan perbedaan persepsi sesuai dengan sistem nilai yang berbeda dengan sistem nilai mereka masing-masing.
5.      Ciri keperibadian, akan mempengaruhi pula persepsi seseorang karena tiap-tiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda akan menyebabkan pula terjadinya perbedaan persepsi antara orang yang satu dengan orang yang
 lainnya menurut keperibadiannya masing-masing (Rakhmat, 1994 : 8-10).
David Krech dan Richard S. Crutchfield mengemukakan bahwa persepsi ditentukan oleh faktor-faktor fungsional dan faktor struktural yang menetukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada karakteristik itu. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor personal. Sedangkan faktor struktural semata-mata berasal dari stimulasi fisik dan efek saraf yang ditimbulkan pada sistem-sistem saraf individu, artinya bila mempersepsinya sebagai sesuatu keseluruhan dan kita tidak melihat bagian-bagian yang lain lalu menghimpunnya.
Menurut Mitha Thoha (1993 : 143), faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan persepsi antara lain :
1.      Faktor Psikologi
Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Sebagai contoh, terbenamnya matahari diwaktu senja yang indah tentram, akan dirasakan sebagai bayang-bayang kelabu bagi seseorang yang buta warna.
2.      Faktor Keluarga
Pengaruh yang besar terhadap anak-anak adalah keluarganya. Orang tua yang telah memberikan sosialisasi dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini banyak sikap dan persepsi mereka diturunkan kepada anak-anaknya.
3.      Faktor Kebudayaan Dari Luar
Kebudayaan lingkungan masyarakat tertentu, juga merupakan salah satu faktor yang kuat didalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara seseorang dalam memandang dan memahami keadaan dunia ini.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa persepsi akan timbul bilamana diluar diri manusia atau masyarakat mampu merangsang panca indera sehingga manusia atau masyarakat tersebut memberikan tanggapan tentang sesuatu dengan melalui proses penerimaan, penyeleksian, pengorgnisasian, pengertian dan pegujian terlebih dahulu.
B.     Konsep Masyarakat
Istilah masyarakat diambil dari alur kata “syaraka” bahasa arab yang secara umum berarti saling berperan serta, saling bergaul. Sedangkan “society” dalam bahasa inggris ataupun “socus” dalam bahasa latin yang berarti sekumpulan kawan atau teman bergaul.
Selanjutnya Ralf  Linton sebagaimana yang dikutip Harsoyo dalam I Gede A.B. Wiranata (2002 : 69) mendefinisaikan masyarakat yaitu setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama sehingga mereka itu mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
Menurut Koentjaraningrat (1990 : 87) masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup bersama, diantaranya adalah ikatan-ikatan nilai-nilai dan norma-norma serta aturan yang menjadi patokan dalam berinteraksi  hubungan antara mereka menempati wilayah yang sama.
Menurut Roucek dan Waren dalam Syani (1986 : 83-84), masyarakat adalah sekelompok manusia yang memiliki rasa kesadaran bersama dimana mereka berdiam pada daerah yang sama, yang sebagian besar atau seluruh warganya memperhatikan adat-adat kebiasaan dan aktifitas yang sama pula.
Sedangkan menurut Linton dalam Soekanto (1981) bahwa masyarakat merupakan kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama  cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas – batas yang telah dirumuskan.
Selanjutnya dikatakan bahwa apabila dalam suatu daerah/wilayah tertentu terdapat manusia yang hidup lebih dari satu orang atau lebih maka dapat dikatakan terbentuk suatu masyarakat (Soekanto,1985:37)
Soekanto dalam Syani (1994:32) mengemukakan ciri masyarakat yaitu manusia yang hidup bersatu, bercampur untuk waktu yang lama mereka sadar bahwa mereka mempunyai satu kesatuan, serta merupakan suatu sistem hidup bersama.
C.    Konsep Good Governance
Dalam kamus, istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu Negara (Santoso, 2009 : 67).
Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat ke 27, memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengetian yang sempit. Wacana tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan pada pertemuan hari ini dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-pamong baru muncul sekitar 15 tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional menetapkan “good governance” sebagai persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government) (Kartini, 2011 : 15).
Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatiof dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yang paling tepat meng-capture makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.” Terjemahan dalam bahasa kita, adalah proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan keputusan tentang kehidupan publik, serta pembangunan ekonomi dan sosial.
Konsekuensi diterapkannya otonomi daerah dan azas desentralisasi seperti yang diamanatkan UU No. 22 Tahun 1999 dan diperbaharui oleh UU No. 32 Tahun 2004, lahirlah local government (pemerintah lokal) yang diberi kewenangan untuk mengurusi kepentingan daerahnya. Urusan mengenai rumah tangganya sendiri sering disebut otonomi, sedangkan pemerintahannya disebut lokal government atau pemerintah daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri. Pengelolaan segala urusannya itu seluruhnya ditangani atas dasar kebijakan sendiri dan dibiayai dari sumber keuangan sendiri. Sedangkan hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah lokal daerah adalah hubungan pengawasan saja. Dari aspek tanggung jawab negara, pemerintah lokal daerah merupakan organ pemerintahan negara yang statusnya berada dalam kerangka sistem pemerintahan Negara Kesatuan Repuplik Indonesia (NKRI).
Local government (pemerintah daerah/lokal) dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik, harus pula diiringi dengan penerapan prinsip good governance (kepemerintahan atau tata pemerintahan yang baik). Good governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan dalam menyediakan barang dan jasa publik (public goods dan services.). Prinsip-prinsip good governance antara lain adalah prinsip efektifitas (effectiveness), keadilan, (equity), Partisipasi (participation), Akuntabilitas (accountability) dan tranparansi (transparency)  (Basri, 2007 : 46).
Pemerintah daerah dituntut untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance. Dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance, diharapkan dalam menggunakan dan melaksanakan kewenangan politik, ekonomi dan administratif dapat diselenggarakan dengan baik. Oleh sebab itu dalam prakteknya, konsep good governance harus ada dukungan komitmen dari semua pihak yaitu negara (state)/pemerintah (government), swasta (private) dan masyarakat (society).
Good Governance (tata pemerintahan yang baik) merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Good governance telah menjadi isu sentral, dimana dengan adanya era globalisasi tuntutan akan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah suatu keniscayaan seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat.
United Nation development Program (UNDP) mendefinisikan governance sebagai penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Dari definisi tersebut governance meliputi 3 (tiga) domain yaitu negara (pemerintah), dunia usaha (swasta) dan masyarakat yang saling berinteraksi. Arti good dalam good governance mengandung pengertian nilai yang menjunjung tinggi keinginan rakyat, kemandirian, aspek fungsional dan pemerintahan yang efektif dan efisien.
Menurut Erna Witular (2005 : 68), bahwa salah satu ukuran tata pemerintahan yang baik adalah terdapatnya pengaturan perilaku/peranan yang dapat diterima sektor publik, swasta dan masyarakat.
Menurut Mulyadi (2009 : 89) terdapat empat belas prinsip yang dapat terhimpun dari telusuran wacana good governance, yaitu:
1.         Tata pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi strategis)
Semua kegiatan pemerintah di berbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi yang jelas disertai strategi implementasi yang tepat sasaran.

2.         Tata pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan)
Wujud nyata prinsip tersebut antara lain dapat dilihat apabila masyarakat mempunyai kemudahan untuk mengetahui serta memperoleh data dan informasi tentang kebijakan, program, dan kegiatan aparatur pemerintah, baik yang dilaksanakan di tingkat pusat maupun daerah.
3.         Tata pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat
Masyarakat yang berkepentingan ikut serta dalam proses perumusan dan/atau pengambilan keputusan atas kebijakan publik yang diperuntukkan bagi masyarakat.
4.         Tata pemerintahan yang bertanggung jawab/ bertanggung gugat (akuntabel).
Instansi pemerintah dan para aparaturnya harus dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Demikian halnya dengan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukannya.
5.         Tata pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum
Wujud nyata prinsip ini mencakup upaya penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran HAM, peningkatan kesadaran hukum, serta pengembangan budaya hukum. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan menggunakan aturan dan prosedur yang terbuka dan jelas, serta tidak tunduk pada manipulasi politik.


6.         Tata pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada consensus
Perumusan kebijakan pembangunan baik di pusat maupun daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Keputusan-keputusan yang diambil antara lembaga eksekutif dan legislatif harus didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan keputusan bersama. 
7.         Tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi
Wujud nyata dari prinsip profesionalisme dan kompetensi dapat dilihat dari upaya penilaian kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia.
8.         Tata pemerintahan yang cepat tanggap (responsif)
Aparat pemerintahan harus cepat tanggap terhadap perubahan situasi/kondisi mengakomodasi aspirasi masyarakat, serta mengambil prakarsa untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
9.         Tata pemerintahan yang menggunakan struktur & sumber daya secara efisien & efektif
Pemerintah baik pusat maupun daerah dari waktu ke waktu harus selalu menilai dukungan struktur yang ada, melakukan perbaikan struktural sesuai dengan tuntutan perubahan seperti menyusun kembali struktur kelembagaan secara keseluruhan, menyusun jabatan dan fungsi  yang lebih tepat, serta selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia secara efisien dan efektif. 
10.     Tata pemerintahan yang terdesentralisasi
Pendelegasian tugas dan kewenangan pusat kepada semua tingkatan aparat sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan, serta memberikan keleluasaan yang cukup untuk mengelola pelayanan publik dan menyukseskan pembangunan di pusat maupun di daerah. 
11.     Tata pemerintahan yang mendorong kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat
Pembangunan masyarakat madani melalui peningkatan peran serta masyarakat dan sektor swasta harus diberdayakan melalui pembentukan kerjasama atau kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Hambatan birokrasi yang menjadi rintangan terbentuknya kemitraan yang setara harus segera diatasi dengan perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat dan sektor swasta serta penyelenggaraan pelayanan terpadu.
12.     Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pengurangan kesenjangan
Pengurangan kesenjangan dalam berbagai bidang baik antara pusat dan daerah maupun antardaerah secara adil dan proporsional merupakan wujud nyata prinsip pengurangan kesenjangan. Hal ini juga mencakup upaya menciptakan kesetaraan dalam hukum (equity of the law) serta mereduksi berbagai perlakuan diskriminatif yang menciptakan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. 
13.     Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup
Daya dukung lingkungan semakin menurun akibat pemanfaatan yang tidak terkendali. Kewajiban penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan secara konsekuen, penegakan hukum lingkungan secara konsisten, pengaktifan lembaga-lembaga pengendali dampak lingkungan, serta pengelolaan sumber daya alam secara lestari merupakan contoh perwujudan komitmen pada lingkungan hidup.
14.     Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pasar
Pengalaman telah membuktikan bahwa campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi seringkali berlebihan sehingga akhirnya membebani anggaran belanja dan bahkan merusak pasar. Upaya pengaitan kegiatan ekonomi masyarakat dengan pasar baik di dalam daerah maupun antardaerah merupakan contoh wujud nyata komitmen pada pasar.
Pengembangan good governance tersebut harus menjadi tanggungjawab kita semua. Dalam kondisi seperti sekarang, pemerintah, yang selama ini mendapat tempat yang dominan dalam penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi, sukar diharapkan secara sadar dan sukarela, akan berubah dan menjelma menjadi bagian yang efektif dari good governance Indonesia. Karena itu pembangunan good governance dalam menuju Indonesia Masa Depan harus dilakukan melalui tekanan eksternal dari luar birokrasi atau pemerintah, yakni melalui pemberdayaan civil society untuk memperbesar partisipasi berbagai warganegara dalam peneyelenggaraan pemerintahan.
 DAFTAR PUSTAKA
Adair Jhon, 2004. Cara Menumbuhkan Pemimpin. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Basri, 2007. Kepemimpinan yang baik dalam mewujudkan good governance. Bina rupa aksara. Jakarta
Kartini, 2011. Perilaku Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Koentjaraningrat, 1990. Sejarah Teori Antropologi. Rajawali. Jakarta
Mulyadi, 2009. Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Bina Rupa Aksara. Jakarta.
Rakhmat, Djalaluddin. 1994. Psikologi Komunikasi. Remaja Karya. Bandung.
Rivai, Veithzal, 2009. Perilaku Organisasi dan Teori Kepemimpinan Jilid II PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Santoso Pandji, 2009. Teori dan Aplikasi Good Governance. Rafika Aditama. Jakarta.
Satori, Djam’an dan Komariah A’an. 2010. Metode Penelitian kualitatif. Alfabeta : Bandung
Soekanto, Soerjono. 1981. Pribadi dan Masyarakat. PT. Alumni. Bandung.   
Syani, Abdul, 1986. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial, Fajar
Agung, Jakarta
Thoha, Mifta. 1993. Perilaku Organisasi, Konsep, dan Aplikasinya. Rajawali  Press. Jakarta.
Wiranata, I Gede A.B. 2002. Antropologi Budaya, PT Aditya Bakti,
Bandung
Witular, Erna. 2005. Organisasi dan Kepemimpinan Efektif. Raja Grafindo Persada Jakarta.
Witular Erna, 2005. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik. Gunung Agung. Jakarta.
http://www.Persepsi.or.id/index,htm
  


0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts