بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Senin, 18 Februari 2013

Kajian Nalar Dan Wahyu


                  Nalar dan wahyu
                  Filsafat dan agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu
                  manusia dan dunianya. Apabila yang satu membawa kebenaran yang
                  berasal dari Sang Pencipta manusia dan dunianya itu, dan yang
                  lainnya dari akal manusia yang selalu diliputi
                  kekurang-jelasan dan ketidakpastian, mengapa lalu orang masih
                  sibuk dengan agama? Itulah pertanyaan yang tidak jarang
                  dikemukakan oleh orang bertakwa terhadap usaha para filosof.
                  Itu memang ada benarnya. Pengetahuan mudah membuat orang
                  menjadi sombong. Filsafat juga dapat membuat orang menjadi
                  sombong, seakan-akan si filosof mengetahui segala-galanya,
                  seakan-akan ia pasti lebih maju daripada orang yang saleh.
                  Akan tetapi, di lain fihak, orang yang bicara atas nama agama
                  juga dapat berdosa karena sombong. Meskipun yang mau
                  dibicarakan adalah wahyu Allah, namun ia dapat lupa bahwa ia
                  sendiri tetap manusia, tetap terbatas dan tidak pasti dalam
                  pengertiannya, juga dalam pengertiannya terhdap wahyu itu.
                  Jadi, dengan cara mengadakan "perhitungan", kita tidak akan
                  maju jauh. Akan tetapi, pertanyaan di atas tetap perlu kita
                  jawab. Apakah fungsi filsafat dalam berhadapan dengan agama
                  yang menimba pengertiannya dari wahyu Allah ?
                  Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu
                  membicarakan hubungan antara wahyu dan akal budi.
                  I. Tiga pandangan ekstrem
                  Untuk membahas hubungan antara wahyu Ilahi dan akal budi
                  manusia, sebaiknya kita bertolak dari tiga pandangan ekstrem
                  tentang hubungan itu. Masing-masing pandangan hanya menekankan
                  satu segi dan melalaikan segi-segi lainnya. Tiga pandangan itu
                  adalah Rasionalisme, Fideisme dan Relativisme.
                  Sikap rasional tidak menuntut agar segala sikap harus
                  dibuktikan secara lengkap atau "ilmiah. " Sikap rasional
                  justru menerima keterbatasan seseorang dalam memastikan
                  kebenaran suatu masalah. Dalam hampir semua pengandaian hidup,
                  kita tergantung kepada pengertian dan kepastian orang lain dan
                  masyarakat. Saya belum pernah pergi ke kota Jayapura, tetapi
                  bukanlah sikap irasional kalau saya yakin bahwa kota itu ada;
                  kalau pun saya pernah bermaksud pergi ke sana, saya tetap
                  tidak dapat mengecek sendiri apakah kota itu betul-betul
                  terletak di pantai utara Irian Jaya dan bahwa kota itu memang
                  Jayapura. Adalah tidak bertentangan dengan sikap rasional,
                  kalau kita dalam banyak hal mengandalkan pendapat orang lain,
                  adat kebiasaan, bahkan perasaan kita sendiri (yang
                  kadang-kadang lebih dapat dipercayai daripada sekedar pikiran
                  pintar yang masuk ke kepala kita). Sikap rasional tidak
                  menuntut kita untuk membuktikan segala-galanya sebelum kita
                  mengandaikannya (misalnya, apakah sebuah jembatan yang akan
                  kita lewati betul-betul masih cukup kuat). Tetapi, apabila
                  pendapat atau pengandaian kita memang dipersoalkan, kita tidak
                  boleh menjawabnya dengan mengacu kepada kebiasaan,
                  kepercayaan, perasaan, pendapat orang atau otoritas di
                  sekeliling kita, melainkan mencari pertimbangan-pertimbangan
                  yang dapat dimengerti dan dicek oleh orang lain untuk
                  menanggapi keberatan itu.
                  Jadi, sikap rasional itu kelihatan dalam tantangan. Orang yang
                  bersikap tidak rasional adalah orang yang menolak tantangan
                  semata-mata karena keyakinannya. Sedangkan orang yang bersikap
                  rasional adalah orang yang betul-betul memperhatikan,
                  memeriksa dan menjawabnya.
                  Sikap rasionalisme lebih dari itu. Seorang rasionalis tidak
                  menerima sesuatu apapun yang tidak dibuktikan. Maka ia tidak
                  dapat percaya pada cinta orang lain, pada pengalaman
                  masyarakat yang tertuang dalam adat kebiasaan, dan tentu juta
                  tidak percaya pada wahyu. Allah hanya mau diterima sejauh ia
                  sendiri dapat mengertinya. Padahal Allah dengan sendirinya
                  mengatasi jangkauan pengertian ciptaan. Maka rasionalisme
                  adalah lawan agama.
                  Akan tetapi, seperti saya tunjukkan di atas, rasionalisme
                  sebenarnya irasional. Karena, ia bertolak dari sebuah
                  pengandaian yang justru tidak mungkin terpenuhi : Yaitu bahwa
                  segala sesuatu dapat dimengerti seseorang. Seorang rasionalis
                  yang taat azas sebetulnya tidak dapat berbuat sesuatu apa pun
                  karena segala perbuatan mengandaikan hal-hal yang tidak dapat
                  dicek (dapatkah ia mengecek setiap kali mau makan, apakah
                  dalam makanan itu tidak ada bisa?)
                  Yang harus dituntut adalah sikap rasional, sebagaimana mau
                  saya Derlihatkan di bawah, dan bukan sikap rasionalisme.
                  Fideisme adalah kebalikan dari rasionalisme. Fideisme (dari
                  kata Latin ':fides", iman) adalah sikap membatasi diri pada
                  iman akan wahyu Allah, dan sekaligus menganggap bahwa
                  penggunaan nalar manusia tidak perlu.
                  Fideisme dapat berwujud iman sederhana seseorang yang merasa
                  cukup dengan mengikuti pedoman agamanya, tak perduli kepada
                  segala macam pikiran, kritik, keresahan intelektual atau
                  paham-paham baru yang diramaikan. la dapat juga berwujud
                  pandangan dunia yang secara prinsipiil menolak segala
                  pertimbangan nalar sebagai tidak memadai terhadap kepastian
                  yang merupakan ciri hakiki wahyu Allah.
                  Sikap terakhir itu menjadi fundamentalisme apabila semua
                  pandangan tentang alam, dunia, masyarakat dan sejarah diambil
                  secara harfiah dari sumber-sumber wahyu yang dipercayai (dari
                  Kitab Sucinya) dengan menolak segala hasil ilmu pengetahuan
                  yang benar-benar, atau hanya tampaknya, tidak sesuai dengan
                  apa yang ditulis dalam sumber wahyu itu.
                  Fideisme pada hakekatnya tidak menyadari bahwa kemampuan
                  manusia untuk bernalar adalah juga ciptaan Tuhan yang
                  diberikan untuk dipergunakan serta dimanfaatkan demi tujuan
                  yang baik. Kecuali itu, fideisme salah dalam pengandalan bahwa
                  antara hasil nalar dan wahyu nahi mesti ada pertentangan.
                  Relativisme dapat juga disebut sebagai ajaran tentang dua
                  kebenaran : Ada kebenaran agama dan ada kebenaran nalar.
                  Dua-duanya boleh bertentangan. Misalnya, sebagai orang
                  bernalar, seseorang menerima ajaran Darwin tentang evolusi
                  jenis-jenis makhluk hidup di dunia selama beratus-ratusjuta
                  tahun. Sedangkan sebagai orang beriman kristiani, ia percaya
                  bahwa dunia diciptakan sekitar 7000 tahun lalu dalam waktu
                  tujuh hari.
                  Jelaslah bahwa relativisme adalah siap yang paling lemah dari
                  tiga sikap ekstrem itu. Relativisme melepaskan paham kebenaran
                  sama sekali. Menurut prinsip non-kontradiksi, sesuatu itu
                  sejauh ada, tidak mungkin tidak ada. Kalau bumi kita sudah
                  berumur beratus-ratus juga tahun (menurut anggapan ilmiah,
                  sekarang bumi berumur antara 4 dan 5 milyar tahun), maka tak
                  mungkin bumi baru mulai berada, melalui penciptaan, sekitar
                  tujuh ribu tahun yang lalu. Dan sebaliknya. Relativisme
                  merupakan penyerahan claim atas pengetahuan yang benar. Maka,
                  menurut relativisme, Allah itu sekaligus dapat disebut ada dan
                  tidak ada. Sikap ini membuat mustahil pengambilan sikap yang
                  sungguhan.
                  2. Pandangan seimbang
                  Apabila kita meninjau kembali rasionalisme, fideisme dan
                  relativisme, maka menjadi jelas bahwa kesalahan dasar
                  sikap-sikap itu terletak pada ketidakseimbangannya. Yang kita
                  cari adalah sikap seimbang. Sikap seimbang adalah sikap yang
                  dapat menerima serta menanggapi unsur-unsur benar dalam tiga
                  sikap ekstrem itu, tetapi menghubungkannya satu sama lain.
                  Kita mulai dengan fideisme. Fideisme mementingkan iman,
                  percaya kepada wahyu ilahi. Kalau orang percaya kepada Allah,
                  ia langsung akan mengakui bahwa sikap dasar fideisme itu
                  benar. Kalau Allah memang ada, jelas Allah itu ada mutlak,
                  baik sebagai kebenaran, maupun dalam kekuasaan untuk
                  bertindak. Maka sabda Allah adalah mutlak benar dan merupakan
                  pegangan mutlak bagi manusia. Wajarlah orang beriman
                  mendasarkan hidupnya atas wahyu Allah.
                  Akan tetapi, justru kemutlakan Allah itulah yang seharusnya
                  membuat kaum fideis sadar bahwa kemampuan manusia untuk
                  bernalar perlu dipergunakan, bahkan ia berdosa terhadap Allah
                  Pencipta apabila ia tidak mau bernalar. Mengapa ?
                  Karena, segala apa yang ada adalah ciptaan Allah, termasuk
                  akal budi dengan kemampuannya untuk bernalar. Jadi, akalbudi
                  dan wahyu berasal dari sumber yang sama, dari Allah. Dan oleh
                  karena itu, tidak mungkin dua-duanya secara prinsipiil
                  bertentangan.
                  Jadi, adalah tidak mungkin, kalau manusia mempergunakan
                  nalarnya secara benar, artinya secara terbuka, kritis,
                  mendalam, ia sampai pada hasil yang bertentangan dengan wahyu.
                  Karena semuanya berasal dari sumber yang sama, maka hanya ada
                  satu kebenaran. Itu juga berarti bahwa adalah tidak tepat
                  kalau hubungan nalar-wahyu dirumuskan begini : Pakailah nalar
                  sejauh tidak menyangkut isi wahyu. Hakekat nalar manusia
                  adalah mencari kebenaran. Seseorang akan berdosa apabila
                  pencarian kebenaran diputuskan begitu saja pada titik
                  tertentu. Berdosa terhadap kehendak Dia yang menciptakan nalar
                  itu.
                  Maka, semua pemecahan konflik wahyu-nalar yang berpola :
                  Kurangilah, atau hentikanlah penalaran, jangan bernalar secara
                  radikal dan sebagainya, adalah salah. Salah terhadap nalar,
                  salah secara moral karena membuka pintu pada sikap munafik dan
                  bohong, dan salah secara keagamaan karena menyangkal bahwa
                  nalar berasal dari Allah. Tidaklah benar pendapat bahwa
                  semakin alim seseorang, semakin ia tidak berpikir,
                  mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui.
                  Lalu, mengapa terdapat pertentangan antara wahyu dan nalar
                  manusia? Atas pengandalan di atas, sebenarnya tidak boleh ada
                  perten- tangan, dan pertentangan itu kelihatan bersifat
                  sementara. Hal itu tidak mengherankan. Nalar manusia tidak
                  pernah sempurna, tidak pernah menangkap seluruh kebenaran. la
                  suka melihat satu sudut dan melupakan yang satunya. la
                  terpengaruh oleh prasangkanya. Dari mana pertentangan
                  sementara itu? Pertentangan antara wahyu dan nalar dapat
                  berasal dari keduabelah pihak, dari fihak nalar dan dari pihak
                  wahyu.
                  Di satu pihak, nalar dapat melampaui batasnya. Teori ilmu
                  pengetahuan moderen membuat kita sangat sadar akan
                  keterbatasan nalar . .Misalnya saja, pernyataan atheisme bahwa
                  "Allah tidak ada" menurut metodologi sekarang tidak rasional.
                  Kalau Allah ada, maka Allah mengatasi nalar manusia, maka baik
                  adanya maupun tidak adanya tidak dapat dipastikan melalui
                  nalar belaka.
                  Tetapi kesalahan sering terletak bukan di pihak nalar,
                  melainkan di pihak wahyu. Tentu saja bukan pada wahyu itu
                  sendiri. Wahyu sendiri tidak dapat salah karena wahyu adalah
                  Sabda Allah yang Maha benar. Tetapi, cara manusia menangkap
                  dan mengartikan wahyu dapat saja salah, karena untuk itu
                  manusia mau tak mau mempergunakan nalar yang sama yang juga di
                  pergunakan dalam penyelidikan ilmiah atau dalam filsafat. Jadi
                  dapat saja terjadi pertentangan antara nalar dan apa yang
                  dianggap wahyu, karena manusia menyebut sesuatu kebenaran
                  wahyu yang sebenarnya bukan wahyu, melainkan tafsirannya.
                  Jadi, kontradiksi itu terletak bukan antara wahyu dan nalar,
                  melainkan antara tafsiran nalar manusia tentang wahyu dan
                  hasil nalar manusia lain.
                  Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa antara wahyu dan
                  pengetahuan manusia tidak mungkin ada pertentangan, asal saja
                  keduabelah pihak tahu batas mereka masing-masing. Kalau ada
                  pertentangan, pertentangan itu sebenarnya tak pernah terjadi
                  antara wahyu dan nalar, melainkan antara nalar yang satu (yang
                  berusaha mengerti, dan dengan demikian selalu juga menafsirkan
                  wahyu) dengan nalar yang lain (yang dipakai dalam kegiatan
                  ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari).
                  Ada pertimbangan tambahan. Wahyu dan nalar berasal dari sumber
                  yang sama, yaitu Allah. Maka dua-duanya wajib dipakai dengan
                  sebaik- baiknya, tetapi menurut maksudnya masing-masing.
                  Kiranya manusia dijadikan makhluk bernalar oleh Sang Pencipta
                  agar supaya ia mempergunakan nalarnya itu sebaik-baiknya untuk
                  mewujudkan kehidupannya. Jadi, nalar diberikan untuk hal-hal
                  yang terletak dalam jangkauan nalar itu. Yang ada dalam
                  jangkauan nalar adalah alam terbatas, alam tercipta. Maka
                  nalar itu dipanggil untuk mencari pengetahuan serta pengertian
                  yang semakin benar dan men- dalam tentang seluruh alam
                  ciptaan. Untuk itu, manusia dapat mengembangkan ilmu-ilmu
                  pengetahuan dengan cara masing-masing untuk menyelidiki apa
                  yang ada. Wilayah nalar adalah manusia sendiri, alam inderawi
                  dan masyarakat. Sedangkan Allah tidak dapat "dikuasai" oleh
                  nalar .Satu-satunya yang dapat dicapai nalar menuju Allah
                  adalah keterbukaannya, serta pencarian jejak-jejak kebesaran
                  Allah dalam alam ciptaan. Tetapi tentang siapa Allah yang
                  sebenarnya, bagaimana hidup batin Allah, apa yang menjadi
                  kehendak dan tuntutannya serta sikapnya terhadap manusia, itu
                  semua secara prinsipiil tak terjangkau oleh nalar manusia
                  (Mengapa? Karena nalar manusia bersifat terbatas/terhingga
                  sehingga kekhasan Allah yang justru tak terbatas/tak terhingga
                  tidak teljangkau olehnya).
                  Pertimbangan ini menunjukkan juga untuk tujuan apa Allah
                  berkenan menurunkan wahyunya. Kiranya tidak untuk
                  memberitahukan hal-hal yangjuga dapat diselidiki dan diketahui
                  melalui nalaryangjustru juga diberikan oleh Allah. Seakan-akan
                  wahyu mau membuat manusia malas bernalar saja. Melainkan,
                  wahyu kiranya diberikan kepada manusia untuk mengetahui
                  hal-hal yang justru tidak, dan tidak pernah, dapat diketahui
                  dengan nalar, yaitu tentang Allah sendiri sebagaimana
                  disebutkan di atas. Karena skap Allah menyangkut manusia yang
                  masih berada dalam dunia, maka dalam wahyu juga terdapat
                  hal-hal yang menyangkut dunia (terutama apa yang menjadi
                  tanggungjawab serta kewajiban manusia dalam hidupnya di dunia,
                  jadi bidang moralitas) tetapi bukan sebagai pemberitahuan
                  tentang dunia, melainkan tentang sikap Allah terhadapnya. Akan
                  tetapi, wahyu tidak bermaksud memberikan informasi tentang
                  hal-hal yang juga dapatkita selidiki melalui ilmu pengetahuan,
                  melainkan tentang hal yang memang tidak dapat diselidiki
                  melalui ilmu pengetahuan, tentang Allah sendiri.
                  Oleh karena itu dapat juga dikatakan begini : Apabila nalar
                  mau menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling
                  fundamental seperti misalnya :Siapakah Allah, apa kehendak dan
                  sikap Allah terhadap manusia, apa tujuan terakhir manusia,
                  nalar tidak memadai dan mudah salah tafsir, sombong dan
                  menyesatkan. Dan sebaliknya,jawaban tentang
                  pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia : Misalnya apakah
                  matahari mengitari bumi atau sebaliknya, bagaimana urutan
                  terjadinya organisme-organisme hidup di bumi (yang ditegaskan
                  dalam wahyu ialah bahwa ada dunia dan bahwa adahidup serta
                  bahwa hidup dapat berkembang akhirnya berdasarkan keputusan
                  Allah), tetapi juga manakah struktur-struktur psikis dan
                  sosial manusia, manakah struktur-struktur ekonomis dan politis
                  yang paling cocok agar manusia hidup dengan sejahtera; semua
                  hal ini kita carijawabannya bukan dalam wahyu, melainkan dari
                  pengalaman kita, dengan bantuan ilmu pengetahuan. Kalau kita
                  mencari jawaban tentang hal-hal manusia dan duniawi itu dalam
                  wahyu, kemungkinan besar kita akan salah tafsir dan lalu
                  menciptakan kesan pertentangan yang sebetulnya tak benar.
                  Maka, adalah tidak betul pendapat bahwa semakin alim seseorang
                  semakin ia merasa tidak perlu berpikir, mencari-cari,
                  menyelidiki dan mengetahui. Justru orang yang mantap karena
                  berakar dalam iman, akan lebih mantap dan berani juga untuk
                  mempergunakan akalbudinya. la tidak takut dengan pengetahuan
                  yang lebih kritis dan mendalam akan menjauhkannya dari iman.
                  Dan menurut hemat saya, kita tidak boleh memberikan kesan
                  bahwa semakin kita berpikir secara mendalam dan kritis,
                  semakin agama berada dalam bahaya.

          

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts