بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Selasa, 19 Februari 2013

Tokoh Sufi Islam



1.      Jalaluddin Rumi
Mawlana Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya
dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia
digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin
ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima
tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut).
Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad,
mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula
ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga
menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar di perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah
yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu
berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi dari kota Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi
Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat
pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab. Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan
mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang
himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa
hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700
bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam
bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para
Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling,
dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
***
“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan, Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna. Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya”.
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah
Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
***
“AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita, menggemakan ucapan-ucapan kita.”
Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar, melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam
debu sejarah. “Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.
Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama untuk pada pengikutnya, the whirling dervishes, para darwis
yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin mereka berarak untuk memperingati
kematian Rumi, 727 tahun silam.
Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? “Dialah penyair
mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis Inggris Reynold A Nicholson. “Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.
Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt mengabadikannya dikanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang, “Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya.” Bahkan, Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus:
“Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat mengenang Rumi.”
***
Pernyataan Cinta Jalaluddin Rumi

Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata, Kusimpan kasih-Mu dalam dada.
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu, Segera saja bagai duri bakarlah aku.
Meskipun aku diam tenang bagai ikan, Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan Kau yang telah menutup rapat bibirku, Tariklah misaiku ke dekat-Mu.

Apakah maksud-Mu? Mana kutahu? Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selalu. Kukunyah lagi mamahan kepedihan mengenangmu, Bagai unta memahah biak makanannya, Dan bagai unta yang geram mulutku berbusa.

Meskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara, Di hadirat Kasih aku jelas dan nyata. Aku bagai benih di bawah tanah, Aku menanti tanda musim semi.
Hingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi, Dan tanpa kepalaku sendiri aku dapat membelai kepala lagi.
Karena cinta duri menjadi mawar Karena cinta cuka menjelma anggur segar.

Ketahuilah, apapun yang menjadikanmu tergetar, itulah Yang Terbaik untukmu ! Dan karena itulah, Qalbu seorang pecinta-Nya lebih besar daripada Singgasana-Nya.


Air berkata kepada yang kotor, "Kemarilah." Maka yang kotor akan berkata, "Aku sungguh malu." Air berkata, "Bagaimana malumu akan dapat dibersihkan tanpa aku?"

Juallah kepandaianmu dan belilah kebingunanmu. 
Hidup adalah perjalanan yang mengakibatkan keterpisahan demi kemanunggalan.

Karena cinta pahit berubah menjadi manis, karena cinta tembaga berubah menjadi emas. Karena cinta ampas berubah jadi sari murni, karena cinta pedih menjadi obat. Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan, karena cinta raja berubah menjadi hamba.

Pernahkah Anda melihat dari dekat tunas kecil yang muncul dari biji-bijian? Saat Anda melakukannya benamkanlah diri Anda merasa takjub dengan apa yang Anda lihat dari kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Jalaludin Rumi berkata: "Juallah kepandaianmu dan belilah kebingunanmu." 
Cinta adalah suatu penyakit, yang orang dihingapinya tidak pernah ingin disembuhkan.

Kebenaran yang agung ada pada kita Panas dan dingin, duka cita dan penderitaan,
Ketakutan dan kelemahan dari kekayaan dan raga Bersama, supaya kepingan kita yang paling dalam  Menjadi nyata.
Kapan pun Rahasia Pemahaman diajarkan kepada semua orang, Bibir-Nya dijahit melawan pembicaraan tentang Kesadaran. 
Hidup/jiwa seperti cermin bening; tubuh adalah debu di atasnya. Kecantikan kita tidak terasa, karena kita berada di bawah debu.
Ikat dua burung bersama. Mereka tidak akan dapat terbang, kendati mereka tahu memiliki empat sayap.
2.      Murtadha Muthahhari
Ayatollah Murhadha Muthahhari lahir di Faryan, 2 Februari 1920. Usai menamatkan pendidikan dasarnya, ia pindah ke Masyhad, sebuah wilayah pusat ziarah dan belajar. Di tempat inilah ia mulai berkenalan dengan ilmu falsafah Islam. Dari Masyhad, Muthahhari pindah ke Qom. Kepindahannya ke kota tersebut ekoran guru yang memperkenalkan dirinya pada falsafah yakni Mirza Mehdi Shahidi Ravazi. Muthahhari baru menetap di Qom pada 1936. Di kota inilah ia berjumpa Ayatollah Khomeini serta Allamah Thabatabai, dua tokoh yang amat mewarnai pandangannya. Sepanjang hidupnya ia selalu mengatakan pelajaran yang ia terima dari Khomeini selalu terngiang di telinganya, seolah baru satu atau dua hari saja ia dapat.
Dari Khomeini, Muthhahari memperoleh pelajaran falsafah dan irfan. Tahun 1941, Muthahhari meninggalkan Qum menuju Isfahan. Di sini, minatnya terhadap Nahjul Balaghah makin tinggi. Ia mempelajarinya dengan bimbingan Mirza Ali Aqa Shirazi Isfahani, guru yang memiliki autoriti untuk naskah-naskah syiah. Tapi untuk ilmu ushul fiqh, Muthahhari tetap kembali ke Qum. Hasratnya terhadap ilmu falsafah masih belum berhenti. Muthahhari kemudian membaca Manzumah, sebuah naskah filosofis karya Mulla Hadi Sabzawardi. Ia kemudian melanjutkan kajian falsafahnya dengan mempelajari Kifayah Al Usul, sebuah kitab hukum dari Akhud Khorasani. Dari kitab Kifayah Al Usul, kemudian Muthahhari memulai komitmennnya untuk mempelajari Marxisme.
Untuk mempelajari falsafah Barat, pelajari langsung dari sumbernya. Dengan begitu, umat Islam boleh mengkritik kerana menguasai keseluruhan ilmu falsafah. Ini yang membuat Ayatollah Murtadha Muthahhari kemudian mempelajari falsafah Marxisme. Kendati, ia juga mempelajarinya dari sumber sekunder alias buku-buku terjemahan.
Ayatollah Murtadha Muthahhari seolah jauh lebih aktif setelah wafatnya. Buku-buku yang beredar saat ini, menurut Haidar Baqir sebagian merupakan transkripsi dari pidato atau ceramahnya selama hidup. Sementara buku yang ditulis sendiri sedikit jumlahnya. Di antara buku yang ditulisnya adalah Usul e Falsafah, Struktur Hak-hak wanita dalam Islam, Manusia dan Takdirnya, Layanan Timbal Balik antara Iran dan Islam, dan lainnya.
Sumber yang diperoleh Muthahhari untuk mempelajari Marxisme umumnya dari buku dan lembaran yang dibuat oleh partai Tudeh. Pemikirannya terus berjalan dengan mempelajari Al Asfar al Arbaah, juga sebuah buku yang mengkaji pemikiran falsafah. Tumpuan lebih keras pada pembelajaran falsafah dengan mempelajari secara terperinci, Introduction to Philosophy. Ia juga bergabung dengan diskusi Khamis bersama Allamah Thabatabai tentang falsafah materialisme. Diskusi itu berlangsung tiga tahun, hingga menghasilkan sebuah buku Ushul el Falsafah wa Ravesh-e Realism (Prinsip Falsafah dan Metode Realistik). Muthahhari memperbaiki naskah dan memberi tambahan lebih luas dan menerbitkannya secara bertahap. Ia juga mempelajari buku karya Ibn Sina dan lainnya. Pada 1954, Muthahhari mulai mengajar di Fakulti Teologi Universiti Tehran.
Pada saat yang sama ia juga mulai aktif dalam organisasi masyarakat keagamaan bulanan (Anjoman-e Ye dini) dan menerbitkan majalah bulanan Goftar-e Mah. Ia juga secara berkala mengajarkan ilmu Islam kepada masyarakat biasa. Kendati lama bergelut dengan falsafah, Muthhahari tetap boleh berhubungan dengan masyarakat biasa. Ia tetap mengajar ilmu agama sehingga ia lebih dikenal sebagai ulama ketimbang filosofis. Bahasanya amat cair dan ilmu yang diajarkan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat. Muthahhari bukan hanya masuk pada kajian agama untuk kehidupan sehari-hari tapi juga memasuki perdebatan tentang feminisme, teori evolusi dan bahkan prinsip kebersebaban dan penciptaan alam semesta yang selalu menjadi perdebatan pada filosofis.
Ehwal teori evolusi yang dibuat oleh Darwin, Muthahhari berpendapat tidak ada kesenjangan logika antara kepercayaan pada Tuhan dengan teori evolusi. Namun menurut dia, teori evolusi yang dirumuskan oleh Darwin tidak cukup untuk menerangkan proses evolusi spesies. Evolusi tetap harus dilengkapi dengan hukum metafizik. Keterlibatan Muthahhari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan. Dia juga ikut menggerakkan revolusi kepada rakyat Islam Iran sehingga dunia falsafah yang ia geluti tak hanya jadi menara gading. Dan kerana keterlibatannya pada politik praktis, itu ia kemudian dipenjarakan pada tahun 1963.
Majalah bulanan yang ia terbitkan dilarang beredar. Kenaikan pangkatnya di Universiti Tehran juga ditolak. Pada 1964, Muthahhari ikut mendirikan Hoesseiniyeh Ershad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan secara peribadi. Namun pada 1963 gerakan revolusi mulai bangkit. Muthahhari terus menjalin kontak dengan Khomeini yang telah diasingkan. Ia bahkan menyatakan dirinya sebagai satu-satunya wakil di Iran yang bertanggungjawab mengumpulkan dan menyalurkan zakat kerana pengasingan ayatullah Khomeini. Ia juga tetap aktif memberi kuliah dan menulis berbagai isu keagamaan dan sosial.
Dan kerana keaktifannya pada dunia ilmiah yang mendukung politik praktis, Muthhahari dibunuh pada 1 Mei 1979. Ia dibunuh hanya beberapa saat setelah kemenangan revolusi Islam Iran
***  
Filsafat Sejarah Murtadha Muthahhari
Gerak Sejarah
Jiwa dari teori-teori sejarah beranggapan bahwa sejarah itu merupakan suatu gerak yang tumbuh dan berkembang secara evolusi atau perubahan secara alami. Menurut Muthahhari, pengertian evolusi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemajuan dan transformasi. Secara terminologi oleh sebagian orang diartikan sebagai suatu proses yang di dalamnya terdapat suatu proses pelipatgandaan bagian-bagian yang diikuti oleh pembagian yang ditandai oleh suatu gerakan dari homogenitas ke arah heterogenitas.
Dalam proses evolusi sejarah, peran manusia sangat menentukan sekali. Bahkan, manusia menjadi inti masalah dari gerak sejarah itu sendiri. Oleh karena manusia eksistensinya begitu kompleks, maka para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan gerak sejarah. Secara garis besar dan ringkas konsepsi gerak sejarah dapat diterangkan sebagai berikut.
  1. Pandangan sosial yang individualistis cenderung pada anggapan bahwa kerja individulah yang menggerakkan perkembangan umat manusia. Pendapat ini menitikberatkan pada karya pribadi yang menggerakkan atau mendorong gerak perkembangan masyarakat. Individu-individu yang berbuat dan berlaku serta mencipta kebudayaan, sedangkan masyarakat merupakan latar belakangnya dan bersifat abstrak.
  2. Gerak sejarah merupakan kesadaran umat manusia. Manusia adalah makhluk budaya. Pikiran dan kesadaran manusia berkembang dari tingkat yang bersahaja ke tingkat yang tinggi. Perkembangan pikiran dan kesatuan manusia ini menjadi tenaga penggerak kemajuan manusia.
  3. Pengaruh alam terhadap kehidupan manusia. Perbedaan antara kebudayaan dapat dilihat dari segi perbedaan tempat. Cara hidup ini membentuk corak kebudayaan. Gerak sejarah dipersamakan dengan gerak kebudayaan.
  4. Kekuatan penggerak sejarah berada dalam bangsa. Perbedaan ruhani ataupun watak di antara bangsa-bangsa menimbulkan perbedaan cara berpikir dan perasaan, begitu pula tingkah-laku dan perbuatan. Hasrat yang ada pada suatu bangsa menimbulkan daya cipta, hasrat untuk mengubah dan mengambil alih dari bangsa lain. Aliran ini membuka jalan bagi Cauvinisme.
  5. Teori evolusionisme atau Darwinisme. Darwin berpendapat bahwa setiap makhluk itu berkembang dan berubah secara alami dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang sempurna sesuai dengan alam lingkungannya. Proses perubahan ini adalah proses penyesuaian diri, baik yang bersifat ruhani maupun jasmaninya. Perubahan ini dapat diterapkan dalam perkembangan bangsa dan negara.
  6. Teori historis materialisme. Teori ini berdasarkan pada paham determinisme ekonomi. Gerak sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan barang untuk keperluan masyarakat. Cara produksi ini menentukan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang bertentangan satu sama lain. Tujuan gerak sejarah menurut paham ini adalah mewujudkan masyarakat tanpa pertentangan kelas.
Dari berbagai pendapat tentang gerak sejarah, Muthahhari memandang bahwa gerak sejarah dari arti active cause, yakni pemahaman tentang determinisme sejarah dan arti ideal cause, yakni pandangan tentang masa depan manusia. Bagi Muthahhari, determinisme sejarah dipahami dari dua makna yang saling terkait. Makna ini diambil dari ayat al-Qur’an surat [35]: 43 “ Maka engkau sekali- kali tidak akan mendapatkan pergantian di dalam sunnatullah ”, dan di dalam al-Qur’an surat [13]: 11 “ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri ”. Ayat pertama determinisme sejarah dipahami sebagai “undang-undang hidup manusia yang tidak berubah”. Ayat kedua determinisme sejarah dipahami bahwa “nasib perjalanan hidup manusia berhubungan dengan kondisi jiwa, pikiran, dan akhlak manusia itu sendiri”. Selagi semuanya belum berubah, maka mustahil keadaan mereka akan berubah.
Sementara itu, tentang pandangan masa depan manusia ada yang bersifat pesimis, optimis, atomistik, dan sosialis. Bagi Islam, masa depan manusia ditanggapi dengan dua sikap. Pertama, Islam tidak menganggap masa lalu dengan pesimis secara total. Kedua, Islam tidaklah demikian sinis terhadap watak manusia. Dengan kata lain, Islam memandang masa depan manusia dengan sikap optimisme
Pandangan masa depan ini sangat terkait dengan pemahaman hukum-hukum sejarah. Hukum- hukum sejarah memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Kitab Allah dalam kedudukannya sebagai petunjuk suci yang akan mengantarkan manusia dari kegelapan menuju pada terangnya kebenaran.
Apabila pandangan tentang masa depan manusia dan hukum-hukum sejarah yang mengitari proses dinamika sejarah ini diambil makna esensialnya, maka akan terlihat secara jelas sifat-sifat dari gerak sejarah itu sendiri, yakni bersifat progresif. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan yang tinggi kepada kebaikan esensial (fitrah) manusia. Meskipun demikian, kita tidak mampu menentukan bentuk fisik masa depan sejarah manusia.

Penggerak Sejarah
Di dalam al-Qur’an surat ar-Ra’du [13] ayat 11; “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi (objektif) suatu bangsa, hingga bangsa tersebut mau mengubah kondisi (subjektif) yang ada pada mereka sendiri ” menggambarkan bahwa manusia memainkan peran penting dalam gerak sejarah. Selain itu, dalam ayat tersebut juga tergambar hubungan kausalitas dalam hukum sejarah, yakni antara perubahan yang ada di dalam diri manusia dengan perubahan yang ada di luar manusia.
Konsepsi Islam dan al-Qur’an meyakini bahwa dua proses perubahan ini harus berjalan beriringan. Proses pembangunan manusia terhadap pribadi, semangat, dan pikirannya harus seiring dengan pembangunan fisik dan sosial budayanya. Jika pembangunan mental berjalan jauh di depan pembangunan fisik, maka yang akan terjadi adalah menara gading yang tidak berpondasi. Demikian pula sebaliknya, jika pembangunan fisik meninggalkan pembangunan mental, maka yang terjadi adalah istana megah yang kropos.
Penjelasan Muthahhari tentang peran manusia dalam menggerakkan sejarah tidak hanya bersifat umum, tetapi beliau menjelaskan secara lebih rinci terutama tentang kecenderungan yang dimiliki manusia. Penjelasan ini dimaksudkan untuk melawan pendapat kaum Marxis yang mengatakan bahwa kecenderungan pokok dalam diri manusia hanya satu jalan, yakni ekonomi  Muthahhari menyatakan bahwa Islam mengakui manusia pada hakikatnya lebih komitmen kepada keimanan dan ideologi daripada kepada kepentingan material yang cenderung buruk seperti kelemahan (Q.S. [4]: 20), sentimentalisme (Q.S. [11]: 9-11), sifat membangkang (Q.S. [18]: 54), dan tergesa-gesa (Q.S. [21]: 37).
Meskipun manusia memiliki seluruh kecenderungan ke arah nafsu, hal-hal inderawi, korupsi dan kejahatan, wujudnya (manusia) dianugerahi suatu percikan suci yang secara esensial menentang kejahatan, pertumpahan darah, kepalsuan, korupsi, kehinaan, degradasi, dan penghinaan serta penekanan dan kezaliman. Manusia memiliki kecenderungan kepada kesempurnaan.
Ada kecenderungan lain pada diri manusia selain dari kecenderungan pada perbuatan baik, yaitu kecenderungan untuk tetap hidup, menghilangkan rasa lapar, kecenderungan pada makanan dan kelezatan, kecenderungan seksual, kecenderungan pada seni dan keindahan, serta kecenderungan pada ilmu pengetahuan.
Kecenderungan yang beragam tersebut, menurut Muthahhari, semuanya dapat dijadikan sebagai motor penggerak. Alasannya, dalam realitas kehidupan manusia, segala macam bentuk pertentangan, perselisihan, dan tidak adanya keserasian bersumber dari satu kenyataan bahwa dalam diri manusia tidak hanya satu motor penggerak. Jika memang benar dalam masyarakat hanya ada satu motor penggerak, maka mustahil akan timbul segala macam bentuk pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat. Penyebab paling mendasar bagi timbulnya pertentangan dan perselisihan karena berbagai naluri dalam diri manusia selalu berperang satu sama lain.
Penjelasan Muthahhari tentang manusia sebagai penggerak sejarah tidak hanya dilihat dari setting individual yang terpisah, melainkan juga dari sisi masyarakat. Muthahhari membedakan secara jelas tindakan individu dengan tindakan kolektif. Tindakan individu mengandung dua dimensi (sebab aktif dan sebab material), sedangkan tindakan kolektif mengandung tiga dimensi (sebab aktif, material, dan sebab akhir).
Penutup
Muthahhari dalam kajian sejarahnya lebih memfokuskan pada kajian yang bersifat filosofis. Kajian ini dimaksudkan untuk menampilkan filsafat sejarah perspektif al-Qur’an. Selain itu, kajiannya dimaksudkan untuk melawan pemikiran-pemikiran sejarah yang ada, khususnya Marxisme. Untuk membedakan filsafat sejarahnya dengan filsafat-filsafat sejarah yang ada, Muthahhari mengawali pembahasannya tentang sifat sejarah yang bukan hanya bersifat bendawi, melainkan bersifat non-bendawi dan suprabendawi. Sifat inilah yang menjadi dasar dalam pembahasan filsafat sejarah berikutnya, khususnya tentang tujuan sejarah, gerak sejarah, dan penggerak sejarah.
***
Murtadha Muthahhari adalah seorang ulama yang mendedikasikan diri pada tujuan suci Islam.  Di Indonesia namanya harum berkat tulisannya yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam puluhan judul buku.
Murtadha muthahhari adalah salah satu ulama pemikir yang memberikan banyak kontribusi pemahaman Islam yang lebih mendalam kepada masyarakat dunia. Beberapa bukunya yang sangat populer adalah “Keadilan Ilahi, Manusia Sempurna, Islam dan Tuntutan Zaman, Falsafah Akhlak, Hak-Hak Perempuan dalam Islam.”
            Ayatullah Murtadha Muthahhari lahir di Faryan, 2 Februari 1920.  Bila di Indonesia ia akan di panggil “Gus” karena Muthahhari adalah anak seorang ulama yaitu Hujjatul Islam Muhammad Husayn Muthahhari yang sangat dihormati masyarakat setempat.
            Usai menamatkan pendidikan dasarnya, ia pindah ke Masyhad, sebuah wilayah pusat ziarah dan pendidikan di Iran. Di tempat inilah ia mengenal ilmu falsafah Islam. Setelah lulus Muthahhari pindah ke kota santri Qom, Iran. Di kota inilah ia menjadi murid dua ulama besar Ayatullah Khomeini serta Allamah Thabatabai.  Sejak menjadi siswa di Kota Santri Qum, Muthahhari sangat berminat pada ilmu-ilmu Agama Islam, falsafah Islam, dan ilmu pengetahuan modern.
            Kecintaan pada ilmu-ilmu Islam, ilmu pengetahuan dan pengajaran pendidikan Islam menyebabkan hari kematian syahid - ia ditembak oleh kelompok ekstremis penentang Islam - Murthada Muthahari oleh pemerintah Iran dijadikan sebagai hari guru. Pada hari tersebut, para murid membawa bunga dan hadiah untuk dipersembahkan kepada guru-guru sebagai tanda terima kasih atas jasa-jasa mereka.
Banyak orang mengenang Murtadha Muthahhari sebagai seorang pemikir yang sangat tekun belajar dan taat beribadah. Salah seorang tokoh Islam Indonesia Haidar Bagir menyebut Murtadha Muthahhari adalah seorang pemikir yang jujur dengan segala pengetahuan yang dimilikinya.
            Salah seorang putri Murtadha Muthahari, Dr. Wahidi Muthahhari menceritakan keteladanan ayahnya. Ia berusia 14 tahun ketika ayahnya meninggal .      Ia mendengar kisah kelahiran ayahnya dari neneknya.
            ”Semasa aku hamil, aku telah bermimpi terdapat banyak perempuan telah berkumpul. Tiba-tiba seorang perempuan datang memberi air bunga kepada kami, para perempuan. Namun anehnya, ada yang disirami hanya setetes saja, bahkan ada yang sama sekali tidak disirami air bunga tersebut. Namun ketika tiba giliranku, beliau menyiramiku dengan air bunga yang sangat banyak. Untuk menghilangkan rasa keheranan yang telah meliputiku, akhirnya aku bertanya: “Kenapa tuan menyiramiku banyak sekali? Beliau menjawab: “Ini dikarenakan janin yang ada di dalam rahimmu,” cerita ibu Murtadha Muthahhari.
            Dr. Wahidi Muthahhari  menceritakan bahwa Ayahnya sangat taat ibadah dan bersungguh-sungguh berserah diri kepada Allah swt. Ayahnya pandai membagi waktu untuk keluarga, ibadah, dan tugas lainnya. Segala sesuatu dilakukan berdasarkan rencana dan program terlebih dahulu. Ia sangat sabar, lemah lembut tapi tegas. Ayahnya selalu meluangkan waktu untuk acara keluarga, memperhatikan dan mengontrol tugas-tugas dan kewajiban agama anak-anaknya seperti salat, puasa dan ibadah lainnya.
            Murtadha Muthahhari kata Dr. Wahidi Muthahhari adalah orang yang selalu terjaga dua jam sebelum adzan Subuh, untuk bermunajat dan melakukan salat malam (tahajud) dengan melakukan sujud yang sangat panjang. Ayahnya tidak pernah meninggalkan salat malam sejak muda sampai ketika beliau mendekati kesyahidannya. Seusai salat Subuh Muthahhari melaksanakan ibadah mustahab lainnya seperti zikir dan membaca al-Qur'an sampai terbit matahari.
            Putri Murtadha Muthahari itu mengatakan bahwa salah seorang mantan tetangganya telah berkata: “Aku melihat cahaya lampu yang berasal dari salah satu tempat tetanggaku setiap dua jam sebelum adzan subuh. Rasa heran mendorongku untuk mengatahuinya. Lantas aku bangun dan mengikuti tempat asal cahaya lampu itu. Ternyata, aku melihat orang yang setiap hari aku lihat keluar dari rumah pagi-pagi sekali dengan aktifitas yang padat dan kembali pada malam hari. Saat itu beliau sedang melaksanakan salat malam dengan sujud yang sangat lama. Setelah menyaksikan hal itu, akhirnya aku melaksanakan salat subuh dan selalu melaksanakan salat, padahal sebelumnya aku tidak pernah melakukan salat.”
            Dr. Wahidi Muthahhari melanjutkan, “ayahku selalu membaca al-Qur'an sebelum tidur, kurang lebih selama 20 menit. Beliau pun selalu dalam keadaan wudhu dan tidak pernah melakukan pekerjaan apapun tanpa berwudhu. Beliau sangat berani, walaupun posisi sulit dan tekanan yang beliau hadapi baik yang berasal dari rezim Pahlavi maupun dari orang yang mengaku Islam tapi Islam marxis.”
            Dr. Wahidi mengatakan ayahnya sangat menjauhi ketenaran dan tidak cinta kedudukan. Salah satu contoh konkrit ialah beliau tidak pernah mau gelar keulamaannya di cantumkan dalam setiap karyanya, seraya berkata, “namaku hanyalah 'Murtadha Muthahhari'.”
            Murtadha Muthahhari menulis berbagai buku dalam berbagai bidang seperti Tafsir al-Qur'an, Filsafat Islam dan Barat, studi komparasi dan kritisi pemikiran dan berbagai aliran filsafat, Teologi, Tasawuf, Irfan, Sosiologi, Politik, Ushul-Fikih, Fikih, Ilmu Logika dengan penuh keikhlasan dan karena Allah swt.
            “Salah satu kunci kesuksesan beliau yang paling menarik adalah sejak usia 15 tahun beliau selalu mencatat semua yang telah dibaca dengan membuat poin-poin penting dan garis besar pembahasan, sampai-sampai beliau memiliki buku catatan berdasarkan Abjad. Bahkan beliau selalu menyarankan kepada kita ketika ingin membaca sebuah buku maka bacalah sebanyak tiga kali: Pertama, bacalah! Kedua, pahamilah! Dan ketiga, perdalamilah! Sampai beliau menghapal setiap buku yang beliau baca”, kata Dr. Wahidi.
            Dr. Wahidi Muthahhari mengatakan bahwa kelahiran dan kesyahidan ayahnya selalu dimulai dengan sebuah mimpi. Ia menceritakan tiga hari sebelum kesyahidan menjemput, ayahnya bermimpi dan menceritakan mimpi itu kepada istrinya.
            Murtadha Muthahhari mengatakan, “aku telah bermimpi melihat Rasulullah saw keluar dari Masjdil Haram. Sementara Imam Khomeini telah berdiri di samping kananku. Rasulullah saw datang mendekati kami. Aku berkata: “Wahai Junjunganku, ini adalah keturunan Engkau!” kataku sambil menunjuk ke arah Imam Khomaini. Beliau menjawab: “Ya, tentu”. Lantas beliau memeluk dan menciumi Imam Khomaini. Setelah itu beliau mendatangiku, memeluk dan menciumku kurang lebih ¼ jam lamanya. Aku terbangun sementara hangat pelukan Rasulullah saw masih terasa oleh diriku. Lantas aku ceritakan mimpiku kepada istriku, ia mengatakan mungkin itu pertanda baik dan Rasulullah saw meridhoi sepak terjangmu”.
            Tiga hari kemudian tahun 1979 Murtadha Muthahhari terkapar dengan dada dan wajah berlumur darah akibat terjangan peluru. Pemimpin Revolusi Islam Iran Imam Khomeni menangis ketika mendengar kabar tentang kesyahidan Murtadha Muthahari.
            Imam Khomaeni berkata, “…aku mengucapkan duka atas kesyahidan seseorang yang telah menghabiskan umurnya untuk membela tujuan-tujuan suci agama Islam…seseorang yang dalam menguasai berbagai keilmuan Islam, dan metodologinya tidak ada yang membandinginya. Aku telah kehilangan seorang anak yang sangat mulia…”
            Kepergian Murtadha Muthahhari tidak bisa meredupkan cahaya ilmu Allah bahkan cahaya itu semakin meluas dan menerangi setiap jiwa kaum Muslimin
3.      Allamah Thabathabai
Salah satu kelebihan yang ada pada diri Allamah Thabathabai adalah penguasaannya atas berbagai bidang ilmu. Ketekunan dalam belajar telah membawanya menjadi salah satu ulama dan tokoh besar. Selain filsafat Islam dan Barat, beliau juga menguasai pendapat berbagai mazhab dan agama lain. dalam diskusi dengan para tokoh berbagai mazhab dan agama Allamah selalu menguasai medan pembicaraan. Beliau bahkan cukup piawai dalam menafsirkan teks-teks rujukan utama agama-agama dan mazhab-mazhab lain. 
Salah seorang murid Allamah menceritakan, "Selain kedalaman ilmunya terkait agama dan budaya Islam, ada satu hal yang sangat mengagumkan bagiku pada diri Allamah Thabathabai, yaitu kelapangan hati beliau untuk mendengar semua pendapat. Beliau dengan seksama mendengarkan perkataan orang. Allamah sangat peduli dengan ilmu. Mungkin pengalaman yang kami dapatkan bersama beliau tak bisa ditemukan di tempat lain. Bersama beliau kami mempelajari terjemahan Injil, Upanishad Hindu, Sutta Budha dan Tao Te Ching. Beliau menafsirkan kitab-kitab itu sedemikian mendalam seakan ikut terlibat dalam penulisannya."
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda, "Tuntutlah ilmu walaupun sampai di negeri Cina." Penyebutan negeri Cina adalah untuk menunjukkan tempat terjauh yang mesti didatangi untuk mengejar ilmu. Artinya, lewat hadis ini Nabi Saw mendorong umatnya untuk menimba ilmu dengan menanggung segala kesulitan dan kesusahan.  Allamah setiap hari selalu memperkaya diri dengan ilmu lewat penelaahannya pada pemikiran agama-agama lain. Beliau menguasai ajaran agama-agama Asia Timur. Beliau meyakini bahwa kebenaran yang murni ada pada al-Quran. Meski demikian, agama-agama yang lain pun juga tak kosong dari kebenaran dan hakikat. Karena itu beliau menghormati ajaran agama-agama lain.
Kecintaannya yang luar biasa kepada kitab suci al-Quran telah mendorong ulama besar ini untuk menulis kitab tafsir al-Mizan, sebuah kitab tafsir yang sangat mendalam. Metode penulisannya adalah menafsirkan ayat dengan bantuan ayat lain. Faker Meibadi, salah satu murid Allamah menyebut metode khas tafsir ini sebagai keistimewaan al-Mizan seraya mengatakan, "Tafsir al-Mizan ditulis dengan metode al-Quran dengan al-Quran, metode yang mengikuti cara para Imam Maksum as menafsirkan kitab suci ini. Dengan cara ini Allamah menghidupkan kembali metode penafsiran para Imam di zaman ini."
Meski menggunakan metode menafsirkan ayat dengan ayat lain, tapi Allamah juga tidak melupakan hadis-hadis dari Nabi dan Ahli Bait dalam al-Mizan. Mengenai metode Ahli Bait dalam menafsirkan al-Quran, Allamah mengatakan, "Meskipun al-Quran menegaskan bahwa Nabi Saw dan Ahli Bait as adalah penjelas dan penafsir makna dan kandungan al-Quran, tapi metode yang mereka gunakan adalah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran dan inilah yang diajarkan al-Quran sendiri. Dari banyak riwayat dapat kita fahami bahwa dalam menafsirkan al-Quran Nabi dan Ahlul Bait hanya menggunakan ayat-ayat al-Quran saja."
Allamah dalam tafsir al-Mizan membahas banyak hal terkait masalah-masalah kontemporer dan ideologi-ideologi masa kini secara mendalam. Beliau menyebut berbagai kritik yang datang dari Timur dan Barat terhadap Islam lalu menjawabnya dengan sempurna. Singkatnya, tafsir al-Mizan adalah kitab tafsir yang menjadikan al-Quran sebagai poros bahasan dan landasan dalam menafsirkan ayat-ayat Ilahi. Kitab ini juga menyebutkan berbagai pandangan dan pemikiran yang ada lalu menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah.
Syahid Muthahhari terkait kitab al-Mizan mengatakan, "Dalam menulis tafsirnya, Allamah Thabathabai mendapat inayah dan ilham dari Allah."
Allamah sendiri menjelaskan, "Ada satu fakta dalam Al-Quran yang tidak terbantahkan yaitu bahwa setiap kali seorang manusia masuk ke dalam naungan kepasrahan dan wilayah Ilahi dia akan semakin mendekat ke lembah kesucian dan keagungan. Saat itu pintu-pintu langit akan terbuka baginya dan dia akan mampu melihat hakikat di balik ayat-ayat Allah dan nur Ilahi yang tak bisa disaksikan oleh orang lain."
Kitab tafsir ini juga membahas masalah akhlak dan irfan secara mendalam. Dengan ungkapan-ungkapan yang singkat tapi padat, Allamah mengajak pembaca kepada penyucian diri dan liqaullah. Al-Mizan membahas pula masalah sastra dan tata bahasa Arab dengan detil. Tak heran jika pembaca tak merasa bahwa penulisnya adalah seorang berkebangsaan Iran, bukan penulis Arab.
Selain tafsir al-Mizan, Allamah Thabathabai juga meninggalkan banyak tulisan berbobot lainnya. Diantaranya adalah Bidayatul Hikmah. Buku ini mengajarkan dasar-dasar filsafat. Bidayatul Hikmah menjadi buku panduan pelajaran filsafat di hauzah ilmiah dan perguruan tinggi di Iran. Setelah buku ini, santri atau mahasiswa bisa melanjutkan pendidikan filsafat dengan mempelajari Nihayatul Hikmah yang juga ditulis oleh Allamah. Kitab kedua ini membahas filsafat lebih mendalam dari kitab Bidayatul Hikmah.
Allamah juga menulis buku ushul fiqih yaitu Hasyiyah atau catatan untuk kitab Kifayatul Ushul. Buku beliau yang lain adalah ‘Shie dar Islam' yang sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, ‘Kholase-ye Taalim-e Islam' dan ‘Ravabet-e Ejtemai'e Islam'. dalam upaya mengenalkan agama Islam secara singkat beliau menulis buku Amuzesh'e Din yang mengulas apa saja yang berhubungan dengan Islam dan hal-hal yang paling mendasar dalam agama ini. Ada pula buku-buku lainnya yang membahas tentang teologi seperti Rasail Tauhidiyah terdiri atas 26 risalah yang membahas tentang ketuhanan, sifat Allah dan perbuatan Allah. Allamah juga meninggalkan menulis kumpulan puisi yang ditulisnya dalam bahas Persia. Selain itu beliau juga menulis buku tentang sejarah biografi Nabi Saw berjudul Sunan al-Nabi dan buku akhlak berjudul Lubbul Lubab yang merupakan kumpulan materi pelajaran akhlak beliau.
Allamah Thabathabai adalah sosok ulama yang menguasai ilmu fikih, ushul, matematika dan astronomi secara mendalam. Beliau belajar matematika dari ulama Najaf bernama Sayid Abul Qasim Khonsari yang dikenal sebagai pakar matematika di zaman itu. Dalam tata bahasa dan sastra Arab, Allamah punya kepandaian yang luar biasa. Selain itu, beliau juga tergolong sebagai arsitek Islam yang ulung. Sejumlah bangunan dan gedung dibuat dengan rancangan beliau. Ketika tiba di kota Qom, Allamah masuk ke madrasah Hujjatiyah. Pengurus Hujjatiyah berencana melakukan perluasan sekolah agama tersebut yang saat itu tergolong kecil dengan bangunannya yang sangat sederhana. Menurut rencana Hujjatiyah akan diperluas dengan sejumlah kamar, kelas, perpustakaan dan masjid.
Banyak insinyur dan arsitek dari Tehran dan sejumlah kota lainnya yang mengajukan rancangan bangunan. Tak ada satupun yang menarik hati pengurus madrasah. Akhirnya, Allamah Thabathabai membuat denah bangunan dengan rancangannya. Melihat denah dan rancangan bangunan itu, pengurus Hujjatiyah menyatakan setuju. Akhirnya, Madrasah atau pusat sekolah agama itupun di bangun berdasarkan rancangan Allamah Thabathabai. Beliau pula yang menjadi pengawas pembangunannya.
Ayatullah Javadi Amoli, salah seorang murid Allamah yang paling menonjol mengatakan, "Allamah Thabathabai memiliki ruh dan spiritualitas yang sangat tinggi. Ketika masuk ke pembahasan tentang Allah, nampak sekali beliau tenggelam dalam suasana spiritual yang mengagumkan." Apa yang dikatakan oleh Ayatollah Javadi diakui oleh banyak ulama. Mereka mengagumi keadaan spiritual Allamah Thabathabai yang sangat istimewa. Dalam hal irfan, beliau sangat menguasai kitab al-Futuhat al-Makkiyah karya Ibnu Arabi.
Tentang Allamah Thabathabai, Ayatullah al-Udzma Khamenei mengatakan, "Paras maknawiyah Allamah Thabathabai menampilkan gambaran seorang manusia berbobot dengan iman kuat dan irfan hakiki yang diiringi dengan ilmu yang luas dan mendalam. Kombinasi semua itu pada diri Allamah membuktikan bahwa Islam bisa menggabungkan antara gelora cinta yang dalam dengan logika yang kuat pada diri seorang ulama."(IRIB Indonesia).
Pokok Pikiran
Ilmu merupakan bekal paling penting dalam kehidupan yang memberi manusia kekuatan dan kemampuan. Untuk memperoleh ilmu dan menyingkap tabir-tabir rahasia alam, para ilmuan telah menanggung jerih payah dan bekerja tanpa mengenal lelah.Allamah Sayid Mohammad Hossein Thabathabai adalah salah satu ilmuan pemikir yang telah bersusah payah dan menanggung banyak kesulitan dalam menimba ilmu dan mengembangkan pemikirannya.
Allamah Thabathabai sangat menghargai pemikiran, dan beliau juga suka berpikir. Beliau sendiri mengatakan, "Setiap hari aku menghabiskan masa enam jam sehari untuk makan, tidur dan ibadah. 18 jam sisanya kugunakan untuk berpikir. Terkadang di tengah berpikir aku terlelap tidur. Saat terjaga, kulanjutkan berpikir dari saat terlelap."
Islam menganjurkan umatnya untuk berpikir. Nabi Saw dalam sebuah hadis menyebutkan bahwa berpikir sesaat lebih utama dari ibadah selama tujuh puluh tahun. Al-Quran al-Karim dalam banyak ayat sucinya juga menyeru manusia untuk berpikir. Berpikir akan alam penciptaan akan menambah pengetahuan manusia dan membawanya menuju ke arah kesempurnaan maknawiyah.
Meski sangat mementingkan perenungan dan pemikiran, Allamah Thabathabai menyatakan bahwa berpikir saja tidak cukup membawa manusia kepada kesempurnaan dan kesejahteraan hakiki. Sebab, manusia harus terlebih dahulu mengikuti ajaran kitabullah dan Sunnah Nabi Saw. Allamah mengatakan, "Hikmah yang tidak mengajak kepada syariat bukan hikmah yang hakiki." Karena itu, beliau tidak menyukai orang yang secara lahirnya suci namun asing dari perenungan dan tidak pula orang yang logis dan gemar berargumentasi tapi tidak patuh kepada ajaran agama.
Menurut Allamah, agama dan akal selalu berjalan beriringan. Namun demikian, ketika pendekatan nalar tak mampu mengungkap masalah agama, hakikat ajaran agama harus diterima dengan lapang dada dan penuh kepasrahan. Sebab, agama datang dari Yang Maha Mengetahui dan Akal Yang Tak Terbatas. Kegemaran kepada masalah pemikiran mendorong Allamah Thabathabai untuk menyelami ilmu pemikiran khususnya filsafat. Filfasat mengajak manusia untuk menenungkan alam dan terbang di alam pemikiran.
Selain pakar filsafat Islam, Allamah Sayid Mohammad Hossein Thabathabai juga menguasai filsafat Barat dan mengenal dengan baik pemikiran para filsuf Barat. Menurutnya, filsafat adalah salah satu alat terbaik untuk memahami ayat-ayat al-Quran dan hadis dengan lebih baik. Karena itu, beliau meyakini bahwa filsafat sangat berhubungan dengan agama. Allamah bisa disebut sebagai filsuf Muslim pertama yang mengkomparasikan filsafat Islam dengan filsafat materialis. Sebab, sebelum beliau, jarang ditemukan filsuf yang menguasai filsafat Islam dan Barat sekaligus. Berkat usahanya, filsafat hidup kembali di dunia keilmuan. Bisa dikata bahwa Allamah adalah filsuf yang membuka lembaran baru dalam sejarah filsafat Islam.
Allamah Thabathabai meyakini bahwa antara agama dan filsafat Ilahiyah bukan hanya tak ada pertentangan tapi justeru ada hubungan yang tak terpisahkan antara keduanya. Beliau mengatakan, "Adalah kezaliman besar ketika orang memisahkan antara filsafat ilahi dan agama Ilahi… Adakah jalan untuk memperoleh pengetahuan kecuali dengan berargumentasi dan berdalil? Jika satu-satunya jalan menuju pengetahuan adalah dengan berargumentasi dan berdalil, bagaimana mungkin para nabi menyeru manusia kepada hal yang bertentangan dengan fitrah dan naluri mereka dan mengajak mereka untuk menerima apa saja tanpa dalil?" Allamah melanjutkan, "Yang benar adalah bahwa metode para nabi dalam mengajak manusia kepada kebenaran tidak terpisah dari argumentasi dan logika."
Menurut Allamah, pelajar agama mesti membekali diri  dengan filsafat dan mantiq untuk membantunya memahami agama dengan baik. Salah seorang murid Allamah mengatakan, "Di sekolah agama ada kepercayaan umum bahwa seorang pelajar lebih baik mempelajari dengan hadis-hadis dari para maksumin terlebih dahulu sebelum belajar filsafat. Tapi Allamah berpandangan lain. Menurut beliau, hadis-hadis banyak mengandung masalah logika yang mendalam dan argumentasi filsafat. Bagaimana orang bisa memasuki lautan hadis yang luas dan dalam tanpa terlebih dahulu mempelajari filsafat dan mantiq yang mengasah otak dan akal manusia?"
Dapat dikata bahwa ada dua hal yang mendorong Allamah mementingkan filsafat. Pertama, karena filsafat membantu memahami hakikat agama dengan lebih baik, dan kedua, menjawab serangan kritik para pemikir materialis terhadap Islam. Mengenai hal ini, Allamah menceritakan, "Ketika tiba di kota Qom, kau melihat bahwa masyarakat kita perlu mengenal Islam dari sumber-sumber aslinya yang dengan masyarakat bisa membela ajaran agama.  Karena itu, di lingkungan hauzah kita harus punya mata pelajaran yang membekali santri dan pelajar agama dengan kemampuan berargumentasi logis sehingga bisa membela hakikat ajaran agama dan menjawab kritik yang ada. Tak ada jalan untuk mewujudkannya kecuali dengan filsafat."
Allamah punya metode yang mendasar dalam mengajarkan filsafat. Salah satu karya besar beliau di bidang filsafat adalah buku "Ushul Falsafeh va Raveshe Realism'. Buku ini menjelaskan filsafat Islam secara singkat tapi padat. Selain memaparkan filsafat Islam, buku ini juga menjelaskan pandangan para pemikir besar Eropa.  Buku tersebut diberi penjalasan secara panjang lebar oleh salah satu murid Allamah yang menonjol, yaitu Syahid Muthahhari. Penjelasan itu sekaligus membuat buku karya Allamah ini menjadi salah satu karya ilmiah besar.
Henry Corbin, pemikir dan filsuf Perancis tertarik memperdalam filsafat Timur setelah membaca ‘Hikmah al-Isyraq' karya Suhrawardi. Ketika mendengar tentang keberadaan ulama dan filsuf Islam bernama Allamah Thabathabai di Iran, Corbin datang ke Iran untuk menemui sang ulama. Dia menanyakan banyak hal kepada Allamah, khususnya tentang ajaran Islam. Lewat Henry Corbin, Allamah mengenalkan Islam ke dunia Barat. Dalam hal ini, beliau mengatakan, "Adalah kemurahan Allah yang telah mengenalkan ajaran Islam ke dunia lewat ilmuan ini." Yang dimaksud adalah Henry Corbin. Corbin dan timnya, menerbitkan majalah di Perancis yang mengenalkan Islam dan mazhab Syiah ke dunia Barat.
Suatu hari Allamah terlibat pembicaraan dengan Henry Corbin. Kepadanya beliau mengatakan, "Dalam ajaran Islam, seluruh tempat di dunia ini tanpa kecuali adalah tempat ibadah. Jika seseorang ingin melaksanakan shalat, berdoa atau bersujud dia bisa melakukannya di mana saja. Tapi dalam ajaran Kristen tidak demikian. Orang Kristen harus melakukan ibadah di tempat yang khusus dan di waktu yang khusus pula. Karena itu jika seorang penganut agama Kristen menghadapi kondisi spiritual yang mengajaknya untuk beribadah, misalnya di tengah malam, apa yang bisa dilakukannya? Dia harus menunggu hari Minggu ketika pintu gereja terbuka. Ini berarti terputusnya hubungan manusia dengan Tuhannya." Corbin membenarkan kata-kata Allamah dan mengatakan, "Kritik ini tepat. Alhamdulillah agama Islam telah menjaga hubungan antara manusia dengan Tuhannya kapanpun dan di manapun juga."
Allamah Thabathabai dalam filsafat sosial dan politik Islam punya pandangan yang menarik. Mengenai pemerintahan yang kejam dan despotik, beliau mengatakan, "Rezim kekuasaan yang bobrok melahirkan kekacauan dan kebejatan di tengah masyarakat manusia. Orang yang baik akan terpaksa harus terjun ke tengah medan untuk memperbaiki kondisi dan menyingkirkan rezim penguasa itu. Dan ini adalah misi para nabi dan wali yang paling suci dan penting. Fakta inilah yang bisa dilihat dari sejarah kehidupan manusia-manusia agung itu."
Allamah meyakini bahwa keadilan sosial dan interaksi yang sehat antara manusia serta penghormatan kepada martabat manusia hanya bisa terwujud di bawah naungan hukum Ilahi. Terkait masa kegaiban Imam Maksum Allamah beliau meyakini kepemimpinan Islami seorang fakih sebagai satu keharusan. Masalah ini dikupas oleh beliau dalam bukunya berjudul ‘Risalah al-Wilayah'.

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts