بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Jumat, 15 Februari 2013

Sinopsis Pranata Hukum



SINOPSIS

PRANATA HUKUM
(Sebuah Telaah Sosiologis)

PROF. Dr. ESMI WARASSIH, SH., MS.
 


OLEH



LA PATUJU
MH.12.21.1344



PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2013








BAGIAN I : CITA HUKUM
1.      Hukum Sebagai Sistem Norma dan Fungsi-Fungsinya
Hukum dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk mengatur tingkah laku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang telah ada, namun juga sebagaimana yang tercantum pada hasil Keputusan Seminar HukumNasional ke III Tahun 1974 di Surabaya bahwa perundang-undangan terutama dalam masyarakat dinamis dan sedang berkembang, merupakan sarana untuk merealisasi kebijaksanaan negara dalam bidang-bidang ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan nasional sesuai dengan skala prioritas dalam pembangunan nasional. Olehnya itu, berangkat dari fenomena di atas maka ada beberapa masalah yang perlu diketahui yakni mengenai tujuan yang hendak diwujudkan dalam hukum, fungsi yang dapat dilakukan oleh hukum serta kaitan antara fungsi hukum dengan sistem norma.
Disamping itu, hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan atau kaedah dalam kehidupan bersama, keseluruhan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Namun demikian, hingga sekarang belum diperoleh suatu pengertian hukum yang memadai dengan kenyataan, sehingga pengertian yang mungkin diberikan pada hukum adalah sebagai berikut :
1)       Hukum dalam arti ilmu;
2)       Hukum dalam arti disiplin atau system ajaran tentang kenyataan;
3)       Hukum dalam arti kaedah atau norma;
4)       Hukum dalam arti tata hukum atau hukum positif tertulis;
5)       Hukum dalam arti keputusan pejabat;
6)       Hukum dalam arti petugas;
7)       Hukum dalam arti proses pemerintahan;
8)       Hukum dalam arti perilaku yang teratur;
9)       Hukum dalam arti jalinan nilai.
Selain pengertian tersebut di atas dapatlah dikemukakan beberapa pendapat para ahli. Menurut Van Vollen Hoven, hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus-menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala lainnya. Demikian pula Soediman mendefinisikan hukum sebagai pikiran atau anggapan orang tentang adil dan tidak adil mengenai hubungan antar manusia.
Secara garis besar pengertian hukum tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga (3) pengertian dasar : Pertama, hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak. Konsekuensi metodologi adalah bersifat filosofis. Kedua, hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, maka pusat perhatian terfokus pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, yang biasa kita bicarakan sebagai subyek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologinya adalah bersifat normatif-analitis. Ketiga, hukum dipahami sebagai sarana/alat untuk mengatur masyarakat, maka metode yang dipergunkan adalah metoda sosiologis.
Hubungannya dengan tujuan hukum, maka muncul pandangan sebagai berikut :
1.       Teori Etis, yang mengajukan tesis bahwa hukum itu semata-mata bertujuan untuk menemukan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang apa yang adil dan tidak adil. Salah seorang pendukung teori ini adalah Geny. Keprihatinan mendasar dari teori etis ini terfokus pada dua pertanyaan tentang keadilan itu, yakni (1) menyangkut hakikat keadilan,dan (2) menyangkut isi atau norma untuk berbuat secara konkrit dalam keadaan tertentu.
2.       Teori Utilitas, Penganut teori ini, anatara lain Jeremy Bentham, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number).
3.       Teori Campuran, yang berpendapat bahwa tujuan pokok hukum adalah ketertiban, dan oleh karena itu ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Di samping ketertiban, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarakat dan zamannya).
Adapun fungsi hukum menurut Hoebel bahwa adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu :
1)      Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menujukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang;
2)      Menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sankinya yang tepat dan efektif;
3)      Menyelesaikan sengketa;
4)      Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.
Selain itu, hukum sebagai suatu sistem norma bahwa apapun namanya maupun fungsi apa saja yang hendak dilakukan oleh hukum tetap tidak terlepas dari pengertian hukum sebagai suatu system, yaitu sebagai sistem norma. Pemahaman yang demikian itu menjadi penting, karena dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu system yang besar yaitu masyarakat atau lingkungannya. Pengertian system sebagaimana didefinisikan oleh beberapa ahli, antara lain Bertalanffy, Kenncth Building, ternyata mengundang implikasi yang sangat berarti terhadap hukum, terutama berkaitan dengan aspek : (1) keintegrasian, (2) keteraturan, (3) keutuhan, (4) keteror-ganisasian, (5) keterhubungan komponen satu sama lain, dan (6) ketergantungan komponen satu sama lain. Shrode dan Voich menambahkan pula bahwa selain syarat sebagaimana tersebut di atas, sistem itu juga harus berorientasi kepada tujuan.
Berbagai pengertian hukum sebagai sistem hukum dikemukakan antara lain oleh Lawrence M Friedman, bahwa hukum itu merupakan  gabungan antara komponen struktur, substansi, dan kultur.
  1. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya system tersebut.
  2. Komponen substantif sebagai output dari sistem hukum,berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.
  3. Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau oleh Lawrence M. Friedman disebut sebagai hukum.
Komponen kultur hukum ini hendaknya dibedakan antara internal legal culture yaitu kultur hukum para  lawyers and judges, dan external legal culture yaitu kultur hukum masyarakat luas.
Selain itu,  Lon L. Fuller juga berpendapat bahwa untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah ia memenuhi delapan azas atau principles of legality berikut ini :
1)       Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc;
2)       Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan;
3)       Peraturan tidak boleh berlaku surut;
4)       Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti;
5)       Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6)       Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
7)       Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah;
8)       Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Selanjutnya, apabila kita mulai bicara tentang hukum sebagai suatu sistem norma, Hans Kalsen berpendapat bahwa suatu norma dibuat menurut norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi ini pun dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan demikian seterusnya sampai kita berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak dibuat oleh norma lagi melainkan ditetapkan terlebih dulu keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat.
Hans Kalsen menamakan norma tetinggi tersebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm (Norma Dasar), dan Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah. Untuk mengatakan bahwa hukum merupakan suatu sistem norma, maka Kalsen menghendaki agar obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis, sedangkan sumber yang mengandung penilaian etis diletakkan di luar kajian hukum atau bersifat trancenden terhadap hukum positif, dan oleh karenanya kajiannya bersifat meta-yuridis.
2.      Fungsi Cita Hukum Dalam Pembangunan Hukum Yang Demokratis
Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang bersifat demokratis harus mempresentasikan peran hukum sebagai alat untuk mendinamisasikan masyarakat. Dengan demikian fungsi cita hukum dalam negara yang sedang dalam perubahan dapat mengakomodasikan semua dinmika masyarakat yang kompleks seperti Indonesia.
Menurut Burkhardt Krems sebagaimana dikutip oleh Attamimi, pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kegiatan yang behubungan dengan isi atau substansi peraturan, metoda pembentukan, serta proses dan prosedur pembentukan peraturan. Setiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratannya sendiri agar produk hukum tersebut dapat berlaku sebagaimana mestinya baik secara yuridis, secara politis maupun sosiologis. Sementara itu, dalam penjelasan UUD 1945 Negara Republik Indonesia 1945 pasal 11 ayat 3 secara tegas menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Eine Rechtstaat, a state based on Law, a state governed by Law. Itu berarti, hukum bukanlah produk yang dibentuk oleh lembaga-lembaga tinggi negara saja, melainkan juga yang mendasari dan mengarahkan tindakan-tindakan lembaga-lembaga tersebut.
Hubungannya hukum sebagai sistem, maka menurut Ludwig Von Bertalanfy, sistem adalah complexes of elements standing interaction; a system is a set of elements standing interrelation among themselves and with the environtment. Secara lebih umum Shrode and Voich mendefinisikan sistem sebagai a set of interrelated parts, working independently and jointly, in pursuit of common objectives of the whole, within a complex environtment.
Definisi-definisi system tersebut menekankan kepada beberapa hal berikut ini:
1.         System itu berorientasi kepada tujuan (Purpose behavior the system is objective oriented).  
2.         Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari jumlah-jumlahnya (Holism the whole is more than the sum of all the parts).
3.         Suatu system berinteraksi dengan system yang lebih besar, yaitu lingkungan (Openness the system interacts with a larger system, namely its environment).
4.         Bekerjanya bagian-bagian dari system itu menciptakan sesuatu yang berharga (Transformation the working of the parts creates something of value).
5.         Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (Interrelatedness the various parts must fit together).
6.         Ada kekuatan pemersatu yang mengikat system itu (Control mechanism there is a unifying force that olds the system together).
Sementara itu, dalam penjelasan umum UUD 1945 secara tegas menggariskan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan adalah mewujudkan “cita hukum” (Rechtsidee), yang tidak lain adalah “Pancasila”. Istilah cita hukum (Rechtsidee) perlu dibedakan dari konsep (Rechtsbegriff), karena cita hukum ada di dalam cita bangsa Indonesia, baik berupa gagasan, rasa, cipta, dan pikiran. Sedangkan, hukum merupakan kenyataan dalam kehidupan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang diinginkan dan bertujuan untuk mengabdi kepada nilai-nilai tersebut.
Cita hukum dapat dipahami sebagai konstruksi pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Demikian pula Gustav Radbruch, seorang ahli filsafat hukum beraliran Neo-Kantian sama seperti Rudolf Stammler, berpendapat bahwa cita hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif dan konstruktif. Tanpa cita hukum, maka produk hukum yang dihasilkan itu akan kehilangan maknanya.
Disamping itu, model pembentukan hukum yang demokratis maka sebagai bangsa yamg telah merdeka selama lebih dari setengan abad sadar atau tidak sadar  Indonesia belum memiliki sistem hukum ideal yang sesuai dengan cita dan tujuan pendirian negara ini, yakni sistem hukum Pancasila. Oleh karena itu, kita perlu menempatkan masalah yang sedang dihadapi bangasa ini dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam konteks pemahaman secara sosiologis maupun politis sekaligus. Dalam pengertian bahwa sebelum memasuki tahapan yuridis, proses pembentukan suatu peraturan harus sudah melalui tahapan sosio-politis secara final. Di sanalah kita akan dapat memahami bahwa suatu peraturan itu sesungguhnya lahir melalui suatu proses yang menbutuhkan waktu yang cukup panjang. Dari proses ini pula akhirnya dapat diprediksikan, seperti apa norma yang akan lahir ketika peraturan itu dibuat, terutama mengenai substansi dari norma-norma hukum tersebut.
Pertama, secara makro proses penyusunan suatu produk hukum (peraturan) dalam tahapan sosiologis berlangsung dalam masyarakat dan ditentukan oleh tersedianya bahan-bahan di dalamnya. Dalam konteks sosiologis, factor masyarakat merupakan tempat timbulnya suatu kejadian, permasalahan atau tujuan sosial. Apabila problem yang timbul tersebut dapat dimasukkan dalam agenda pemerintah atau sebagai policy problems, maka perbincangan itu akan memasuki tahapan kedua yang disebut tahapan politis. Tahapan ini berusaha mengidentifikasi dan kemudian merumuskan lebih lanjut. Di sini, seluruh ide atau gagasan yang berhasil diidentifikasi dalam proses sosiologis itu dipertajam lebih lanjut dalam wacana yang lebih kritis oleh kekuatan yang ada dalam masyarakat. Setelah tahapan sosiologis dan politis dilalui, barulah proses pembuatan hukum memasuki tahapan terakhir ketiga yang disebut “tahapan yuridis”. Pada tahapan ini lebih memfokuskan diri pada masalah penyusunan dan pengorganisasian masalah-masalah diatur ke dalam rumusan-rumusan hukum. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam proses pengorganisasian dan penyusunan rumusan-rumusan hukum itu antara lain aspek consistency, sound arrangement dan normal usage.  
3.      Pergeseran Paradigma Hukum Dari Paradigma Kekuasaan Menuju Paradigma Moral
Berangkat dari kenyataan terdahulu bahwa kehidupan hukum di Indonesia cenderung berkiblat pada paradigma kekuasaan, maka keadaan ini harus dirombak sehingga muncullah gerakan reformasi. Dalam hal ini, lahirlah berbagai dinamika pembangunan di Indonesia. Pembangunan yang menekankan pada bidang ekonomi dan paradigma pertumbuhan akan berhasil bila didukung oleh stabilitas politik. Oleh karena itu, menurut Alfian, format baru politik yang dipakai agar dapat menjamin stabilitas adalah dengan membangun lembaga eksekutif yang kuat. Lahirnya Undang-undang No. 15 dan Undang-undang No. 16 Tahun 1969 masing-masing tentang Pemilu dan tentang Susduk MPR/DPR/DPRD pada masa awal Orde Baru merupakan sebagian dari instrumen hukum yang dibuat untuk mendukung pencipta lembaga eksekutif yang kuat. Hal ini dapat dicermati dari adanya kemungkinan masuknya “tangan” eksekutif di lembaga legislative melalui kewenangan pengangkatan atas sebagian anggota lembaga perwakilan rakyat serta penetapan lembaga recall bagi anggota DPR/MPR.
Dalam perjalanan sejarah, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran beberapa hal mendasar dalam pembangunan. Pertama, strategi dan implementasi pembangunan dengan model pertumbuhan, ternyata membawa implikasi yang terlalu jauh, tidak berjalannya trickle down effects, melebarnya jurang pemisah antara strata social dan antar daerah, kehancuran sektor-sektor usaha kecil termasuk sector industri rumah tangga dan sektor informal. Dampak lainnya ialah bertambahnya pengangguran absolut dan terselubung, membengkaknya hutang Negara, terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dan pertumbuhan itu sendiri bersifat semu. Kedua, tumbuh dan berkembangnya rejim-rejim yang represif, yang menurut Herbert Feith disebut sebagai Repressive-Developmentalist Regimes, yang cenderung korup atau berkembangnya korupsi, kolusi, manipulasi, dan nepotisme; hapusnya partisipasi politik rakyat, terbatasnya kebebasan pers, sangat minimnya peran serta masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan, bahkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan perampasan hak-hak rakyat semakin mengemuka.
Pada zaman orde baru, dinamika pembangunan berdasarkan tipologi dan hukumnya menyebabkan produk hukum dipandang sebagai produk politik. Potret hukum yang diwarnai oleh sistem politik seperti itu menyebabkan ia hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. Hal ini tentunya menggambarkan bahwa hukum yang dilandasi oleh paradigma kekuasaan akan menghadirkan hukum yang tidak demokratis, yaitu sistem hukum yang totaliter. Sistem hukum seperti itu memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
1.      Sistem hukumnya terdiri dari peraturan yang mengikat yang isinya berubah-ubah tegantung putusan penguasa yang dibuat secara arbitrer.
2.      Dengan teknikalitas tertentu, hukum dipakai sebagai “kedok” untuk menutupi penggunaan kekuasaan secara arbiter. Hukum diterima berdasarkan kesadaran palsu dan menurunkan derajat manusia.
3.      Penerimaan social terhadap hukum didasarkan pada kesadaran palsu dan merendahkan derajat manusia.
4.      Sanksi-sanksi hukum mengandung pengrusakan (disintegration) terhadap ikatan-ikatan social serta menciptakan suatu suasana nihilisme social yang menyebar.
5.      Tujuan akhirnya adalah suatu legitimasi institusional, terlepas dari seberapa besar diterima oleh masyarakat.
Kualitas hukum kita menjadi hukum otoriter dengan memperlihatkan ciri-ciri otoritarian antara lain sebagai berikut :
1.      Kaidah dasar totaliter
Kaidah dasar dari sistem hukum totalitarian adalah tidak lain berupa rumusan pikiran totaliter yang diselundupkan ke dalam kaidah dasar tersebut yang pada gilirannya akan menjadi landasan bagi kaidah/peraturan lain yang dikeluarkan. Untuk menciptakan keberhasilan dari kerja tatanan yang demikian itu diciptakanlah kelompok “intelektual” yang ditugasi untuk mengerjakan sekalian transformasi kepada orde totalitarian.
2.      Kaidah dasar di atas konstitusi
Supremasi dari kaidah dasar atas konstitusi. Dalam orde totalitarian, konstitusi diberikan kepada rakyat sebagai suatu dokumen nasional penting, tetapi sebenarnya sekadar sebagai “pemanis bibir” (façade document) belaka. Di belakangnya tercatat kaidah dasar yang totalitarian. Eksistensi konstitusi hanya ingin membuktikan, bahwa warga negara sudah menikmati hak-hak dan perlindungan-perlindungan hukum, padahal sesungguhnya hanya bersifat kosmetis belaka.
3.      Hukum yang membudak
Watak membudak dari hukum (servility). Sistem sosial totalitarian tidak memberikan tempat mandiri kepada hukum atau dibiarkan tergantung. Dalam system seperti itu, hukum hanya sah apabila dianggap mendapatkan pengesahan dari kaidah yang lebih tinggi, yang tidak bersifat hukum (legal) tetapi politik.
4.      Birokrasi Totalitarian
Dalam kultur birkrasi yang demikian itu terjadi pembatasan-pembatasan yang sangat jauh, meliputi semuanya, yang memberi alasan rasional untuk penolakan tehadap pendekatan yang tak memihak (impersonal). Birokrasi dalam sistem hukum totalitarian membudak kepada dan bekerja untuk elit yang berkuasa.
5.      Trias Politika pro-forma
Penekanan terhadap dan oleh system peradilan. Sistem totalitarian mengakui pembagian antara legislative, eksekutif dan peradilan secara proforma. Dalam keadaan demikian, maka peradilan merupakan pihak yang paling menjadi korban. Pengadilan tidak memiliki kekuasaan memeriksa dan mengadili secara benar, melainkan hanya menjadi sarana yang dipakai untuk menekan warga negara.
6.      Kepatuhan terpaksa
System totalitarian didasarkan pada suatu legitimasi yang diberi nama dead-end legitimacy. Di sini warga negara menerima hukum dan mentolerir tindakan pemerintah, oleh karena mereka tidak melihat pilihan lain. Mereka menerima hukum, sekalipun opresif, oleh karena itu lebih baik daripada tidak ada hukum sama sekali. Legitimasi tersebut di atas berbeda dari natural legitimacy, oleh karena di sini tidak diperlukan bantuan kekuatan untuk menekan rakyat. Hukum diterima masyarakat berdasarkan hakikatnya, bukan karena ada kekuatan di belakangnya.
7.      Tipe rekayasa merusak
Rekayasa, seperti dipikirkan Roscoe Pound yang dikenal sebagai social engineering by law, adalah tindakan rasional biasa. Berbeda dengan tipe tersebut maka dark social engineering adalah penggunaan teknik-sosial (social harm) yang luas di masyarakat.
Dengan keadaan hukum yang sangat lemah tersebut, diperlukan reformasi dan pergeseran paradigma hukum yang menyadari akan segala kelemahan penataan hukum pada masa lalu, maka agenda pertama dan terpenting adalah mengembalikan atau memulihkan otentisitas hukum. Langkah ini penting dilakukan, karena hukum saat ini menjadi sangat terhambat dalam usahanya untuk mengatur dan memberikan perlindungan dan keadilan. Oleh karena itu, sebelum melakukan penataan hukum di negeri ini lebih jauh, perlu dipahami secara lebih cermat tujuan kehadiran hukum bagi masyarakat. Menurut Beccarian sebagaimana dikutip oleh Rostow (1971), bahwa hukum itu pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang (to provide the greatest happiness devided among the greatest number). Bagi Indonesia sendiri, tujuan hukum itu telah dirumuskan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut :
“………Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social…….”
Bertolak dari pemahaman di atas, maka menurut para ahli filsafat pencerahan, tatanan hukum yang dibentuk minimal memenuhi criteria berikut ini. Pertama, hukum tidak boleh hanya merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, akan tetapi hukum itu sendiri harus rasional. Dan, hukum yang rasional itu adalah hukum yang benar-benar mampu mewujudkan tujuan kehadirannya di lingkungan social dimana ia memang diperlukan. Kedua, untuk menjamin agar karya hukum yang rasional dapat mewujudkan tujuannya, ia harus didukung oleh tindakan yang efisien oleh perangkat pelaksaan hukumnya. Ketiga, tentang pentingnya memasukkan substansi ke dalam bentuk hukum berkaitan sangat erat dengan pengaruh sosial struktur masyarakat, karena disitu hukum seharusnya mewujudkan tujuan-tujuannya. 

 

  

    

  BAGIAN II : BUDAYA HUKUM
1.      Peranan Kultur Hukum Dalam Penegakan Hukum
Hukum sebagai suatu sistem merupakan salah satu peran dalam pokok bahasan ini, dimana untuk dapat memahami persoalan yang berkaitan dengan hukum secara lebih baik, maka hukum hendaknya dilihat sebagai suatu sistem. Pengertian dasar yang terkandung dalam sistem tersebut meliputi : (1) sistem itu selalu berorientasi pada suatu tujuan, (2) keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dan bagian-bagiannya, (3) sistem itu selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yaitu lingkungannya, dan (4) bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga.
Bicara soal hukum sebagai suatu sistem, Lawrence M. Friedmen mengemukakan adanya komponen-komponen yang terkandung dalam hukum itu :
a.       Komponen yang disebut dengan struktur, yang memungkinkan pemberian pelayanan dan pengarapan hukum secara teratur.
b.      Komponen substansi yang berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan sebagainya yang semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur.
c.       Komponen hukum yang bersifat kultural yang terdiri dari ide-ide, sikap-sikap, harapan dan pendapat tentang hukum.
Selain itu, hukum senantiasa dibatasi oleh situasi atau lingkungan dimana ia berada, sehingga tidak heran kalau terjadi ketidakcocokan antara apa yang seharusnya ( das sollen ) dengan apa yang senyatanya ( das sein ). Dengan perkataan lain, muncul diskrepansi antara law in the books dan law in acton. Oleh sebab itu Chambliss dan Seidman dalam mengamati keadaan yang demikian itu menyebutkan The myth of the operation of the law to given the lie daily.
Sementara itu, hubungan fungsional antara sistem hukum dan masyarakatnya duiuraikan oleh Emile Durkheim yang membedakan antara masyarakat dengan soidaritas mekanik yang mendasarkan diri pada sifat kebersamaan dan hukumnya bersifat represif, dan solidaritas organik yang mendasarkan diri pada individualismne dan hukumnya bersifat restitutif.   
2.      Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum
Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini diatur oleh peraturan-peraturan hukum. Sesungguhnya penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan itu adalah suatu konsepsi yang modern. Menurut Marc Galanter, sistem hukum yang modern mempunyai cirri-ciri tertentu. Beberapa diantaranya adalah bersifat territorial, tidak bersifat personal, universitas, rasional ; hukum dinilai dari sudut pandang kegunaannya sebagai sarana untuk menggarap masyarakat.
Lon Fuller menunjukkan delapan prinsip legalitas yang harus diikuti dalam membuat hukum, yaitu :
  1. Harus ada peraturannya terlebih dahulu.
  2. Peraturan itu harus diumumkan.
  3. Peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
  4. Perumusan peraturan-peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat.
  5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
  6. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
  7. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah.
  8. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.
Hubungannya dengan hukum sebagai karya kebudayaan bahwa kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan-tujuan dan nilai-nilai tertentu. Artinya, kebudayaan merupakan suatu blue print of behafior yang memberikan pedoman tentang apa yang harus dilakukan, boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Nilai sosial dan budaya tersebut berperanan sebagai pedoman dan pendorong bagi perilaku manusia di dalam proses interaksi sosial.
Selanjutnya, dalam komponen budaya hukum Lawrence M. Friedman memasukkan komponen budaya hukum sebagai bagian integral dari suatu sistem hukum. Friedman membedakan unsur sistem itu ke dalam 3 macam yaitu : (1) struktur, yakni kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya, (2) substansi, yakni luaran dari sistem hukum termasuk di dalamnya norma-norma yang antara lain berwujud peraturan perundang-undangan, (3) kultur, yakni nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem itu di tengah-tengah budaya bangsa sebagai keseluruhan.
Selain itu, Paul dan Dias mengajukan 5 syarat untuk mengefektifkan sistem hukum yaitu :
1.      Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami.
2.      Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan.
3.      Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.
4.      Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, malainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa.
5.      Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.

3.      Pembinaan Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum dalam konteks ini berarti kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum. Kesadaran hukum masyarakat merupakan semacam jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan hukum dengan tingkah laku hukum anggota  masyarakatnya.
Menurut Sunaryati Hartono, betapapun kesadaran hukum itu berakar di dalam masyarakat, ia merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada perasaan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran hukum merupakan suatu pengertian yang menjadi hasil ciptaan para sarjana hukum.
Kenyataan menunjukkan bahwa masalah kesadaran hukum ini timbul apabila nilai-nilai yang akan diwujudkan dalam peraturan hukum itu merupakan nilai-nilai yang baru. Olehnya itu, menghadapi produk hukum yang cenderung memasukkan unsur-unsur baru itu, apakah seseorang pemegang peran akan bertindak sesuai dengan ketentuan hukum seperti itu atau tidak, sangat tergantung pada 3 variabel utama yakni, (1) apakah normnaya telah disampaikan, (2) apakah normanya serasi dengan tujuan-tujuan yang diterapkan bagi posisi itu, (3) apakah si pemegang peran digerakkan oleh motivasi yang menyimpang.
Disamping itu, dalam proses bekerjanya hukum sangat ditentukan oleh beberapa faktor penting yaitu : (1) peraturan-peraturan hukumnya, (2) badan pembuat undang-undang, (3) badan pelaksana hukum, (4) masyarakat sebagai sarana pengaturan, (5) proses penerapan hukum, (6) komunikasi hukumnya, (7) kompleks kekuatan sosial politik dan lain-lain yang bekerja atas diri pembuat undang-undang, birokrat (pelaksana hukum) maupun masyarakat sendiri sebagai pemegang peran, (8) proses umpan balik antara semua komponen tersebut.
Di lain sisi, hubungannya dengan pembinaan kesadaran hukum, pada dasarnya kesadaran hukum itu sendiri merupakan kontrol agar hukum yang telah dibuat itu dapat dijalankan dengan baik di dalam masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya usaha-usaha ke arah pembinaan kesadaran hukum masyarakat. Pembinaan ini hendaknya berorientasi kepada usaha-usaha untuk menanamkan, memasyarkatkan dan melembagakan nilai-nilai yang mendasari peraturan hukum tersebut.
Selain itu, para pembuat undang-undang perlu menyadari bahwa dengan mengeluarkan peraturan hukum itu tidak berarti pekerjaan telah selesai. Melainkan, pekerjaan itu masih berlanjut dan merupakan suatu proses yang sangat panjang. Untuk itu, perlu dipikirkan sarana apa sajakah yang dibutuhkan agar peraturan hukum itu dapat dijalankan dengan semestinya untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki.
Selanjutnya, harus disadari pula bahwa hukum itu adalah ketentuan-ketentuan yang tidak personal sifatnya. Oleh karena itu, pengendoran dalam hal pelaksanaan hukum perlu dihindari, dan pola pelaksanaannya harus dijalankan secara tetap dan teratur.                                
 


0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts