بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Rabu, 20 Februari 2013

KERANGKA TEORITIS PENYELESAIAN KONFLIK



PENGANTAR
Konflik etno-nasional atau etno-politik dapat didefinisikan sebagai konflik di mana pihak-pihak yang terlibat mendefinisikan dirinya dengan menggunakan criteria komunal dan mengemukakan tuntutan-tuntutan atas nama kepentingan kolektif kelompoknya terhadap Negara, atau terhadap actor komunal lainnya. Konflik etnis melibatkan gerakan-gerakan ‘irredentist’ (pencaplokan), ‘seccesionist’ (pemisahan), atau anti kolonial. Konflik etno-nasional berdasarkan tiga kriteria, yaitu: (1) konflik itu terjadi di dalam batas-batas wilayah suatu negara; (2) salah satu pihak yang berkonflik adalah pemerintah yang sedang berkuasa; dan (3) pihak oposisi mampu memberikan perlawanan yang terus menerus.
        Konflik etno-nasional yang tidak memenuhi kriteria tersebut dapat dianggap sebagai ‘kekerasan komunal’ (communal violence) dan perang internal wilayah. Dalam kajian ini konflik ‘intrastate’ dibagi ke dalam kelompok-kelompok berbasis etnis, agama, dan ideologi. Kelompok-kelompok ini kira-kira berhubungan dengan apa yang disebut ‘etno-nasionalis.’ Konflik etnis telah menjadi fenomena yang meluas. Telah banyak contoh konflik-konflik ‘intrastate’ sejak berakhirnya Perang Dunia II, antara lain: Korea, Vietnam, Sri Lanka, Kambodja, Pakistan, Afghanistan, Cyprus, Lebanon, Jordania, Iraq, Cuba, El Salvador, Nicaragua, Nigeria, Sudan, Angola, Zaire, Rwanda, Ethiopia, Chad, bekas Uni Soviet dan Yugoslavia, sekedar menyebut beberapa contoh. Alasan memusatkan perhatian pada konflik etnis adalah sebagian besar konflik-konflik ini berkobar di negara-negara miskin. Akibatnya, konflik-konflik ini semakin memperparah kemiskinan Negara-negara ini dengan hancurnya basis-basis ekonominya yang memang telah rapuh dan menimbulkan penderitaan tiada akhir terhadap generasi demi generasi rakyatnya. Selain itu, ada bahaya bahwa beberapa konflik etno-politis meluas secara internasional, yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan dunia, dan karenanya metoda-metoda untuk menghindarkan atau menyelesaikannya secara damai m merupakan suatu keniscayaan.
            Kajian ini meneliti ruang lingkup teori konflik. Bagian yang penting sekali adalah pengantar teori-teori sistem musuh (enemy system), kebutuhan dasar manusia (human needs) dan resolusi konflik untuk menjelaskan konflik. Pembahasan teori konflik ini penting untuk memahami sifat konflik politik itu sendiri. Untuk menemukan pemecahannya (solusi) terhadap masalah-masalah yang nampaknya tak kunjung hilang dari berbagai belahan dunia itu, wilayah teoritis ini perlu dibahas secara mendalam. Pengembangan-pengembangan dalam bidang ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi para peneliti untuk lebih memahami dan membantu mencari pemecahannya. Proses ini mempunyai tiga tujuan: Pertama, salah satu cara untuk menemukan penjelasan yang layak terhadap sifat konflik; kedua, menggunakan model ini untuk menjelaskan konflik dalam kontek yang lebih khusus, dan ketiga, mencari berbagai jalan pemecahannya.

TEORI KONFLIK

            Tujuan bagian ini adalah untuk membahas tema-tema dan aliran-aliran pemikiran teori konflik. Hal ini dilakukan untuk memberikan batasan ruang lingkup dan ragam konflik sehingga konflik sebagai fenomena social dapat diletakkan dalam perspektif yang tepat. Tinjauan teori konflik akan mengetengahkan sejumlah pengamatan. Pertama, ada banyak sekali literatur yang ditulis tentang sifat dan teori konflik, terutama yang berhubungan dengan peperangan. Kedua, kurangnya kesepakatan (consensus) antara pandangan kontemporer dan historis mengenai konflik manusia. Ketiga, di antara literature yang sangat erat kaitannya (relevan) dengan para ahli teori ilmu politik, ada beberapa dikotomi yang mengarah ke pencarian paradigma yang dominan.
            Dikotomi pertama berkenaan dengan sifat konflik. Dougherty dan Pfaltzgraff menjelaskan masalah itu:”Para ilmuwan social terbagi dalam persoalan apakah konflik social harus dipandang sebagai sesuatu yang rasional, konstruktif, dan berfungsi secara social, atau sesuatu yangb irasional, patologis, dan tidak berfungsi secara social” (1981:187). Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang penting, terutama untuk resolusi konflik. Juga ada polaritas yang nyata dalam pendekatan-pendekatan teoritisnya. Ada dua pendekatan yang berlawanan: pendekatan klasik dan pendekatan behavioris. Pendekatan klasik memusatkan diri pada analisis tataran makro. Perhatiannya tertumpu pada analisa interaksi antar kelompok. Kelompok-kelompok ini dapat dibagi ke dalam berbagai sempalan berdasar, antara lain: nasional, institusional, etnis, kelas, dan ideologis. Ahli teori klasik menaruh perhatian pada interaksi antar kelompok pada tataran sadar (conscious level). Sedangkan kaum behavioris memusatkan diri pada tataran mikro, dengan individu, bukan kelompok, sebagai unit kajiannya. Kaum behavioris mengkaji faktor ketidaksadaran (the unconscious) untuk memahami faktor-faktor motif yang tak terungkapkan. Dougherty dan Pfaltzgraff (1981:37) menggambarkan metode-metode penelitian yang lain: kaum behavioris lebih menyukai mengisolasi sedikit variabel dan menganalisa banyak kasus untuk menentukan hubungan antar variabel itu. Sebaliknya, kaum tradisionalis (klasik) lebih sering mengkaji semua variabel yang dianggap dapat berpengaruh terhadap hasil (outcome) sebuah kasus.
             Konflik menyebabkan terjadinya interaksi pada tataran yang lebih serius dari sekedar kompetisi. Meskipun, sebagaimana yang dinyatakan Schelling, konflik, kompetisi, dan kerjasama (cooperation) pada dasarnya saling berkaitan, konflik terjadi manakala tujuan, kebutuhan, dan nilai-nilai kelompok-kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah agresi, walaupun belum tentu berbentuk kekerasan (Schelling 1960).

TEORI-TEORI KONFLIK MIKRO

            Di antara asumsi-asumsi kaum behavioris yang paling penting adalah keyakinan bahwa akar penyebab perang itu terletak pada  sifat dan perilaku manusia; dan keyakinan bahwa ada hubungan yang erat/penting antara konflik intrapersonal dan konflik yang merambah tata social eksternal. Kaum behavioris meyakini peran sentral hipotesa stimulus-respons. Penganut aliran ini berusaha mengukuhkan apakah manusia memiliki karakteristik biologis atau psikologis yang akan membuat kita cenderung kea rah agresi atau konflik. Mereka juga berusaha menyelidiki hubungan antara individu dan keberadaannya di lingkungannya. Mereka ingin memperhitungkan kemungkinan , dengan cara berpikir induktif, variable-variabel khusus mengenai konflik intrapersonal dan generalisasi mengenai konflik interpersonal (antar individu) dan internasional (antar bangsa). Di antara teori-teori mikro yang paling umum/lazim yang akan kita tinjau adalah: perilaku hewani (animal behavior), teori agresi bawaan/instinktif (instinct or innate theories of aggression), teori agresi frustasi, teori pembelajaran social dan teori identitas social.
            Di kalangan kaum behavioris, para ahli biologi dan psikologi telah menggunakan studi-studi perilaku atau etologis hewan untuk menggambarkan kemungkinan adanya akibat wajar pada perilaku manusia. Manusia seringkali mengabaikan kenyataan bahwa kita adalah bagian dari dunia hewan (animal kingdom). Namun demikian, kita harus hati-hati agar tidak mengambil kesimpulan langsung mengenai perilaku manusia dari perilaku hewan. Perilaku manusia dan hewan itu adalah fenomena yang kompleks meliputi factor-faktor pendorong (motivational) seperti “kewilayahan (territoriality), dominasi, sexualitas, dan kelangsungan hidup (survival)” (O’Connell 1989:15). Ketika memakai metoda studi hewan variabel independen yang dikaji adalah agresi. O’Connell merencanakan ruang lingkup (parameter) konflik manusia dengan menyatakan bahwa manusia terlibat dalam konflik ‘predatory’ (pemangsaan) dan ‘intraspecific.’ Walau kedengarannya sangat aneh tetapi bukannya tidak mungkin hewan melakukan banyak sekali jenis agresi, tapi yang membedakan manusia dari dunia hewan lainnya adalah motivasi (faktor pendorong) kita.
            Peperangan terorganisasi merupakan bagian dari alam sebelum manusia tiba di tempat itu. Nafsu menyerang yang terkoordinasi dan maksud politis yang jelas yang dengannya serangga-serangga social tertentu melakukan agresi menunjukkan bahwa, dari perilakunya, manusia bukan satu-satunya yang masuk tentara atau berperang sebagai bagian dari tentara…Namun yang menjadi kunci perbedaannya adalah motivasinya. Semut-semut berperang karena ‘gene’nya menuntut mereka supaya berperang. Sebaliknya, manusia menciptakan fenomena menurut versinya sendiri. Motif itu merupakan perangkat budaya (cultural instrument), hasil imaginasinya (O’Connell 1989:30).  O’Connell berpendapat, manusia terlibat bermacam-macam/banyak sekali konflik. Keragaman konflik ini ditambah dengan berbagai motivator yang memaksanya melakukan konflik. Unsur lain yang menentukan konflik manusia adalah aspek material. Seperti yang dinyatakan O’Connell, “Baru dengan datangnya pertanian lah, kemudian politik, peperangan yang sebenarnya menjadi bagian dari pengalaman manusia. Pada saat itu ada sesuatu yang bias dicuri dan pemerintah mengorganisasikan pencurian itu” (1989:26). Meskipun studi perilaku hewan memberikan keterangan perihal perilaku manusia, tetapi itu hanya memberikan petunjuk bukan penjelasan mengenai kompleksitas konflik manusia. Studi itu memberikan langkah awal yang baik, namun analisisnya melemah manakala perilaku manusia menjadi lebih kompleks dari perilaku hewan.
            Para ahli psikologi awal sering berdalil bahwa ada mekanisme instink atau biologis bawaan yang membuat manusia cenderung melakukan agresi. Hal ini mengarah pada pembentukan teori instink mengenai agresi. Teori ini menggabungkan unsure-unsur studi psikologi awal (misalnya instink kematian dari Freud) dan teori-teori sosial Darwin mengenai pertarungan/peperangan untuk kelangsungan hidup (the fight for survival). Teori ini kemudian dianggap tidak bisa dipercaya oleh para ahli biologi yang tidak percaya adanya mekanisme seperti itu.
            Di Seville, Spanyol pada tahun 1986 sekelompok ilmuwan bertemu untuk menyelidiki sebab-sebab agresi manusia. John E. Mack menjelaskan hasil-hasil Pernyataan Kekerasan Seville: Dalam Pernyataan Seville para penandatangan, termasuk ahli-ahli psikologi, ilmuwan syaraf (neuroscientists), ahli genetika, antropolog, dan ilmuwan politik, menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah bagi anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang berpembawaan agresif, yang pasti akan berperang berdasarkan sifat biologisnya. Alih-alih, mereka menyatakan, perang adalah hasil sosialisasi dan kondisioning (rekayasa), suatu fenomena organisasi manusia, perencanaan, dan pemrosesan informasi yang bermain-main dengan potensi-potensi emosional dan motivasional. Singkatnya, Penyataan Seville menyiratkan bahwa kita mempunyai pilihan-pilihan yang jelas dan bahwa munkin ada jenis tanggung jawab baru dalam tingkah laku kehidupan kelompok manusia (Mack 1990:58).
            Arti penting Pernyataan Seville itu adalah implikasinya untuk penjelasan, sikap, dan penyelesaian konflik manusia. Pernyataan Seville mengarah pada inti salah satu perbincangan pokok dalam penelitian teori konflik: apakah akar pokok konflik manusia itu akan ditemukan di dalam sifat dasar (genetik) atau didikan/nurture (lingkungan). Para ilmuwan Seville dengan tegas berkesimpulan bahwa konflik itu hasil lingkungan. Namun, sebagaimana yang digambarkan dalam penemuan terbaru oleh para ahli genetika (misalnya ‘pemetaan genetika/gene mapping’) debat mengenai itu masih belum berakhir.

Seperti kebanyakan teori-teori perintis sebelumnya (pioneering), ‘innate theory’ membuka jalan bagi hipotesa-hipotesa canggih dan ilmiah ‘over time’. Perkembangan penting dari karya (work) ini adalah berkembanganya teori ‘Frutasi-Agresi.’ Asumsi dasar teori ini adalah bahwa semua agresi, baik antar individu/kelompk mauoun antar bangsa, berakar pada rasa frustasi pencapaian tujuan salah satu atau lebih pelaku agresi itu. Artinya, konflik itu dapat ditelusuri pada tidak tercapainya tujuan pribadi atau kelompok dan rasa frustasi yang ditimbulkannya. Pertanyaan-pertanyan yang muncul dari teori ini adalah: apakah semua frustasi secara otomatis mengarah pada agresi, dan dapatkah semua agresi dan konflik ditelusuri berasal dari rasa frustasi yang  katalitis ? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan juga tantangan tidak cukupnya hubungan kausal (sebab-akibat) pada agresi, dan pandangan-pandangan lainnya mengenai perilaku manusia mengarah pada pendiskreditan teori Frustasi-Agresi dan perkembangan berikutnya teori pembelajaran sosial (social learning theory) dan teori identitas sosial (social identity theory).

            Teori pembalajaran sosial (social learning theory) berdasar hipotesa bahwa agresi bukanlah sifat dasar bawaan (innate) atau naluri/instink (instinctual) melainkan hasil pembelajaran melalui proses sosialisasi. Hipotesa ini adalah pendirian/pendapat Pernyataan Seville (Seville Statement). Seseorang memperoleh sifat agresi dengan cara mempelajarinya dari rumah, sekolah, dan dari interaksinya dengan lingkungan pada umumnya. Interaksi dalam msyarakat itu membantu memusatkan dan memicu sifat agresi yang terpendam terhadap musuh. Konsep ini penting, terutama ketika konflik itu bersifat etno-nasional atau sektarian.

            Teori Identitas Sosial (TIS) dikembangkan oleh ahli psikologi Henri Tajfel. Teori ini memberikan wawasan tentang fenomena konflik. Ed Cairns, ahli psikologi dari Universitas Ulster, mencatat pentingnya teori ini:” Yang membuat Teoti Identitas ini berbeda dan penting adalah teori ini berdasar pada proses-proses psikologi normal yang beroperasi dalam semua keadaan, tidak hanya dalam kondisi-kondisi konlfik antar kelompok” (1994:5). Kita menciptakan identitas sosial kita untuk menyederhanakan hubungan eksternal kita. Lebih jauh lagi, ada kebutuhan manusia untuk memiliki rasa harga diri (self esteem and self worth) yang kita transfer ke dalam kelompok kita sendiri. Kita juga menata lingkungan kita dengan perbandingan social antar kelompok. Konsep ‘dalam kelompok’ (ingroups) dan ‘luar kelompok’ (outgroups) itu ptning dalam analysis ini. Cairns menjelaskan konsep penting lainnya dari Teori Identitas Sosial:
Teori Identitas Sosial telah membantu ahli psikologi social sektidaknya mengenali bahwa individu-individu dalam kelompok itu berbeda dan perbedaan itu bahwa perbedaan itulah yang menghasilkan bentuk-bentuk tindakan kelompok yang dapat dikenali…Dengan kata lain apa yang telah dilakukan Teori Identitas Sosial adalah menguraikan proses yang menempatkan individu dalam kelompok dan pada saat yang sama menempatkan kelompok dalam individu (1994:9).

            Tentu saja, hubungan-hubungan kelompok adalah akar dari masalah- masalah berbagai contoh konflik. Inti akar masalah itu adalah hubungan antar komunitas/kelompok minoritas dan mayoritas. Tidak diragukan lagi bahwa system yang tidak stabil dari perpecahan sosial antara kelompok mayoritas dan minoritas lebih mungkin dipandang tidak sah (illegitimate) dibandingkan dengan sistem yang stabil; dan, sebaliknya, bahwa sistem yang dipandang tidak sah akan mengandung benih-benih ketidakstabilan. Hubungan antara pandangan ketidakstabilan dan ketidaksahan sistem (pihak-pihak) yang berbeda inilah yang kemungkinan menjadi bumbu yang ampuh terjadinya peralihan dari penerimaan kelompok minoritas terhadap status quo ke penolakannya (1981:320).
            Akibatnya, kelompok-kelompok itu menempatkan pentingnya pandangan keabsahan ke dalam lingkungan sosialnya. Legitimasi (keabsahan) merupakan konsep yang penting bagi kelompok-kelompok yang terlibat konflik karena mereka memandang negara tidak sah. Seperti pengamatan Tajfel:

Pandangan ketidakabsahan (perceived illlegitimacy) hubungan antar kelompok secara sosiologis dan psikologis adalah diterima dan dapat diterimanya pengungkit (lever) untuk tindakan dan perubahan social dalam perilaku antar kelompok (intergroup behavior)…Dalam hal keelompok yang “inferior”, fungsi pengungkit/pengaruh (leverage) terpenuhi dengan pandangan ketidaksahan hasil-hasil perbandingan antar kelompok; dalam hal kelompok-kelompok “inferior” yang sedang menuju perubahan, ‘leverage’nya adalah keabsahan (legitimasi) citra perbandingannya yang baru (new comparative image); dalam hal kelompok-kelompok yang “superior” ‘leverage’nya adalah keabsahan usaha-usaha untuk memelihara status quo perbedaan nilai manakala perbedaan nilai ini dipandang terancam (1978:76).

            Teori mikro telah menambah dimensi penting pada pemahaman kita mengenai konflik. Teori ini menempatkan situasi yang kompleks ke dalam model-model yang bisa dikerjakan yang tegar (‘stand up’) terhadap analisis empiris. Teori-teori ini merupakan modal yang berguna dalam usaha kita menekankan objektifitas pada situasi-situasi tertentu. Alih-alih menunggu terselesaikannya debat nature versus nurture, jika memang dapat diselesaikan, lebih baik menggabungkan kedua pendekatan itu ke dalam pengembangan model penjelasan yang canggih. Sosialisasi merupakan konsep yang penting, begitu juga perbandingan-perbandingan kelompok, identitas diri dan kelompok yang positif dan pandangan ketidakabsahan oleh kelompok-kelompok minoritas. Setelah hal-hal ini difahami, perilaku agresif mungkin bisa dijelaskan. Betapapun mendalamnya analisa empiris terhadap tataran mikro penelitian kita, masih tetap tidak bisa memperhitungkan semua variabel dan sifat konflik, terutama pada tataran sadar. Disinilah teori makro berperan dalam analisis konflik manusia. Untuk meliput dunia sadar kita sekarang beralih pada teori-teori konflik makro.

TEORI-TEORI KONFLIK MAKRO

Teori makro memusatkan perhatian pada interaksi kelompok-kelompok, terutama pada tataran sadar. Para ahli teori politik awal, dari Thucidydes dan Sun Tsu sampai Machiavelli dan Von Clausewitz, telah memilih satu unsur tertentu sebagai pusat perhatian: kekuasaan. Memakai dan menjalankan kekuasaan adalah konsep utama teori konflik makro. Para ahli teori makro sependapat bahwa kekuasaan itu dating dalam berbagai bentuk: ekonomi, politik, militer, bahkan budaya. Asumsi umum makro, atau teori klasik adalah bahwa akar konflik berasal dari persaingan kelompok dan pengejaran kekuasaan dan sumber-sumber. Asumsi-asumsi ini beroperasi pada factor-faktor motivasi sadar dalam lingkungan yang berorientasi material. Teori klasik menggunakan pengamatan-pengamatan fenomena kelompok pada suatu peristiwa untuk mempelajari masalahnya secara mendalam, dan menentukan pentingnya dan hubungan-hubungan banyak variabel ketimbang hanya menggunakan segelintir variabel untuk banyak kasus. Metodologi utama yang digunakan adalah pendekatan historis atau studi kasus.
Pada abad kesembilan , Eropa paska Napoleon umumnya konsern dengan perimbangan kekuasaan (balance of power). Konsep ini dipergunakan oleh Matternich pada Konser Eropa. Pada saat meletusnya Perand Dunia I umunya menghancurkan teori ini, asumsi-asumsinya digunakan dalam teori pencegahan (deterrence theory) Perang Dingin. Teori pencegahan berdasar pada asumsi bahwa perimbangan terror (balance of terror) karena arsenal nuklir negara-negara adikuasa akan mencegah konflik. Teori pencegahan membuka jalan bagi teori-teori  yang lebih canggih seperti teori pengambilan keputusan (decision making theory) dan teori permainan (game theory).
Teori pengambilan keputusan dan teori permainan berasal dari model aktor/pelaku rasional abad keduapuluh.  Model aktor/pelaku rasional dikembangkan oleh para ahli ekonomi untuk menjelaskan perilaku ekonomi manusia. Teori ini beranggapan bahwa masyarakat membuat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan secara rasional berdasarkan informasi tentang pilihan-pilihan itu dan petimbangan kesempatan-kesempatan (Downs 1957). Teori permainan berdasar pada model aktor/pelaku rasional dalam hal mengandalkan pada asumsi proses pengambilan keputusan yang rasional yang mendasar bagi keikutsertaan dalam konflik manusia.
Thomas Schelling mengembangkan model ini lebih jauh dengan menciptakan teori permainan yang canggih. Model permainan Schelling meliputi komunikasi, negosiasi, informasi, dan memperkenalkan pentingnya irasionalitas ke dalam pemikiran strategis. Salah satu sumbangsih Schelling yang paling penting adalah hipotesanya mengenai saling ketergantungan (interdependency) konflik, kompetisi (persaingan) dan kooperasi (kerjasama) di antara para pelakuknya (Schelling 1960). Dalam setiap peristiwa konflik ada unsure-unsur kerjasama (kooperasi); keterlibatan kerjasama (cooperative engagements) seringkali melahirikan unsure konflik. Pandangan ini menjadi unsure penting dalam pemahaman kita terhadap konflik. Schelling menggunakan teori permainan  sebagai usaha untuk memecah (menyederhanakan) kompleksitas hubungan antar kelompok dengan menggunakan permainan untuk menggambarkan situasi-situasi yang serupa. Dia menggunakan tiga jenis permaionan: kesempatan (chance), kecakapan (skill), dan strategi (strategic), untuk menggambarkan akibat-akibat wajar dari hubungan antar bangsa (internasional)—baik bersifat kerjasama (cooperative) maupun konflik (conflictual).
Dalam teori makro terdapat seperangkat konsep yang dapat diambil dari studi konflik etnis. Di sinilah letak pentingnya memahami konflik etnonasional karena konsep yang sama dapat diterapkan pada konflik sectarian. Apakah konflik itu didefiniskan dalam istilah-istilah etnis atau sectarian, tidak banyak bedanya secara teoretis karena konsepsi-konsepsi untuk konflik etnis dan sectarian beroperasi dengan cara yang sama. Yang penting adalah kelompok-kelompok orang-orang ini telah menggolongkan diri sebagai kelompok-kelompok yang berbeda dan mereka memandang satu sama lain sebagai luar kelompok atau musuh
Kita mulai dengan tinjauan mengenai teori konflik etnis dari Donald Horowitz. Dalam karya semifinalnya mengenai konflik etnis di negara-negara sedang berkembang, dia menguraikan kerangka  di mana konflik etnis itu terjadi:

Akhirnya, sistem negara yang mulanya muncul dari feodalisme Eropa dan sekarang, dalam periode paska kolonial, benar-benar meliputi seluruh dunia memberikan kerangka di mana konflik etnis itu terjadi. Penguasaan negara itu, penguasaan suatu negara, dan pembebasan dari penguasaan oleh kelompok-kelompok lain merupakan di antara tujuan konflik etnis (1985:5).

Akibatnya, salah satu tujuan utama konflik etnis adalah berusaha menguasai negara itu sendiri. Kelompok-kelompok itu berusaha menguasai negara agar dapt menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya, biasanya dengan merugikan/merusak kelompok-kelompok pesaingnya. Konflik atas penguasaan negara ini seringkali dipandang sebagai ‘zero sum conflict’ (konflik habis-habisan). Maksudnya, kemenangan satu kelompok berarti kekalahan kelompok yang lain: konflik ini bukan “sama-sama menang” (win-win) untuk kedua kelompok itu. Meskipun ini tak pelak lagi masalah konflik inti dalam kebanyakan kasus di negara-negara yang terpolarisasi, ada juga masalah-malasah sampingan lainnya yang menambah kompleksitas situasi yang ada. Sebagaimana yang dijelaskan Horowitz:

Dalam masyarakat yang sangat terpecah-pecah, persoalan etnis merasuk ke dalam banyak sekali masalah: rencana pembangunan, kontroversi pendidikan, masalah perdagangan, kebijakan pertanahan, kebijaksanaan ekonomi, perpajakan. Secara khusus, hal-hal yang di tempat lain akan ditempatkan ke dalam kategori administrasi rutin menduduki tempat utama dalam agenda politik masyarakat yang terpecah secara etnis (1985:8).

Horowitz membedakan sistem yang beranking dan sistem yang tidak beranking. Sistem yang berangking adalah masyarakat di mana satu kelompok etnis berkuasa penuh terhadap kelompok lain. Sistem yang tidak beranking terdiri dari dua kelompok etnis dengan stratifikasi internalnya sendiri yakni elit dan massa. Horowitz lebih lanjut mencatat:

Perpindahan (migrasi) dan penaklukan yang tidak sepenuhnya (incomplete conquest) juga menimbulkan munculnya berbagai jenis keluhan sejarah (histories) yang tak kunjung hilang. Sekelompok pribumi yang dijajah dan terpaksa membiarkan masuknya etnis asing untuk tujuan-tujuan ekonomi penjajah belakangan mungkin menganggap keberadaannya  sebagai (illegitimate) ab initio yang tidak sah (1985:30).

Horowitz menguraikan akibat-akibat konflik seperti itu:

Ketika kekerasan etnis terjadi, kelompok-kelompok yang tidak beranking biasanya tidak bertujuan terjadinya transformasi social, tetapi bertujuan sesuatu yang mendekati otonomi kekuasaan, dengan mengucilkan kelompok-kelompok etnis yang sejajar/serupa dari pembagian kekuasaan (a share of power), dan seringkali pengembalian dengan pengusiran atau pembasmian pada status quo ante (sebelum status quo) yang iperlakuan, homogen secara etnis (1985:31).

Seorang teoris lain tentang konflik etnis yang telah smemberikan sumbangsih yang besar terhadap pemahaman kita adalah Profeso Walker Connor. Connor menaruh perhatian pada kebingungan dengan istilah-istilah  dan konsep-konsep dalam literature mengenai konflik etnis. Ia percaya bahwa para pengamat seringkali mengaitkan konfik etno-nasional pada unsure-unsur lain yang tidak terlalu penting:
Singkatnya, perselisihan etnis terlalu sering dilihat secara dangkal (superficial) berdasarkan utamanya pada bahasa, agama, adat istiadat, ketidakadilan ekonomi, atau unsure laina yang nyata. Tetapi apa yang pada dasarnya terlibat dalam konflik semacam itu adalah perbedaan identitas dasar yang mengejawantah (mewujud) pada sindrom ‘kita-mereka’ (1994:46).  :

Meskipun agama dan kehilangan ekonomi mungkin merupakan faktor penunjang penting terhadap timbulnya konflik etnis, oposisi terhadap identitas nasional lah yang menetukan konflik. Connor selanjutnya menggarisbawahi pentingnya kedalaman emosi dalam konflik etnis:

Penjelasan-penjelasan mengenai perilaku berkenaan dengan kelompok-kelompok penekan (pressure groups), ambisi kaum elit, dan teori pilihan rasional sama sekali tidak mengisyaratkan adanya nafsu (passions) yang mendorong gerilya Kurdi, Tamil, dan Tigre atau teroris Basque, Corsica, Irlandia, dan Palestina. Tidak juga mengisyaratkan adanya nafsu yang mengarah pada pembantaian orang-orang Bengali oleh orang-orang Assam atau orang Punjab oleh kaum Sikh. Singkatnya, penjelasan-penjelasan ini merupakan pedoman yang buruk perilaku yang yang diilhami oleh etnonasional (1994:31).

Salah satu konsep kunci dan berlawanan untuk perilaku etnonasional adalah (perilaku etnonasional) tidak digerakkan oleh elit (not elite driven), sebagaimana fenomena politik lainnya, melainkan digerakkan massa (mass driven). Jika demikian halnya, maka (perilaku etnonasional itu) mempunyai akibat-akibat penting untuk mencarikan jalan pemecahannya. Misalnya, komponen kunci dalam demokrasi  ‘consociational’ adalah kerjasama kelompok elit. Meskipun teori ‘consociational’ mungkin berlaku bagi (work for) Walloons dan Flemish di Belgia, tidak akan berlaku di Irlandia Utara karena di sana sedikit atau tidak ada kerjasama kelompok elit; dan bahkan jika ada pun, tidak akan menggerakkan cukup dukungan untuk keberhasilannya. Seperti yang Connor nyatakan: “Hakikat nasionalisme tidak akan ditemukan dalam motivasi kaum elit yang mungkin memanipulasi nasionalisme untuk suatu tujuan tersembunyi, melainkan ditemukan pada sentimen massa yang diharapkan kaum elit” (1994:161). Saya berpendapat bahwa dalam konflik Timur Tengah terdapat fenomena yang digerakkan massa bukan fenomena yang digerakkan kaum elit. Meskipun tokoh-tokoh utama seperti Yaser Arafat dan lain-lainnya tentu mempunyai pengaruh terhadap konflik itu, tindakan-tindakan mereka  terbatas pada apa yang akan ditolerir oleh pengikut-pengikutnya.
            Jika kerjasama elit bukan kunci pemecahan masalah, maka kunci itu terletak pada hal lain. Sayangnya tidak ada pemecahan (solusi) yang sederhana terhadap konflik etno-nasional. Jika ada, tentu pemecahannya itu sekarang sudah ditemukan dan diterapkan pada masyarakat-masyarakat yang sangat terpecah-pecah, seperti antara lain Rwanda, Srilangka, Cyprus, Lebanon dan Irlandia Utara.  Horowitz menawarkan semacam harapan melalui system berbagai kekuasaan (system of power sharing); tetapi bukan berbagi kekuasaan  jenis atas-bawah, tetapi dari bawah-ke atas (Horowitz 1994:188). Dalam situiasi seperti ini diperlukan rekayasa politik. Lembaga-lembaga harus diubah atau, dalam hal negara dengan sedikit legitimasi, diganti dengan yang baru.
            Teori-teori perilaku mengkaji alam bawah sadar individu (individual subconscious), sedangkan teori-teori klasik memusatkan perhatian pada interaksi sadar kelompok-kelompok. Teori klasik seringkali disibukkan dengan pelaksanaan kekuasaan (exercise of power) dan penggunaan kekuatan/kekerasan (force) dalam hubungan antar kelompok. Teori klasik berguna untuk menjelaskan tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa, namun tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai factor-faktor motivasi bawah sadar. Teopri-teori konflik etnis berguna untuk menjelaskan perilaku konflik. Teori ini menggambarkan kedalaman dan kompleksnya emosi yang sedang bergolak (at work). Yang diperlukan adalah sintesa kedua pendekatan perilaku (behavioral) dan klasik (classical) itu untuk menjelaskan fenomena konflik. Sintesa ini akan memungkinkan para peneliti menerobos batas teori-teori jarak menengah (circumscribed mid-range theories) yang ada sekarang. Kita harus dapat menjelaskan hal-hal seperti kekerasan pendirian (intrasigence) bagian-bagian tertentu pada inti konflik serta kekerasan yang berkepanjangan pada kelompok-kelompok pinggiran (at the fringes).
            Pola variabel-variabel tetap (consistent) mulai muncul. Kita dapat melihat konvergensi (pertemuan) pemikiran pada pentingnya konsep seperti identitas dan dikotomi kita-mereka. Dikotomi ini seringkali mengarah pada persepsi konflik habis-habisan (zero sum conflict). Sebagian besar analis juga menekankan pentingnya kedalaman emosi yang berkaitan dengan konflik etnonasional. Banyak analis yang juga mengamati  bahwa ada ketergantungan yang berlebihan materialisme sebagai konsep penjelas (explanatory concept). Connor merangkum hal ini dengan baik:

Sebagaimana yang dikemukakan Chateaubriand hampir 200 tahun yang lalu: “Manusia tidak akan membiarkan (mengijinkan) dirinya terbunuh untuk kepentingannya; namun mereka akan membiarkan (mengijinkan) dirinya terbunuh untuk nafsunya (passion).” Dengan kata lain: Manusia tidak akan secara sukarela mati untuk hal-hal yang rasional (1994:206).

Barangkali yang benar adalah mereka hanya akan mengijinkan dirinya terbunuh untuk kebutuhannya (needs).
            Karena teori mikro dana makro sampai saat ini tidak cukup untuk menjelaskan konflik dalam berbagai komunitas, maka pencarian paradigma baru harus dimulai dengan fusi atau sintesa teori mikro dan makro. Ikhtiar untuk melakukan ini terwujud dengan lahirnya teori seperti Teori Sistem Musuh (Enemy System Theory/EST), Teori  Kebutuhan Manusia (Human Needs Theory/HNT), dan Teori Resolusi Konflik (Conflict Resolution Theory/CRT) oleh John Burton. Teori-teori ini akan diperkenalkan dan dikaji pada bagian-bagian berikutnya.

TEORI SISTEM MUSUH

            Teori Sistem Musuh dikembangan untuk membantu menjelaskan konflik yang berkepanjangan (intractable conflict) dan digunakan untuk menjelaskan Perang Dingin pada awal tahun 1990an sebelum runtuhnya Uni Soviet.  Teori ini merupakan fusi (gabungan) psikologi pertumbuhan (developmental psychology) dan teori hubungan antar bangsa (international relation theory). Teori ini mengetengahkan beberapa konseptualisasi yang membantu menciptakans model konflik ‘explanatory’ (penjelasan) yang canggih. Teori ini telah digunakan untuk menjelaskan terorisme secara umum, tetapi belum diadopsi secara luas untuk menjelaskan totalitas konflik (Montville dalam Volkan 1990). Asumsi utama studi ini yang memakai konsep-konsep dari Teori Sistem Musuh dan Teori Kebutuhan Manusia memberikan penjelasan teoretis mengenai konflik secara lengkap dan imbang. Hal ini diharapkan akan lebih lanjut mengembangkan suatu paradigma yang bergeser dari debat sekarang mengenai penjelasan-penjelasan internal-eksternal, dan membantu perkembangan pendekatan yang lebih menyeluruh berdasarkan fusi/gabungan pendekatan-pendekatan teori konflik mikro dan makro untuk menjelasan konflik itu.

Teori Sistem Musuh (EST) dikembangkan pada  akhir tahun 1980-an oleh sekelompok psikiater (psychiatrists) dan praktisi hubungan antar bangsa/internasional (mantan anggota Dewan Keamanan Nasional AS dan Departemen Luar Negeri AS), sebagai model untuk menjelaskan kompleksitas perilaku kelompok, terutama yang berkenaan dengan hubungan-hubungan kelompok yang bermusuhan. Pokok Teori Sistem Musuh  ini adalah hipotesanya bahwa manusia mempunyai kebutuhan psikologis yang sangat mengakar untuk memecah (dichotomize) dan membangun musuh dan sekutu (Volkan 1990:31). Fenomena ini terjadi tataran individu dan kelompok. Ini adalah kebutuhan yang tidak disadari yang menghidupkan (feed) hubungan-hubungan sadar, terutama dalam kehidupan kelompok kita. Hal ini penting sekali dalam hubungan dengan pembentukan identitas dan perilaku kelompok etnis atau nasional.
Pengenalan kelompok-kelompok etnis atau nasional ini sebagian besar menentukan bagaimana kita berhubungan dengan orang-orang di dalam ingroup kita dan dengan orang-orang di dalam outgroup kita. Bagaimana massa di dalam setiap kelompok memandang dirinya sendiri dan  hubungannya akan ditentukan berdasarkan kerjasama (kooperasi), persaingan (kompetisi), atau konflik. Hal ini juga ditentukan oleh hubungan histories antar kelompok-kelompok ini Akibatnya, Teori Sistem Musuh ini menggabungkan konsep-konsep dari psikologi individu dan kelompok, serta teori hubungan-hubungan antara bangsa/internasional. Sebagaimana dijelaskan Vamik Volkan:

Pendekatan khusus ini memerlukan pengkajian terobosan bagaimana pikiran manusia (human mind) tercermin dalam proses pengambilan keputusan oleh kelompok. Pendekatan ini meneliti fenomena berikut: kebutuhan psikologis untuk memiliki musuh dan sekutu (Volkan 1988); berjalin kelindannya rasa diri individu dan rasa identitas kelompok dengan konsep-konsep kesukuan (ethnicity) dan kebangsaan (nationality); dan cara-cara di mana perang, dengan segala perencanaan logistiknya, dihubungan dengan rangsangan-rangsangan (impuls) manusia yang primitif dan tidak disadari. Dalam hal interaksi kelompok yang besar, sebagian besar proses-proses ini tanpa disengaja/di luar kemauan kelompok (1990:31).

Jadi, teori sistem permusuhan ini didasarkan pada hubungan antara keprihatinan-keprihatinan intrapersonal, individu dalam lingkungannya, serta interaksi individu-individu di dalam kelompok-kelompok serta tindakan-tindakan di antara kelompok-kelompok tersebut. Konsep berikut terdiri dari Teori Sistem Musuh.
Konsep pertama adalah konsep identitas. Manusia mengenal dirinya sebagai individu sebagai anggota kelompok-kelompok individu. Kelompo-kelompok ini dapat diperoleh sejak lahir, seperti ras, atau melalui pergaulan dalam masyarakat, seperti kelompok pekerja atau atlit. Para ahli psikologi pertumbuhan (developmental psychologists) telah mengenal (identifikasi) kebutuhan manusia terhadap dikotomi.  Kita mengorganisasi diri dan lingnkungan kita ke dalam kelompok-kelompok dua. Misalnya, kita membedakan antara Aku/bukan Aku, kenikmatan/penderitaan, baik/buruk, benar/salah, dst. Kebutuhan ini mulai awal sekali pada saat masih bayi. Arti pentingnya hal ini adalah kita selalu melekatkan sifat-sifat ‘baik’ terhadap apa yang kita kenal sebagai milik kita, dan cenderung melekatkan sifat-sifat ‘buruk’ terhadap hal-hal yang kita kenal sebagai milik ‘ourgroup’ (di luar kelompok) kita. Akibatnya, kita mulai mengembangkan rasa kita dan mereka.
Ada konsep yang berhubungan dengan identitas negatif. Hal ini terjadi manakala individu menderita rendahnya harga diri (low self-esteem) melalui luka-luka narsisis (kecintaan pada diri sendiri). Alih-alih memproyeksikan citra ini ke luar, penderita ini menyimpan citra itu untuk dirinya. Hal ini sering mengakibatkan mereka yang menderita identitas negatif berpaling kepada kelompok-kelompok yang tidak bisa menyesuaikan diri (maladaptive groups) sepeti organisasi-organisasi kriminil dan teroris untuk meraih kembali harga dirinya yang hilang. Orang-orang yang mempunyai resiko mengidap identitas negatif seperti itu biasanya dijumpai pada para tunakarya yang berkepanjangan (terutama golongan karyawan), merek yang sedikit atau tidak punya kualifikasi pendidikan, dan dari lingkungan ‘broken or abusive home.’
Konsep berikutnya adalah etno-nasionalisme.    Etno-nasionalisme adalah identitas individu terhadap kelompok etnis atau nasionalnya. Emosi yang berhubungan dengan identitas etnik biasanya sangat kuat sekali. Identitas etnik seringkali dilihat sebagai kepanjangan identitas kekeluargaan; hal ini memberikan kita rasa ‘kekeluargaan’ yang lebih luas yang memperbesar rasa kepemilikan kita. Pengorganisasian ke dalam kelompok-kelompok etnis menempatkan kelompok-kelompok tersebut ke dalam persaingan kelompok. Persaingan (kompetisi) ini bisa disesuaikan (adaptive), seperti Permainan Olympiade, atau tidak bisa disesuaikan (maladaptive) seperti konflik di bekas Yugoslavia, Lebanon, Sri Langka, dan Irlandia Utara. Kelompok identitas etno-nasional memainkan peranan utama dalam situasi konflik. Manakala kelompok-kelompok itu mendapat tekanan politik, ekonomi, lingkungan, atau militer, mereka bisa menjadi jahat (malicious). Ada kecenderungan menyerang kelompok-kelompok luar (outgroups) jika hal itu terjadi. Seperti yang dijelaskan John E. Mack: “Masalah utama dalah usaha-usaha memahami perseteruan antara kelompok-kelompok etno-nasional  adalah lokasi sumber kebencian atau antagonisme” (1990:63). Sumber perseteruan itu  seringkali dapat ditelusuri pada kebencian sejarah (historical animosity). Hal ini membawa kita pada konsep berikutnya, pengorbanan etnis (ethnis victimization).
Joseph V. Montville memberikan batasan konsep pengorbanan etnis sebagai keadaan ingatan etnis (state of ethnic mind) manakala keamanan kelompoknya dihancurkan oleh kekerasan dan agresi. Lebih lanjut, ia menyatakan ada tiga unsure penting dalam konsep ini: (1)  Pengalaman: suatu peristiwa besar yang menimpa kelompok korban; (2)  Kekerasan yang tidak dapat dibenarkan (justifikasi); hak-hak asasi manusia dan perorangan telah dilanggar; dan (3)  Penyerangan itu menunjukkan adanya ancaman yang berkepanjangan dan menimbulkan ketakutan pemusnahan kelompok korban (1990:169).

Gabungan unsur-unsur ini membuat kelompok korban kewalahan (terlalu besar bagi kelompok korban). Tergantung keadaannya, kelompok-kelompok ini seringkali merasa kelangsungan hidupnya terancam. Hal ini membawa kita pada konsep berikutnya: egoisme pengorbanan (the egoism of victimization). 

Egoisme pengorbanan, menurut batasan Mack adalah: “ketidakmampuan sekelompok etno-nasional, sebagai akibat langsung dari trauma sejarahnya,untuk berempati pada penderitaan kelompok lain” (1990:125). Karenanya, kelompok yang menjadi korban tidak melihat diluar batas perasaan sakit dan penderitaannya. Kelompok ini tidak merasa bertanggung jawab atas korban-korban yang diciptakan oleh tindakannya. Konsep ini penting sekali, terutama karena hal itu memungkinan korban terror menjadi teroris, dengan tiada rasa salah melakukan kekerasan. Konsep ini penting untuk memahami misalnya , di Timur Tengah. Setelah suatu kelompok diperlakukan tidak adil, kelompok itu tidak merasa menyesal melakukan kekerasan terhadap kelompok lain. Sulit sekali melihat bagaimana kekerasan meluas dan meningkat tanpa kendali. Egoisme pengorbanan juga berlaku untuk menjelaskan kebijaksanaan Israel garis keras terhadap Palestina. Holocaust seringkali digunakan sebagai dalih (merasionalisasi) untuk membenarkan kebijaksanaan, terutama ketika kelangsungan hidup negara dipandang terancam.
Unsur lain konsep ini adalah tema umum kelompok-kelompok teroris etno-nasional bahwa bersikap diam (passivity) berarti berkelanjutannya pengorbanan (1990:170). Karenanya, untuk mencegah kelompok itu menjadi korban, kelompok itu, atau unsure-unsur militannya, terus melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak dapat dibenarkan dengan mengatasnamakan demi mempertahankan kelompoknya.                                                                                                                                                                                                                                      
Ada unsur-unsur lain yang membuat kelompok-kelompok etnonasional lebih rentan terhadap pengaruh-pengaruh ini. Salah satu unsur ini, menurut Volkan, adalah sasaran-sasaran yang cocok untuk eksternalisasi (suitable targets of externalization) (1990:33). Sasaran-sasaran ini  adalah tempat kita menyimpan citra-citra dalam ketidaksadaran. Citra-citra ini bisa berupa benda-benda mati seperti bendera atau warna, makanan etnis, musik, pakaian atau tarian, dan semacamnya.  Citra-citra yang tersimpan inilah yang menjadi fondasi identitas etnik kita. Sasaran-sasaran ini bertindak sebagai pengukuh budaya (cultural amplifier).  Artinya, benda-benda itu mengirimkan pesan mengenai siapa kita dan apa yang membuat kelompok kita unik (unique). Sasaran-sasaran ini dapat mengirimkan citra positif dan negatif. Citra positif biasanya disimpan untuk kelompok kita sendiri, sedangkan citra negatif disediakan untuk kelompok luar (outgroup) atau musuh. Citra negatif di bawah sadar ini menambah kompleksitas dan berkepanjangannya konflik.
Konsep berikutnya adalah ketidakmampuan berkabung (inability to mourn). Volkan menggambarkan berkabung sebagai reaksi terhadap kehilangan atau perubahan yang nyata atau masih ancaman (1990:43). Ada dua jenis berkabung: yang tidak rumit (uncomplicated) dan yang rumit (complicated). Yang tidak rumit adalah manakala kelompok menerima (comes to terms) apa yang telah hilang. Mereka belajar mengatasi rasa duka dan kesedihannya. Berkabung yang rumit adalah manakala kelompok-kelompok itu terancam dan tidak merelakan kehilangannya. Akibatnya kelompok ini seringkali mencoba merebut kembali apa yang telah hilang, terutama wilayah. Sebagaimana yang dinyatakan Volkan:

            Ketika wilayah—atau bakhan prestise—jatuh ke tangan musuh, dan suatu kelompok mengalami kesulitan membetuk formasi ingatan, kelompok itu masih bisa dilihat mencoba merebut kembali kehilangan yang sudah lama (ancient) itu. Di bawah tenakan politik, militer atau ekonomi perkabungan itu mungkin menjadi rumit manakala representasi yang telah hilang itu tidak dapat diserahkan karena terlalu iperlakuan atau penting bagi harga diri (1990:43).

Konsep berikutnya berkenaan dengan mekanisme psikologis yang membuat manusia lebih mudah melakukan agresi atau saling membunuh satu sama lain.  Konsep ini adalah proses demonisasi atau dehumanisasi (Julius dalam Volkan 1990). Demonisasi adalah mekanisme untuk memproyeksikan citra negatif kepada musuh, terutama para pemimpinnya, untuk membuatnya seperti demon (setan). Contoh dari demonisasi adalah selama Perang Teluk 1991 pemerintah AS dan media memproyeksikan Saddam Husain sebagai Hitler, demon paling masyhur pada abad 20. Dengan menjadikan Saddam seperti Hitler, maka lebih mudah bagi pemerintah untuk memanipulasi pendapat umum (opini publik) terhadap Irak, jadi menciptakan lingkungan yang lebih menunjang untuk melancarkan perang terhadap orang yang dianggap musuh itu. Memberi label “teroris” terhadap seseorang adalah salah satu cara demonisasi.
Dehumanisasi selangkah lebih jauh dari demonisasi. Dehumanisasi terjadi manakala kita mulai menganggap musuh kita sebagai sesuatu di bawah manusia (kurang dari tingkat manusia). Kita menganggapnya sebagai demon atau hewan sehingga kita bisa berempati dengan deritanya ketika kita menyerang dan membunuhnya. Hal ini berhubungan dengan pseudospeciation, dengan cara itu kita menganggap musuh kita sebagai species yang lain. Dimetrios Julius menemukan fenomena yang menarik tentang dehumanisasi: “Poin penting yang perlu dicatat di sini adalah bahwa proses dehumanisasi orang lain ini juga mempunyai cara dehumanisasi individu itu sendiri…Saat kita menolak martabat dan rasa hormat terhadap orang lain, kita juga mulai kehilangan kemanusiaan dan rasa hormat diri sendiri” (1990:101).  Akibatnya, semakin kita dehumanisasi musuh kita, kita pun menjadi semakin kurang manusiawi (less human). Siklus ini mengabadikan kemampuan dan keinginan kita untuk membunuh musuh kita; bahkan memudahkan kita untuk melakukannya. Rafael Moses mengkaji konsep ini dan mengemukakan bahwa karena proses demonisasi dan dehumanisasi, kita bisa membunuh tanpa merasa salah karena dua alas an: pertama, kita berurusan dengan sesuatu yang kurang manusiawi (less than human); dan kedua, subhuman ini mengancam kelangsungan hidup kita sendiri, karenanya agresi kita dibenarkan demi mempertahankan diri (1990:53).  Mendehumanisasikan musuh dilakukan oleh kelompok-kelompok paramiliter Serbia, serta unsure-unsur security forces di dalam bekas Yugoslavia. Masyarakat lebih luas mungkin tidak merestui tindakan-tindakan ini, tetapi secara tersirat mereka mengijinkan tindakan itu dilakukan atas nama mereka.
Konsep yang berkaitan dengan pengorbanan (victimization) adalah trauma pilihan (the chosen trauma) (Volkan 1990:44).  Trauma pilihan adalah peristiwa di mana suatu kelompok dijadikan korban secara ‘badly’. Kelompok itu biasanya menderita rasa berkabung yang rumit (complicated mourning) mengenai peristiwa ini.  Kelompok itu dihantui oleh traumanya dan seringkali merasa berhak mendapat penggantian/ pembayaran dari perlakuan tidak adil di masa lalu. Para agresor dan teroris seringkali memusatkan perhatian pada trauma pilihan ini untuk membenarkan tindakan-tindakan mereka yang tidak dapat dibenarkan. Bahkan tidak aneh jika kelompok-kelompok teroris memberi nama organisasinya dengan trauma pilihan itu. Contoh-contohnya seperti Organisasi Revolusi 17 November (Revolutionary Organization 17 November) di Yunani dan Kelompok Perlawanan Antifasis 1 Oktober (October 1st Antifascist Resistance Group) di Spanyol. Contoh-contoh trauma pilihan seperti Holocaust untuk Yahudi, kelaparan Minggu Berdarah bagi Katolik Irlandia, dan kampanye IRA terhadap Union for Northern Irish Protestants. Sempalan Palestina dapat dianggap sebagai trauma pilihan bagi Palestina.
Trauma pilihan adalah unsure kelompok, sedangkan pengalaman konversi (conversion experience) merupakan fenomena individu. Joseph V. Montville mengenali fenomena ini sebagai trauma pilihan pribadi (personalized chosen trauma) (Montville dalam Volkan 1990:174).  Trauma ini adalah peristiwa di mana individu yang menjadi korban. Hal ini membawa rasa pengorbanan kelompok menjadi lebih dekat kepada individu. Trauma ini bisa merubah korban teroris menjadi teroris.
Peter A. Olsson mengkaji perubahan korban menjadi teroris dan mengembangkan model jalur pribadi (personalized pathway model). Teroris seringkali menganggap dirinya sebagai personifikasi pembebasan idaman kelompok etnis yang menjadi korban; mereka mencoba merebut kembali apa yang telah hilang (Olsson dalam Volkan 1990:187). Olsson memberikan batasan model ini dengan empat unsure utama:
1.      Sosialisasi awal ke dalam lingkungan kekerasan.
2.      Luka-luka narsisis (misalnya identitas negatif).
3.      Peristiwa yang meluas (misalnya pengalaman perubahan/konversi).
4.      Hubungan pribadi dengan kelompok-kelompok teroris (1990:188).

Model ini menggunakan banyak konsep yang berkenaan dengan Teori Sistem
Musuh. Kajian-kajian tentang perkembangan teroris akan membantu menjelaskan konflik yang lebih luas. Konsep-konsep sebelumnya dan model ini harus membantu pemahaman kita tentang penciptaan dan pengekalan perseteruan yang berakibat langgengnya siklus kekerasan. Demetrios A. Julius menyimpulkannya dengan baik:
Singkatnya dapat dikatakan (very simply put), pelanggengan agresi itu dijamin oleh tindakan pengorbanan satu kelompok terhadap kelompok lainnya…. Tindakan timbal balik ini merangsang/mengobarkan dan memperbesar pemusuhan sejarah pihak lawan dan mengesahkan tindakan dehumanisasi satu sama lain…Viktimisasi itu adalah proses yang membawa pada tindakan lingkaran perilaku terakhir…Karena setiap serangan memicu proses di pihak lainnya, kedua seteru itu terkunci dalam irama tarian permusuhan yang merajalela dan dahsyat (Julius dalam Volkan 1990:106-7).

Lingkaran pengorbanan (viktimisasi) ‘tindakan –tindakan permusuhan timbal balik’ itu membantu menjelaskan kedalaman sifat habis-habisan suatu konflik dan masalah-masalah yang berhubungan dengan model minoritas ganda. Dengan masing-masing kelompok melakukan kekerasan terhadap satu sama lain, sifat habis-habisannya (zero sum) menjadi jelas sendiri. Viktimisasi setiap kelompok menambah rasa takut akan menjadi kelompok minoritas yang terancam. Ketakutan atas pembasmian ini dan egoisme viktimisasi ini mendorong kelompok itu kemudian melakukan tindakan-tindakan agresi terhadap kelompok lain.
Teori Sistem Musuh menyajikan teori konflik yang canggih yang menjelaskan masalah-masalah yang sulit seperti terorisme dan kedalaman konflik etnis. Meskipun EST itu teori perilaku, teori ini menjadi jembatan ke teori klasik dengan menyatukan unsure-unsur psikologi pertumbuhan dengan teori hubungan antar bangsa (international relations). Teori ini melebihi paradigma realis dalam teori hubungan internasional dengan menggunakan kelompok-kelompok etno-nasional atau kelompok masyarakat sebagai unit analisis yang penting.

TEORI KEBUTUHAN MANUSIA

            Teori Kebutuhan Manusia (TKM) dikembangkan pada tahun 1970a dan 1980an sebagai teori generic atau holistic mengenai perilaku hewan. Teori ini berdasarkan hipotesa bahwa manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk memelihara masyarakat yang stabil. Seperti yang diuraikan oleh John Burton:

Kita yakin bahwa keterlibatan manusia dalam situasi konflik mendorongnya berjuang di dalam lingkungan kelembagaannya pada setiap tataran social untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primordial dan universal—kebutuhan seperti keamanan, identitas, pengakuan, dan pembangunan. Mereka terus berusaha menguasai lingkungannya yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini. Perjuangan ini tidak bisa dikekang; perjuangan ini sifatnya primordial (1991:82-83).

Perjuangan untuk memenuhi kebutuhan primordial ini secara teoretis berhubungan dengan teori Frustasi-Agresi yang berdasarkan pada hipotesa stimulus-response. Rasa frustasi tidak bisa memenuhi kebutuhan primordial ini mengarah pada agresi dan akhirnya, konflik. Yang membedakan teori Kebutuhan Manusia dengan teori Frustasi-Agresi adalah bahwa yang pertama hanya berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan mutlak, sedangkan yang belakangan juga berkenaan keinginan (wants and desires). Burton menyatakan lebih lanjut:

Sekarang kita tahu bahwa ada nilai-nilai atau kebutuhan manusia universal yang mendasar yang harus dipenuhi jika ingin menciptakan masyarakat yang stabil. Bahwa hal ini benar adanya dengan demikian memberikan dasar yang tidak bersifat ideologis untuk mendirikan lembaga-lembaga dan kebijaksanaan. Dalam masyarakat yang multi etnik ketidakstabilan dan konflik tak bisa dihindari, kecuali jika kebutuhan identitasnya terpenuhi dan dalam setiap sistem sosialnya ada keadilan yang merata, rasa penguasaan, serta kemungkinan memperoleh semua kebutuhan pembangunan masyarakat manusia lainnya (1991:21).

Arti penting teori ini adalah karena ia mengenal dan mengesahkan kebutuhan-kebutuhan yang diungkapkan oleh kedua pihak yang terlibat konflik. Kebutuhan kedua belah pihak harus dipenuhi, bukan hanya memenuhi kebutuhan satu pihak dengan mengorbankan kebutuhan pihak lain. Hal ini membantu memindahkan konflik dari situasi habis-habisan (zero sum) ke situasi sama-sama menang (win-win). Pemisahan ‘kebutuhan manusia’ itu membantu upaya menghilangkan adanya rasa tujuan yang sama-sama ekslusif. Alih-alih bertikai memperebutkan masa depan konstitusional negara dengan tujuan-tujuan yang sama-sama ekslusif dengan memelihara kesatuan atau pemisahan, situasinya bergeser ke situasi di mana kedua kelompok yang bertikai berusaha memenuhi kebutuhan mereka seperti keamanan, identitas, pengakuan dan pembangunan. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dipenuhi dengan cara mengorbankan kelompok lain, tetapi diwujudkan bersamaan dengan pemenuhan kebutuhan kelompok lainnya. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak ekslusif bagi kedua pihak atau diperoleh dengan mengorbankan pihak lain; kebutuhan-kebutuhan itu bersifat universal.
Banyak sekali pengalaman sejarah empiris yang mengesahkan (validates) asumsi Burton, satu contoh di sini sudah cukup. Sudan digambarkan sebagai mikrokosmos Afrika di mana jumlah golongan minoritasnya banyak sekali. Masyarakat Sudan merupakan perbauran etnik yang ditandai oleh dominasi sistem sosial budaya yang berintikan Afrika-Arab Islam, di mana golongan-golongan etnik lainnya—terutama yang menghuni wilayah selatan—hanya mempunyai status pinggiran (marginal). Perasaan menjadi korban (viktimisasi) pada pihak Sudah selatan telah menyebabkan Negara itu terjerumus ke dalam perang saudara yang banyak sekali menumpahkan darah. Perjanjian Addis Ababa tahun 1972 untuk sementara menghentikan permusuhan dengan cara memberikan keseimbangan antara budaya, bahasa, agama dan symbol-simbol etnik lainnya yang bersifat local di satu pihak dan yang bersifat nasional di lain pihak, tanpa mengorbankan salah satunya. Suasana damai bertahan sampai tahun 1982 manakala pemerintah pusat melanggar beberapa ketentuan perjanjian tersebut, pihak Selatan merasa dihianati dan perang saudara pun berkobar kembali sampai sekarang. Yang diperlukan orang-orang Sudan sekarang adalah memindahkan konfliknya dari situasi habis-habisan (zero sum) ke situasi sama-sama menang (win-win), sebagaimana disarankan Burton. Hal itu nampaknya merupakan jaminan terbaik, barangkali satu-satunya jaminan, untuk menjaga Negara itu tetap bersatu dan hidup terus. Sebaliknya, tong mesiu selalu ada di sana dan tidak diperlukan banyak percikan untuk menyulut ledakan. Apa yang berlaku di Sudan juga berlaku untuk masyarakat-masyarakat yang terpecah belah lainnya.
Ada asumsi yang berani dari teori ini: “ Perjuangan ini tidak dapat dikekang…ketidakstabilan dan konflik tak terelakkan,” ini adalah pernyataan-pernyataan yang menantang dengan implikasi-implikasi yang luas. Jika hipotesa teori ini benar, jika ada kebutuhan-kebutuhan manusia tertentu yang diperlukan bagi pembangunan manusia dan kestabilan social, maka penyelesaian bagi konflik itu harus berupa kemampuan untuk menciptakan lingkungan di mana semua kebutuhan itu dapat dipenuhi oleh semua lapisan masyarakat. Di sinilah bertemunya teori Kebutuhan Manusia dan Teori Resolusi Konflik oleh Burton (CRT).

TEORI RESOLUSI KONFLIK

Professor Burton membedakan antara resolusi konflik, manajemen dan penyelesaian (‘settlement’). Manajemen adalah ‘dengan kecakapan resolusi perselisihan alternatif’ (by alternative dispute resolution skills’) dan dapat menampung atau membatasi konflik; ‘settlement’ adalah ‘dengan proses wewenang dan hukum’ (by authoritative and legal processes’) dan dapat dipaksakan oleh kelompok elit (1991:73). Burton menyatakan dengan gamblang sekali:

..Resolusi konflik artinya menghentikan konflik dengan cara-cara yang analitis dan masuk ke akar permasalahan. Resolusi konflik, berbeda dengan sekedar ‘manajemen’ atau ‘settlement’, mengacu pada hasil yang, dalam pandangan pihak-pihak yang terlibat, merupakan solusi permanen terhadap suatu masalah (1991:72).
           
            Dengan menerima asumsi dan hipotesa Teori Kebutuhan Manusia, Burton menyatakan bahwa perlu adanya pergeseran paradigma dari politik kekuasaan kea rah ‘realitas kekuasaan individu’ (1991:84). Dengan kata lain, individu-individu, sebagai anggota kelompok-kelompok identitasnya, akan memperjuangan kebutuhannya di dalam lingkungannya sendiri. Jika usaha mereka dihalang-halangi oleh kelompok elit, kelompok identitas lain, lembaga-lembaga dan segala bentuk wewenang/otoritas lainnya, maka tak terelakkan lagi akan terjadi konflik. Satu-satunya solusi adalah kelompok-kelompok itu menyelesasikan masalahnya sendiri secara analitis, didukung oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai fasilitator dan bukan penguasa. Hal ini terutama relevan sekali jika konflik itu mengenai kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar dan bukan kepentingan material, yang dapat dinegosiasi dan dikompromikan. Salah satu masalah dengan faham konflik internal yang dibahas sebelumnya, adalah meskipun ada kesepakatan mengenai penjelasan suatu konflik, namun terdapat sedikit sekali konsensus mengenai solusi. Agaknya kita perlu menjauh dari pokok-pokok (specifics)  konflik dan melakukan pendekatan holistik. Abstraksi ini akan mencapai tujuan lebih objektif dalam mencari penjelasan yang memadai. Seperti yang dinyatakan Burton:

Apapun definisi konflik yang kita miliki, di mana saja kita menarik garis, sampai pada kekerasan keluarga, kita merujuk pada situasi adanya kerusakan dalam hubungan dan tantangan pada norma-norma dan penguasa-penguasa…[Konflik itu terjadi] disebabkan adanya penegasan individualisme. Konflik itu sebagai bentuk protes berbasis rasa frustasi terhadap kurangnya kesempatan untuk pembangunan dan terhadap kurangnya pengakuan identitas. Apakah ketegangan, konflik, atau kekerasan itu berasal dari persoalan kelas, status, etnik, jenis kelamin, agama, atau nasionalisme, kita berurusan dengan soal-soal mendasar yang sama (1991:20).

Jika partisipan konflik itu dapat mulai mengenal konfliknya sebagai kerusakan hubungan, dan ada persamaan mendasar antara yang bertikai, maka proses abstraksi akan meningkatkan keobjektifannya. Tujuan proses ini adalah untuk memungkinkan partisipan konflik memahami bahwa semua partisipan mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang sah yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan konflik itu. Kunci lainnya di sini adalah mengembangkan proses analitis untuk memudahkan perubahan-perubahan yang diperlukan untuk menciptakan system politik dan sosial yang dapat memenuhi kebutuhan itu. Burton selanjutnya mencatat:

Resolusi konflik adalah, dalam jangka panjang, suatu proses perubahan politik, social, dan ekonomi. Resolusi konflik adalah suatu proses analisis dan penyelesaian masalah yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan, juga perubahan-perubahan institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini (1991:71)

            Pendekatan tradisional terhadap manajemen atau pengaturan konflik atau umumnya berdasarkan mediasi dan negosiasi ‘settlements.’ Pendekatan-pendekatan ini hanya akan berjalan jika pihak-pihak yang berkonflik setuju untuk bernegosiasi dan mempunyai sesuatu yang nyata yang dapat mereka tawarkan (bargain). Namun, pengakuan kebutuhan-kebutuhan primordial menghapuskan kemungkinan negosiasi tradisional. Akibatnya, kita tinggal memiliki konsep Burton tentang perlunya suatu proses perubahan untuk mencapai resolusi. Proses perubahan ini adalah pokok bahasan bagian berikutnya.

RESOLUSI KONFLIK: DIPLOMASI JALUR DUA

            Memakai teori Musuh dan teori Kebutuhan Manusia untuk menjelaskan konflik dalam latar (setting) tertentu hanyalah langkah pertama. Memahami sifat dan ruang lingkup konflik itu perlu, tetapi tujuannya adalah menggunakan analisa ini untuk menyelesaikan konflik. Dengan menerapkan asumsi-asumsi Teori Resolusi Konflik oleh John Burton, kita dapat membuat peta jalan ke depan. Ada metode-metode dan proses-proses praktis yang dapat kita gunakan untuk bergerak dari teori ke praktek. Proses-proses ini dikenal sebagai Diplomasi Jalur Dua. Joseph Montville mendefinisikannya sebagai berikut:

Diplomasi jalur dua adalah interaksi tidak resmi dan tidak formal antara anggota-anggota kelompok-kelompok atau bangsa-bangsa yang bertikai yang bertujuan mengembangkan strategi-strategi, mempengaruhi pendapat umum, dan mengorganisasikan sumber-sumber materi manusia dengan cara-cara yang mungkin membantu menyelesaikan konflik. Harus dipahami bahwa Diplomasi jalur dua sama sekali bukan pengganti untuk hubungan resmi dan formal ‘jalur satu’ pemerintah dengan pemerintah atau pemimpin dengan pemimpin (1991:162).
       

            Salah satu fenomena utama bahwa Diplomasi jalur dua telah dikembangkan untuk menangani konflik adalah Konflik Sosial yang Berlarut-larut (Protracted Social Conflict) (Azar dalam Volkan 1991:93). PSC adalah sejenis konflik yang tidak berdasarkan kepentingan material, tetapi berdasarkan kebutuhan, terutama kebutuhan yang berkenaan dengan identitas kelompok etno-nasional atau komunal. Edward Azar menguraikan jenis konflik ini:

Golongan identitas ini, baik yang dibentuk berdasarkan agama yang sama, etnik, ras, budaya, atau cirri-ciri lainnya, akan bertindak untuk memperoleh dan menjamin identitas mereka yang penting di dalam masyarakat. Ketika keamanan fisik dan ekonomi, partisipasi politik, dan pengakuan dari golongan lainnya ditolak, identitasnya yang penting itu hilang, dan mereka akan melakukan apa saja dalam wewenang kekuasaannya untuk merebutnya kembali. Singkatnya, inilah asal muasalnya konflik sosial yang berlarut-larut (1990:95).

Diplomasi jalur dua merupakan proses tiga tahap yang memungkinkan perwakilan-perwakilan kelompok bekerja ke arah penyelesaian konflik ‘intergroup’ dalam lingkungan yang tidak mengancam, tidak menekan, dan tidak konfrontasional. Sebagaimana disebutkan, diplomasi jalur dua ini tidak dirancang untuk menggantikan diplomasi jalur satu atau resmi, tetapi diplomasi jenis ini seringkali membukakan jalan bagi negosiasi-negosia resmi dengan memulai perubahan sikap (attitude) pendapat umum dan para pengambil keputusan. Ada tiga tahap atau proses. Tahap pertama berupa serangkaian lokakarya atau forum tentang penyelesaian masalah. Lokakarya-lokakarya ini dirancang untuk membawa orang-orang berpengaruh dari kedua kelompok yang sedang konflik, tetapi bukan para pengambil keputusan utama, bersama-sama mencari cara-cara alternatif yang membatasi konfliknya. Tujuannya adalah untuk merubah persepsi mereka mengenai konflik dari ‘habis-habisan’ (zero-sum) ke ‘sama-sama menang’ (win-win). Hal ini bisa dicapai melalui proses pertemuan yang difasilitasi sebagai bagian dari lokakarya. Lokakarya ini difasilitasi oleh sebuah panel para ahli tentang psikologi konflik intergroup dan tentang pokok-pokok konflik yang dibahas. Para fasilitator tidak berusaha memaksakan  atau bahkan menawarkan solusi untuk (mengakhiri) konflik, namun tujuannya sekedar untuk memudahkan komunikasi dan secara halus membimbing para peserta kearah perubahan sikapnya (attitude) dan persepsi tentang dirinya sendiri. Melalui perubahan ini akan muncul kemampuan melihat konflik dalam bingkai baru (new term). Ini adalah transformasi yang memukinkan peralihan dari memandang konflik sebagai ‘habis-habisan‘ (zero-sum) ke memandang konflik sebagai ‘sama-sama menang’ (win-win).
Lokakarya itu terdiri dari serangkaian pertemuan pleno dan kelompok kecil selama beberapa hari. Pertemuan-pertemuan resmi ini ditunjang dengan acara-acara social informal seperti makan malam dan tamasya. Atmosfirnya mendukung untuk menjembatani pendirian dan pengertian dan tidak mendukung untuk tawar menawar politik dan kekuasaan. Herbert C. Kelman merumuskan tujuh cirri utama lokakarya ini: “tujuan pemulihannya, proses analisisnya, fokusnya terhadap kebutuhan, penetapan norma-norma alternatifnya, penekanannya terhadap pembelajaran yang tumbuh dari kemauan sendiri, peran fasilitator pihak ketiganya, dan sifat klinis usaha penelitiannya” (Kelman dan Volkan 1991).
Seperti disebutkan mengenai ‘protracted social konflik,’ konfliknya mengenai kebutuhan (needs) bukan kepentingan (interests). Kelman yakin bahwa memusatkan perhatian pada kebutuhan itu mendasar sekali dalam proses perubahan sikap dan persepsi:

Misalnya, jika kedua pihak bersikeras untu memiliki wilayah yang sama, mereka terkurung dalam batasan konflik ‘habis-habisan’ (zero-sum), yang tuntutan satu pihak hanya bisa dipenuhi dengan mengorbankan tuntutan pihak lain. Akan tetapi, manakala mereka melihat di balik posisi ini, mereka mungkin menemukan bahwa satu pihak menginginkan wilayah itu untuk memenuhi kebutuhan keamanannya dan pihak lainnya untuk memenuhi kebutuhan identitasnya. Setelah mendefinisikan kembali konflik itu dalam rumusan ini, mereka bisa mulai mencari solusi yang akan membolehkan satu pihak menyatakan identitas nasionalnya tanpa membahayakan kemanan nasional pihak lain (1991:157).

             Dalam berurusan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar  kelompok-kelompok yang bertikai yang ada di suatu lahan yang terbatas (misalnya, pulau), focus terhadap kewilayahan bisa menjadi berlarut-larut. Korelasi antara konflik sosial yang berlarut-larut dan pulau atau habitat yang terbatas bukanlah suatu kebetulan. Irlandia Utara, Cyprus, Sri Lanka, dan Fiji semuanya adalah contoh-contoh konflik jenis ini di dalam wilayah pulau yang terbatas. Dalam kasus-kasus ini terbatasnya lahan itu memperuwet konflik. Dalam konflik-konflik ini pihak-pihak yang berkonflik mesti bergerak melampaui pertikaian wilayah dan masuk ke dalam lingkungan di mana semua kepentingan kelompok-kelompok yang terlibat terpenuhi.
            Tahap kedua Diplomasi jalur dua adalah mempengaruhi pendapat umum dan merubah sikap dan persepsi kelompok-kelompok pendukung (protagonist). Perubahan-perubahan sikap dan persepsi ini tergantung perubahan yang dibuat oleh para peserta dalam lokakarya pemecahan masalah. Hal ini sama sekali bukan proses yang sederhana atau seketika, tetapi proses yang memakan waktu lama, memerlukan ketegaran dan kesabaran yang luar biasa. Sebelum mengarahkan sasaran kepada kelompok-kelompok itu sendiri, para peserta lokakarya harus lebih dulu meyakinkan para pengambil keputusan dalam kelompok-kelompok mereka tentang kejujuran (veracity) persepsinya yang baru ditemukan itu. Setelah ini tercapai, masyarlakat yang lebih luas dapat menjalani proses transformasi. Komunikasi massa akan menjadi unsure penting dalam proses ini.  Disamping media massa, jurnal-jurnal akademik, konferensi-konferensi serta acara-acara khusus dapat membantu perubahan persepsi. Proses ini dibantu dengan perolehan yang nyata yang dibuat dalam proses ketiga: pembangunan kerjasama ekonomi
            Pembangunan kerjasama ekonomi tidak dilakukan sebagai pengganti resolusi konflik yang berorientasi pada penyelesaian masalah, tetapi sebagai sarana untuk memperkuat/meningkatkannya. Pembangunan kerjasama ekonomi itu hanya begitu, suatu usaha kerjasama yang tujuannya adalah untuk meringankan penderitaan material dari kelompok-kelompok yang bermusuhan. Usaha ini biasanya diarahkan kepada kelompok yang secara histories menjadi korban dan tidak berkembang. Edward  mencatat: “Selanjutnya, pemenuhan kebutuhan dasar pihak yang menjadi korban, baik melalui jalur komunal atau sebagai bagian dari strategi nasional, harus menjadi prioritas utama kebijaksanaan pembangunan pemerintah. Hanya dengan demikian kita dapat bergerak ke arah penanganan konflik sosial yang berlarut-larut  (1991:101). Kebutuhan dasar dapat dipenuhi dengan mula-mula memberikan pekerjaan kepada mereka yang sudah lama sekali nganggur. Alangkah menakjubkan bagaimana orang bisa sependapat jika mempunyai pekerjaan yang membuatnya sibuk dan uang di kantong untuk belanja. Perolehan material ini tidak akan menghapus konflik, tetapi akan membantu meringankannya di bagian-bagian masyarakat yang paling parah dan akan memberikan bukti yang nyata bahwa situasi bisa berubah dan berjalan (normal).
            Diplomasi jalur dua telah dicoba dan terbukti berhasil dalam merubah sikap dan persepsi peserta lokakarya. Diplomasi ini merupakan langkah penting dalam membuka jalan bagi keberhasilan diplomasi jalur satu (track one diplomacy). Dalam kebanyakan kasus konflik sosial yang berlarut-larut, diplomasi jalur satu (track one diplomacy) sudah pernah dicoba dan gagal. Para elit berusaha melakukan tawar-menawar dan memanipulasi agar pemilihnya memperoleh perlakuan (perlakuan) sebaik mungkin. Meskipun hal ini biasa dalam hubungan internasional, hal ini tidak akan berhasil menyelesaikan kasus-kasus ‘protracted social konflik’ yang nampak tidak bisa tarik lagi. Prakondisi untuk keberhasilan negosiasi para elit adalah perubahan persepsi yang dicapai diplomasi dua arah. Herbert Kelman menggambarkan hasil-hasil lokakarya yang ia ikuti sebagai fasilitator:

Saya sangat tergugah oleh capaian para wakil kedua pihak yang telah dapat menemukan pijakan yang sama, untuk menyimpulkan bahwa ada calon rekan bernegosiasi di pihak lain dan ada hal-hal yang bisa dinegosiasi untuk dipertimbangkan, mengetahui terjadinya perubahan dan kemungkinan perubahan lebih lanjut, dan mengembangkan rasa optimisme yang terjaga yang diperlukan untuk bergerak ke arah resolusi konflik (1991:153)

Perubahan-perubahan ini penting sekali untuk menciptakan lingkungan yang lebih positif di mana negosiasi-negosiasi yang substansial dapat terjadi.

KESIMPULAN

Pencarian ruang lingkun teori konflik telah membawa kita kepada sejumlah kesimpulan.  Pertama, masih tetap kurangnya kesepakatan di antara para ahli teori yang mencegah kita melewati batas ke dalam teori besar (grand theory). Dulu, jalan pendekatan mikro dan makro jarang dilintasi. Evolusi teori konflik menunjukkan bahwa  kedua pendekatan ini akan menyatu di masa depan. Misalnya, kita tidak bisa menjelaskan dengan memadai konflik di Sri Langka, Rwanda, Cyprus, Balkan, atau Timur Tengah tanpa mengkaji pendekatan-pendekatan klasik dan behavioral. Jika batas ini telah dilintasi dan terjadi penggabungan pendekatan-pendekatan ini, pada tataran-tataran anailisnya, kita akan menyaksikan perkembangan teori besar tentang konflik manusia. Konflik melahirkan perubahan. Pelakon Cina yang mendefinisikan konsep perubahan ditampilkan oleh pelakon-pelakon bahaya dan kesempatan. Konflik merupakan perwujudan paradoks seperti itu.
Pendekatan internal memberikan pemahaman tentang konflik yang lebih baik dan ada kesepakatan mengenai sebab-sebab konflik. Namun, tidak ada konsensus mengenai solusi, karena para pengikut aliran pemikiran ini dipengaruhi oleh bias masyarakatnya. Tidak akan ada konsensus mengenai solusinya sampai ada perubahan sikap dan persepsi yang berarti di kalangan kaum elit dan masyarakat itu sendiri. Hal ini hanya akan dimungkinkan dengan meluasnya penggunaan Diplomasi jalur dua dan penerimaan prinsip-prinsip system musuh, kebutuhan manusia dan teori-teori konflik resolusi.
Teori Sistem Musuh memperkenalkan kebutuhan manusia untuk dipertentangkan (dikotomi) sehingga menciptakan musuh dan sekutu. Teori Sistem Musuh dan teori Identitas Sosial menekankan pentingnya self-esteem (harga diri) dan identitas positif terutama yang berkenaan dengan hubungan antara ‘ingroups’ (sekutu) dan ‘outgroups’ (musuh). Teori Kebutuhan Manusia mengandaikan bahwa ada kebutuhan-kebutuhan manusia tertentu yang tidak dapat dikurangi yang harus dipenuhi agar masyarakat bisa berfungsi tanpa terjadinya konflik yang berkepanjangan. Teori Resokusi Konflik oleh Burton mengakui kebutuhan-kebutuhan ini dan menawarkan cara-cara untuk menampungnya secara analitis dan tanpa paksaan. Diplomasi jalur dua menawarkan proses yang dapat digunakan untuk mencapai hasil-hasil yang diharapkan oleh Teori Resolusi Konflik oleh Burton.
Pada saat ini, penggabungan Teori Sistem Musuh dan Teori Kebutuhan Manusia menawarkan penjelasan paling komprehensif dan objektif tentang konflik etno-nasional. Namun, penjelasan ini tidak cukup. Teori Resolusi Konflik oleh Burton memberikan pendekatan yang menyeluruh terhadap resolusi konflik. Sebagai perkembangan teori yang relatif baru dan perintis, teori ini tetap di luar literatur umumnya (mainstream literature). Teori ini menantang asumsi-asumsi pemikiran politik Barat bahwa kekuasaan didasarkan dan dijalankan melalui kelompok elit yang menetapkan norma-norma perilaku. Namun, masih perlu dilihat apakah pendekatan ini akan diterima oleh para peserta konflik etno-nasional, dan digunakan untuk kebaikan mereka untuk menyelesaikannya.


Oleh El Fatih A. Abdel Salam
Associate Professor, Department of Political Sciences,
Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences International Islamic University, Kuala Lumpur, Malaysia
 

2 komentar:

ADIL mengatakan...

sumber?

Unknown mengatakan...

luar biasa memang mr seven ini paham betul tentang konflik

Posting Komentar

Footer Widget 1

Sample Text

Text Widget

Footer Widget 3

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Footer Widget 2

Popular Posts