بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Sabtu, 16 Februari 2013

Makalah Politik Hukum Pengadilan Agama Dalam Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Manusia memiliki kebutuhan dasar yang berupa kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa memilki dan dimiliki, rasa kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri serta kebutuhan akan pertumbuhan. Setiap orang akan merasa senang apabila mendapat penghargaan atas sesuatu yang dilakukannya. Sebalikanya dia akan merasa kecewa, marah apabila harga dirinya tersinggung atau diremehkan. Apalagi jika ia merasa mendapat perlakuan yang tidak wajar. Dengan demikian sudah menjadi kodrat bahwa setiap orang ingin mendapat perlakuan dan penghargaan dari pihak lain terutama perlakuan adil dan manusiawi. Terlebih jika menghadapi masalah atau kesulitan sosial dalam bentuk sengketa. Oleh karena itu ia membutuhkan bantuan dan pelayan dari suatu pihak yang dapat menyelesaikan sengketanya yakni salah satunya pengadilan.
Pengadilan merupakan tumpuan harapan terakhir pencari keadilan atau para pihak yang bersengketa. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pengadilan mempunyai tugas utama, yaitu memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan, dan memberi pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan, serta memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efisien, tuntas dan final sehingga memuaskan kepada pihak-pihak yang bersengketa dan masyarakat. Untuk mewujudkan tugas utama pengadilan tersebut, maka Negara Indonesia melakukan reformasi di bidang hukum melalui amandemen Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa :
“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Makhamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Makhamah Konstitusi”.

Makhamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan Agama merupakan salah satu dari 4 (empat) lingkungan peradilan tersebut diatas yang keberadaan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan kehakiman dan yang terakhir telah diganti dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman. Undang-undang tersebut merupakan suatu undang-undang yang bersifat organik, sehingga perlu adanya peraturan pelaksanannya. Khususnya untuk pengadilan agama dilakukan pengaturan lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di dalamnya memuat hukum materiil sekaligus hukum formiilnya. Peradilan agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai kompetensi memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara terkait keperdataan Islam. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memberi kewenangan lebih luas dari kewenangan yang diwariskan kolonial Belanda, dengan menambahkan kewenangan menangani sengketa kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Sejalan dengan itu disahkan pula Kompilasi Hukum Islam melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 sebagai hukum materiil/hukum terapan berkenaan kewenangan baru Pengadilan Agama tersebut.
Di era reformasi kesadaran dan semangat untuk menerapkan lebih banyak lagi norma ajaran Islam melalui kekuasaan (legislasi) semakin tumbuh. Sementara semangat reformasi di dunia peradilan menumbuhkan tekad agar semua lembaga peradilan berada dalam satu wadah penyelenggara kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung (one roof sistem). Konsekuensinya Undang-undang mengenai lembaga peradilan harus direvisi sesuai dengan semangat satu atap dunia peradilan di Indonesia tersebut.
Ketika Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 direvisi, legislator memanfaatkan bukan hanya merubah status organisasi, administrasi dan finansial yang semula berada di bawah Departemen Agama menjadi di bawah Mahkamah Agung, namun juga dilakukan perluasan wewenang, sejalan dengan semangat untuk menerapkan lebih banyak lagi ajaran Islam melalui hukum nasional. Kewenangan baru meliputi bidang : zakat, infaq dan ekonomi syari’ah. Bidang perkawinan kendati telah dan selalu menjadi wewenang Pengadilan Agama, namun dengan berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ditegaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syari’ah”.
Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi ; a) bank syari’ah, b) lembaga keuangan mikro syari’ah, c) asuransi syari’ah, d) reasuransi syari’ah, e) reksadana syari’ah, f) obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, g) sekuritas syari’ah, h) pembiayaan syari’ah, i) pegadaian syari’ah, j) dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan k) bisnis syari’ah. (www.badilag.net). Wewenang Pengadilan Agama menurut UU Nomor 7/1989 :
a. Perkawinan,
b. Kewarisan, wasiat dan hibah,
c. Wakaf dan shadaqah..
Sementara menurut UU Nomor 3/2006 : a. perkawinan, b. waris, c.wasiat, d. hibah, e. wakaf, f. zakat, g. infaq, h. shadaqah dan i. ekonomi syari’ah. Dengan penerapan prinsip syari’ah dalam kegiatan usaha tersebut, maka harus diikuti dengan oleh perkembangan lembaga penyelesaian sengketa (dispute resolution) yang ada. Khususnya lembaga peradilan sebagai the last resort bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. (Abdul Ghofur Anshori, 2007 : 4-5)
Dengan sebutan ”perbuatan atau kegiatan usaha” maka yang menjadi kewenangan pengadilan agama adalah transaksi yang menggunakan akad syari’ah, walau pelakunya bukan muslim. Ukuran Personalitas ke Islaman dalam sengketa ekonomi syari’ah adalah akad yang mendasari sebuah transaksi, apabila menggunakan akad syari’ah, maka menjadi kewenangan peradilan agama. Dalam konteks ini pelaku non muslim yang menggunakan akad syari’ah berarti menundukkan diri kepada hukum Islam, sehingga oleh karenanya UU Nomor 3 Tahun 2006 menentukan bahwa sengketanya harus diselesaikan di Pengadilan Agama.
Perkembangan baru dalam ranah dunia peradilan adalah diberikannya kompetensi penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah kepada peradilan agama. Hal ini tentunya merupakan salah satu bentuk politik hukum pemerintah Indonesia dalam menangani sengketa tersebut. Kompetensi ini merupakan suatu tantangan baru bagi aparat hukum di lingkungan peradilan agama, sehingga dibutuhkan kesiapan dalam menangani kasus-kasus tersebut.
Dalam Undang-undang Perbankan Syari’ah diberikan kompetensi mengadili secara litigasi kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum. Padahal dalam revisi Undang-undang Peradilan Agama yang baru, sengketa ekonomi syari’ah menjadi kompetensi absolut peradilan agama (www.badilag.net ).
Secara yuridis, baru di era reformasi dengan UU Nomor 10 tahun 1998 sebagai revisi dari UU Nomor 7 Tahun 1992, istilah pembiayaan berdasarkan syariat dan prinsip syariat, disebut secara tegas (H. Abdurrahman). Dalam konsep Bank Syari’ah yang merupakan bagian kegiatan ekonomi syari’ah diwajibkan adanya Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang dibentuk oleh Bank yang bersangkutan dengan berkonsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah ulama. DPS bersifat independen yang tidak boleh mencampuri operasional bank. DPS bertugas menentukan boleh tidaknya suatu produk/jasa dipasarkan (Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 Pasal 5).
Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah masih termasuk kewenangan peradilan umum, sebagaimana sengketa perbankan pada umumnya. Persoalan hukum berkenaan Bank Syari’ah menyangkut prinsip dan ketentuan hukum syari’ah, karenanya jajaran pengadilan (negeri) yang akan menangani sengketa perbankan syari’ah perlu menyiapkan tenaga ahli dalam bidang hukum syari’ah.
Pengadilan Negeri akan menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara sengketa perbankkan syari’ah. Menurut UU No 21 tahun 2008, Pasal 55 penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah diselesaikan dengan cara ;
1.      Penyelesaian sengketa Perbankan Syari’ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
2.      Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
3.      Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syari’ah.
Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 menentukan bahwa sengketa ekonomi syari’ah menjadi wewenang peradilan agama.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan pokok-pokok masalah sebagai berikut :
1.       Bagaimana dimensi politik hukum pengadilan agama dalam prosedur penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah ?
2.       Apa yang menjadi sumber hukum yang digunakan sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa ekonomi Syari’ah ?
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Beberapa Alternatif Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Berdasarkan Hukum Positif Indonesia
1.      Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)
Pemikiran kebutuhan akan lembaga sulh (perdamaian) pada zaman modern ini tentunya bukanlah suatu wacana dan cita-cita yang masih utopis, melainkan sudah masuk ke wilayah praktis. Hal ini dapat dilihat dengan marak dan populernya Alternative Dispute Resolution (ADR). Untuk kontek Indonesia, perdamaian telah didukung keberadaannya dalam hukum positif yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. (IKAHI, 2008 : 60)
Dengan adanya pengaturan secara positif mengenai perdamaian, maka segala hal yang berkaitan dengan perdamaian baik yang masih dalam bentuk upaya, proses teknis pelaksanaan hingga pelaksanaan putusan dengan sendirinya telah sepenuhnya didukung oleh negara. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dikatakan sebagai wujud yang paling riil dan lebih spesifik dalam upaya negara mengaplikasikan dan mensosialisasikan institusi perdamaian dalam sengketa bisnis. Dalam undang-undang ini pula dikemukakan bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah sengketa bisnisnya di luar Pengadilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian para ahli.  (Munir Fuady, 2000 : 122)
Menurut Suyud Margono (2000 : 82) kecenderungan memilih Alternatif Dispute Resolution (ADR) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan atas pertimbangan pertama : kurang percaya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama sudah dipahaminya keuntungan mempergunakan sistem arbitrase dibanding dengan Pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih suka mencari alternatif lain dalam upaya menyelesaikan berbagai sengketa bisnisnya yakni dengan jalan Arbitrase, kedua : kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase khususnya BANI mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke Pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan. Dengan kata lain, tidak sedikit kasus-kasus sengketa yang diterima oleh Pengadilan merupakan kasus-kasus yang sudah diputus oleh arbitrase BANI.
Dengan demikian penyelesaian sengketa dengan cara ADR merupakan alternatif yang menguntungkan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Perkara mengatur tentang penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yakni melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Undang-Undang ini tidak seluruhnya memberikan pengertian atau batasan-batasan secara rinci dan jelas. (H. Abdul Manan, : 14-16)
2.      Arbitrase (Tahkim)
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dikemudian hari di antara mereka. Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga Pengadilan atau ada juga melalui lembaga di luar Pengadilan yaitu arbitrase (choice of forum/choice of jurisdiction). Di samping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara mereka (choice of law). (Karnaen Perwaatmaja, 2005 : 288).
Dasar hukum pemberlakuan arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mulai diberlakukan pada tanggal 12 Agustus 1999. adapun ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat perjanjian atau klausul arbitrase mengikuti ketentuan syarat sebagaimana umumnya perjanjian yaitu syarat subyektif dan syarat-syarat obyektif yang dipahami dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maupun syarat subyektif dan syarat obyektif yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa arbitrase itu merupakan kesepakatan yang diperjanjikan dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus menjadi bagian dari seluruh topic yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut.
Di Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis yang terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara lain BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang khusus menangani masalah persengketaan dalam bisnis Islam, BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional) yang menangani masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Bank Syariah, dan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus menyelesaikan sengketa bisnis non Islam.
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga arbitrase sebagimana dimaksud Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Sebelum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 diundangkan, maka dasar hukum berlakunya arbitrase adalah :
a.       Reglemen Acara Perdata (Rv.S,1847 : 52) Pasal 615 sampai dengan 651, Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR S.1941 : 44) Pasal 377 dan Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg 3.1927 : 227) Pasal 705.
b.      Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI. 2). SK MUI (MajelisUlama Indonesia) SK. Dewan Pimpinan MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 tentang Badan Arbitrase Syari’ah Nasional.
c.       Undang-Undang No. 4 Tahun 2000 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga hakam (arbitrase syari’ah) satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain. Semua fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri dengan ketentuan : "Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara keduabelah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah". (Lihat Fatwa No. 05 tentang Jual Beli Saham, Fatwa No. 06 tentang Jual Beli Istishna', Fatwa No. 07 tentang Pembiayaan Mudharabah, Fatwa No. 08 tentang Pembiayaan Musyarakah, dan seterusnya).
3.      Proses Litigasi Pengadilan
Dalam konteks ekonomi syari’ah, sengketa yang tidak dapat diselesaikan baik melalui sulh (perdamaian) maupun secara tahkim (arbitrase) dapat diselesaikan melalui lembaga Pengadilan. Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, secara eksplisit menyebutkan bahwa di Indonesia ada 4 lingkungan lembaga peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Lembaga Peradilan Agama melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah. Dalam penjelasan Undang-undang ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat-surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pergadaian syari’ah, dan dana pensiun, lembaga keuangan syari’ah, dan lembaga keuangan mikro syari’ah yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Dalam hal penyelesaian sengketa bisnis yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip syari’ah melalui mekanisme litigasi Pengadilan Agama terdapat beberapa kendala, antara lain belum tersedianya hukum materil baik yang berupa Undang-undang maupun Kompilasi sebagai pegangan para hakim dalam memutus perkara. Di samping itu, masih banyak para aparat hukum yang belum mengerti tentang ekonomi syari’ah atau hukum bisnis Islam. Dalam hal yang menyangkut bidang sengketa, belum tersedianya lembaga penyidik khusus yang berkompeten dan menguasai hukum syari’ah. Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa bisnis (ekonomi) syari’ah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana. Hal ini akan dicapai keselarasan antara hukum materiel yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam, dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai hukum Islam.
B.     Sumber Hukum Yang Digunakan Sebagai Dasar Hukum Untuk Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah
Sumber hukum yang dapat digunakan dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah : (H. Abdul Manam, : 27)
1.      Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Sementara ini Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Tentang Peradilan Agama. Di samping dua peraturan sebagaimana tersebut di atas, diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993. Juga diberlakukan Wetbook Van Koophandel (Wv.K) yang diberlakukan berdasarkan Stb 1847 Nomor 23, khususnya dalam Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dalam kaitan dengan peraturan ini terdapat juga Hukum Acara yang diatur dalam Failissements Verordering (Aturan Kepailitan) sebagaimana yang diatur dalam Stb 1906 Nomor 348, dan juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan dijadikan pedoman dalam praktek Peradilan Indonesia.
2.      Sumber Hukum Materiil
Seperti dikemukakan di atas, setelah seluruh tahap pemeriksan selesai lalu hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili perkara tersebut. Untuk itu hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkret yang ditemukan dalam perkara tersebut. Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang, yudisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan. Adapun bagi lingkungan pengadilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :
a.       Peraturan Perundang-Undangan
Banyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syari’ah.
b.      Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
Dewan syari’ah Nasional (DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada tahun 1999. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah
c.       Aqad Perjanjian (Kontrak)
Menurut Taufiq (2006 : 6-7) dalam mengadili perkara sengketa ekonomi syari’ah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan pelengkap saja. Oleh karena itu, hakim harus memahami jika suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian. Syarat suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi azas kebebasan berkontrak, azas persamaan dan kesetaraan, azas keadilan, azas kejujuran jika aqad perjanjian itu mengandung hal-hal yang dilarang oleh Syariat Islam, seperti mengandung unsur riba dengan segala bentuknya, ada unsur gharar atau tipu daya, unsur maisir atau spekulatif dan unsur dhulm atau ketidakadilan.
Ketentuan tersebut tentu saja dapat diterapkan seluruhnya dalam hukum keperdataan Islam, karena dalam aqad perjanjian Islam tidak dikenal adanya bunga yang menjadi bagian dari tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu, ketentuan ganti rugi harus sesuai dengan prinsip Syariat Islam. Jika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, dan itu dilakukan bukan karena terpaksa (overmach), maka ia dipandang ingkar janji (wanprestasi) yang dapat merugikan pihak lain. Penetapan wanprestasi ini bisa berbentuk putusan hakim atau atas dasar kesepakatan bersama atau berdasarkan ketentuan aturan hukum Islam yang berlaku.
Sehubungan dengan hal di atas, bagi pihak yang wanprestasi dapat dikenakan ganti rugi atau denda dalam ukuran yang wajar dan seimbang dengan kerugian yang ditimbulkannya serta tidak mengandung unsur ribawi.
Perbuatan melawan hukum oleh CST Kansil (1986 : 254) diartikan bahwa berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau berlawanan dengan kewajiban hak orang yang berbuat atau tidak berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan tata susila, maupun berlawanan dengan sikap hati-hati sebagaimana patutnya dalam pergaulan masyarakat, terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.
d.      Fiqih dan Ushul Fiqih
Fiqih merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih yang muktabar berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syari’ah.
e.       Adat Kebiasaan
Untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan di bidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu (Sudikno Mertokusumo, 1999 : 99) :
1.      Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulangulang dalam waktu yang lama (longaet inveterate consuetindo) ;
2.      Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates) dan
3.      Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar Apabila kebiasaan di bidang ekonomi syariah mempunyai ketiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah.
f.       Yurisprudensi
Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah dikekuatan hukum tetap, khususnya di bidang ekonomi syariah.
Dengan perkataan lain yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum dalam hal ini adalah putusan hakim yang benar-benar sudah melalui proses “eksaminasi” dan “notasi” dari Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi. (Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2004 : 10-11).

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka yang menjadi kesimpulan pada tulisan ini adalah :
1.      Beberapa alternatif penyelesaian sengketa ekonomi Syari’ah berdasarkan hukum positif Indonesia yakni :
a.       Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), dimana pemikiran kebutuhan akan lembaga sulh (perdamaian) pada zaman modern ini tentunya bukanlah suatu wacana dan cita-cita yang masih utopis, melainkan sudah masuk ke wilayah praktis. Hal ini dapat dilihat dengan marak dan populernya Alternative Dispute Resolution (ADR). Untuk kontek Indonesia, perdamaian telah didukung keberadaannya dalam hukum positif yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. (IKAHI, 2008 : 60)
b.      Arbitrase (Tahkim), dimana dasar hukum pemberlakuan arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mulai diberlakukan pada tanggal 12 Agustus 1999.
c.       Proses Litigasi Pengadilan, dimana dalam konteks ekonomi syari’ah, sengketa yang tidak dapat diselesaikan baik melalui sulh (perdamaian) maupun secara tahkim (arbitrase) dapat diselesaikan melalui lembaga Pengadilan. Lembaga Peradilan Agama melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah.
2.      Sumber hukum yang dapat digunakan dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah : (H. Abdul Manam, : 27)
a.       Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
b.      Sumber hukum materiil, yang terdiri dari :
1.      Peraturan Perundang-Undangan
2.      Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
3.      Aqad Perjanjian (Kontrak)
4.      Fiqih dan Ushul Fiqih
5.      Adat Kebiasaan
6.      Yurisprudensi
B.     Saran
Adapun yang menjadi saran dalam penyusunan makalah ini adalah :
1.      Dalam upaya politik hukum yang dijalankan pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi Syari’ah, agar diperhatikan yang menjadi fungsi ideal dari lembaga tersebut sehingga memang secara tegas menjalankan fungsi latennya.
2.      Pemerintah sebagai aparatur Negara diharapkan dapat bekerja sama dan sekaligus mengayomi Pengadilan Agama dalam menjalankan perannya dalam menyelesaikan setiap sengketa ekonomi Syari’ah yang ditanganinya.   













DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Khairul Bayan, Jakarta

Abdul Ghofur Anshori, 2007, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan & Kewenangan), UII Press, Yogyakarta.

CST Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Idonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Fuady, Munir, 2000, Arbitrase Nasional, alternative penyelesaian sengketa bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Majalah IKAHI    
Sudikno Mertokusumo, 1999, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,Yogyakarta.

Suyud Margono, 2000, ADR dan Arbitrase,Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

________________, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Nomor 21Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

www.badilag.net
   

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts