بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Senin, 18 Februari 2013

Reformasi Mati Muda ?


KRISIS multidimensional yang telah menghinggapi bangsa Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1997 semakin hari semakin sulit diatasi. Bahkan, krisis diperkirakan berubah menjadi "tragedi nasional". Indikator nyata dari itu semua tampak di permukaan kehidupan masyarakat Indonesia.
FENOMENA ini terjadi sejak reformasi mengalami pendarahan, yakni sejak mahasiswa sebagai "bintang lapangan" penjatuhan rezim Orde Baru mulai tergeserkan posisinya oleh para elite-elite politik baru (elite lama berganti baju?), sampai reformasi menjadi saksi bisu jatuh bangunnya kepemimpinan sipil mulai dari Habibie sampai Gus Dur.
Kegagalan pemulihan ekonomi dan membangun kembali kepercayaan dunia internasional akibat tidak adanya kata sepakat dari seluruh yang berperan dalam perekonomian nasional atas konsep, strategi, dan solusi pemulihan ekonomi model apa yang mesti diterapkan di Indonesia, turut memperparah keadaan. Dua persoalan di atas berkelindan dengan remuknya sistem hukum dan peradilan serta bobroknya moral attitude aparatur hukum nasional. Akibatnya, berbagai tindak KKN, kejahatan politik, ekonomi, sosial, dan HAM tidak mampu dijerat dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam konteks politik, sejak reformasi digelar, Indonesia kembali dicekoki oleh kembalinya "ideologi" politik lama ke pasar politik baru. Eforia reformasi telah menghilangkan kesadaran kritis para elite-elite politik baru dan lama dalam mengusung simbol politik aliran masa lalu ke pusaran politik pascaberhentinya Soeharto. Kelompok nasionalis dan Islam paling banyak melahirkan partai-partai politik. Sedangkan yang mencoba kembali dengan aliran sosialisme (dari klasik hingga modern) terkapar tanpa pendukung dalam Pemilu 1999.
Akibatnya, bangsa ini melahirkan elite penguasa sipil baru yang tak tersentuh oleh rakyat. Tidak saja dalam domain sistem politik dan pemerintahannya saja yang mengalami trial and error, detak tumbuhnya kekuatan sipil yang mampu mengontrol jalannya kekuasaan juga tak kunjung terbentuk. Semua gagasan-gagasan luhur tentang demokrasi, civil society, civilian supremacy, ekonomi kerakyatan, dan law enforcement hanya berhenti di tingkat kata-kata, aturan perundangan, dan seminar-seminar belaka.
Kelengahan inilah yang menjadikan kekuatan lama masa lalu kembali mampu mengkonsolidasikan kekuatan sehingga mereka memiliki ruang lebih bebas untuk kembali mengontrol jalannya perubahan menurut model dan langgam otoritarianisme seperti yang telah mereka pertontonkan selama 32 tahun lamanya. Divestasi Indosat, kebijakan pemerintah mengeluarkan Release & Discharge (R&D), kegagalan menarik capital flight para konglomerat, lepasnya Sipadan-Ligitan, hingga kehendak pemerintah untuk menalangi dana rekap obligasi para konglomerat hitam sebesar Rp 600 triliun dengan menghapus subsidi kepada rakyat sembari menaikkan harga BBM, TDL, dan tarif telepon adalah wujud ketidakmampuan penyelenggara negara mengemban amanat reformasi.
Peta politik dalam negeri semakin terpuruk dalam kondisi kekacauan sehingga bangsa ini tampak gagap menyikapi perkembangan mutakhir dunia internasional. Apalagi dalam merumuskan kebijakan politik luar negeri agar Indonesia memperoleh dukungan internasional untuk segera keluar dari krisis multidimensional yang mengancam integritas nasional. Bom Bali, deportasi TKI besar-besaran, lepasnya Sipadan-Ligitan, serta ketidakmengertian Pemerintah Indonesia bahwa setelah era cold war berakhir, maka "terorisme internasional" telah menggantikan konflik ideologi dalam perang dingin.
Isu ini sekarang sangat menentukan jatuh bangunnya sebuah pemerintahan serta pemulihan ekonomi negara-negara yang bergantung pada bantuan keuangan Negara Industri Maju (NIM) ataupun International Monetary Fund (IMF). Para pemegang/pelaksana kebijakan di Indonesia kurang menyadari situasi dan struktur internasional di atas sehingga gagal merumuskan dan memainkan diplomasi internasional yang tepat dan strategis agar peristiwa semacam deportasi TKI dan tragedi bom Bali mampu dihindarkan.
Transisi demokrasi yang mestinya terjadi di Indonesia pascalengsernya rezim otoriterianistik Orde Baru, dengan realitas negara seperti di atas, dipastikan tak kunjung terjadi. Gerak demokratisasi di Indonesia justru menjadi tak beraturan dan berjalan sangat lamban menuju terciptanya tatanan pemerintahan dan politik demokratis seperti yang dikehendaki oleh semua elemen bangsa ini. Pembangunan institusi demokrasi, konstitusionalisme sebagai prasyarat terbentuknya negara demokrasi, konsolidasi kekuatan sipil, dan kultur demokrasi, kalah oleh nafsu berkuasa para "penumpang gelap" reformasi yang selama ini merasa tertindas oleh proses rezimentasi kekuasaan Orde Baru.
MINIMAL ada lima indikator yang dapat diketengahkan untuk membuktikan bahwa transisi demokrasi di Indonesia tidak berjalan ke arah terciptanya negara demokrasi yang sesungguhnya. Transisi demokrasi di Indonesia justru melahirkan rezimentasi elite "gaya baru" dengan memakai selubung demokrasi.
Pertama, rapuhnya sistem perekonomian. Hal ini ditandai dengan tingginya ketergantungan ekonomi Indonesia atas bantuan asing dan ketidaksungguhan pemerintah mengoptimalkan mobilisasi dana dari dalam negeri sendiri. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada konsumsi, belum lagi kebocoran APBN yang mencapai 20 persen lebih, serta kegagalan menarik investasi langsung (direct investment) dan menghidupkan sektor riil.
Faktor lain yang membuat rapuhnya sistem perekonomian adalah tidak adanya platform bersama antara pemerintah, parlemen, dan seluruh pihak di luar pemerintah yang memiliki kekuatan mengendalikan dan mempengaruhi tentang sistem dan kebijakan ekonomi yang mesti dijalankan pemerintah dan didukung bersama- sama.
Kedua, polarisasi di seluruh kekuatan politik sipil pasca-Orde Baru semakin kuat. Pengotak-ngotakan politik berdasarkan ideologi ikatan tradisional di masyarakat menjadi kekuatan politik yang sulit diatasi. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu destabilisasi politik nasional, padahal stabilitas politik menjadi syarat utama proses pemulihan ekonomi Indonesia. Menguatnya gerakan Islam politik, tribalisme, dan sektarianisme politik adalah beban tersendiri transisi demokrasi di Indonesia.
Ketiga, lumpuhnya sistem hukum sehingga ratusan persoalan hukum tak mampu terselesaikan. Diskriminasi dan manipulasi hukum justru kerap kali terjadi karena hukum tidak mampu berdiri secara independen. Belum tertangkapnya beberapa obligor besar/konglomerat hitam, tidak adanya jerat hukum atas white collar crime, serta kebobrokan moral para aparatus hukum Indonesia, merupakan indikasi konkret ruwetnya reformasi hukum dan peradilan Indonesia.
Keempat, belum adanya transparansi dalam penyelenggaraan negara dan diterimanya partisipasi politik warga secara penuh. Sebab, tanpa transparansi regulasi politik, hukum, ekonomi, dan budaya, maka dukungan penuh rakyat atas berbagai kebijakan yang diambil para elite pemerintahan ataupun parlemen hanya akan berbalik menjadi bumerang bagi kelangsungan pemerintahan itu sendiri. Demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan kekuatan sipil lain serta tidak adanya satu suara para pembantu presiden (kabinet) adalah salah satu contoh nyata tidak adanya transparansi tersebut.
Kelima, lemahnya diplomasi internasional Indonesia, deportasi ratusan ribu TKI, tragedi bom Bali, dan ketentuan wajib lapor warga Indonesia di AS sebenarnya tidak akan terjadi jika pemerintah memiliki kecanggihan diplomasi internasional yang mampu meyakinkan publik internasional tentang posisi dan kesungguhan bangsa Indonesia dalam melakukan reformasi menyeluruh di segala bidang demi tegaknya demokrasi.
Singkatnya, reformasi yang bergulir lima tahun lebih ternyata belum sepenuhnya mampu menjawab perubahan-perubahan yang diidealkan. Sebaliknya, perjalanan reformasi tampaknya semakin sulit ditolerir atau bahkan mengalami titik klimaksnya sehingga sulit berkembang. Kalau bangsa kita tidak mampu mengatasi 5 (lima) problem di atas, maka sangat mungkin reformasi akan mati muda.

A Malik Haramain Ketua Umum PB PMII dan mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts